Monday, January 15, 2018

Liburan Terindah Itu Ada Di Sini



Salah satu kios tobuk di Senen [Foto: Dok http://4.bp.blogspot.com]

“Banyak jalan menuju Roma”, pepatah ini sering sekali saya dengar. Kalimat berarti yang mengisyaratkan, mau ke mana saja dan mau ngapain saja kalau memang diniatkan banyak caranya. Tak perlu banyak bicara tapi buktikan dengan tindakan nyata.

Pun di sekolah, cari informasi, pengetahuan, dan beragam keterampilan bisa datang dari mana saja. Asalkan punya kemauan untuk mencari. Ilmu dan pengetahuan itu memang mesti dicari dan dipelajari. Belajar bisa dari mana saja,termasuk saya. 

Masih lekat dalam ingatan saya, bapak setiap pulang kerja selalu bawa buku dan majalah. Saya juga selalu tanya, bapak dapat dari mana. Bapak bawakan buku dan majalah rata-rata  bekas dibaca orang alias buku dan majalah bekas dibeli bapak. Tapi terlihat masih baru dan jelas huruf-hurufnya. 

Bapak melakukan hal itu semata-mata agar anak-anaknya bertambah wawasan. Benar pula yang diucapkan bapak ketika memberikan buku dan majalah bekas itu kepada kami anak-anaknya, “Buku itu jendela dunia, gudangnya ilmu, perbanyaklah baca agar wawasan dan pengetahuan kalian bertambah,” begitu  ucap bapak. 

Anak-anak bukannya menolak, justru buku dan majalah bekas itu jadi rebutan. Kadang ya mesti ganti-gantian bacanya. Bergiliran selama satu minggu dikasih waktu untuk menyelesaikan satu buku dan satu majalah. Majalah justru lebih cepat dibaca oleh kami. Kalau buku dengan tebal sekitar 80 halaman atau 100, tetap dikasih jatah waktu satu minggu atau telat-telatnya baca 10 hari. 

Bapak itu bukan tanpa alasan beli majalah dan buku bekas, selain hemat dan irit duit (bukan pelit), bapak juga punya program sendiri ternyata. Anak-anaknya digiatkan sejak dini untuk rajin baca. Minimal, satu bulan bisa menyelesaikan 2-3 buku dengan tebal 80-100 halaman. Jadi, minimal dalam satu tahun anak-anaknya bisa melahap 36-40 buku. 

Nah, begitu pun saat saya hijrah ke Jakarta. Kalau saya mesti beli buku baru,  otomatis duit bulanan kekuras. Tapi, ya ga kehabisan akal juga. Dikit-dikit saya tabungin menjelang 2 bulan ke depan untuk beli buku.

Kalau pun tidak terbeli, masih bisa pinjam sama teman. Karena terbatasnya duit kiriman tapi perlu vitamin bacaan yang bisa segera dilahap, larilah saya ke proyek Senen (PS). Ternyata eh ternyata, di PS ini banyak banget buku yang sudah langka kalau kita pinter nyari-nyarinya.

Ya, PS menjadi salah satu tempat favorit saya cari buku dan majalah bekas selama tinggal di Jakarta. Kalau sudah di PS, bisa seharian penuh saya ngubek-ngubek. Pulang-pulang ke kost, tentengan banyak. Selain cari buku yang menunjang perkuliahan saya, juga cari majalah dan novel kesukaan saya dari penulis John Grisham dan Sidney Sheldon.
 
Obral buku dan majalah bekas dengan harga termurah [Foto: Dok http://cdn-2.tstatic.net/tribunnews/]
Di PS ini, asal pinter-pinter nawar, bisa dapat banyak buku. Selain tempatnya mudah dijangkau, duit bisa irit banget. Jadi, beli banyak buku, duit masih sisa. Di sekitar PS ini juga banyak tempat makan yang murah meriah. Jadi, jangan takut kelaparan juga sehabis belanja buku. Sampai sekarang pun saya masih suka ke PS ini, meski sudah mulai digusur perlahan-lahan, penjual buku masih tetap ada dan bertahan.

Secara tak sengaja, ketika saya kerja di kawasan Jakarta Selatan, tepatnya di sekitar Blok M, saat jam makan siang, iseng-iseng menyusuri lantai bawah salah satu pusat perbelanjaannya. Mata saya tertuju pada satu tempat yang banyak tumpukan buku dan majalah.

