|
Meet The Makers dalam Helatan ke-11 Alun Alun Grand Indonesia
Foto: Dok. Pribadi |
Kain Indonesia merupakan warisan
budaya nusantara. Kaya motif dan warna mempesona dengan beragam pola. Perpaduan
sejarah dan budaya yang tertuang pada setiap detail, menjadi penanda fase
kehidupan manusia yang diwariskan dari generasi ke generasi. Melalui perajin
kain di beberapa daerah di Indonesia hingga pembuatan gerabah dengan teknik
miring ada.
Gagasan dan tindak nyata Meet The Makers kembali menghelat acara bertajuk “Regenerasi
Mempertahankan Tradisi” di Alun-Alun Grand Indonesia mulai tanggal 21 Oktober
hingga 2 November 2016. Meet The Makers sebagai tempat pameran “Craft as Art”
yang diikuti beragam komunitas perajin,
desainer, dan beberapa organisasi akar rumput di negeri ini.
Regenerasi! Ya, regenerasi pelestari kerajinan negeri ini. Hal itu perlu dilakukan agar kerajinan
dari berbagai pelosok negeri ini tak mati, tak hanya menjadi benda kesenian
belaka. Akan tetapi, mencuatkan nilai dan perjalanan sejarah, nilai budaya, dan
fungsi yang teramat dalam untuk kehidupan masyarakat di masa lalu, sekarang,
dan akan datang.
Meet The Makers menggandeng Alun Alun Indonesia yang konsisten menyasar
pasar anak muda, juga bersamaan dengan ulang tahunnya yang ke-9. Semangat kerja
yang tinggi, didukung sosialisasi di segala lini, tentunya akan mampu mempertahankan
kerajinan budaya yang sudah berusia ratusan bahkan ribuan tahun untuk terus
diturunkan ke generasi berikutnya, pun tak terlindas modernisasi zaman.
CEO, PT Alun Alun Indonesia, Pincky Sudarman mengatakan, “Sekarang saatnya
melakukan regenerasi. Kami ingin
menumbuhkan kecintaan anak muda terhadap produk Indonesia yang tak lekang di
makan zaman”.
|
Pincky Sudarman, CEO PT Alun Alun Indonesia memberikan sambutan
dalam Pembukaan Meet The Makers ke-11 di Alun Alun Grand Indonesia
Foto: Dok. Meet The Makers 11
|
Ya, Bregas Harrimardoyo, selaku Steering Comitte Meet The Makers 11 pun berucap, “Ajang ini sebagai
tempat bertemunya perajin dengan khalayak, terutama kalangan muda. Ini sebagai
pengenalan dan sosialisasi keragaman budaya”.
|
Bregas Harrimardoyo selaku Steering Comitte
Meet The Maker 11 menyampaikan sambutan
Foto: Dok. Meet The Makers 11
|
Kriya Indonesia begitu hebat, tak hanya di mata bangsa sendiri, tetapi
dunia mengakuinya. Melirik kehebatan yang tertera dalam Alun Alun Indonesia,
ke-16 artisan mengambil peran untuk menunjukkan kebolehan mereka dalam
berkreasi membelakakkan mata, mengangakan mulut pecinta kriya.
|
Effan dan Novi, Cinta Bumi Artisans yang konsen mengangkat kain kulit kayu
menjadi produk bernilai ekonomi tinggi.
Foto: Dok. Pribadi |
Bagaimana tidak, peninggalan masa prasejarah hingga kini masih bertahan
ada. Kain kulit kayu salah satunya. Cinta Bumi Artisan bergiat dengan hal ini. Sungguh
menakjubkan! Sebuah tradisi Neolitik dan Megalitik, 4.000 tahun lalu yang masih
berlangsung hingga kini di salah satu wilayah Indonesia, Lembah Bada Poso, Sulawesi
Tengah. Masyarakat yang mempertahankan kebaikan alam untuk terus diolah agar
berkelanjutan. Cinta Bumi menghidupkan dengan cara-caranya. Selanjutnya membuat
tempat yang dapat menginspirasi banyak orang dalam berkarya, berekspresi, dan berbagi
kreativitas.
