“Pada anak-anak terletak masa depan
kita semua”
--Bertrand Russel--
Setiap anak yang dilahirkan ke dunia
dalam keadaan suci. Karenanya, orang tua dan lingkungan tempat tinggalnyalah
yang akan membentuk watak atau karakaternya.
Apakah karakter yang terbentuk itu baik
atau buruk, tergantung bagaimana cara orang tua mendidik dan di mana
lingkungan tempat mereka tinggal.
Indahnya dunia kami Foto: Dok. https://www.morleylibrary.org/images/morley/children/kids.png |
Anak sebagai satu kepercayaan yang diberikan
Sang Khalik kepada orang tua. Oleh karena itu, jangan pernah sia-siakan
mereka. Mereka merupakan generasi penerus bangsa. Apa artinya, jika generasi
penerus bangsa ini punya dekadensi moral dan akhlak. Itu menjadi
indikator akan rusak dan hancurnya tatanan sebuah bangsa.
Anak menjadi topik hangat yang tak akan habis
diperbincangkan dan menjadi isu penting dalam negara, masyarakat, dan keluarga. Negara, sebagai tempat bernaung
warga negaranya harus memberikan jaminan perlindungan kepada anak-anak masa
depan bangsa ini. Jika kita melihat kasus yang menimpa salah satu anak di
Langkat, Sumatera Utara bernama Raju.
Raju Foto: Dok. http://cdn0-a.production.images.static6.com/ |
Dapat dijadikan pembelajaran berharga. Apakah layak anak
di usia 8 tahun yang masih perlu bimbingan orang tua, dalam masa pertumbuhan
dan terus berkembang hidup di balik hotel prodeo dan dihadapkan pada
pengadilan? Raju bukan satu-satunya kasus yang mencuat di negara ini. Ada lebih
dari 4.000-an anak Indonesia yang dimajukan ke meja hijau atas dasar tuduhan
kejahatan ringan seperti pencurian menurut laporan yang dibuat Steven Allen
2003.
Kenyataan memperlihatkan, permasalahan
anak sangat menyentuh hati dan membuat miris. Bahkan, telah jauh melewati
batas. Anak-anak yang seharusnya mendapat perlindungan secara kuat, dipelihara,
dididik, dan dibina malah dijadikan objek-objek yang sangat menyayat hati,
bahkan menjurus kepada perbuatan tercela. Contoh mudah, anak dijadikan sebagai
pelaku tindak kejahatan sosial dan tindak kejahatan seksual.
Hidup dan besar di jalan, meminta-minta. Miris! Foto: Dok. http://3.bp.blogspot.com/-FLUwfCaguvc/ |
Untuk masalah tindak kejahatan sosial,
anak dijadikan sebagai subjek terhadap penjualan barang-barang haram, seperti
obat-obatan terlarang, pil ekstasi, film porno, pencopet, pengamen yang
diorganisir, perampas, yang hasilnya diserahkan kepada bandar. Ditindak
kejahatan seksual, anak dijadikan sebagai “barang dagangan” sindikat penjualan
anak, baik antardaerah, antarnegara, bahkan lintas benua. Anak dijadikan pemuas
nafsu orang dewasa. Juga sebagai objek kelainan seksual penyuka sesama (homo).
Bahkan, anak tiri dan anak kandung sekalipun digagahi orang tuanya sendiri.
Melihat fenomena yang ada, seperti di Aceh
dan daerah-daerah konflik lainnya, anak tinggal di barak-barak pengungsian
dengan tidak menikmati indahnya masa kecil. Tanpa menikmati pendidikan yang
layak untuk masa depan karena sekolah-sekolah mereka diberangus, dan
tanpa rumah ketenangan. Hal ini yang menghiasi hampir setiap hari laman online (daring-red) dan media cetak negeri ini.
Mana program pembangunan yang
didengungkan mampu menyentuh kehidupan mereka? Akibatnya, permasalahan ini
tidak kunjung selesai. Justru makin berkepanjangan. Oleh karena itu,
bentukan karakter dan moral dari peran besar orang tua sangat menentukan terhadap
keberlangusungan sang anak. Selain itu, masyarakat dan negara punya andil
dalam memberikan perlindungan kepada mereka, karena sesuai dengan kewajiban
yang telah dibebankan kepada hukum. Negara menyediakan fasilitas dan
beragam keperluan lain untuk anak-anak generasi penerus masa depan ini
demi menjamin pertumbuhan dan perkembangan mereka secara maksimal dan
lebih berada dalam relnya.
Anak-anak yang hadir di dunia ini sudah
seharusnya diberi bimbingan, pendidikan, dan pembinaan. Hal itu
diperuntukkan agar mereka tumbuh dan terus berkembang sebagai anak yang sehat,
normal, dan cerdas. Anak sebagai pewaris tahta negara, masyarakat, dan
keluarga. Terkadang, mereka mengalami masa-masa sulit dan bertindak
brutal melanggar hukum. Akan tetapi, meskipun mereka melanggar hukum, bukan
berarti lantas dihukum, diperparah lagi dimasukkan ke dalam penjara.
