Maju dan pesatnya
perkembangan teknologi tak bisa dihindari. Siapapun kini bisa mengakses
teknologi secara luas. Akan tetapi,
memang mesti bijak menggunakannya. Jangan sampai, teknologi justru menggerus dan menjerumuskan diri
sendiri ke hal-hal yang tak diinginkan.
Kalau dipikir-pikir,
yang namanya teknologi media sosial itu ngeri-ngeri sedap. Karenanya banyak
yang bilang, “Jempolmu harimaumu”. Mesti hati-hati menggunakan jempol
untuk menghentakkan tuts-tuts perangkat
kita.
Sekali tulisan meluncur
ke dunia maya, seumur hidup akan ada rekam jejak di dunia digital atas apa yang
sudah kita lakukan. Saat ini, media sosial tak melulu hanya sebagai perangkat
untuk melakukan sosialisasi melalui dunia maya. Namun, lebih dari itu.
Mungkin, kita punya
lebih dari dua bahkan beberapa media
sosial. Akan tetapi, apakah pemakaiannya sudah dimaksimalkan? Ya, jika belum dimaksimalkan minimal dioptimalkan?
Atau media sosial yang kita punya hanya untuk gegayan saja?
Kalau kita flashback
sedikit, pengguna internet di Indonesia saja saat ini sudah mencapai 82 juta
orang (www.kominfo.go.id).
Dari jumlah pengguna internet sebesar itu, sebagian besar hanya memanfaatkan media
sosial berupa Facebook dan Twitter saja. Pengguna media sosial terutama FB dan WA, sekarang pun
tak lagi melihat strata sosial.
Mulai dari anak-anak
hingga orang tua sudah sangat akrab dengan media ini yang sangat mudah dan
murah diakses baik menggunakan perangkat komputer maupun gawai. Pengguna sosial
media di Indonesia menduduki peringakt keempat untuk Facebook setelah USA,
Brazil, dan India.
Orang gemar menggunakan
media sosial untuk berbagai keperluan dan gaya hidup dengan punya beberapa akun
di berbagai situs jejaring sosial. Sebagian menggunakan media sosial untuk
kepentingan bisnis, dengan cara mempromosikan dan berjualan hingga bertransaksi
di media sosial.
Sebagian orang lagi
menggunakannya untuk kepentingan pribadi, berbagi infomasi, baik foto, video,
artikel, dan lokasi tempat orang tersebut bisa diketahui keberadaannya. Tetapi,
perkembangan jumlah pengguna media sosial saat ini, tidak jarang menemui dan
pernah merasakan sendiri dampak positif dan negatif medsos untuk kehidupan
sendiri dan sekitar kita.
Waktu luang yang
biasanya digunakan untuk diskusi dengan anggota keluarga atau teman, kini
disibukkan dengan beberapa akum medsos yang kita punyai. Media sosial kerap
dipakai untuk sarana mengekspresikan diri, bebas berpendapat, tetapi sebagai
pengguna medsos harus hati-hati.
Ada etika medos yang
harus sesuai agar tidak sembarangan bicara sehingga dapat menyinggung dan
menyakiti orang lain. Selain beretika di medsos, adanya kesadaran pengguna
medsos untuk tidak bertindak ceroboh dengan mengeluarkan postingan kasar atau
negatif kepada pihak lain.
Saat ini, Facebook,
Twitter, dan media sosial lainnya telah mengeluarkan kebijakan-kebijakan
tertentu terhadap postingan yang dianggap spam atau berbahaya. Di satu sisi,
media sosial menjadi tempat atau alat branding
paling efektif.
Teknologi apapaun
bentuknya, ada dua sisi yang berlawanan. Begitu pula internet dan seluruh
kontennya termasuk media sosial yang mesti bijak digunakan.
Nah, sejalan dengan hal
ini, saya mendapat satu kesempatan bagaimana media sosial bisa mendatangkan
keuntungan untuk si pemilik akun, bersama Indonesian Social Blogpreneur, The
Warna, Sophieparis, dan juga profesional Digital Marketing.