|
Pak Agus Tomaha, sedang menjelaskan pembuatan kain kulit kayu
yang dilakukan dua wanita Lembah Bada sebagai penerus pembuat kain kulit kayu. Ki-Ka: Irma dan Sonya
Foto: Dok. Meet The Makers 11
|
Lembah Bada, menjadi tempat yang sangat eksotis di mata dunia sebagai
bagian dari keberadaan kain kulit kayu. Tradisi Megalitikum yang bertahan ini
masih tetap dipertahankan agar tak lekang oleh zaman. Melihat keberadaan kain
kulit kayu yang mulai punah, Cinta Bumi Artisan langsung mendatangkan perajinnya
dari Lembah Bada, Pak Agus Tomaha, Kak Sonya, dan Kak Irma. Selama ini, ketika
saya berkunjung ke Lembah Bada, yang melakukan pembuatan kain kulit kayu
wanita-wanita lanjut usia. Ada yang telah berumur 90 tahun. Mereka perlu
regenerasi. Bahkan tetua mereka yang sebelumnya membuat sudah tiada.
Adanya Kak Sonya dan Kak Irma, menjadi satu generasi
pelestari kain kulit kayu agar tak mati. Merekalah yang mewarisi tradisi
Megalitikum pembuatan kain kulit kayu dari orang tuanya. Tak dapat dipungkiri,
jejak panjang prasejarah tertoreh hampir sempurna di Lembah itu.
Pak Agus, Ka Sonya, dan Kak Irma, membawa serta peralatan untuk membuat kain kulit kayu di Meet The Makers 11 ini. Bagaimana mula pertama kulit kayu
diambil untuk dijadikan bahan baju atau lainnya, berikut kulikan saya.
Ada beberapa jenis kulit pohon yang dapat dibuat kain, seperti kulit pohon
Saeh, Malo, Bea, atau Ivo, dan Nunu (beringin). Akan tetapi, dari sisi kualitas
dan hasil, lebih terlihat bersih dan berkualitas Malo, Bea, atau Ivo dan Saeh,
hasilnya lebih putih. Sementara, Nunu (beringin) akan menghasilkan kain kulit
kayu berwarna kecokelatan.
|
Pohon Bea, salah satu pohon untuk pembuatan kain kulit kayu
Foto: Dok. Pribadi |
Pada proses pembuatannya Pak Agus menjelaskan, kulit kayu yang dibawa saat saya
menjumpainya di Alun Alun Grand Indonesia adalah kulit pohon Malo. Terlihat
memang, berwarna lebih bersih (putih) yang sudah dibuka dari bungkus daun
pisang, beserta peralatan landasan dan pukul. Alat pukul tersebut terdiri dari
enam, yang masing-masing fungsinya berbeda-beda.
Alat pukul pertama terbuat dari batang pohon Enau, atau biasa disebut
Ruyung Enau. Selanjutnya adalah alat pukul yang terbuat dari batu dengan pegangan terbuat dari rotan, biasa disebut Batu Ike. Konon, batu ike itu sudah ada
sejak zaman Megalitikum. Batu dengan alur yang berbeda-beda itu difungsikan
berbeda dan punya nama berbeda pula. Batu Ike berfungsi untuk memanjangkan dan
melebarkan kulit kayu yang sedang diproses. Ada enam jenis batu Ike yang
digunakan, Batu Ike Tinahi, Batu Ike Hore, Batu Ike Pogea, Batu Ike Bengko, Batu
Ike Pampii, dan Batu Ike Popapu.
|
Alat pemukul untuk membuat kain kulit kayu
Atas ke Bawah: Ruyung Enau dan Batu Ike
Foto: Dok. Pribadi
|
Sementara itu, untuk landasannya
dikenal dengan nama Tatua. Kayunya sangat keras. Fungsinya, untuk
menahan ketika kulit kayu dipukul-pukul di atas landasan itu, kayunya tidak
mudah pecah atau retak-retak, karena
akan mempengaruhi hasil kain kulit kayunya juga. Ada juga Parondo atau setrika
kayu. Bentuknya bulat dengan bagian tengah sebagai pegangan kecil. Gunanya
untuk memukul-mukul kain yang sudah kering dan berlekuk-lekuk agar rata dan
halus.
