Tuesday, January 9, 2018

Jangan Biarkan Generasi Masa Depan Diserang, Cegah Stunting dari Sekarang


Anak-anak usia 8 tahun tetapi tingginya tidak seperti anak 8 tahun [Foto: Dok http://images.indianexpress.com]
Mungkin kita pernah  melihat anak-anak yang tinggi tubuhnya lebih pendek dari umur sebenarnya dan teman-teman sebayanya. Mungkin juga kita pernah melihat satu daerah atau wilayah yang kehidupan keluarganya jauh dari kata kaya. Anak-anak yang terlahir dengan tubuh lebih pendek dari usia sesungguhnya dan buruknya asupan gizi yang diperoleh untuk  mengakomodir pertumbuhannya, inilah yang dikenal dengan istilah Stunting. Dengan kalimat yang cukup mudah, bahwa stunting itu gizi buruk.

Memang, tak bisa dipungkiri, di beberapa wilayah Indonesia masih terdapat gizi buruk. Dikutip dari Tribunnews.com, pada 2016, Yogyakarta menempati peringkat pertama kasus gizi buruk sejumlah 299 kasus. Hal ini antara lain kesadaran masyarakat untuk hidup bersih masih rendah, kesulitan pemenuhan pangan, kepedulian masyarak sekitar juga kurang. Tak terpenuhinya unsur pembentukan energi dan protein, salah satunya bersumber dari ASI. Balita tidak mendapatkan asupan tersebut.

Menurut Riskesdas 2013, tercatat prevalensi stunting nasional mencapai 37,2%, meningkat dari 2010 (35,6%) dan 2017 (36,8%). Artinya, pertumbuhan maksimal di derita 8,9 juta anak Indonesia atau satu dari tiga anak Indonesia. Prevalensi stunting di Indonesia lebih tinggi dibanding negara Asia Tenggara lain, seperti Myanmar (35%), Vietnam (23%), dan Thailand (16%).

Stunting bisa terjadi ketika janin dalam kandungan dan terlihat ketika anak menginjak usia dua tahun. Jika hal ini terjadi pada anak usia dini, akan menyebabkan kematian bayi dan anak, penderita mudah sakit, dan punya postur tinggi tubuh tidak maksimal  ketika beranjak dewasa. Selain itu, kemampuan kognitifnya juga berkurang. Oleh karenanya, membuat kerugian ekonomi jangka panjang untuk negara.

Seperti yang dilaporkan MCA, bahwa di dunia, Indonesia berada di posisi kelima dengan kondisi anak stunting. Anak-anak di Indonesia dengan usia di bawah lima tahun sepertiganya tinggi badan mereka di bawah rata-rata.
 
Dr. Entos Zainal, Direktorat Kesehatan & Gizi Masyarakat BAPPENAS [Foto: Dok Pri]
Menurut Bapak Dr. Entos Zainal, Direktorat Keseahatan dan Gizi Masyarakat BAPPENAS,  pada Sarasehan Komunitas, Media, dan Blogger , Rabu (27/1/2018) bertempat di Ibis Arcadia, Jakarta, Wahid Hasyim, bahwa kunci untuk menciptaan anak cerdas itu ada pada gizi. Bagaimana peran keluarga, memberi asupan makanan bergizi pada calon anak dan anak-anaknya.

“Indonesia diusulkan masuk ke dalam negara yang memiliki rerata tinggi badan anak menurut umur, akan tetapi karena Indonesia pada 1997 mengalami krisis ekonomi dan gejolak dalam negeri,  usulan tersebut urung dilakukan,” lanjut Pak Entos.

Nah, stunting ini memang perlu perhatian khusus, terutama dari keluarga dan pemerintah. Ada  korelasi antara stunting dengan tingkat kemiskinan. Kemiskinan membawa dampak terhadap pemenuhan gizi keluarga. Bagaimana pemenuhan gizi keluarga menjadi terhambat karena faktor kemiskinan tersebut.