Bersama Komunitas ISB di NIC Menteng Square [Foto: Dok Pri] |
Bertempat di Nutrifood
Inspiring Center pada Sabtu (21/07/2018), workshop bertema “Meraup Untung dari
Social Media” menghadirkan salah satu pengusaha sepatu yang sukses di bidangnya
dengan menggunakan media sosial sebagai lahannya berbisnis. Dan Digital Marketing Professional, Imam Mahmudi.
Ya, The Warna, yang
dimiliki Dany Anwar punya cerita bagaimana dia bisa meraup untung melalui media
sosial yang dijalankannya. Bermain pada platform Facebook Bisnis dan Instagram
Bisnis.
The Warna tidak serta
merta hadir begitu saja. Tetapi penuh lika-liku perjuangan seorang Dany. Dany,
yang notabenenya bukan orang Bogor, berjuang untuk mewujudkan apa yang dia
impikan, menjadi pengusaha sesuai passion-nya.
The Warna sebagai merek
sepatu yang dirintis Dany telah lima tahun berjalan sejak mula berdiri pada
2013. Berfokus pada produk sepatu dengan bahan dasar kain tenun dan batik.
Dany mulai usaha di
Bogor, sedangkan dia sendiri bukan orang Bogor. Merantau dari Pontianak ke
Bogor tanpa saudara. Hanyak punya keinginan kuat untuk usaha. Keinginan kuat dirinya
memang pada sepatu. Bermula hanya dua orang pekerja yang membantu, kini hampir
60 orang pekerja yang turut serta dalam bisnisnya.
Mulanya hanya tempat
biasa saja boleh dibilang kontrakan/petakan kecil sempit. Tetapi kini, Dany
berhasil memiliki empat bangunan untuk produksi sepatu The Warna dan masih
merasa sempit. Dany (The Warna) punya visi yang sangat mengakar pada budaya
Indonesia. Bagaimana dirinya ingin mengangkat kain etnik Indonesia untuk lebih
diminati dan menjadi tuan rumah di negeri sendiri.
Pasar yang disasar The
Warna mulai dari kalangan muda hingga wanita dewasa. Mengapa anak muda? Menurut
Dany, anak muda menjadi generasi penerus warisan budaya Indonesia yang akan
terus berkembang dan terjaga kelestariannya.
The Warna sendiri punya
filosofi yang cukup mendalam, jadi tidak sekadar pemberian nama semata. Seperti
merah, biru, hijau, kuning, atau warna lainnya. Akan tetapi, Warna sebagai
singkatan dari Warisan Nusantara yang ingin Dany tegaskan bahwa mereka punya
komitmen menggunakan kain-kain tradisional Indonesia yang diangkat melalui
kriya. Sepatu etnik sebagai salah satu cara Dany dalam melestarikan kain etnik
Indonesia dan salah satu cara dirinya mengenalkan ke masyarakat juga di tingkat
nasional maupun internasional.
Bicara social media,
dalam hal pemasaran produknya, The Warna menggunakan social media. Dia
menggandeng ibu-ibu untuk menjadi reseller. Ibu-ibu yang punya waktu luang
diajaknya untuk join. Tak hanya jadi reseller bahkan, Dany pun membina ibu-ibu
tersebut bagaimana cara menjual.
Apalagi, ibu-ibu yang
direkrutnya belum tentu semua paham dengan social media, mungkin boleh dibilang
gaptek. Inisiatif Dany untuk ibu-ibu
yang direkrut menjadi reseller-nya, diadakan pelatihan atau “kuliah
entrepreneur” seminggu dua kali melalui grup Whatssap yang dibentuknya juga offline meeting.
Beberapa produk The Warna [Foto: Dok Pri dalam The Warna] |
Mulai dari bagaimana
membuat copy writing-headline. Di
sini jadi tantantangan tersendiri untuk Dany, bagaimana mengolaborasikan
jualannya dengan menggunakan tenaga ibu-ibu yang dilatih paham socmed dan
memberi pelatihan secara online seminggu dua kali. Bagaimana reseller-nya tersebut bisa menghasilkan closing setiap harinya.
