Anak-anak usia 8 tahun tetapi tingginya tidak seperti anak 8 tahun [Foto: Dok http://images.indianexpress.com] |
Mungkin kita pernah
melihat anak-anak yang tinggi tubuhnya lebih pendek dari umur sebenarnya dan teman-teman sebayanya. Mungkin
juga kita pernah melihat satu daerah atau wilayah yang kehidupan keluarganya
jauh dari kata kaya. Anak-anak yang terlahir dengan tubuh lebih pendek dari
usia sesungguhnya dan buruknya asupan gizi yang diperoleh untuk mengakomodir pertumbuhannya, inilah yang
dikenal dengan istilah Stunting.
Dengan kalimat yang cukup mudah, bahwa stunting itu gizi buruk.
Memang, tak bisa dipungkiri, di beberapa wilayah
Indonesia masih terdapat gizi buruk. Dikutip dari Tribunnews.com, pada 2016,
Yogyakarta menempati peringkat pertama kasus gizi buruk sejumlah 299 kasus. Hal
ini antara lain kesadaran masyarakat untuk hidup bersih masih rendah, kesulitan
pemenuhan pangan, kepedulian masyarak sekitar juga kurang. Tak terpenuhinya
unsur pembentukan energi dan protein, salah satunya bersumber dari ASI. Balita
tidak mendapatkan asupan tersebut.
Menurut Riskesdas 2013, tercatat prevalensi stunting
nasional mencapai 37,2%, meningkat dari 2010 (35,6%) dan 2017 (36,8%). Artinya,
pertumbuhan maksimal di derita 8,9 juta anak Indonesia atau satu dari tiga anak
Indonesia. Prevalensi stunting di Indonesia lebih tinggi dibanding negara Asia
Tenggara lain, seperti Myanmar (35%), Vietnam (23%), dan Thailand (16%).
Stunting bisa terjadi ketika janin dalam kandungan dan
terlihat ketika anak menginjak usia dua tahun. Jika hal ini terjadi pada anak
usia dini, akan menyebabkan kematian bayi dan anak, penderita mudah sakit, dan
punya postur tinggi tubuh tidak maksimal
ketika beranjak dewasa. Selain itu, kemampuan kognitifnya juga
berkurang. Oleh karenanya, membuat kerugian ekonomi jangka panjang untuk
negara.
Seperti yang dilaporkan MCA, bahwa di dunia, Indonesia
berada di posisi kelima dengan kondisi anak stunting. Anak-anak di Indonesia
dengan usia di bawah lima tahun sepertiganya tinggi badan mereka di bawah
rata-rata.
Menurut Bapak Dr. Entos Zainal, Direktorat Keseahatan dan
Gizi Masyarakat BAPPENAS, pada Sarasehan
Komunitas, Media, dan Blogger , Rabu (27/1/2018) bertempat di Ibis Arcadia,
Jakarta, Wahid Hasyim, bahwa kunci untuk menciptaan anak cerdas itu ada pada
gizi. Bagaimana peran keluarga, memberi asupan makanan bergizi pada calon anak
dan anak-anaknya.
“Indonesia diusulkan masuk ke dalam negara yang memiliki
rerata tinggi badan anak menurut umur, akan tetapi karena Indonesia pada 1997
mengalami krisis ekonomi dan gejolak dalam negeri, usulan tersebut urung dilakukan,” lanjut Pak
Entos.
Nah, stunting ini memang perlu perhatian khusus, terutama
dari keluarga dan pemerintah. Ada
korelasi antara stunting dengan tingkat kemiskinan. Kemiskinan membawa
dampak terhadap pemenuhan gizi keluarga. Bagaimana pemenuhan gizi keluarga
menjadi terhambat karena faktor kemiskinan tersebut.
Parahnya kondisi ini juga karena asupan gizi anak-anak sama
sekali kecil. Bahkan, balita hanya makan bubur nasi tanpa tambahan bahan pangan
lain (lauk pauk). Sayur-mayur pun minim apalagi telur atau daging. Ironis
memang, negara yang kaya dan terkenal sebagai negara agraris ini, penduduknya
masih menderita stunting.