Sebagai alat pemindah atau menggeser kain kulit kayu saat dipukul dan
digeser, dipergunakan alat bernama Pongko. Pongko ini dapat dibuat dari kayu
juga dari bambu. Ketika Kak Sonya dan Kak Irma memperagakan menggeser kain
kulit kayu, mereka menggunakan bambu untuk memindahkan maju-mundurnya kain.
Mulanya, bila tak terbiasa mencium hasil fermentasi kulit kayu ini akan
menutup hidung. Karena bau asam yang
keluar dari kulit kayu agak menyengat. Fermentasi kulit kayu dilakukan agar
menghasilkan lendir. Lendir itu berguna ketika kain dipukul-pukul akan menjadi
mudah, lembut, dan tidak pecah berantakan.
Proses pembuatan kain kulit kayu
Kulit kayu yang diambil dapat berasal dari pohon Beringin; Malo, Bea, atau
Ivo. Bagian yang diambil adalah cabang-cabang pohon. Mengapa mereka tidak
memotong kayu indukan? Di sinilah terlihat cara mereka melestarikan dan tetap
mempertahankan keberadaan pohon-pohon tersebut. Artinya, orang-orang Lembah
Bada tetap menginginkan ada bibit indukan yang akan terus bertumbuh. Layaknya generasi
penerus pembuat kain kulit kayu.
Kulit kayu selanjutnya dikuliti dengan memakai pisau atau parang. Oya,
tugas dari memotong cabang-cabang pohon dan menguliti adalah tugas lelaki.
Setelah kulit kayu dikuliti dan dipisahkan dari kulit jangatnya, kulit kayu
tersebut lantas direbus dalam belanga tanah selama dua jam. Tugas merebus
adalah tugas wanita.
Untuk mendapatkan hasil kain kulit kayu yang lebar, diperlukan juga
potongan kulit kayu dalam jumlah banyak. Setelah direbus, kulit kayu didiamkan
agar dingin dan dibungkus daun pisang. Selanjutnya diperam (difermentasi)
kurang lebih 3--7 hari. Setelahnya dapat diolah.
|
Kulit kayu Malo yang sudah difermentasi
Foto: Dok. Pribadi |
Kulit kayu yang sudah disusun diletakkan di atas landasan (tatua), kemudian dipukul-pukul dengan
menggunakan ruyung Enau hingga melebar dan tidak pecah. Setelah semua kulit kayu
rata, untuk menghaluskannya dipergunakan batu ike dengan ukuran dan besar yang
berbeda-beda. Proses pengerjaan kain kulit kayu seluruhnya dilakukan oleh
wanita. Satu catatan: Proses pengerjaan kain kulit kayu tidak dapat
dipindahtangan, mengapa? Karena kekuatan dan pukulan masing-masing orang
berbeda. Hal itu juga nantinya yang akan menentukan hasil kain kulit kayu
seperti apa.
|
Landasan (Tatua) untuk membuat kain kulit kayu
Foto: Dok. Pribadi |
Kain yang sudah diproses, lantas diangin-anginkan di tempat yang sejuk,
tanpa terkena sinar matahari langsung. Kain kulit kayu yang sudah kering
memiliki bentuk yang masih berlekuk. Untuk meratakannya digunakan alat yang
disebut Parondo atau setrika kayu. Caranya, dengan memukul-mukulkan Parondo di atas kain kulit kayu
hingga menghasilkan tekstur kain yang halus.
|
Parondo, setrika kayu untuk meratakan kain kulit kayu setelah dijemur
Foto: Dok. Pribadi
|
Kualitas kain yang sudah jadi terlihat dari warnanya. Kualitas bagus
biasanya berwarna putih. Satu meter kain yang sudah jadi dihargai dengan
kisaran Rp75.000 hingga Rp200.000. Cinta Bumi Artisan menciptakan hasil kain kulit kayu berupa tas juga dompet.