Selain sepatu, untuk
menambah varian produknya, The Warna juga membuat tas di satu tahun terakhir
usahanya. “Ternyata, banyak juga di pasaran yang menginginkan hal senada.
Misalnya, sepatunya batik, tasnya juga ingin yang batik,” jelas Dany.
Sistem pemasaran yang
dilakukan The Warna cukup efektif. Jadi, tim marketing membuat konten dan
menyebarkan ke reseller. Reseller juga dapat menyebarkan konten tersebut ke
media sosial yang mereka miliki. Selain itu juga, tentunya ke sosial media The
Warna sendiri.
Jadi, Reseller yang Dany
rekrut tidak perlu memikirkan konten apa yang mesti di-posting untuk hari
berikutnya, karena semua konten sudah disiapkan oleh Tim Marketing The Warna.
Pun kampanye di media sosial reseller masing-masing pun sudah diarahkan
langsung dari The Warna.
Nah, secara keseluruhan
produksi The Warna itu meliputi tas, sandal, flat shoes, wedges, sneakers
(sepatu) dengan banyak tipe yang tetap menggunakan bahan etnik. Nah,
pertanyaannya sekarang adalah, mengapa The Warna menggunakan sistem reseller?
The Warna juga melakukan iklan melalui facebook ads dan instagram ads.
Model sepatu dari The Warna [Foto: Dok Pri dalam The Warna] |
Menurut Dany, bujet
untuk promosi bahkan nol rupiah. Karena, The Warna hanya membina reseller. Bujet
dipergunakan untuk ke facebook atau instagram agar engagement dan reachment The
Warna lebih jauh jangkauannya. Paling habis sekitar 500 ribu, paling mentok dua
juta.
Dany, khususnya The
Warna menggunakan bujet iklan lebih kepada membina reseller. Bahkan bujet
iklannya sendiri pernah zero (tidak mengeluarkan bujet sama sekali untuk
beriklan), karena semua dilakukan melalui reseller (media sosial reseller).
Pembagiannya ke
reseller, The Warna menerapkan fix price. Artinya, official yang menjual harga
185 ribu, reseller menjual ke customer dengan harga 170 ribu. Jadi, reseller
memperoleh keuntungan per penjualan produk sebesar 45 ribu rupiah. The Warna
mengarahkan tidak ke official, tetapi ke reseller.
Reseller tidak perlu
stok dan packing barang. The Warna telah menyiapkan seluruhnya dengan sistem dropship. Reseller tidak mengambil
barang, hanya mendaftarkan akun sebagai reseller, begitu mereka daftar, akan
mendapatkan sampel flatshoes dan katalog dari The Warna. Reseller tidak
dibebani target dari The Warna dan bisa berlangsung seumur hidup.
Reseller The Warna juga
diadakan gathering. Mereka biasanya dikumpulkan di satu tempat (café/resto),
ngobrol santai tapi bukan bisnis. Target user The Warna anak-anak dan wanita,
utamanya lebih kepada wanita.
Nah, ternyata, produk
The Warna ini telah merambah ke luar negeri lho. Ke mana sajakah itu? Ya, ke
negara Hongkong dan Korea. Mengapa di negara tersebut? Dany mengatakan, karena
Hongkong dan Korea banyak TKI. Pendapatan reseller di negara ini jauh lebih
besar. Jika banyak pesanan yang dilakukan, otomatis ekspedisinya jadi sangat
murah.
Sistem pengiriman barang
The Warna menggunakan ekspedisi pengiriman JNE yang di-pick up per hari. Jadi,
reseller pun tak repot-repot harus jemput barang, semua dipermudah The Warna.
The Warna punya pabrik sendiri. Jadi, barang-barang pun sudah ready stok. Kecuali
permintaan barang (spesial/PO), seperti permintaan penambahan heel panjang 2 cm
atau 7 cm.