Ini bagian yang sangat diperlukan untuk mencegah stunting [Foto: Dok http://sehatnegeriku.kemkes.go.id] |
Kurangnya gizi dalam jangka panjang memberi efek
buruk terhadap perkembangan seluruh organ tubuh anak-anak. Kurangnya
pengetahuan orang tua si anak dan latar belakang pendidikan pun memberi
kontribusi terhadap stunting. Stunting ini dapat terjadi ketika janin masih
berada dalam kandungan dan memang, baru akan terlihat hasilnya saat anak-anak
berusia dua tahun.
Joko
Widodo pernah berkata, “Jangan
sampai ada lagi yang namanya gizi buruk. Memalukan kalau masih ada. Ini yang
harus kita selesaikan. Ada 1 orang pun di sebuah daerah, 2 orang, ada 3 anak
pun harus secepatnya diselesaikan. Apalagi lebih dari itu.”
Ada 178 juta anak di bawah umur 5 tahun di
dunia menderita stunting. Stunting sebagai bentuk kekurangan gizi kronis. Secara fisik, balita stunting memiliki tinggi badan di bawah
standar pertumbuhan anak normal. Untuk ukuran
yang normal bagi anak usia 5 tahun, tinggi
badannya adalah 110 cm. Anak-anak memiliki
potensi pertumbuhan yang sama sampai usia lima tahun, terlepas dari di mana mereka
dilahirkan. Faktanya, angka stunting Indonesia
sebesar 37%. Hampir di seluruh Provinsi di
Indonesia memiliki prevalensi stunting pada
balita yang tinggi atau sangat tinggi.
Stunting ini membuat kita deg-degan, mengapa? Ya, itu
karena dampak yang dihasilkan sangat begitu besar terhadap generasi masa depan
bangsa ini. Bayangkan saja, jika stunting terus menerus mendera bangsa ini,
diperkirakan 9 juta anak-anak bangsa akan kehilangan IQ-nya antara 10-15 poin,
terhambat pula masuk sekolah, dan prestasi akademik yang jelek. Lebi dikhawatirkan lagi, negara terancam
kehilangan 11% potensi GDP. Miris, bukan?
Oleh karenanya, pentingnya satu keluarga terutama ibu
yang didukung oleh suami untuk menyehatkan 1.000 hari pertama kehidupan (1.000
HPK) untuk menghindari terjadinya kematian. Karena, stunting ini dapat memberi
pengaruh besar dalam jangka pendek.
Jangka
pendek karena stunting dapat berpengaruh pada perkembangan otak yang
menyebabkan IQ seorang anak rendah.
Pertumbuhan massa tubuh dan komposisi badan dengan BBLR (BB < 2.500 gr; PB
< 48 cm) yang juga berakibat pada kekebalan kapasitas kerja. Metabolisme
glukosa, lipids, protein, hormon, reseptor, gen yang menyebabkan penyakit tidak
menular seperti diabetes, jantung dan pembuluh darah, kanker, stroke, dan
disabilias lansia. Semua ini dapat menjadi beban pembangunan (Modifikasi
Short and long term effects of early nutrition (James et al 2000)
Di masa emas dan kritis seorang anak dalam pertumbuhan
dan perkembangannya sangat perlu diketahui ketika seorang ibu hamil dan apa
yang terjadi terhadap pertumbuhan janinnya. Pertumbuhan otak dimulai, di sini
seorang ibu perlu gizi mikro dan protein untuk membangun tinggi badan potensial
sang janin. Sementara, untuk membangun berat potensial janin, ibu perlu kalori.
Ketika bayi lahir, bayi yang tumbuh dan menjadi kanak-kanak untuk mencapai tinggi dan berat
badan optimal perlu gizi (makro dan mikro) secara seimbang. Hal itu diperoleh
dari susu (menyusu ASI hingga 6 bulan kemudian diberikan M-PASI).