Sisa potongan kain dibuat semacam kalung sebagai aksesories.
|
Sisa kain kulit kayu yang dibuat aksesori kalung
Foto: Dok. Pribadi
|
Produk olahan kain kulit kayu Cinta Bumi Artisan, salah satunya Tas dan Dompet
Foto: Dok. Pribadi
|
|
Dalam obrolan saya dengan Mas Effan, sebagai pengembang produk kain
kulit kayu mengatakan, “Untuk mendapatkan bahan baku kain kulit kayu masih agak
sulit. Itu karena terbatasnya material yang ada di Lembah Bada. Selain itu,
pohon-pohonnya semakin terbatas. Untuk itu perlu adanya
pembibitan. Sementara, untuk produk kain kulit sendiri, kami akan kembangkan
lebih jauh lagi, misalnya untuk pembuatan sepatu”.
|
Inilah generasi penerus budaya Megalitikum pembuat kain kulit kayu Lembah Bada
Kak Irma, Pak Agus Tomaha, dan Kak Sonya
Foto: Dok. Pribadi
|
Gerabah Teknik Putar Miring
Gerabah berguna untuk tempat atau wadah keperluan
rumah tangga. Namun, di beberapa tempat gerabah berguna untuk tempat menyimpan
tulang manusia, abu orang yang telah meninggal. Di Bali, gerabah digunakan
sebagai bekal kubur, sedangkan di daerah Banyuwangi dan Sumba digunakan untuk
kandang sapi.
|
Beragam Gerabah hasil Teknik Putar Miring yang dibuat keluarga Pak Harno
Foto: Dok. Meet The Makers 11 |
Gerabah-gerabah yang berkembang sejak
zaman prasejarah mulai zaman Neolitikum hingga perundagian, banyak yang sudah berubah.
Itu karena ada pengaruh teknologi dan kemampuan manusia memodifikasi. Perubahan
itu menyebabkan banyaknya gerabah yang ada di Indonesia, memiliki bentuk bervariasi. Teknik-teknik pembuatannya seiring sejalan. Ragam hiasnya pun
berkembang pula karena menjadi kebutuhan.
Gerabah banyak ditemukan di Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, juga
Yogyakarta. Kalau mendengar kata gerabah, di telinga saya sudah tidak asing.
Gerabah dari tanah liat tentunya. Namun, ada satu hal yang menarik perhatian
saya saat mengunjungi Meet The Makers 11 ini, yaitu pembuatan gerabah dengan
teknik miring.
|
Bu Harno beserta putrinya, regenerasi pembuat gerabah Teknik Putar Miring
Foto: Dok. Pribadi |
Teknik miring pembuatan gerabah mulai jarang ditemukan. Salah seorang yang
hingga kini masih mempertahankannya adalah Pak Harno. Beliau berasal dari Desa
Bayat, Klaten Jawa Tengah. Gerabah
teknik putar miring sebagai hasil olah pikir salah seorang Sunan, yaitu Sunan
Bayat. Ada tiga hal menarik untuk gerabah putar miring ini, yaitu:
Pertama, desainnya sangat sederhana sehingga nyaman digunakan ketika
seorang perempuan mengenakan kebaya dan kain panjang. Karena pada masa Sunan
Bayat, hampir semua perempuan mengenakan kebaya dan kain panjang sebagai tanda kesopanan.
Kedua, Sunan Bayat termasuk orang yang sangat mementingkan etika dan
hal-hal kesopanan, terutama yang ada dalam masyarakat atau wilayahnya. Ketiga,
alas atau tatakan gerabah teknik putar miring dapat menaikkan produktivitas kerja,
karena ada pengaruh gravitasi. Oleh karenanya, tanah lebih mudah diolah dan
dibentuk.
|
Gerabah Bayat dengan pewarnaan yang sudah direduksi
Foto: Dok. Pribadi |
“Untuk membuat gerabah teknik miring ini kita harus konsentrasi. Mata,
pikiran, hati, dan kaki tertuju pada satu tumpuan tanah liat. Memikirkan apa
yang akan dibentuk dengan penuh konsentrasi. Untuk mendorong alatnya dengan
kaki tidak perlu terlalu kencang, karena semua dibuat secara tradisional
dan harus menggunakan perasaan. Apabila kaki terlau kencang mendorong, kemungkinan tali pegas akan putus,” begitu ucapnya saat dijumpai di Meet The
Makers 11 di Alun Alun Grand Indonesia.