Parahnya kondisi ini juga karena asupan gizi anak-anak sama sekali kecil. Bahkan, balita hanya makan bubur nasi tanpa tambahan bahan pangan lain (lauk pauk). Sayur-mayur pun minim apalagi telur atau daging. Ironis memang, negara yang kaya dan terkenal sebagai negara agraris ini, penduduknya masih menderita stunting. 
Ini bagian yang sangat diperlukan untuk mencegah stunting [Foto: Dok http://sehatnegeriku.kemkes.go.id]
Kurangnya gizi dalam jangka panjang memberi efek buruk terhadap perkembangan seluruh organ tubuh anak-anak. Kurangnya pengetahuan orang tua si anak dan latar belakang pendidikan pun memberi kontribusi terhadap stunting. Stunting ini dapat terjadi ketika janin masih berada dalam kandungan dan memang, baru akan terlihat hasilnya saat anak-anak berusia dua tahun.

Joko Widodo pernah berkata, Jangan sampai ada lagi yang namanya gizi buruk. Memalukan kalau masih ada. Ini yang harus kita selesaikan. Ada 1 orang pun di sebuah daerah, 2 orang, ada 3 anak pun harus secepatnya diselesaikan. Apalagi lebih dari itu.”

Ada 178 juta anak di bawah umur 5 tahun di dunia menderita stunting. Stunting sebagai bentuk kekurangan gizi kronis. Secara fisik, balita stunting memiliki tinggi badan di bawah standar pertumbuhan anak normal. Untuk ukuran yang normal bagi anak usia 5 tahun, tinggi badannya adalah 110 cm. Anak-anak memiliki potensi pertumbuhan yang sama sampai usia lima tahun, terlepas dari di mana mereka dilahirkan. Faktanya, angka stunting Indonesia sebesar 37%. Hampir di seluruh Provinsi di Indonesia memiliki prevalensi stunting pada balita yang tinggi atau sangat tinggi.

Stunting ini membuat kita deg-degan, mengapa? Ya, itu karena dampak yang dihasilkan sangat begitu besar terhadap generasi masa depan bangsa ini. Bayangkan saja, jika stunting terus menerus mendera bangsa ini, diperkirakan 9 juta anak-anak bangsa akan kehilangan IQ-nya antara 10-15 poin, terhambat pula masuk sekolah, dan prestasi akademik yang jelek.  Lebi dikhawatirkan lagi, negara terancam kehilangan 11% potensi GDP. Miris, bukan?
 
Stunting menyebabkan beban ekonomi [Foto: Dok https://www.concernusa.org]
Oleh karenanya, pentingnya satu keluarga terutama ibu yang didukung oleh suami untuk menyehatkan 1.000 hari pertama kehidupan (1.000 HPK) untuk menghindari terjadinya kematian. Karena, stunting ini dapat memberi pengaruh besar dalam jangka pendek.

Jangka pendek karena stunting dapat berpengaruh pada perkembangan otak yang menyebabkan IQ seorang anak  rendah. Pertumbuhan massa tubuh dan komposisi badan dengan BBLR (BB < 2.500 gr; PB < 48 cm) yang juga berakibat pada kekebalan kapasitas kerja. Metabolisme glukosa, lipids, protein, hormon, reseptor, gen yang menyebabkan penyakit tidak menular seperti diabetes, jantung dan pembuluh darah, kanker, stroke, dan disabilias lansia. Semua ini dapat menjadi beban pembangunan (Modifikasi Short and long term effects of early nutrition (James et al 2000)

Di masa emas dan kritis seorang anak dalam pertumbuhan dan perkembangannya sangat perlu diketahui ketika seorang ibu hamil dan apa yang terjadi terhadap pertumbuhan janinnya. Pertumbuhan otak dimulai, di sini seorang ibu perlu gizi mikro dan protein untuk membangun tinggi badan potensial sang janin. Sementara, untuk membangun berat potensial janin, ibu perlu kalori.

Ketika bayi lahir, bayi yang tumbuh dan menjadi  kanak-kanak untuk mencapai tinggi dan berat badan optimal perlu gizi (makro dan mikro) secara seimbang. Hal itu diperoleh dari susu (menyusu ASI hingga 6 bulan kemudian diberikan M-PASI).