Mereka, secara umum tidak mendapat
dukungan dari Dinas Sosial dan pengacara. Tak heranlah apabila dari sekian
banyak anak-anak tersebut dijebloskan ke dalam penjara. Melihat masalah
paling besar anak-anak yang dihadapkan pada perkara hukum karena
Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak sudah tidak
relevan, baik dari sisi yuridis, filosofis, dan sosiologis. Undang-undang tersebut
tidak memberikan jawaban tepat terhadap penanganan anak sebagai anak yang
berhadapan dengan hukum.
Anak dengan Konflik Hukum dan Penjara
Anak yang punya masalah terhadap hukum
diarahkan dan diselesaikan ke pengadilan, akibatnya anak mendapat tekanan
mental dan psikologis terhadap anak yang punya konflik dengan hukum itu
akan mengganggu tumbuh kembang si anak. Proses yang dilakukan seperti ini
justru memunculkan masalah, karena mereka harus diselesaikan secara hukum.
Padahal, kenyataan yang terjadi tidak jarang anak-anak yang bermasalah dengan
hukum itu tadi disatukan dengan orang dewasa, seperti dalam penjara yang
berbaur dengan orang dewasa.
Pantaskah mereka dibuat begini? Foto: Dok. http://www.wupr.org/wp-content/uploads/2014/10/kids-in-jail.jpg |
Betapa penting peran dan kedudukan anak
untuk bangsa ini. Karena itu, kita harus bersikap responsif dan progresif dalam
menata peraturan perundang-undangan yang berlaku. Apabila kita melihat pengertian
anak, kita akan bernapas lega karena sudah dipahami secara komprehensif.
Dalam konstitusi negara ini, anak punya
peran strategis yang secara tegas disebutkan bahwa negara menjamin hak setiap
anak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi. Hal-hal terpenting bagi anak sudah sepatutnya
dihayati sebagai kepentingan terbaik bagi kelangsungan hidup umat manusia.
Konsekuensi dari ketentuan pasal 28B UUD 1945 perlu ditindaklanjuti
dengan membuat kebijakan pemerintah y ang bertujuan melindungi anak.
Anak-anak negeri ini sudah sepantasnya
mendapat perlindungan dari dampak negatif perkembangan pembangunan yang cepat,
globalisasi yang semakin menggerus di ranah komunikasi dan informasi,
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan perubahan gaya dan cara hidup
sebagian orang tua yang telah membawa kepada perubahan sosial sangat
mendasar dalam kehidupan bermasyarakat yang sangat punya pengaruh terhadap
nilai dan perilaku anak.
Penyimpangan atau pelanggaran hukum
yang dilakukan oleh anak karena faktor-faktor di luar anak itu sendiri. Menurut
Dirjen Pemasyarakatan, bahwa tingkat kriminalitas serta pengaruh negatif
penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat aditif lainnya semakin
meningkat tajam. Hal ini harus segera dicegah untuk kemajuan dan masa depan
mereka. Sejak dini, penanaman nilai-nilai moral dan agama perlu ditekankan
secara tegas.
Prinsip perlindungan hukun kepada anak
harus sesuai dengan Konvensi Hak Anak-Anak (Convention on the Right of the
Child) yang sudah diratifikasi oleh pemerintah RI melalui Kepres
Nomor 36 Tahun 1990 Tentang Pengesahan Convention on the Right of the
Child. Jika menelaah UU Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak,
hal itu dimaksudkan untuk melindungi dan mengayomi anak yang bermasalah atau
berhadapan dengan hukum, agar anak-anak dapat menyongsong masa depan yang
masih panjang dan memberi mereka kesempatan untuk dibina menjadi manusia yang
punya jati diri, bertanggung jawab, dan berguna bagi diri sendiri, keluarga,
masyarakat, dan negara. Akan tetapi, dalam pelaksanaannya, anak menjadi objek
dan diperlakukan cenderung dirugikan.
Sistem penjara yang sangat menekankan
pada unsur balas dendam dan penjeraan yang disertai dengan lembaga “Rumah
Penjara” secara perlahan-lahan dianggap dan dipandang sebagai sistem dan sarana
yang tidak lagi sejalan dengan konsep rehabilitasi dan reintegrasi sosial. Agar
narapidana menyadari kesalahannya, tidak lagi berkeinginan untuk melakukan
tindak pidana dan kembali menjadi warga negara yang bertanggung jawab.
