Thursday, July 5, 2018

Cinta Maria di Karantina Bermula Dari Sepiring Sorghum


Maria Loretha di tengah hamparan ladang Sorghum [Foto: Dok Maria Loretha]
Cinta Maria, di dalam segala hal yang ada di alam semesta, sesungguhnya kita bisa melihat banyak keajaiban. Jika kita  memiliki keinginan yang kuat dari dalam hati, maka seluruh alam semesta akan bahu membahu mewujudkannya. Mengetahui saja tidak cukup, kita harus  mengaplikasikannya. Kehendak saja tidak cukup, kita harus mewujudkannya dalam aksi

Begitulah Maria Loretha mewujudkan impiannya. Membuka lahan bersama warga, menyuburkan tanah tandus berbatu menjadi tanah yang hijau meraya. Sorghum aneka warna menjadi hiasan tanah Likotuden, Lembata, dan Adonara, Nusa Tenggara Timur.

Saya melihat, Nusa Tenggara Timur tidak lagi gersang menyengat badan. Sorghum menjadi pelipur cinta Maria untuk siapa saja yang ingin singgah. Bulir-bulir sorghum aneka warna telah melanglang buana lintas negara. Saatnya geber ekspor produk petani kita, Indonesia.

Saya mau cerita tentang siapa sebenarnya Maria Loretha, apa yang dia lakukan untuk meningkatkan taraf hidup petani di kampungnya, sehingga Maria Loretha pun diganjar beragam penghargaan dan terbang ke negara-negara yang konsen dalam bidang pertanian. Juga apa peran dan fungsi karantina terhadap pertanian negeri ini.

Maria Loretha, hidupnya diabadikan untuk menggali dan mencari sumber pangan alternatif pengganti beras di daerah terpencil Flores, Nusa Tenggara Timur. Dia mengembangkan sorghum sebagai pengganti beras di daerahnya.

Ladang Sorghum dalam pengawasan Maria Loretha [Foto: Dok Maria Loretha]

Sorgum sebenarnya sudah tidak asing sih untuk masyarakat NTT dan NTB, karena sorghum jadi pangan alternatif daerah ini kala musim kemarau tiba. Namum, kebijakan pemerintah yang memprioritaskan pengembangan beras, sorghum semakin ditinggalkan dan warga mulai jarang menanamnya. Bibitnya pun mulai sulit dicari. Padahal, kandungan karbohidratnya lebih tinggi dibanding beras.

Maria Loretha, petani yang berasal dari Desa Pajinian, Kecamatan Adonara Barat, Pulau Adonara, Kabupaten Flores Nusa Tenggara Timur yang mengembangkan dan membudidayakan  tanaman serealia tersebut. NTT sering diberitakan di berbagai media massa sebagai daerah rawan pangan, kurang gizi, dan gizi buruk.

Daerah yang 70% terdiri atas lahan kering dan berbatu itu sebenarnya memiliki kekayaan pangan lokal yang dapat menaikkan taraf hidup dan kegiatan ekspor industri petani lokal hingga mancanegara.

Masyaraka sering beranggapan, pangan sama dengan beras. Padahal mereka punya beragam jenis seperti ubi, keladi, pisang, sorgum, jelai, beras hitam, beras merah, dan sebagainya.

Dalam bincang-bincang saya dengan Maria, dikatakan bahwa NTT punya lahan kering yang sangat besar dan potensial. Seharusnya lebih dikembangkan benih-benih lokal yang lebih cocok dengan tanah dan udara NTT.

Keindahan ladang Sorghum [Foto: Dok Maria Loretha]
Tidak mendatangkan benih-benih dari luar yang membutuhkan biaya produksi tinggi. Teknologi yang berada di pedesaan sangat terbatas, apalagi sumber daya air yang ada di Flores.


Bermula Dari Sepiring Sorgum
Ketika Maria pertama kali menginjakkan kaki di Flores, dia makan jagung titi yaitu bahan dasar dari jagung pulut. Ini menjadi makanan (pangan) pendamping  kebanggaan orang Lamaholot di Flores Timur, Alor, dan Lembata. Lantas, bagaimana Maria  mampu mengembangkan secara besar-besaran sorghum di daerahnya?