Simak video Wapres Jusuf Kalla, Bicara Pencegahan Stunting, Bicarakan Masa Depan Bangsa [Sumber: http://sehatnegeriku.kemkes.go.id on Youtube]



Gizi yang baik sangat berpengaruh terhadap perkembangan otak seorang anak.Pertumbuhan otak seorang anak ketika lahir 25% berat otak dewasa, di usia dua tahun 70% berat otak dewasa, di usia 5 tahun 90% berat otak dewasa, dan ketika seorang anak beranjak dewasa punya berat otak sekitar 1,4 kg. Hal seperti inilah yang perlu dijaga dan diperhatikan, jangan sampai perkembangan dan pertumbuhan otak anak terhambat karena gizi itu tadi.

Pemeritah pun konsen terhadap stunting . Hal ini didengungkan dari 10 pesan kesehatan yang disampaikan Presiden RI Jokowi. Berikut 10 pesan tersebut.

1.Kesehatan sangat fundamental
“dan juga di bidang kesehatan. Ini sangat basic sekali, sangat fundamental sekali untuk kita selesaikan.”

2.Gizi investasi bangsa
“jangan sampai ada lagi yang namanya gizi buruk. Tidak ada yang sepantasnya kekurangan gizi di negara berpendapatan menengah sekarang ini.”

3.Berantas penyakit menular
“penyakit yang masih kita lihat belakangan ini demam berdarah, TBC, harus diselesaikan.”

4.Utamakan pencegahan
“terutama Puskesmas, ini perlu saya ingatkan pada semua kepala dinas, arahkan mereka kepada gerakan pencegahan terhadap munculnya penyakit-penyakit.”

5.Gerakan hidup sehat
kita kembalikan lagi kepada pola hidup sehat masyarakat kita. Entah pada pola makan, entah pola olahraga, itu yang digerakkan.”

6.Sinergitas antarkementerian/lembaga
“enggak mungkin Kementerian Kesehatan bekerja sendiri tanpa didukung air bersih yang baik, sanitasi yang baik.”

7.Manajemen & anggaran pusat-daerah
“kalau anggaran itu ada kemudian kita tidak bisa menyelesaikan persoalan-persoalan di lapangan, pasti ada yang keliru.”

8.Hentikan Merokok
“jangan sampai ada uang dipakai untuk beli rokok dan tidak dipakai untuk menambah gizi anaknya.”

9.Pendekatan Keluarga
“tenaga kesehatan harus aktif mendatangi masyarakat. Jangan menunggu di Puskesmas, menunggu orang sakit, datangi mereka.”

10.Reformasi birokrasi
“kalau kita bekerja dan menghasilkan sesuatu, di dalam itu enggak kosong, karena memang kita bekerja dari dalam hati. Bukan bekerja rutinitas, bukan asal ada absen.”
 
Menuju masyarakat yang sadar stunting perlu usaha [Foto: Dok https://aws-dist.brta.in/]
Oleh karenanya, strategi percepatan perbaikan gizi masyarakat memang perlu dilakukan sesuai RPJMN 2015-2019. 

1.    Peningkatan surveilans gizi, termasuk pemantauan pertumbuhan
2.    Peningkatan akses & mutu paket pelayanan kesehatan & gizi, fokus utama pada 1.000 hari pertama kehidupan, remaja, calon pengantin, dan ibu hamil, termasuk pemberian makanan tambahan, terutama untuk keluarga kelompok di wilayah DTPK.
3.    Peningkatan promosi perilaku masyarakat, mengenal kesehatan, gizi, sanitasi, hygiene, dan pengasuhan.
4.    Peningkatan peran masyarakat dalam perbaikan gizi, terutama untuk ibu hamil, wanita usia subur, anak dan balita di daerah DTPK, termasuk melalui upaya kesehatan berbasis masyarakat dan pengembangan anak usia dini holistik integratif (posyandu dan pos PAUD).
5.    Penguatan  pelaksana dan pengawasan, khususnya untuk regulasi dan standar gizi
6.    Penguatan peran lintas sektor, dalam rangka intervensi sensitif dan spesifik yang didukung oleh peningkatan kapasitas pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota dalam pelaksanaan rencana aksi pangan dan gizi.