Kepedulian terhadap persoalan anak
mulai ada sejak 1920-an setelah Perang Dunia I. Dalam perang itu, pihak yang
paling menderita adalah anak dan kaum perempuan. Setelah perang, anak-anak dan
perempuan mendapati kenyataan pahit, suami, ayah mereka terluka bahkan
meninggal dunia. Perempuan menjadi janda, dan anak-anak menjadi yatim-piatu.
Oleh karenanya, anak-anak kehilangan sosok yang dapat dijadikan panutan,
contoh, dan imam keluarga sekaligus sosok yang mampu melindungi keluarga dari
segala bentuk bahaya.
Salah seorang perempuan aktivis
Eglantyne Jebb lantas mengembangkan butir-butir tentang hak anak pada 1923 yang
diadopsi menjadi Save the Children Fund International Union.
Isinya antara lain:
1. Anak harus dilindungi di luar dari
segala pertimbangan ras, kebangsaan, dan kepercayaan.
2. Anak harus dipelihara dengan tetap
menghargai keutuhan keluarga.
3. Anak harus disediakan sarana yang
diperlukan untuk perkembangan secara normal, baik material, moral, dan
spiritual.
4. Anak yang lapar harus diberi makan,
anak yang sakit harus dirawat, anak cacat mental atau cacat tubuh harus
dididik, anak yatim piatu dan anak terlantar diurus/diberi pemahaman.
5. Anaklah yang pertama-tama mendapat
bantuan atau pertolongan pada saat terjadi kesengsaraan.
6. Anak harus menikmati dan sepenuhnya
mendapat manfaat dari program kesejahteraan dan jaminan sosial, mendapat
pelatihan agar pada saat diperlukan nanti dapat dipergunakan untuk mencari
nafkah, serta harus mendapat perlindungan dari segala bentuk eksploitasi.
7. Anak harus diasuh dan dididik dengan
suatu pemahaman bahwa bakatnya dibutuhkan untuk pengabdian kepada sesama umat.
Beragam tuntutan yang meminta agar ada
perhatian khusus pada anak, membuahkan hasil dengan memasukkan hak-hak anak
dalam Piagam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia pada 10 Desember 1948.
Berikut, 31 hak anak dalam konvensi hak
anak:
1. Hak untuk kelangsungan hidup dan
berkembang.
2. Hak mendapatkan nama.
3. Hak mendapatkan kewarganeragaan.
4. Hak untuk mendapatkan identitas.
5. Hak untuk mendapatkan standar hidup
yang layak.
6. Hak untuk mendapatkanstandar kesehatan
yang paling tinggi.
7. Hak untuk mendapatkan perlindungan
khusus dalam konflik bersenjata.
8. Hak untuk mendapatkan perlindungan
khsuus jika mengalami konflik hukum.
9. Hak untuk mendapatkan perlindungan
khusus jika mengalami eksploitasi
sebagai pekerja anak.
10. Hak untuk mendapatkan perlindunga
nkhusus jika mengalami eksploitasi penyalahgunaan obat-obatan.
11. Hak untuk mendapatkan perlindungan
hukum jika mengalamai eksploitasi seksual dan penyalahgunaan seksual.
12. Hak untuk mendapatkan perlindungan
khusus dari penculikan, penjualan, dan perdagangan anak-anak.
13. Hak untuk mendapatkan perlindungan
khusus jika mengalami eksploitasi sebagai anggota kelompok minoritas atau
masyarakat adat.
14. Hak utnuk hidup dengan orang tua.
15. Hak untuk tetap berhubungan dengan
orang tua bila dipisahkan dengan salah satu orang tua.
16. Hak untuk mendapatkan pelatihan
keterampilan.
17. Hak untuk berekreasi.
18. Hak untuk bermain.
19. Hak untuk berpartisipasi dalam
kegiatan-kegiatan seni dan budaya.
20. Hak untuk mendapatkan perlindungan
khusus dalam situasi yang genting.
21. Hak untuk mendapatkan perlindungan
khusus sebagai pengungsi.
22. Hak untuk bebas beragama.
23. Hak untuk bebas berserikat.
24. Hak untuk bebas berkumpul secara damai.
25. Hak untuk mendapatkan informasi dari
berbagai sumber.
26. Hak untuk mendapakan perlindunga
pribadi.
27. Hak untuk mendapatkan perlindungan dari
siksaan.
28. Hak untuk mendapatkan perlindungan dari
perlakuan kejam, hukuman, dan perlakuan tidak manusiawi.
29. Hak untuk mendapatkan perlindungan dari
penangkapan yang sewenang-wenang.
30. Hak untuk mendapatkan perlindungan dari
perampasan kebebasan.
31. Hak untuk mendapatkan pendidikan dasar
secara cuma-cuma.
