Pekan Imunisasi Dunia 2018: Capai Imunisasi Lengkap Bersama Melindungi dan Terlindungi [Foto: Dok Pri] |
Dulu, sebelum punya anak, saya dan istri sempat bersitegang soal imunisasi.
Istri sudah warning ke saya kalau punya anak, tidak akan diimunisasi. Sementara
saya, bersikukuh harus diimunisasi. Saya punya alasan sendiri kenapa anak mesti
diimunisasi, istri punya argumentasi sendiri.
Setelah beberapa lama, lahirlah anak pertama. Entah kenapa, yang dulunya
istri bertahan dengan argumentasinya tidak mau anak diimunisasi, setelah
beberapa bulan anak pertama lahir, akrirnya luruh juga. Bahkan dia yang selalu
mengecek jadwal kapan imunisasi anak kami selanjutnya.
Ya, semua memang mesti disepakati bersama, mau atau tidak anak diimunisasi.
Atau cari tahu ada tidak ruginya jika anak tidak diberikan. Karena langsung
bertanya pada dokter anak yang sudah jadi dokter keluarga, justru disarankan. Dari
situlah istri dan saya benar-benar menaati keberlangsungan kesehatan anak agar
terhindar dari penyakit karena tidak mendapatkan imunisasi.
Imunisasi ini justru mampu menyelamatkan nyawa anak manusia untuk anak-anak Indonesia sehat. Hal ini menjadi salah satu
intervensi kesehatan yang boleh dibilang berhasil dan memberi efek jangka
panjang anak terhindar dari penyakit. Selain
itu, tentunya biaya yang dikeluarkan tidak banyak (baca hemat biaya).
Kalau dilihat sejauh ini rasanya miris, ternyata masih ada anak-anak di
dunia yang tidak mendapatkan perlindungan imunisasi. Ada sekitar 19 juta anak yang justru
tidak diimunisasi secara lengkap. Bayangkan saja, ternyata 1 dari 10 anak-anak
itu tidak mendapat vaksinasi apapun yang juga tidak terdeteksi oleh sistem
kesehatan.
Oleh karenanya, pemerintah melalui imunisasi ini ingin meluaskan capaian Sustainable Development Goals (SDG).
Perlu memang kita ketahui bahwa, vaksinasi tidak hanya mencegah penderitaan dan
kematian yang terkait penyakit menular, seperti TB, diare, campak, pneumonia,
polio, dan batuk rejan, tetapi juga membantu mendukung prioritas nasional
seperti pendidikan dan pembangunan ekonomi.
Kalau dilihat juga bahwa nilai vaksin ini sangat unik. Uniknya itu
pendorong ditetapkannya Global Vaccine Action Plan (GVAP) 2020. GVAP ini
disahkan oleh 194 anggota negara ada World Health Assembly ke-60 pada
12/05/2012. Hal ini sebagai kerangka kerja mencegah jutaan kematian akibat
penyakit yang bisa dicegah dengan vaksin pada 2020 dengan akses universal untuk
imunisasi.
Apa sih tujuan GVAP ini? Menetapkan imunisasi rutin, mempercepat kontrol
penyakit yang bisa dicegah dengan vaksin (pemberantasan polio sebagai tahap
pertama), mengenalkan vaksin baru, dan
memacu penelitian dan pengembangan teknologi vaksin.
Target GVAP ini memang untuk mengeliminasi penyakit, termasuk rubella,
campak, juga tetanus neonatus dan maternal meski masih telat dari jadwal. Pekan
Imunisasi Dunia ini menitikberatkan pada tindakan kolektif yang diperlukan
dalam menjamin setiap orang terlindungi
dari penyakit yang bisa dicegah dengan vaksin.
Semua orang perlu diberitahu dan diajak termasuk pemerintah, organisasi
profesi. LSM, organisasi lain yang peduli imunisasi, warga, mitras swasta, juga
media untuk meningkatkan capaian
imunisasi secara berkelanjutan.
Berhubungan dengan hal ini, pada Rabu (25/04/2018) Ikatan Dokter Anak
Indonesia (IDAI) mengadakan seminar media tentang vaksin dalam tema “Capai
Imunisasi Lengkap: Bersama Melindungi dan Terlindungi” yang dihadiri blogger dan awak media bertempat di IDAI Salemba.
Prof. Dr. Cissy B. Kartasasmita, Sp.A(K), M.Sc, PhD. Ketua Satgas Imunisasi IDAI [Foto: Dok fkumpalembang.ac.id] |
Hadir di tengah-tengah seminar tersebut sebagai pembicara Prof. Dr. Cissy
B.Kartasasmita, Sp.A (K), M.Sc, PhD. Selalu Ketua Satgas Imunisasi IDAI. Prof
Cissy menyampaikan bahwa, banyak penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi
di antaranya, campak, polio, hepatitis
B, pertusis, difteri, Hib, dan tetanus.