Harno berasal dari Desa Bayat Dukuh Pagerjurang. Gerabah dari desa ini
lebih dikenal dengan nama Gerabah Bayat, meski tidak diproduksi di Bayat.
Mulanya dibuat di Dukuh Bayat, Desa Melikan, Kecamatan Wedi. Letaknya
berseberangan dengan Pagerjurang. Sementara, Dukuh Bayat sendiri sebagai daerah
perbatasan antara Wedi dengan Bayat.
|
Gerabah yang sudah dicampur tanah merah menghasilkan warna eksotis
Foto: Dok. Pribadi |
Keluarga Pak Harno mempertahankan tradisi pembuatan gerabah teknik miring
kepada anak perempuan dan istrinya. “Untuk melestarikan budaya dan kerajinan, perlu perjuangan dan belajar teru
menerus, otomatis akademik akan dapat
mengikuti,” begitu ucapan Pak Harno kepada anak perempuannya yang
berhasil mengikuti jejak langkahnya yang sudah dua tahun berselang.
Teknik putar miring ini ternyata dapat memberikan hasil gerabah dengan
bentuk yang tipis, kecil, dan cantik. Teknik ini biasanya dipergunakan untuk
menghasilkan wajan, piring, kendi, atau wadah makan lainnya.
Alhasil tak disangka, teknik miring menjadi hal yang sangat menarik untuk
peneliti luar negeri datang dan mengadakan penelitian lebih lanjut. Salah satunya adalah
peneliti berkewarganegaraan Jepang, yaitu Chitaru Kawasaki, seorang Profesor
dari Universitas Kyoto Seika, Jepang. Dia punya perhatian lebih pada gerabah
teknik miring di Bayat yang dipertahankan oleh Pak Harno.
Untuk menggali lebih jauh teknik miring pembuatan gerabah ini, Kawasaki
rela mengeluarkan uang hingga satu miliar rupiah. Dia membangun Laboratorium
Pusat Pelestarian dan Budaya Keramik Putar Miring pada tahun 2004.
Laboratorium itu diresmikan pada 14 April 2005. Dia pun rela tinggal bersama
warga di Melikan demi mengembangkan risetnya tersebut. Artinya apa? Mengapa
bangsa lain lebih peduli terhadap hal-hal yang memang layak dipertahankan
dibanding bangsa sendiri? Kawasaki seperti menghidupkan kembali regenerasi
perajin ini untuk dapat terus dipertahankan.
Gerabah-gerabah hasil putar miring Pak Harno dipamerkan pula di Alun Alum
Grand Indonesia pada Meet The Makers 11. Sungguh menjadi perhatian kita bersama,
teknik-teknik yang dipergunakan terbilang jarang dan patut dipertahankan.
Sejarah mencatat bahwa banyak teknik pembuatan gerabah yang sudah punah. Tetapi,
teknik miring yang masih ada tetap perlu dijaga. Ceruk pasar Gerabah Bayat ini sangat luas, tak
hanya di dalam negeri, tetapi sudah merambah mancanegara. Contohnya ke
Australia, Belanda, Belgia, Perancis, Jepang, bahkan Argentina.
|
Perpaduan warna Gerabah Bayat yang cantik
Foto: Dok. Pribadi |
Hal unik lainnya yang masih dipertahankan adalah dari segi pewarnaan.
Gerabah Bayat-Pagerjurang tidak menggunakan pewarna dari zat kimia. Tetapi
menggunakan pewarna alami dari tanah merah. Pun gerabah itu dibiarkan alami atau
natural dengan warna kecokelatan. Itu melihat sifat fisik tanah sesaat usai
terakota (pembakaran). Warna yang ada dibuat justru dari pengasapan atau
reduksi.