Mencoba mendekat, ternyata di tempat itu merupakan area untuk penjualan buku-buku dan majalah bekas. Sempat juga saya buat perbandingan harga, harga buku bekas di Blok M dan PS sedikit lebih mahal. Bisa jadi karena wilayah/kawasan. Sempat juga tanya-tanya ke pedagangnya, mereka sewa tempat sebulan sekitar 2,5—3 juta. “Oh, pantas harga bukunya sedikit lebih mahal di banding PS,” pikirnya saya. 

Tapi tetap, PS masih menjadi tempat favorit saya cari buku dan majalah bekas kalau di Jakarta. Nah, begitu saya pulang ke Bandung, tempat favorit saya cari buku bekas dan memang sudah terkenal, ya di Palasari. Palasari tak jauh dari rumah, sekitar 20 menit.

Buku-buku di Palasari pun tak kalah jauh dengan buku-buku yang ada di PS. Mau buku baru atau bekas, semua ada. Di Palasari juga luas hingga ke belakang dekat pasar Palasari sendiri. Teteeep… di Palasari banyak yang jual makanan, hahaha… apalagi di pojok jalan yang tak jauh dari pasar kembangnya, ada tempat makan lontong padang favorit saya.

Jadi, buku dan majalah bekas ini memberi ruang gerak saya untuk menambah bekal. Selain itu seiring sejalan dengan kecintaan saya mengulik kuliner. Nah, buku-buku tentang kuliner, masakan luar, dan masakan Indonesia banyak banget ragamnya. Di Palasari dan PS itulah jadi tempat favorit saya belanja buku dan majalah bekas.

Banyak hal yang bisa saya ambil dan pelajari dari tempat-tempat ini. Di PS, jarang pedagang buku dan majalah bekas yang  bisa sapa senyum ramah, salam atau apalah namanya. Pun tidak ada pelatihan yang mereka terima untuk menyambut tamu ( = pembeli). Gerakan mereka pun tak dibuat-buat untuk membuat saya merasa nyaman bersama buku dan majalah bekasnya.

Terkadang, antara satu pedagang dengan pedagang lainnya terlihat obrolan seru jika tak ada pembeli. Pun jika datang pembeli, tak ada kata “rebutan” untuk menawarkan buku. Ya, di PS bukan kios jajan di Simpang Lima Semarang, begitu masuk tawar menawar menu dan harga terjadi. Di PS dan Palasari penjual seakan tak peduli, apakah calon pembeli hanya sekadar berkunjung saja, bahkan tidak membeli tak jadi soal.

Terkadang pun saya hanya iseng main. Main ke PS dan Palasari saja sudah kenyang dan menyenangkan jiwa. Ya, siapapun bebas mengenyahkan waktunya di tempat ini, mau membaca, melihat-lihat, atau sekadar nongkrong. Begitu mudahnya saya diterima di tempat-tempat seperti PS dan Palasari. 
 
salah satu kios Tobuk Palasari, Bandung [Foto: Dok http://infobandung.co.id]

Benar adanya ternyata, liburan tak harus pergi ke Bali, Yogya, Papua, bahkan ke Singapura. Ketika saya menemukan kenyamanan rasa dan betah berlama-lama, di situlah saya merasakan liburan paling indah, di Kios Buku dan Majalah bekas PS dan Palasari. Inilah surga liburan saya di Bandung dan Jakarta.

Satu Bungkus Penuh Arti

 
Keripik pisang ini sebagai camilan istimewa untuk bapak [Foto: Dok https://i0.wp.com/ramesia.com]
For me, it’s memories not stuff. It’s people not money. It’s presence not striving. It's remembering what I have to give is small but valuable. And so I must choose to spend it well.



Kalau mendengar kalimat-kalimat yang diucapkan Bapak dan almarhumah ibu saya, ya sebagai anak, hingga seperti sekarang ini, peran tak terbayarkan dari keduanyalah yang menglingkupi. Banyak petuah yang memang benar adanya. Tapi, terkadang, kalimat bertuah dari mereka berdua seolah dianggap angin lalu. Pas terjadi sesuatu baru tersadar. Yah, anak-anaknya beragam pola dan tingkah. 