Untuk saat ini The Warna
juga buka e-commerce (kerjasama) dengan Sophie, Tokopedia, dan Bukalapak.com.
Rata-rata memang dilakukan langsung oleh reseller bukan langsungoleh The Warna.
Ada hal unik menurut
saya dari The Warna ini. Sang pemilik, Dany, bukan berlatar belakang bisnis. Tetapi,
dia dulunya dia pernah menempuh pendidika tinggi di Management Informatika. Karena
fokus pada usaha, pada akhirnya kuliahnya terbengkalai. Tetapi, dengan tekad
kuat, Dany berhasil memajukan The Warna.
Untuk desain sepatu The
Warna pun, mulanya dia desain sendiri. Karena memang senang dengan desain dan
motif. Nah, sementara ketika dia datang ke pembuat sepatu yang ada di Bogor, pembuat
sepatu tersebut kurang bisa dan belum tertarik untuk membuat sepatu hi-heel,
wedges, dan sejenisnya. Keahlian mereka masih di tataran membuat flat shoes.
Jadi, The Warna selama
hampir tiga tahun hanya memproduksi sepatu berjenis flat shoes saja.
Inspirasi desain sepatunya sendiri
datang dari hasil browsing di social media-pinterest. Ada sesekali The Warna
mengeluarkan sepatu tematik, seperti Hari Kemerdekaan. Jadi, mengeluarkan
sepatu merah putih. Baru satu tahun
terakhir ini saja mengeluarkan model sepatu tematik tersebut.
The Warna punya tim Social
Media sendiri, jadi semua materi/konten, sebelum disebar ke reseller sudah dipersiapkan
secara matang. Reseller hanya tinggal mem-posting saja.
Nah, di tahun 2019, The
Warna telah menyiapkan sepatu dengan model/bentuk lain dan telah merekrut salah
satu desainer sepatu terkenal di brand tersebut. Dan ini tepat sekali untuk The
Warna, karena memang The Warna tidak memiliki product design termasuk
desainer.
Inilah alasan, mengapa harus The Warna [Foto: Dok Pri dalam The Warna] |
"Desain The Warna selama ini by insting saja, begitu kenal dengan desainer tersebut produk yang bakal dikeluarkan pun bakal terkonsep," tutur Dany.
Motif sepatunya nanti
juga akan dikeluarkan per tiga bulan. Nah, di tiga pertama ini (2019), The Warna bakal
mengeluarkan trend Dayak dan Jawa Tengah. Jadi, selama tiga bulan, motif yang
dieksplor adalah dua daerah tersebut. Akan tetapi, tetap dengan memegang pakem
atau motif yang sudah dimiliki The Warna.
Untuk triwulan kedua,
The Warna akan mengeluarkan motif dari daerah Sunda (Jawa Barat) dan Makassar
(Sulawesi Selatan). Jadi, plan tema sudah dibuat, tinggal mengeksekusinya saja.
kita tunggu ya, bakal seperti apa motif hasil eksplorasi yang akan dikembangkan
nanti di 2019 oleh The Warna ini.
Kalau sebelum-sebelumnya
The Warna mengaplikasikan kain yang diperoleh dari hasil eksplor, tapi kini The
Warna mulai mengerjakan sendiri kain untuk sepatu alias buat kain sendiri. Oleh
karenanya, The Warna merekrut juga desainer tekstil. Jenis bahan yang dipakai
untuk sepatu The Warna ini dari bahan blanket dan katun juga dilapisi spons
seperti sepatu kebanyakan. Jadinya terlihat tebal. Dalam satu bulan, The Warna
bisa menghasilkan 8 bentuk model baru sepatu dan memproduksi sekitar tiga ribu
pasang sepatu. Pekerjaan rumah terbesar dari sepatu menurut Dany adalah bagaimana
membuat sepatu itu terlihat benar-benar simetris. Tidak boleh ada yang kurang
atau miring.
Sophie
Paris
Nah, di acara “Meraup
Untung dari Social Media” ini tidak hanya The Warna saja yang sudah
membuktikannya. Ternyata, salah satu perusahaan terbesar bernama Sophie pun
turut menikmati. Siapa sih Sophie?