Jika anak-anak tidak mendapatkan imunisasi dan terkena penyakit, maka
kecenderungannya akan menjadi penyakit kronis dan mematikan. Misal pada bayi
dan anak-anak, 80-90% yang terinfeksi tahun pertama ke kehidupan cenderung
menjadi kronik. Sementara, anak yang berumur kurang dari 6 tahun 30-50%
cenderung menjadi kronik.
Untuk orang dewasa, apabila penyakit yang semestinya harus mendapatkan perlindungan atau diimunisasi
tetapi tidak, maka kurang dari 5%
dewasa sehat, jika terkena infeksi akan menjadi kronik. 20%-30% dari hepatitis
kronik cenderung menjadi sirosis atau kanker hati. Semakin kecil umur terkena infeksi, semakin
besar kecenderungan menjadi kronis.
Sementara itu, lebih lanjut Prof Cissy menyampaikan apabila terjadi pada
masa transmisi neonatal, 70%-90% dari Ibu HbsAg dan HbeAg positif, 20% apabila
ibu HbsAg positif. Dari sini bayi tertular saat dilahirkan (penularan secara
vertikal) dan 90% menjadi menahun akibatnya terjadi sirosis hepatis berujung
pada kanker hati.
Menkes dalam Pencanangan Nasional Introduksi Vaksin Polio Suntik Gianyar Bali [Foto: Dok. http://sehatnegeriku.kemkes.go.id/search/imunisasi/] |
Bagaimana dengan TB? Secara global pada tahun 2013 19%-43.5% penduduk dunia
terinfeksi M. tuberculosis. Kasus TB baru lebih dari 9 juta per tahun. Insidens
SEA 35%, Afrika 30%, Western Pacific 20%. Pada anak, kasus baru ada 5 ratus
ribu per tahun dan 80 ribu meninggal dunia.
Berdasarkan data Riskedas 2013, prevalens TB tahun 2007 & 2013 tidak
jauh berbeda (0,4%). Provinsi tertinggi yang tekena TB dialami oleh Jabar
(0.7%); Papua (0.6%), DKI Jakarta (0.6%), Gorontalo (0.5%), Banten (0.4%),
Papua Barat (0.4%).
Bagaimana dengan Difteri? Difteri merupakan penyakit yang sangat menular
disebabkan oleh Corynebacterium
diptheriae. Sumber infeksi hanya manusia yang ditularkan melalui
aspirasi pernapasan, yaitu penyakit pernapasan bagian atas. Angka kematian tertinggi di usia muda dan lansia.
Pun dengan pertusis. Penyakit ini sangat menular. Secara etiologi berasal
dari Bordetella pertussis. Hati-hati ketika kita mendekati pasien ini, dapat
terjadi penularan ketika pasien sedang batuk-batuk. Insidensinya akan meningkat
pada bayi usia muda (pra vaksinasi). Beban ppenyakit global ini sekitar 136.372
kasus versus estimasi 17,6 juta pada 2003 dan 152.535 kasus pada tahun 2007 dan
penyakit-penyakit lainnya yang memang
perlu imunisasi.
Jumpa Pers Menkes tentang Vaksin Palsu Lobby Blok A Gedung Adhyatma Kemenkes [Foto: Dok http://sehatnegeriku.kemkes.go.id/search/imunisasi/] |
Banyak pula orang tua yang kadang tidak ingin anak-anaknya diimunisasi.
Menurut Riskesdas 2013, alasan utama anak tidak diimunisasi karena takut panas,
keluarga tidak mengizinkan, tempat imunisasi jauh, sibuk/repot, sering sakit,
dan tidak tahu tempat imunisasi.
Sebenarnya tidak perlu dikhawatirkan, demam setelah imunisasi merupakan
reaksi normal yang akan hilang dalam waktu 2-3 hari. Kejadian ikutan paska
imunisasi yang serius sangat jarang terjadi.
Fakta Imunisasi
Imunisasi mencegah penyakit, kecacatan, dan kematian dari penyakit yang
dapat dicegah dengan imunisasi, termasuk TB, hepatitis B, difteri, pertusis
(whooping cough, batuk rejan), tetanus, polio, campak, pneumonia, gondongan,
diare akibat rotavirus, rubella, dan kanker serviks.
Diperkirakan imunisasi sekarang dapat mencegah 2 hingga 3 juta kematian
setiap tahunnya. Tambahan 1.5 juta kematian dapat dicegah jika cakupan
imunisasi global meningkat. Selama 2016, diperkirakan 116,5 juta (lebih kurang
85%) anak-anak di bawah usia 1 tahun di seluruh dunia menerima 3 dosis vaksin difteri-tetanus-pertusis (DTP3). Anak-anak tersebut terlindung dari penyakit menular yang menyebabkan penyakit serius atau
kecacatan akibatnya fatal.