Simak video Wapres Jusuf Kalla, Bicara Pencegahan Stunting, Bicarakan Masa Depan Bangsa [Sumber: http://sehatnegeriku.kemkes.go.id on Youtube]
Gizi yang baik sangat berpengaruh terhadap perkembangan
otak seorang anak.Pertumbuhan otak seorang anak ketika lahir 25% berat otak
dewasa, di usia dua tahun 70% berat otak dewasa, di usia 5 tahun 90% berat otak
dewasa, dan ketika seorang anak beranjak dewasa punya berat otak sekitar 1,4
kg. Hal seperti inilah yang perlu dijaga dan diperhatikan, jangan sampai
perkembangan dan pertumbuhan otak anak terhambat karena gizi itu tadi.
Pemeritah pun konsen terhadap stunting . Hal ini
didengungkan dari 10 pesan kesehatan yang disampaikan Presiden RI Jokowi. Berikut
10 pesan tersebut.
1.Kesehatan sangat fundamental
“dan juga di bidang kesehatan.
Ini sangat basic sekali, sangat fundamental sekali untuk kita selesaikan.”
2.Gizi investasi bangsa
“jangan sampai ada lagi yang
namanya gizi buruk. Tidak ada yang
sepantasnya kekurangan gizi di negara berpendapatan menengah sekarang ini.”
3.Berantas penyakit menular
“penyakit yang masih kita
lihat belakangan ini demam berdarah, TBC, harus diselesaikan.”
4.Utamakan pencegahan
“terutama Puskesmas, ini perlu
saya ingatkan pada semua kepala dinas, arahkan mereka kepada gerakan pencegahan
terhadap munculnya penyakit-penyakit.”
5.Gerakan hidup sehat
“kita kembalikan lagi kepada pola hidup sehat masyarakat kita. Entah
pada pola makan, entah pola olahraga, itu yang digerakkan.”
6.Sinergitas antarkementerian/lembaga
“enggak mungkin Kementerian
Kesehatan bekerja sendiri tanpa didukung air bersih yang baik, sanitasi yang
baik.”
7.Manajemen & anggaran pusat-daerah
“kalau anggaran itu ada
kemudian kita tidak bisa menyelesaikan persoalan-persoalan di lapangan, pasti
ada yang keliru.”
8.Hentikan Merokok
“jangan sampai ada uang dipakai
untuk beli rokok dan tidak dipakai untuk menambah gizi anaknya.”
9.Pendekatan Keluarga
“tenaga kesehatan harus aktif
mendatangi masyarakat. Jangan menunggu di Puskesmas, menunggu orang sakit, datangi
mereka.”
10.Reformasi birokrasi
“kalau kita bekerja dan menghasilkan
sesuatu, di dalam itu enggak kosong, karena memang kita bekerja dari dalam hati.
Bukan bekerja rutinitas, bukan asal ada absen.”
Oleh karenanya, strategi percepatan perbaikan gizi
masyarakat memang perlu dilakukan sesuai RPJMN 2015-2019.
1.
Peningkatan surveilans gizi, termasuk pemantauan
pertumbuhan
2.
Peningkatan akses & mutu paket pelayanan kesehatan
& gizi, fokus utama pada 1.000 hari pertama kehidupan, remaja, calon
pengantin, dan ibu hamil, termasuk pemberian makanan tambahan, terutama untuk
keluarga kelompok di wilayah DTPK.
3.
Peningkatan promosi perilaku masyarakat, mengenal
kesehatan, gizi, sanitasi, hygiene, dan pengasuhan.
4.
Peningkatan peran masyarakat dalam perbaikan gizi,
terutama untuk ibu hamil, wanita usia subur, anak dan balita di daerah DTPK,
termasuk melalui upaya kesehatan berbasis masyarakat dan pengembangan anak usia
dini holistik integratif (posyandu dan pos PAUD).
5.
Penguatan pelaksana
dan pengawasan, khususnya untuk regulasi dan standar gizi
6.
Penguatan peran lintas sektor, dalam rangka intervensi
sensitif dan spesifik yang didukung oleh peningkatan kapasitas pemerintah
pusat, provinsi, dan kabupaten/kota dalam pelaksanaan rencana aksi pangan dan
gizi.