Beberapa wilayah di Indonesia telah melaporkan dan melakukan yang disebut Praktik Baik Intervensi Gizi Spesifik & Sensitif yang meliputi tujuh daerah, mulai dari Kab.Klaten (Jateng), Kab. Banggai (Sulteng), Kab. Sijunjung (Sumbar), Kab Brebes (Jateng), Kota Pasuruan (Jatim), Kab. Lombok Barat (NTB), dan Kab. Kulonprogo (DIY).

Begitu banyak tantangan dalam upaya menurunkan stunting di negeri ini. Perlunya komitmen dan dukungan yang terus berkelanjutan dari pimpinan tertinggi untuk memprioritaskan gizi. Adanya integrasi kegiatan intervensi sensitif terhadap perbaikan gizi. Pendekatan multisektoral yang bisa berlangsung efektif. Menerapkan pendekatan berbasis hasil dan melaksanakan pendidikan gizi berbasis perubahan perilaku. Berfungsinya program gizi berbasis masyarakat serta efektifnya monitoring sosial.

Penyebab Stunting di Indonesia

Penyebab stunting di Indonesia yang multidimensional, sebagai berikut.
Praktik pengasuhan yang tidak baik
o Kurang pengetahuan tentang kesehatan dan gizi sebelum dan pada masa kehamilan
o 55% dari anak usia 0-6 bulan tidak mendapatkan Air Susu Ibu (ASI) eksklusif (Susenas, 2015)
o 1 dari 3 anak usia 6-33 bulan tidak menemima Makanan Pendamping – ASI (MP-ASI) yang tepat (SDKI, 2012)
Kurangnya akses ke bahan makanan bergzi
o 1 dari 3 ibu hamil anemia
o bahan makanan mahal (komoditas makanan di Jakarta 94% lebih mahal dibanding dengan di New Delhi, India, serta buah dan sayuran di Indonesia lebih mahal dari di Singapura)
Terbatasnya layanan kesehatan termasuk layanan ANC, PNC, dan pembelajaran dini berkualitas
o 1 dari 3 anak usia 3-6 tahun tidak terdaftar di PAUD
o 2 dari 3 ibu hamil belum mengkonsumsi suplemen zat besi yang memadai
o menurunnya tingkat kehadiran anak di Posyandu (dari 79% di 2007 menjadi 64% di 2013)
o tidak mendapat akses yang memadai ke layanan imunisasi
kurangnya akses ke air bersih dan sanitasi
o 1 dari 5 rumah tangga masih BAB di ruang terbuka
o 1 dari 3 rumah tangga belum memiliki akses ke air minum bersih
Percepatan perbaikan gizi dalam berbagai komitmen nasional dan global:
• Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN 2015 – 2019)
• Rencana Kerja Pemerintah (RKP 2018)
• World Health Assembly (WHA 2025)
• Sustainable Development Goals (SDGs 2030)
• Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi (RAN-PG) 2015 – 2019)
• Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (GERMAS)
• Roadmap 2016 – 2020 Scaling Up Nutrition (SUN) Global
 
Banyak hal yang menyebabkan malnutri [Foto: Dok http://www.lampost.co]
Stunting bisa dicegah. Terpenting kerjasama keluarga dan masyarakat sekitar perlu dilakukan agar dapat ditekan. Tak luput pula peran pemerintah untuk menyelesaikan permasalahan ini.

1. Pemenuhan kebutuhan zat gizi bagi ibu hamil. Ibu hamil harus mendapatkan makanan yang cukup gizi, suplementasi zat gizi (tablet zat besi atau Fe), dan terpantau kesehatannya. Namun, kepatuhan ibu hamil untuk meminum tablet tambah darah hanya 33%. Padahal mereka harus minimal mengonsumsi 90 tablet selama kehamilan.
2. ASI eksklusif sampai umur 6 bulan dan setelah umur 6 bulan diberi makanan pendamping ASI (MPASI) yang cukup jumlah dan kualitasnya.
3. Memantau pertumbuhan balita di posyandu merupakan upaya yang sangat strategis untuk mendeteksi dini terjadinya gangguan pertumbuhan.
4. Meningkatkan akses terhadap air bersih dan fasilitas sanitasi, serta menjaga kebersihan lingkungan.

Jadi, stunting bisa dicegah asal peran serta keluarga dan pemerintah bisa bekerjasama.