Pada April 2007, Maria diberi sepiring sorghum yang ditaburi parutan kelapa oleh tetangga kebunnya yang bernama Mama Maria Helan (55). “Rasanya gurih, enak, dan mengenyangkan,” ucap Maria. Lantas Maria meminta benih sorghum tersebut. Ternyata, Mama Maria Helan mendapatkan sorghum tersebut atas pemberian sang kakak yang berada di desa sebelahnya sekadar untuk dimasak saja.
 
Bulir-bulir Sorghum [Foto: Dok Pri]
Tidak mudah mendapatkan bibit sorghum lokal itu. Hingga Maria memutuskan untuk berburu benih. Benih pertama kali yang diburunya adalah sorghum berkulit merah. Maria mendapatkannya dari Bapak Agustinus di Desa Nobo, Kecamatan Ilebura, Kabupaten Flores Timur.

Sebenarnya,  Maria tidak pernah makan sorghum. Tetapi, saat butiran sorghum itu menyentuh lidahnya, rasa gurih membuat dirinya ketagihan dan menyukai. Sorghum berwarna merah oleh penduduk setempat disebut watablolon merah atau jagung solo.  Sorghum di Kabupaten Ende disebut osho, sedangkan orang Manggarai menyebutnya lepang, mesak, atau pesi. Pengalaman pertama memakan sorghum itu membuat Maria  penasaran dengan tanaman serealia  itu. Rasa penasarannya terhadap sorghum semakin tinggi karena sorghum sulit dicari.
 
Nasi Sorghum [Foto: Dok. Pri]
Pangan alternatif sekaligus punya nilai ekspor  sebagai hasil pertanian dimiliki oleh sorghum. Hal itu telah dibuktikan sendiri oleh Maria ketika dirinya diundang oleh petinggi Roma mengenalkan sorghum ke tingkat dunia.

Ya, Maria menemukan solusi untuk NTT terhadap pangan altenatif yang dapat dikembangkan selain beras. Ketika Maria merintis sorghum ini banyak sekali bahasa-bahasa yang terkesan melecehkan usahanya. Ada yang bilang tanaman kuno, kenapa sorghum yang ditanam, siapa yang akan beli.

Hingga ada yang mengatakan, “Itu kan makanan burung, bisa dimakan ya?” Akan tetapi, tidak sedikit yang menangis terkejut ketika diingatkan kembali dengan sorghum, jewawut, maupun jelai yang sudah lama mereka tinggalkan dan lupakan.


Adonan cookies berbahan Sorghum [Foto: Dok Pri]

Maria tak kenal menyerah. Tantangan demi tantangan dia hadapi. Tantangan terbesar ada pada lidah orang-orang di sekitar tempat tinggalnya. Mereka sudah terbiasa makan nasi. “Biar sudah makan jagung, pisang, ubi, belum makan rasanya kalau belum makan nasi.        ”Apalagi nasi berhubungan erat dengan strata kelas. Malulah dibilang miskin kalau makan sorgum apalagi ubi, hehehe,” jelas Maria sembari tertawa.

Selain itu, Maria juga harus melawan pola kultur petani yang tanam serempak hanya memanfaatkan musim  tanam pertama saja. Padahal, sorghum sangat baik ditanam setelah panen padi dan jagung dengan memanfaatkan sisa-sisa musim hujan menjelang musim kemarau.

Maria sangat tertarik memanfaatkan lahan tidur yang luas di NTT untuk ditanami sorghum. Dia membayangkan, daerahnya  menjadi tempat agrowisata. “Anda bisa bayangkan ketika tiba di Kupang atau Flores misalnya, disambut  tanaman sorghum aneka warna,” ujarnya.


Cookies Berbahan Dasar Tepung Sorghum [Foto: Dok Pri]

Promosi Geber Pangan Hasil Pertanian
Maria dengan tekun dan giat melakukan  pencarian bibit hingga ke pelosok desa. Di sela-sela itu juga dia berupaya membangkitkan minat masyarakat terhadap sorghum sebagai pengganti beras. Maria bisa menggeber sorghum untuk ekspor sebagai produk petani Indonesia ke tingkat dunia.