Batik
Marenggo-Empat Puluh Kali Pencelupan
Jangan salah, batik Indonesia tak sekadar nama. Melalui tangan terampil Nuri
Ningsih Hidayati, Pohon Marenggo naik kelas. Pohon Marenggo menginspirasi Nuri
menjadi salah satu bahan pewarna alami untuk batik yang diproduksinya. Jebolan
STSI Yogyakarta Jurusan Batik (Tekstil)
ini, meyakini bahwa alam memberikan sesuatu yang lebih, tinggal bagaimana cara
kita memanfaatkan dengan bijak tanpa berlebihan.
|
Batik Marenggo dengan pewarna alami. Meski terlihat kuno tapi tetap dicari
Foto: Dok. Pribadi |
Nuri sebagai salah satu generasi pembuat batik sekaligus desainer batik
dari Jogotirto Berbah, Sleman Yogyakarta. Dia begitu detail mengolah
warna-warna cantik untuk brand Batik Marenggo miliknya.
“Saya belajar batik dari salah satu buku batik yang sudah tua dan kuno.
Buku itu adanya di perpustakaan kampus. Begitu juga untuk pewarnaan.
Buku-bukunya pun sudah tua dan mulai robek. Untuk warna-warna batik Marenggo
ini, saya mengambil dari warna alam, seperti daun Marenggo, kulit Manggis,
kulit Rambutan,” tuturnya pada saya saat bertemu di Meet The Maker 11 Alun Alun
Grand Indonesia.
Tak dapat disangkal, batik dengan pewarnaan alam ini selintas ketika saya
berkunjung ke Alun Alun tempat Nuri menggelar produknya, terkesan jadul. Berbeda dengan warna sintetis yang
kelihatan lebih kinclong dan mentereng. Warna-warna batiknya di dominasi warna
cokelat, biru pudar, cokelat bata menuju kemerahan. Tetapi, kombinasinya
cantik, nuansa hitam dan putih yang ada pada motif dan latar. Di kulik lebih
jauh, ternyata pewarnaan itu menggunakan kulit kayu Mahoni, kayu Tinggi, kayu
Jambal, dan bahan alami lainnya.
Ketika saya coba untuk membaui, memang sangat berbeda dengan warna
sintetis. Bau dari warna sintetis begitu keras menyengat bercampur bau kain.
Akan tetapi, bau pewarna alami dari Marenggo ini sungguh lembut menuju wangi. Hal
lainnya, meski kainnya kain Mori, tetapi hasilnya sungguh luar biasa. Lembut di
tangan dan terasa halus saat disentuh.
Generasi muda bertalenta ini terus berusaha mengembangkan batik-batiknya
hingga ke pelosok daerah. Produksi batiknya pun di pajang di Alun Alun Grand
Indonesia dalam helatan Meet The Maker 11. Dia memberi nama Marenggo, karena
pohon tersebut banyak tumbuh di daerahnya. Ditambah lagi, bule-bule yang datang
ke daerahnya itu suka sekali dengan warna kuning pohon Marenggo. Penggunaan nama
Marenggo itu baru diberikannya sekitar tahun 2015 lalu.
Ketekunan dan kesabaran Nuri dalam menemukan bahan pewarna alami perlu
proses. Tidak serta merta hadir begitu saja. Kesabaran dan ketekunan itu
sebagai hal yang memang tidak dapat dipisahkan dari proses pembelajaran.
Bayangkan saja, menurutnya untuk mendapatkan motif batik dengan beragam
kombinasi, contohnya cokelat tua, cokelat muda, dan hitam, itu perlu empat puluh
kali pencelupan melalui bahan warna alami dan fiksasi. Dapat kita bayangkan bukan, betapa sulit dan butuh perjuangan hanya untuk mendapatkan motif-motif
warna tertentu.
Jangan heran kalau harga satu lembar kain batik ini dapat dibanderol mencapai harga 2,5 juta rupiah. Bukan soal nilai atau harganya, tetapi kita
menghargai bagaimana proses pengetahuan dan proses belajar yang tidak sebentar,
melakukan eksperimen berkali-kali, sehingga dihasilkan warna yang diinginkan
itu tidaklah gampang.
Ulangan demi ulangan warna dilakukan dalam waktu yang cukup lama.