Beberapa wilayah di Indonesia telah melaporkan dan
melakukan yang disebut Praktik Baik Intervensi Gizi Spesifik & Sensitif
yang meliputi tujuh daerah, mulai dari Kab.Klaten (Jateng), Kab. Banggai
(Sulteng), Kab. Sijunjung (Sumbar), Kab Brebes (Jateng), Kota Pasuruan (Jatim),
Kab. Lombok Barat (NTB), dan Kab. Kulonprogo (DIY).
Begitu banyak tantangan dalam upaya menurunkan stunting
di negeri ini. Perlunya komitmen dan dukungan yang terus berkelanjutan dari
pimpinan tertinggi untuk memprioritaskan gizi. Adanya integrasi kegiatan
intervensi sensitif terhadap perbaikan gizi. Pendekatan multisektoral yang bisa
berlangsung efektif. Menerapkan pendekatan berbasis hasil dan melaksanakan
pendidikan gizi berbasis perubahan perilaku. Berfungsinya program gizi berbasis
masyarakat serta efektifnya monitoring sosial.
Penyebab Stunting di Indonesia
Penyebab stunting di Indonesia yang multidimensional, sebagai berikut.
• Praktik pengasuhan yang
tidak baik
o Kurang pengetahuan tentang kesehatan
dan gizi sebelum dan pada masa kehamilan
o 55% dari anak usia 0-6 bulan
tidak mendapatkan Air Susu Ibu (ASI) eksklusif (Susenas, 2015)
o 1 dari 3 anak usia 6-33
bulan tidak menemima Makanan Pendamping – ASI (MP-ASI) yang tepat (SDKI, 2012)
• Kurangnya akses ke bahan
makanan bergzi
o 1 dari 3 ibu hamil anemia
o bahan makanan mahal
(komoditas makanan di Jakarta 94% lebih mahal dibanding dengan di New Delhi, India, serta buah dan sayuran di Indonesia lebih
mahal dari di Singapura)
• Terbatasnya layanan
kesehatan termasuk layanan ANC, PNC, dan pembelajaran dini berkualitas
o 1 dari 3 anak usia 3-6 tahun
tidak terdaftar di PAUD
o 2 dari 3 ibu hamil belum
mengkonsumsi suplemen zat besi yang memadai
o menurunnya tingkat kehadiran
anak di Posyandu (dari 79% di 2007 menjadi 64% di 2013)
o tidak mendapat akses yang memadai
ke layanan imunisasi
• kurangnya akses ke air
bersih dan sanitasi
o 1 dari 5 rumah tangga masih
BAB di ruang terbuka
o 1 dari 3 rumah tangga belum memiliki
akses ke air minum bersih
Percepatan perbaikan gizi dalam berbagai komitmen
nasional dan global:
• Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN
2015 – 2019)
• Rencana Kerja Pemerintah (RKP 2018)
• World Health Assembly (WHA 2025)
• Sustainable Development Goals (SDGs 2030)
• Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi (RAN-PG) 2015 –
2019)
• Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (GERMAS)
• Roadmap 2016 – 2020 Scaling Up Nutrition (SUN) Global
Stunting bisa dicegah. Terpenting kerjasama keluarga dan
masyarakat sekitar perlu dilakukan agar dapat ditekan. Tak luput pula peran
pemerintah untuk menyelesaikan permasalahan ini.
1. Pemenuhan kebutuhan zat gizi bagi ibu hamil. Ibu hamil
harus mendapatkan makanan yang cukup gizi, suplementasi zat gizi (tablet zat
besi atau Fe), dan terpantau kesehatannya. Namun, kepatuhan ibu hamil untuk meminum
tablet tambah darah hanya 33%. Padahal mereka harus minimal mengonsumsi 90
tablet selama kehamilan.
2. ASI eksklusif sampai umur 6 bulan dan setelah umur 6
bulan diberi makanan pendamping ASI (MPASI) yang cukup jumlah dan kualitasnya.
3. Memantau pertumbuhan balita di posyandu merupakan
upaya yang sangat strategis untuk mendeteksi dini terjadinya gangguan
pertumbuhan.
4. Meningkatkan akses terhadap air bersih dan fasilitas
sanitasi, serta menjaga kebersihan lingkungan.
Jadi, stunting bisa dicegah asal peran serta keluarga dan pemerintah bisa bekerjasama.