Boleh saya bilang, beban kedua orang tua kita itu sudah sangat banyak. Memang,  namanya tanggung jawab keduanya tak bisa dilepaskan begitu saja. Tanggung jawab mereka tak main-main, dunia dan akhirat. Bagaimana keduanya memperlakukan anak-anaknya, akan menjadi catatan besar di Padang Mahsyar. Tak bisa dielakkan.

Beberapa tahun lalu, saat merantau menginjakkan kaki di tanah Jawa ini, yang paling bercucur air mata itu ibu saya. Rasanya berat beliau melepas kepergian anaknya. Bagaimana tidak, sejak dari dalam kandungan, lahir, hingga usia-usia “bandel” sama orang tua terus. Ikatan emosional ibu dengan anak-anaknya begitu lekat.

Tetapi, saya merantau untuk satu hal. Mengejar cita-cita (bukan Cita Citata… ) yang bisa mengubah kehidupan, minimal untuk diri sendiri kalau belum bisa untuk keluarga. Dari Kampung ke Kota bekalnya cuma wejangan orang tua (ya, ada sih bekal lainnya). Duh, itu ibu air matanya berlinang terus kalau saya ingat-ingat.

Kalau Bapak ya tenang-tenang saja. Tetapi kalau saya perhatikan secara saksama, memang beda banget cara Bapak dan Ibu memperlakukan anak-anaknya. Akan tetapi, tujuannya sama, kasih sayang mereka tumpahkan untuk anak-anak tercinta dan tersayangnya, kok. Ibu itu kalau saya telpon dari yang tadinya cerah ceria, perlahan-lahan merendahkan suara, eeh tiba-tiba ngembes (Jawa = nangis) begitu  nanya soal makan saya.

Naah kan, saya yang jadi anak ya berusaha menenangkan saja. Tidak pula ikut-ikutan  ngembes. Ibu itu pula yang kalau lagi makan, pas ingat saya di perantauan, malah ga jadi makan. Lhaa… saya justru yang khawatir. Jangan sampai ibu jatuh sakit gara-gara mikirin cara makan saya di perantauan.

Hal-hal seperti ini tidak bisa ibu lepaskan, hingga saya selesai menempuh pendidikan. Beda dengan bapak. Bapak itu, kalau saya telepon, ngobrol panjang lebar. Saya terkadang jadi pembicara yang baik dan sebaliknya bapak. Bertukar pikiran melalui obrolan panjang di telepon. Bapak memberi dukungan untuk saya menyelesaikan kuliah dengan baik dan benar, ga harus cum laude. 

Ya, janji saya yang sudah saya tancapkan dalam-dalam  di lubuk hati paling dalam. “Saya mesti kelar kuliah sebelum bapak pensiun, gaji bapak biar bisa dipakai lagi buat sekolah adik-adik saya.” Saat saya kuliah, adik-adik saya dua orang juga masih sekolah, masing-masing kita perlu biaya yang tak sedikit.

Selama kuliah saya mesti putar otak, bagaimana caranya biar beban bapak tak terlalu berat. Uang kiriman juga tak mesti menunggu tiap bulan datang. Saya pikirkan hal ini, ketika masuk semester dua. Mestinya ya, saya senang-senang kuliah, dapat bea siswa ayah bunda, tapiii… tidak! Saya tidak bisa seperti itu. Justru bagaimana cara saya meringankan beban orang tua. Kuliah tak bergantung lagi biaya kiriman bapak. Harapan-harapan yang terus menggelayut dan jadi kenyataan. Semester-semestar empat ke atas, saya sudah jarang-jarang minta duit ke ortu. 

Sembari kuliah, ngajar di beberapa tempat plus ikut proyek. Alhamdulillah, kost bisa bayar sendiri, uang makn pun demikian. Ah iya, sempat ngajuin beasiswa pula. Alhamdulillah, dapet juga beasiswanya. Permintaan kepada Sang Khalik yang tak muluk-muluk dijawab satu per satu. Beli baju pun tak minta duit lagi dari ortu. 

Satu kesempatan yang tak dilewatkan itu, ketika menerima tawaran untuk menyunting salah satu buku pelajaran di salah satu penerbit. Dan uang yang diterima dari kerjaan editor itu, hmm… bisa buat biaya skripsi. Uang dari ikut kerja proyek dosen apalagi, bisa ngirim ke ortu dan menerbangkan mereka ke Jakarta.  