Pencelupan warna pun tidak sebentar. Motif-motif sebagai kerangka atau klowongan yang lebih besar biasanya relatif bertahan
lebih lama dan utuh hingga batik dapat diselesaikan.
Pun begitu juga dengan malam (lilin batik). Malam yang bagus pastinya akan
melindungi konsistensi motif hingga pewarnaan batik selesai. Memang, banyak
faktor yang membuat batik dengan warna alam lembar demi lembarnya berbeda dari
batik warna sintetis. Meski sama-sama diwarnai dengan kulit Manggis atau kulit Rambutan, asal tumbuhan, umur, dan jenisnya yang berbeda akan membuat warna
batik alam yang dihasilkan pun berbeda dan sulit untuk sama antara satu dengan
yang lain.
|
Empat puluh kali pencelupan menghasilkan warna yang diinginkan
Foto: Dok. Pribadi |
Kini Nuri masih terus berjibaku mendesain dan membuat batik. Dengan Tagline
Natural Dye’s Batik yang dibuatnya itu semakin mengokohkan dirinya untuk
bersaing di pasar nasional bahkan internasional melalui batik dengan warna
dasar alam.
Lurik Lawe “PAGARI” Meet The Makers 11
Siapa yang tak kenal kain lurik Yogyakarta ini? Ya, Lurik. Di bawah bendera “LAWE” Lurik naik kelas.
Bukan kelas abal-abal dalam wastra Indonesia, tetapi naik kelas internasional.
LAWE social enterprise yang berdiri pada 2004 atas kecintaan Fitria
Werdiningsih untuk kain tradisional.
|
Lurik LAWE dalam kreativitas Fitria
Foto: Dok. Pribadi |
Fitria menyadari, bahwa tantangan kain tradisional daerah itu rata-rata
hampir sama. Ada keterbatasan ketika akan memasarkan produk yang mereka punyai.
Selain itu, seolah tidak sanggup untuk berkompetisi dengan kain-kain modern
yang jumlahnya bejibun dari hasil industri
tekstil. Produk yang dihasilkan pun terbatas pada lembaran kain.
Meet The Makers 11, menjadi ajang untuk Fitria dan teman-temannya unjuk
gigi. Bahwa kain tradisional mampu bersaing. Alun Alun Grand Indonesia memberi
tempat untuk dirinya memperlihatkan hasil-hasil olahan lurik khas Yogyakarta
ini. Ada dompet, tas, gantungan kunci, bahkan boneka-boneka hewan yang cantik
pun mampu dikreasikan dari kain lurik LAWE.
|
Kain Tenun Lurik
Foto: Dok. Pribadi |
Asal kata Lurik adalah Lorek atau
Rik, dalam bahasa Jawa memiliki arti
garis. Garis-garis lurus itu seperti pagar yang menjadi ciri kain tersebut. Itu
pun memiliki makna sebagai satu nilai kesederhanaan hidup. Bergulirnya waktu,
lurik Fitria menjadi lambang sosial “kawulo alit” atau pribumi masa lalu. Lurik
ini sebagai perwakilan identitas orang biasa atau orang yang sederhana dalam
kehidupannya. Lurik tak lepas dari sejarah bangsa Indonesia. Ada bukti yang
mencatat mengenai lurik, yaitu di prasasti tinggalan kerajaan Mataram pada 851—882
Masehi, juga beragam wujud penggunaan lurik di arca-arca dan relief candi yang
berada dan tersebar di Jawa. Lurik tak sekadar barang dagangan. Ada nilai seni
dan sejarah terwujud di dalamnya. Nilai itu
adalah kesederhanaan, kesabaran, dan keluhuran.
|
Hewan-hewan lucu dari kain Tenun Lurik, kreativitas Fitria dkk
Foto: Dok. Pribadi |
Melalui tangan Fitria lurik tetap ada. Dari Pak Agus Tomaha, Effan,
Novita, Sonya, dan Irma kain kulit kayu mendunia. Melalui Nuri, Marenggo tak
melongo’. Dari Meet The Makers 11 mereka semua ada. Kita tunggu
penerus-penerusnya.