Promosi sorghum sebagai pangan alternatif dan produk petani Indonesia ini memang harus dimulai dan terus dilakukan. Ini harus dimulai dari rumah tangga petani dengan melibatkan siapapun, terutama perempuan. Di Flores, peran perempuan sangat besar pada mata rantai pertanian, mulai dari memilih bibit, menanam, merawat, lantas memanen, menyimpan benih, hingga pengolahan pasca panen.

Maria melakukan hal ini tak hanya membudidayakan benih lokal semata, tetapi juga melakukan sosialisasi  ke desa-desa, bahkan lintas pulau antar-kabupaten. Apa yang dia lakukan banyak dicontoh dann ditiru petani di NTT. Mereka melakukan apa yang Maria kerjakan, lantas mengundangnya untuk datang ke desa mereka.

Maria mensosialisasikan  sorghum, jelai, maupun jewawut. Dia membagikan benih gratis kepada petani yang membutuhkan. Maria menggali kearifan lokal, menerapkan pertanian alami yang tidak menggunakan teknologi modern, tidak menggunakan pupuk kimia, dan sama sekali tanpa pestisida.

Betapa kaya Indonesia dengan keragaman hayatinya. Indonesia memiliki beragam jenis pangan lokal yang membanggakan sekaligus mempunyai kandungan gizi tinggi. Masihkah kita menggantungkan harapan pada beras? Apa yang terjadi sekarang? Ternyata, Indonesia menjadi negara pengimpor beras terbesar di dunia. Indonesia menjadi sarang penyakit diabetes kedua di dunia.

“Sorghum ada di mana-mana, ada dalam bentuk beras, kue, sirup, dan sebagainya. Sorghum membuat masyarakat NTT bangkit dari isu-isu keterbelakangan pangan. Dengan sorghum, kita  akan membalikkan semua rumor terkait pakan burung. Sorghum akan memperkuat ekonomi masyarakat Indonesia, khususnya di wilayah timur”, urainya.

Kalau kita lihat sekarang, sorghum makin banyak dicari orang. Hal ini tepat sekali dengan apa yang sedang gencar-gencarnya dilakukan oleh Kementerian Pertanian mengenai Geber Ekspor Produk Pertanian Kita, Indonesia. Sorghum bisa jadi idola masa depan.

Nah, bibit maupun sorghum yang sudah panen pun tak bisa sembarangan keluar masuk negara lain. Mestilah memenuhi standar kualitas dan bebas dari hama dan penyakit tanaman. Oleh karenanya, peran karantina tumbuhan sangat penting.

Karantina tumbuhan sebagai garda terdepan atau benteng untuk mengendalikan organisme pengganggu tumbuhan. Kalau kita melihat dari sisi perlindungan tanaman, tiga hal penting peran karantina tumbuhan, sebagai berikut.
  1. Mencegah masuknya OPTK A1 (ini belum ada di Indonesia) dari luar negeri ke dalam wilayah RI. Seperti penyakit hawar daun karet Amerika Selatan (SALB) yang disebabkan jamur Microcyclus ulei.
  2. Mencegah penyebaran OPTK A2 (ini sudah ada di wilayah Indonesia tapi masih terbatas pada wilayah tertentu saja) ke wilayah lain yang masih bebas OPT. Seperti CVPD (Citrus Vein Phloem Degeneration), disebabkan oleh MLO yang sudah memusnahkan tanaman jeruk di Garut-Jawa Barat pada 1950-an. Pada 1970-an penyakit ini menghancurkan tanaman jeruk di Sumatera Selatan.
  3. Mencegah OPT tertentu ke luar wilayah Indonesia (yang tidak diinginkan negara lain). Seperti Rhadopholus similis pada jahe ( Zingiber sp. ) ke Jepang.
Intinya adalah Karantina Pertanian memegang peranan penting untuk mencegah masuknya HPHK dan OPTK. Karantina pertanian sebagai bagian dari sistem perlindungan kesehatan hewan, tumbuhan, lingkungan dan sumberdaya alam hayati (IAS, SDG, TSL dan Agen Hayati).



.