Alhasil, setelah selesai proses belajar saya di Depok, saya diterima kerja di salah satu Lembaga Swadaya Masyarakat di Kabupaten Sarolangun Bangko- Jambi, pada 1999. Dari Jambi ke Bangko itu ditempuh dalam waktu 5 jam perjalanan darat. Lumayan, jalannya berkelok dan sisi kiri kanan masih penuh dengan lebatnya hutan. Namanya, Sumatera ya. Karena saya lahir dan besar di Sumatera (Jambi), jadi sudah tak asing kalau melihat babi hutan melintas, ular kelindes, monyet nongkrong di jalan, juga tupai-tupai liar berkeliaran. Berhenti sejenak menikmati indahnya Kantung Semar di perjalanan.  

Di Bangko ini terkenal dan menjadi sentra pembuatan keripik pisang. Pisangnya besar dan panjang. Keripiknya juga lembut dan gurih. Variannya juga banyak, antara lain ada keripik pisang susu cokelat, original, juga keju. Teman setia teh pagi saya biasanya keripik pisang susu cokelat dan original. Entah kenapa, keripik pisang ini menjadi magnet yang paling kuat untuk terus saya coba dan ada di meja kerja.

Selama tinggal di Bangko, camilan satu ini tak pernah lepas sebagai penganan favorit saya. Ini bukan berarti tidak ada camilan lain yang diproduksi. Tetap, keripik pisang ini jadi jawara di lidah saya, kala itu.

Dari sejak merantau di Jakarta, kalau pulang ke rumah ortu di Jambi, ada saja yang saya bawa. Orang tua sih tak pernah minta saya bawa ini itu. Beliau justru berucap, “Kamu pulang dengan sehat dan selamat, bapak & ibu sudah sangat bersyukur alhamdulillah.” Begitunya orang tua saya kepada anak-anaknya. 

Di situlah saya melihat keikhlasan dan pengorbanan mereka yang tak pamrih. Anaknya pulang bukan main girang. Tak terbersit pula mereka mau minta ini itu pada saya. Malah sempat saya kasih uang hasil kerja waktu itu ditolak secara halus, “Simpan saja, suatu saat nanti kamu perlu, bapak & ibu masih ada.” Waduh!!! Saya sempat menduga-duga juga, kenapa bapak sama ibu malah menolak halus gini ya dikasih uang, apa memang benar-benar masih ada  atau hanya berpura-pura ada. 

Ya, jadinya mikir juga. Bapak sama ibu ga mau dikasih uang dari hasil kerja saya sendiri dan itu penuh perjuangan.Tiba-tiba saya jadi ingat. Bapak itu kalau pulang kerja, biasanya istirahat sebentar, lantas makan siang. Makan siangnya bapak pukul 4 sore, kebayang kan makan malamnya pukul berapa? Pukul 10 malam. Tetapi badannya tidak melar atau mengidap penyakit tertentu. Jauh dari kata gemuk dan sakit.
 
Nah, bapak itu  suka kletikan (Jawa = camillan). Favoritnya itu keripik pisang asin. Pada satu kesempatan, saya memang tak membeli banyak untuk persediaan camilan kerja saya, di laci meja kerja saya masih tersimpan satu bungkus utuh. Saya bawa pulang ke rumah, iseng-iseng sih. Saya berangkat dari Bangko pulang ke Jambi puku 4 sore, sampai di rumah tepat pukul 9 malam. 

Bapak lagi ngopi, ya cuma kopi saya lihat. Teringat saya bawa satu bungkus keripik pisang, tanpa ba-bi-bu, saya taruh di atas mejanya ketika bapak sedang ke belakang. Masuklah saya ke kamar, kamar saya dan ruang tempat bapak ngopi itu tak terlalu jauh, tapi saya masih bisa ngintip beliau dari  dalam kamar dengan jelas.

Beliau perhatikan lama banget itu keripik pisang. Saya juga tidak tahu dalam benaknya, apa yang terlintas. Beliau masih saja memperhatikan keripik pisang itu hampir 30 menit lamanya. Saya melihat jelas dari balik kamar raut wajahnya yang bengong. Tetiba, saya keluar, saya perhatikan mata bapak itu berair. Ada tanya yang ingin saya ucapkan tapi tertahan. Saya paham. Satu bungkus keripik pisang itu membuat mata beliau berair dan merasakan pengorbanan saya. Mungkin “demi…”.