Sophie ini perusahaan
yang bergerak di bidang fashion, beauty, juga healthy living. Sophie berdiri
pada 1995 oleh Bruno Hasson. Penjualannya menganut sistem online to offline
social shopping platform dengan penawaran produk yang dibuat berdesain Perancis
punya. Nah, dulunya, namanya Sophie Martin, akan tetapi sebagai salah satu
bentuk strategi pemasaran, ditambahkan kata Paris.
Sepertinya Bruno Hasson
tidak jauh berbeda dengan Dany Anwar.
Kalau Dany memulai usahanya dengan membuat sepatu, Sophie oleh Bruno memulainya
dengan membuat tas rumahan. Tas hasil kerajinan tangan Bruno mendapat tempat di
hati masyarakat. Lama kelamaan, tas yang diproduksi penjualannya terus meroket.
Bisnis Sophie semakin berkembang hingga ke luar negeri. Pada 2008 Sophie membuat strategi pemasaran merek, yaitu Sophie Paris. Sophie Martin sendiri jadi bagian dari merek Sophie Paris yang jadi payung beberapa merek lainnya.
Representatif Sophie Paris sedang me-make over salah satu peserta [Foto: Dok Pri + ISB] |
Karena zaman terus berkembang, Sophie Paris pun tak ingin ketinggalan. Perusahaan ini pun melakukan transformasi digital usaha secara online. Sophie Paris membuat beragam program pelatihan di beberapa social media seperti Facebook dan Instagram. Di kesempatan ini pula, representatif Sophie melalukan make up demo ke salah satu peserta dengan menggunakan produk kecantikan yang mereka miliki. Hasilnya?? Waaw… menakjubkan!
Sejalan dengan itu, menurut Imam Mahmudi, salah seorang digital marketing professional, yang juga sebagai salah satu narasumber di acara ini mengatakan, bahwa penggunaan digital marketing hanya bagian kecil dari social media. Hal itu pun tak terbatas hanya iklan semata, tetapi bagaimana seseorang atau perusahaan dan pemilik bisnis menerapkan strategi pemasaran di social media yang dimiliki secara kontinu.
Imam Mahmudi, Digital Marketing Professional [Foto: Dok Pri] |
Orang menggunakan
digital marketing karena cepat jangkauannya, dapat dilakukan secara personal,
dan sangat relevan dengan perkembangan saat ini. Semua dituntut serba cepat dan
tidak mengeluarkan uang banyak untuk promosi. Efektivitas kerja dan hasil maksimal
yang dicari.
Melihat peluang yang
berkembang dan ada saat ini, social media menjadi media paling efektif untuk
pemasaran. Menurut Social Network, pada 2017 bahwa penggunaan Youtube sebagai
media pemasaran menduduki peringkat pertama, kemudian disusul Facebook, dan
posisi ketiga Instagram. Sementara, Twitter berada di posisi keempat. Mungkin,
lama kelamaan twitter akan ditinggalkan orang sebagai media pemasaran.
Lebih lanjut Imam
menjelaskan di era teknologi yang makin menggila, push to pull digital
marketing melalui social media bukan hal baru lagi, tetapi sudah semakin jamak
dipakai. Social media sebagai pendorong untuk memasarkan produk (online) dapat
berupa FB, Twitter, Instagram. Sementara, kalau ingin menarik lebih banyak
pelanggan dapat melalui SEM (Search Engine Marketing) atau Specialist Online
Directories.
Tata cara pemasaran
tradisional pun tetap dilakukan seperti melalui Bilboard, TV, dan print untuk
menekan pemasaran. Sedangkan yellow pages dan classifieds lainnya dipakai untuk
menarik klien.
Jadi, ada tahapan yang perlu diperhatikan ketika seseorang atau
perusahaan ingin melakukan digital marketing, yaitu:
1.
Menarik
perhatian konsumen (Attention/Awarness)
2.
