Salah satu kios tobuk di Senen [Foto: Dok http://4.bp.blogspot.com] |
“Banyak jalan
menuju Roma”, pepatah ini sering sekali saya dengar. Kalimat berarti yang
mengisyaratkan, mau ke mana saja dan mau ngapain saja kalau memang diniatkan
banyak caranya. Tak perlu banyak bicara tapi buktikan dengan tindakan nyata.
Pun di sekolah,
cari informasi, pengetahuan, dan beragam keterampilan bisa datang dari mana
saja. Asalkan punya kemauan untuk mencari. Ilmu dan pengetahuan itu memang
mesti dicari dan dipelajari. Belajar bisa dari mana saja,termasuk saya.
Masih lekat dalam
ingatan saya, bapak setiap pulang kerja selalu bawa buku dan majalah. Saya juga
selalu tanya, bapak dapat dari mana. Bapak bawakan buku dan majalah rata-rata bekas dibaca orang alias buku dan majalah
bekas dibeli bapak. Tapi terlihat masih baru dan jelas huruf-hurufnya.
Bapak melakukan
hal itu semata-mata agar anak-anaknya bertambah wawasan. Benar pula yang
diucapkan bapak ketika memberikan buku dan majalah bekas itu kepada kami
anak-anaknya, “Buku itu jendela dunia, gudangnya ilmu, perbanyaklah baca agar
wawasan dan pengetahuan kalian bertambah,” begitu ucap bapak.
Anak-anak
bukannya menolak, justru buku dan majalah bekas itu jadi rebutan. Kadang ya
mesti ganti-gantian bacanya. Bergiliran selama satu minggu dikasih waktu untuk
menyelesaikan satu buku dan satu majalah. Majalah justru lebih cepat dibaca
oleh kami. Kalau buku dengan tebal sekitar 80 halaman atau 100, tetap dikasih
jatah waktu satu minggu atau telat-telatnya baca 10 hari.
Bapak itu bukan
tanpa alasan beli majalah dan buku bekas, selain hemat dan irit duit (bukan
pelit), bapak juga punya program sendiri ternyata. Anak-anaknya digiatkan sejak
dini untuk rajin baca. Minimal, satu bulan bisa menyelesaikan 2-3 buku dengan
tebal 80-100 halaman. Jadi, minimal dalam satu tahun anak-anaknya bisa melahap
36-40 buku.
Nah, begitu pun
saat saya hijrah ke Jakarta. Kalau saya mesti beli buku baru, otomatis duit bulanan kekuras. Tapi, ya ga
kehabisan akal juga. Dikit-dikit saya tabungin menjelang 2 bulan ke depan untuk
beli buku.
Kalau pun tidak
terbeli, masih bisa pinjam sama teman. Karena terbatasnya duit kiriman tapi
perlu vitamin bacaan yang bisa segera dilahap, larilah saya ke proyek Senen
(PS). Ternyata eh ternyata, di PS ini banyak banget buku yang sudah langka
kalau kita pinter nyari-nyarinya.
Ya, PS menjadi
salah satu tempat favorit saya cari buku dan majalah bekas selama tinggal di
Jakarta. Kalau sudah di PS, bisa seharian penuh saya ngubek-ngubek. Pulang-pulang
ke kost, tentengan banyak. Selain cari buku yang menunjang perkuliahan saya,
juga cari majalah dan novel kesukaan saya dari penulis John Grisham dan Sidney
Sheldon.
Di PS ini, asal
pinter-pinter nawar, bisa dapat banyak buku. Selain tempatnya mudah dijangkau,
duit bisa irit banget. Jadi, beli banyak buku, duit masih sisa. Di sekitar PS
ini juga banyak tempat makan yang murah meriah. Jadi, jangan takut kelaparan
juga sehabis belanja buku. Sampai sekarang pun saya masih suka ke PS ini, meski
sudah mulai digusur perlahan-lahan, penjual buku masih tetap ada dan bertahan.
Secara tak
sengaja, ketika saya kerja di kawasan Jakarta Selatan, tepatnya di sekitar Blok
M, saat jam makan siang, iseng-iseng menyusuri lantai bawah salah satu pusat
perbelanjaannya. Mata saya tertuju pada satu tempat yang banyak tumpukan buku
dan majalah.
Mencoba mendekat,
ternyata di tempat itu merupakan area untuk penjualan buku-buku dan majalah
bekas. Sempat juga saya buat perbandingan harga, harga buku bekas di Blok M dan
PS sedikit lebih mahal. Bisa jadi karena wilayah/kawasan. Sempat juga
tanya-tanya ke pedagangnya, mereka sewa tempat sebulan sekitar 2,5—3 juta. “Oh,
pantas harga bukunya sedikit lebih mahal di banding PS,” pikirnya saya.
Tapi tetap, PS
masih menjadi tempat favorit saya cari buku dan majalah bekas kalau di Jakarta.
Nah, begitu saya pulang ke Bandung, tempat favorit saya cari buku bekas dan
memang sudah terkenal, ya di Palasari. Palasari tak jauh dari rumah, sekitar 20
menit.
Buku-buku di Palasari
pun tak kalah jauh dengan buku-buku yang ada di PS. Mau buku baru atau bekas,
semua ada. Di Palasari juga luas hingga ke belakang dekat pasar Palasari sendiri.
Teteeep… di Palasari banyak yang jual makanan, hahaha… apalagi di pojok jalan
yang tak jauh dari pasar kembangnya, ada tempat makan lontong padang favorit
saya.
Jadi, buku dan
majalah bekas ini memberi ruang gerak saya untuk menambah bekal. Selain itu
seiring sejalan dengan kecintaan saya mengulik kuliner. Nah, buku-buku tentang
kuliner, masakan luar, dan masakan Indonesia banyak banget ragamnya. Di
Palasari dan PS itulah jadi tempat favorit saya belanja buku dan majalah bekas.
Banyak hal yang
bisa saya ambil dan pelajari dari tempat-tempat ini. Di PS, jarang pedagang
buku dan majalah bekas yang bisa sapa
senyum ramah, salam atau apalah namanya. Pun tidak ada pelatihan yang mereka
terima untuk menyambut tamu ( = pembeli). Gerakan mereka pun tak dibuat-buat
untuk membuat saya merasa nyaman bersama buku dan majalah bekasnya.
Terkadang, antara
satu pedagang dengan pedagang lainnya terlihat obrolan seru jika tak ada
pembeli. Pun jika datang pembeli, tak ada kata “rebutan” untuk menawarkan buku.
Ya, di PS bukan kios jajan di Simpang Lima Semarang, begitu masuk tawar menawar
menu dan harga terjadi. Di PS dan Palasari penjual seakan tak peduli, apakah
calon pembeli hanya sekadar berkunjung saja, bahkan tidak membeli tak jadi
soal.
Terkadang pun
saya hanya iseng main. Main ke PS dan Palasari saja sudah kenyang dan
menyenangkan jiwa. Ya, siapapun bebas mengenyahkan waktunya di tempat ini, mau
membaca, melihat-lihat, atau sekadar nongkrong. Begitu mudahnya saya diterima
di tempat-tempat seperti PS dan Palasari.
Benar adanya
ternyata, liburan tak harus pergi ke Bali, Yogya, Papua, bahkan ke Singapura. Ketika
saya menemukan kenyamanan rasa dan betah berlama-lama, di situlah saya merasakan
liburan paling indah, di Kios Buku dan Majalah bekas PS dan Palasari. Inilah
surga liburan saya di Bandung dan Jakarta.