Terima kasih bapak, sudah memberi begitu banyak ruang kepada saya untuk terus berbakti tanpa henti. Keripik pisang itu akan tetap renyah dan gurih untuk terus bapak nikmati. 

Di usia senja bapak, beliau terbaring lemah. Bahunya dulu memang kekar, kuat, dan kokoh, kini pasrah dalam ketakberdayaan. Semoga bapak tabah dan ikhlas menjalani hidup hingga ajal menjemput. Sehat pak! 

Nasib ((Tak) Beraturan Perfilman Negeri Ini






Siapa sih yang tak suka nonton film, boleh ngacung. Siapa pula yang kalau disuguhi film-film kesukaannya mampu bertahan  di depan TV atau gawainya berjam-jam. Ya, film memang sudah menjadi salah satu hiburan yang murah meriah dan paling banyak diminati.

Film bukan barang langka di negeri ini. Pernah sih ya digadang-gadang kalau di negeri ini paling banyak beredar justru film luar negeri. Ke mana film produksi negeri sendiri? Hal ini pernah jadi pertanyaan besar pula para penikmat film dalam negeri. 

Sineas film dalam negeri tak tinggal diam dengan banyaknya berita yang  beredar. Merasa terpanggil dan tertantang untuk mewujudkan berita yang seakan film  Indonesia mati. Tidak! Kalau boleh dibilang, saat itu film dalam negeri mas dormansi. Tetap bergerak, tetapi bisa jadi buat kejutan mungkin.
Banyak sineas-sineas profesional dan berbakat di negeri ini hadir. Semua memberikan kontribusi terbesar untuk kemajuan film dalam negeri. Peran besar sineas Indonesia untuk kemajuan budaya yang satu ini tak bisa dielakan. 

Sineas-sineas siang malam bekerja berusaha mewujudkan hiburan yang bisa dinikmati banyak orang. Dukungan dari berbagi pihak pun sudah semestinya dilayangkan, dalam hal ini yang paling utama pemerintah. Ya, undang-undang tentang perfilman yang sudah ditelurkan sudah semestinya dilaksanakan, tetapi?

Dari Undang-Undang No 8 tahun 1992 hingga Undang-Undang No.33 Tahun 2009, undang-undang perfilman negeri ini seperti kacau balau tak dilaksanakan. Bagaimana tidak, UU ini sebenarnya sudah masuk ke dalam program legislatif nasional, tetapi justru banyak benturan dan tidak berjalan.
Kedudukan lembaga dibuat samar. Pendanaannya sulit. Termasuk kepada perlindungan insan film Indonesia. Banyak pahit getir yang dialami insan film karena UU yang tidak dilaksanakan. 

Kewajiban pemerintah untuk mengakomodir UU ini tidak berjalan sebagaimana mestinya. Juga termasuk menerbitkan PP maupun Kepmen yang menjadi turunannya. 

Apa akibatnya? Otomatis, semua regulasi peraturan perfilman menjadi kacau balau. Kita bisa melihat, film-film dalam negeri seperti  dianaktirikan alias diperlakukan tidak adil. 

Kalau film negeri ini katanya didengung-dengungkan, sepertinya hanya sebagai “senang-senang belaka”. Digadang-gadang, film Indonesia sedang maju-majunya, dari sisi mana?

Kalau mau melihat kenyataan yang sebenarnya terjadi, lebih dari setengah perfilman negeri ini tidak memiliki kesempatan untuk mengoleksi penonton yang bisa memadai. Kalau mau dilihat lebih jauh lagi, film-film yang diproduksi justru jarang dipertontonkan di bioskop. karena beberapa pemangku kepentingan yang punya kepentingan.

Hal-hal inilah yang diangkat ketika Sarasehan Peran Serta Masyarakat Perfilman yang berlangsung di Gedung Pusat Perfilman H. Umar Ismail pada Selasa (9/1/2018) Kuningan beberapa waktu lalu. Banyak pemerhati film hadir, termasuk Mas Akhlis Suryapati juga wartawan paling senior sekaligus kritikus film ternama Wina Armada dan Pak Dadang Rusdiana selaku anggota Komisi X DPR-RI.