Eksistensi yang
Diingkari
Kita tak bisa mengingkari kenyataan
bahwa anak jalanan sebagai kenyataan sosial yang tak menyenangkan. Tak heran
kalau eksistensinya dari waktu ke waktu terus diingkari. Hal itu terbukti,
ketika Soeharto masih sebagai Presiden dalam upacara hari Anak Nasional 1997,
menyatakan, “Perlu dijelaskan, bahwa budaya kita di desa-desa kan banyak anak dididik untuk terbiasa
membantu orang tua. Karena mereka mengabdi kepada orang tua. Oleh karena itu,
saya menegaskan, bahwa di Indonesia tidak ada child labour (Pos Kota, 8 Maret 1997).
Pekerjaan mereka rentan dengan kejahatan seksual Foto: Dok. http://volunteersummernepal.org/wp-content/uploads/2011/12/street-children.jpg |
Akan tetapi, Organisasi Buruh Sedunia
(ILO) melaporkan, ada lebih dari 300 juta anak-anak berusia 5 hingga 15 tahun
yang harus bekerja dalam kondisi membahayakan dirinya. Dari jumlah itu, 140 juta
di antaranya bekerja secara penuh dan 130 juta bekerja paruh waktu. Sebagian besar,
sekitar 63% atau mencapai angka 153 juta berada di wilayah Asia. Sementara itu,
di Afrika ada sekitar 32% atau sekitar 17,5 juta berada di wilayah Amerika
Latin.
Di Indonesia sendiri, menurut catatan
UNICEF, ada sekitar 2,4 juta pekerja anak, di antaranya terdiri dari 1,2 juta
anak laki-laki dan 871 anak perempuan. Mereka berada dalam usia 10—14 tahun. Sementara
itu, Bank Dunia memberikan angka yang
tidak lebih tinggi, yaitu 2,3 hingga 2,9 juta jiwa. Ini berarti ada satu dari
setiap sepuluh anak di negeri ini yang mengalami nasib malang menjadi
gelandangan. Dalam laporan tersebut juga dipaparkan, bahwa antara tahun 1986
hingga 2004 jumlah anak yang bekerja di sektor perkotaan telah meningkat tiga
kali lipat. Mereka tersebar dalam berbagai kegiatan seperti menjadi buruh,
pelacur, anak jalanan, dan pembantu rumah tangga.
Semangat Dek! Foto: Dok. http://media2.intoday.in/indiatoday/images/stories/street-children-9 |
Pada 29 Januari 1990 pemerintah
Indonesia sudah menandatangani pengesahan konvensi tentang Hak-Hak Anak di New
York, AS. Peristiwa itu merupakan landasan dan cermin dari sikap pemerintah
yang terbuka terhadap pembinaan kesejahteraan anak, termasuk perlindungan
terhadap hak-hak mereka.
Pemerintah Indonesia sendiri sebenarnya
telah memiliki perangkat hukum yang berfungsi untuk melindungi hak-hak anak,
seperti UU Kesejahteraan Anak No. 4/1997 dan UU Perkawinan No, 1/1974 atau
seperti yang tercantum dalam UUD 45 pasal 34. Disebutkan bahwa orang miskin dan
anak-anak telantar dipelihara oleh negara. Karena itu, bolehlah kita semua
mempertanyakan sejauh mana pelaksanaan undang-undang ini.
Lingkungan yang membahayakan kehidupan mereka Foto: Dok. http://www.daily-sun.com/assets/archive/images/print-edition/ |
Jika masalah anak jalanan dianggap
sebagai “luka”, maka sebaiknya segera diobati bahkan disembuhkan. Bukan ditutup-tutupi
atau dengan tindakan sekilas, menjaring mereka dengan beragam operasi penertiban
atas nama “Keindahan kota”, dan “ketertiban masyarakat”. Luka anak jalanan
sebenarnya luka kita juga. Akankah mereka tetap dipandang sebagai anak haram
yang disingkirkan dari “beranda rumah kita” untuk menutupi aib pemerintah dan
masyarakat yang tak mampu membereskan masalah ini?
Selamat Hari Anak Nasional 2017. Teruslah melakukan yang terbaik untuk bangsamu, berkreasilah dengan penuh kebebasan dan bertanggung jawab. Jadilah anak-anak Indonesia yang mampu berinteraksi satu sama lain dalam kebaikan dan wujudkan bahwa kalian adalah anak-anak Indonesia yang kreatif.
Sehat, tumbuh, dan berkembang terus ya anak-anak bapak dan ibu.#Bighug#
Selamat Hari Anak Nasional 2017. Teruslah melakukan yang terbaik untuk bangsamu, berkreasilah dengan penuh kebebasan dan bertanggung jawab. Jadilah anak-anak Indonesia yang mampu berinteraksi satu sama lain dalam kebaikan dan wujudkan bahwa kalian adalah anak-anak Indonesia yang kreatif.
Sehat, tumbuh, dan berkembang terus ya anak-anak bapak dan ibu.#Bighug#