Sekitar 19.5 juta bayi di dunia tidak mendapatkan imunisasi dasar bahkan
melewatkannya. 60% anak-anak itu tinggal di 10 negara seperti Angola, Brazil,
Kongo, Ethiopia, India, Indonesia, Irak, Nigeria, Pakistan, dan Afrika Selatan.
Cakupan imunisasi global sudah stagnan di 86% tanpa ada perubahan
signifikan selama beberapa tahun terakhir. Ada peningkatan penggunaan vaksin
baru dan vaksin yang kurang dimanfaatkan.
Vaksin yang diberikan kepada anak-anak merupakan produk yang menghasilkan
kekebalan terhadap penyakit dan dapat diberikan melalui suntikan, melalui kulit
atau diberikan melalui mulut juga dengan penyemprotan.
Sementara, vaksinasi sebagai tindakan penyuntikan organisme yang mati atau
dilemahkan selanjutnya akan menghasilkan kekebalan tubuh terhadap organisme
tersebut.
Menurut Dr. dr. Hindra Irawan Satari, Sp.A(K), M.TropPaed, bahwa imunisasi
itu aman untuk anak-anak dan efektif. Karena proses produksi vaksin melalui
riset panjang menggunakan standar good clinical practice serta berdasarkan etik
yang ketat.
“Mesti telah dilisensi, vaksin tetap berada dalam pantauan pemerintah
maupun badan independen yang berkompeten,” jelasnya.
Kita juga mesti hati-hati dan waspada terhadap berita hoax yang
mengatasnamakan vaksin. Ada kelompok yang antivaksin yang seringkali
melebih-lebihkan risiko imunisasi tanpa bukti ilmiah.
“Mereka menggambarkan bahwa vaksin itu tidak efektif padahal risiko tersebar
muncul (wabah) apabila anak tidak divaksinasi,” terang Dokter Hindra.
“Di sisi lain, banyak keluarga yang ragu-ragu untuk mengimunisasi anaknya. Keragu-raguan
itu muncul karena adanya isi Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI). Adanya isu
halal-haram vaksin yang diberikan. Bahkan ada yang berpikir bahwa kandungan zat
yang ada di dalam vaksin berbahaya,” ucap Dr Piprim B. Yanuarso, Sp.A(K).
Dokter Piprim B. Yanuarso, Sp.A(K) [Foto: Dok mommiesdaily.com] |
Padahal kenyataannya tidak demikian. Tidak dianjurkan ketika anak dalam
kondisi kurang sehat untuk diimunisasi, seperti batuk, deman, atau pilek.
Apakah vaksinasi itu haram? Menurut Dr.
H.M. Asrorun Ni’Am Sholeh, MA, bahwa
vaksin harus aman dan sesuai norma agama. Bahan imunisasi harus aman dan sesuai
norma agama. Pasal 153 “pemerintah menjamin ketersediaan bahan imunisasi yang
aman, bermutu, efektif, terjangkau, dan merata bagi masyarakat untuk upaya
pengendalian penyakit menular melalui imunisasi. Pasal 2 UU kesehatan
menegaskan salah satu asas pembangunan kesehatan harus memperhatikan dan menghormati
agama yang dianut masyarakat.
Fatwa MUI No. 4 tahun 2016 poin No. 5 program imunisasi hukumnya wajib.
Disebutkan dalam hal jika seseorang tidak diimunisasi akan menyebabkan
kematian, penyakit berat, atau kecacatan permanen yang mengancam jiwa,
berdasarkan pertimbangan ahli yang kompeten dan dipercaya, maka imunisasi
hukumnya wajib.
“Imunisasi pada dasarnya dibolehkan (mubah) sebagai bentuk ikhtiar untuk
mewujudkan kekebalan tubuh (imunitas) dan mencegah terjadinya penyakit
tertentu. Vaksin untuk imunisasi wajib menggunakan vaksin yang halal dan suci. Penggunaan
vaksin imunisasi yang berbahan haram dan atau najis, hukumnya haram. Imunisasi
dengan vaksin yang haram dan atau najis, tidak dibolehkan, kecuali digunakan
pada kondisi al-dlarurat atau ah-hajat; belum ditemukan bahan vaksin yang halal
dan suci; dan adanya keterangan tenaga medis yang kompeten dan dipercaya bahwa
tidak ada vaksin yang halal,” pungkas Arorun Ni’am.
Jadi, jelas kan sekarang bahwa
imunisasi tidak bertentangan dengan agama selama bahan-bahan yang dikandungnya
tidak berasal dari bahan yang diharamkan dalam syariat Islam. Pencegahan melalui imunisasi artinya mencegah generasi masa depan bangsa dari beragam penyakit.