Insan Perfilman dalam Sarasehan Peran Serta Masyarakat Perfilma di Perfiki [Foto: Dok Pri]
Bang Akhlis mengatakan, “Ketika terjadi silang-sengkarut pendapat dan tindakan yang merugikan film Indonesia, maka kita menempatkan hukum atau peraturan menjadi acuan untuk mengkritisi semua itu. Sarasehan ini digagas oleh masyarakat perfilman dengan mengajak wartawan film untuk mengkritisis kondisi perfilman yang sebenarnya, tanpa harus ada kecurigaan-kecurigaan, apalagi kebencian, terhadap pihak-pihak tertentu. Insan film terlalu capek untuk diadu-domba dan terpecah-pecah.”

Dalam paparannya juga Bang Wina Armada menyampaikan, pemerintah telah melakukan pelanggaran atau tidak memenuhi kewajibannya dalam penyelenggaraan perfilman.

“Ini bukan pendapat saya, melainkan sesuai undanga-undang, yaitu UU No. 33 tahun 2009 tentang Perfilman,” ucapnya.

Kalau dilihat, wajar insan perfilman mempertanyakan hal ini. Dari raut-raut wajah mereka terlihat ada kekecewaan yang  menghinggap. Mengapa pemerintah lamban bahkan tak bereaksi terhadap UU No. 33 Tahun 2009 ini.

Sebagaimana dikatakan Bang Wina dan menurut UU, ““Di Undang-undang ini sangat jelas disebut apa yang harus dilakukan pemerintah, bahkan sangat jelas disebutkan batas waktunya, yaitu satu tahun setelah diundangkan harus menerbitkan Peraturan Pemerintah dan Keputusan Menteri. Namun sampai delapan tahun berjalan kewajiban itu tidak dipenuhi. Ada apa ini? Sejak empat atau lima tahun yang lalu, jika ditanya jawabannya selalu sudah dibahas, dipersiapkan, sudah di meja menteri, tinggal ditandatangi, dan sebagainya.”

Apa yang dikatakan Bang Wina Armada ini sangat beralasan. Akibat dari tidak adanya peraturan turunan UU Perfilman tersebut, ketidakadilan terjadi, utamanya ketika penyelenggaraan usaha perfilman. Bukan kesan lagi, tetapi nyata terjadi, yang kuat menindas yang lemah.

Terjadi penindasan yang tak beralasan. Film negeri ini dibuat tak adil. Produser tak mengeluarkan suara meski film yang dibuat dan usaha film yang dijalani rugi miliaran rupiah. Ada rasa khawatir yang sangat mendalam insan-insan perfilman negeri ini karena semakin terhimpit dan tak ada kesempatan untuk terus berproduksi dan mengedarkan film yang dihasilkan.

Bang Evry Joe, selaku produser film, mau tidak mau mencurahkan segenap kegelisahan dan keresahan yang dialaminya.

Kami ini membuat film dengan uang miliaran rupiah, Pak. Lenyap begitu saja karena film kami tidak bisa beredar, atau bisa beredar tetapi hanya diberi jatah sepuluh atau lima layar. Bayangkan, ada 1.500 layar bioskop di Indonesia, dan film Indonesia hanya main di 10 atau 15 layar bioskop. Hanya film-film tertentu milik produser tertentu yang diberi jatah 40 layar sampai 70 layar di hari-hari awal pertunjukan. Kami ini seperti mengemis di negeri sendiri, Pak. Lalu di mana pelaksanaan undang-undang itu? Di mana payung hukum itu? Di mana komitmen pemerintah yang katanya ingin memajukan film Indonesia dan menjadikan film Indonesia tuan rumah di negara sendiri?”

Nah, apa lacur, Bang Evyr pun lanjut menyampaikan, “Di antara produser film Indonesia itu pun terjadi saling curiga, tidak kompak, bahkan menjalar pada insan-insan film, organisasi-organisasi perfilman tidak solid. Situasi dan kondisi film di negeri ini menjadi tak kondusif. Yang tak diuntungkan oleh hal-hal dan situasi seperti ini ikut-ikutan nyinyir terhadap yang tertindas.