Membangkitkan
rasa suka kepada konsumen dengan menunjukkan keunggulan produk (Interest)
3.
Berniat
untuk membeli (Desire/Decision), dan
4.
Memutuskan
untuk membeli (Action)
Kita mesti tahu
peruntukkan masing-masing social media yang akan dipakai. Misalnya facebook. Objektifnya
apa ketika kita ingin menggunakan sosmed ini untuk marketing. Facebook,
misalnya page like akan menambah jumlah fans, saat posting akan terjadi
interaksi, dan ketika orang klik link tentunya kita mengarahkannya ke landing
page atau website yang kita miliki.
Begitu pula halnya
dengan instagram. Ketika seseorang posting, objektifnya otomatis yang dicari
adalah interaksi. Sementara, ketika orang meng-klik bio, kita akan
mengarahkannya ke landing page atau website. Nah, enaknya lagi di instagram
seseorang dapat membuat konten video pendek berdurasi satu menit untuk
mendapatkan engagements dan jumlah views, pun demikian Youtube.
Kalau seseorang
menggunakan twitter dalam marketingnya, mesti tahu pula objektif yang
diinginkannya. Twitter biasanya digunakan untuk promosi akun yang dimiliki yang
diharapkan dapat menambah jumlah
follower.
Ketika seseorang
meng-klik web yang dibagikan, biasanya orang tersebut akan diarahkan ke landing
page atau website tertentu. Promosi tweet yang dilakukan berguna agar terjadi interaksi
dari twit yang dibuat sedangkan lead pada twitter kita harapkan dapat menjadi
database.
Kata kunci atau keywords
pun berperan penting dalam digital marketing kita gunakan. Search kata kunci
yang paling banyak dipakai untuk melihat posisi website kita. Pemilihan kata
kunci populer justru akan memberi peluang besar website dan media sosial yang
kita punya semakin mudah dicari orang dan bisa jadi berada di urutan pertama
google.
Muara dari semua digital
marketing ini adalah konten. Content is king. Ya, benar sekali, konten itu
raja. Jadi, bagaimana konten yang dibuat dapat memberikan efek lebih kepada
orang yang melihat juga pelaku bisnis. Sementara, konten yang terdistribusi
adalah ratunya. Artinya, orang bisa dengan mudah membaca konten yang kita
miliki dan berhasil memberi pengaruh.
Keuntungan menggunakan media sosial [Foto: Dok https://mailninja.co.uk/social-media-benefit-e-mail-marketing] |
Jadi, bagaimana digital
marketing kita berhasil tergantung
seberapa pintar dan bijak kita menggunakan seluruh media sosial yang kita punyai. Pemilihan konten
dan target market pun sangat berpengaruh terhadap keberhasilan marketing yang
kita gulirkan. Bagaimana dengan kalian, apakah sudah banyak meraup untung dari
media sosial yang kalian punya? Boleh donk ya berbagi, apa saja contohnya yang
pernah diperoleh dari media sosial kalian? Feel free lho yaa…
Saya mau berbagi sedikit
dari media sosial yang saya punya. Untuk facebook saya share hal-hal yang
memang berkaitan dengan keadaan sehari-hari dan tidak hal-hal nyinyir. Orang yang melihat pun bisa
respect.
Sementara, instagram
saya isi dengan aktivitas sehari-hari atau yang berbau dengan dunia kulinari. Nah,
dari instagram banyak orang yang melihat dan pengumuman yang sifatnya kulinari
juga saya ikuti. Alhasil, dari IG saya pernah ikuti lomba masak masakan negeri
gajah putih, dan berhasil memenangkannya. Ganjarannya, jalan-jalan ke negara
tersebut.
Dari FB, saya banyak
mendapatkan undangan untuk mengisi materi berbau dunia digital dan
perpustakaan. Intinya, media sosial yang saya punyai memang diperuntukkan
kepada hal-hal yang mendatangkan manfaat.
Admin ISB menjelaskan tentang Komunitas ISB [Foto: Dok Pri] |
Bersama peserta Gathering ISB [Foto: Dok ISB] |