Bang Rully Sofyan dari Asirevi pun menyampaikan bahwa UU Perfilman benar-benar terjegal karena kekuatan politik bisnis yang besar.

Dalam ucapannya beliau menyampaikan, “Ketika saya menjadi Pengurus Badan Perfilman Indonesia,  ikut mengawal dan membahas masalah ini, beberapa Peraturan Pemerintah bahkan sudah ditandatangani oleh Menteri Parekraf pada waktu itu. Perlu sekali lagi ditandatangani Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, karena UU Perfilman mengaturnya demikian. Eh, ternyata masuk-angin juga. Begitu pun DPR yang semula sempat bersemangat membentuk Panja, akhirnya masuk angin juga. Jadi UU Perfilman memang terjegal.”

Di kesempatan sarasehan itu hadir anggota Komisi X DPRI RI, Dadang  Rusdiana menyimak semua paparan dan “unek-unek” insan film, dan bertekad membawa aspirasi ini ke Komisi X DPRI RI. 

“Tentu saja kami perlu terus-menerus diingatkan dan didorong seperti ini, karena yang dibahas di DPR itu banyak sekali,” kata Dadang.

Peran masyarakat melalui media, termasuk media sosial, sangat membantu dalam mendorong DPR maupun pemerintah untuk menindaklanjuti proses-proses legislasi dan monitoring sesuai fungsi dan tugasnya,” lanjutnya.

Dadang Rusdiana punya pendapat sama, UU Perfilman yang ada sudah cukup bagus dan memadai. Kebetulan juga tahun ini tidak masuk dalam Program Legislasi Nasional di DPR-RI.
  
“Persoalannya memang pada implementasi dan tidak diterbitkannya peraturan-peraturan turunannya oleh Pemerintah,” kata Dadang lagi.

Kalau melihat di beberapa pasal-pasal UU No. 33 Tahhun 2009  ini ada beberapa pasal yang jelas-jelas tak dilaksanakan, seperti yang dicuatkan Bang Wina.

Contohnya pasal 20, tentang 60% film untuk porsi film dalam negeri, tetapi tidak  terjadi. Bahkan film-film barat justru mendominasi dan film dalam negeri nol pengunjung.

Pada pasal 26, praktik monopoli. Ya, sudah semestinya, film-film asing yang beredar di negeri ini tidak memonopoli peredaran film bangsa sendiri. Peraturan Pelaksana UU Perfilman itu mesti ada. Hal ini untuk menciptakan kepastian hukum.

Mencegah terjadinya perpecahan di lingkungan masyarakat perfilman itu sendiri. Kalau melihat kondisi saat ini, masyarakat perfilman mulai terpecah-pecah. Apakah iklim seperti ini sengaja diciptakan oleh pihak-pihak tertentu, sehingga peredaran dan produksi film sendiri tidak naik ke permukaan dan film-film asing bebas berkeliaran?
UU No. 33 Tahun 2009 ini sudah semestina melindungi dan mendukung pengembangan kebudayaan nasional, presiden sendiri pun sudah mengatakan. Tugas pemerintah pula memajukan perfilman nasional, akan tetapi, pemerintah tak menjalankan tugasnya. Nah, Pak Presiden mesti tahu dunia perfilman Indonesia itu seperti apa.

Film  itu sebagai sebagai budaya. Negara harus ikut berperan serta memajukan kebudayaan. Film sebagai saran pencerdasan bangsa. Film di era globalisasi sekarang ini dapat dijadikan sebagai alat penetrasi kebudayaan.
Oya, melihat juga jumlah penonton bioskop negeri ini, pemerintah mesti melaporkan ke publik jumlah penonton setiap tahunnya. Mesti dilihat komparasinya antara film Barat dan film negeri sendiri. Pemerintah waji pula membatasi film-film import ini. Semoga, penyelenggara negara semakin kritis menghadapi hal-hal demikian. Apalagi, masyarakat kita bukan lagi masyarakat yang terima jadi. Tetapi, perlu kejelasan dan penyertaan otentifikasi bukti tak sekadar janji. Ditunggu kerja pemerintah dan legislasi selanjutnya. Mau dibawa ke mana UU No. 33 Tahun 2009 ini?

Bersama Bang Gemi, Komunitas Masyarakat Pencinta Film [Foto: Dok Pri]