Tak akan ada ikan di
meja makan, tanpa ada jasa para nelayan. Mungkin juga tak akan terhidang nasi dan lauk pauk
yang enak, tanpa ada jasa para petani. Indonesia yang digembar-gemborkan
sebagai negara agraris, penghasil beras, nyatanya pernah impor beras. Negara
agraris yang miris, mungkin. Dalam kenyataan hidup, petani-petani tanah air,
masih ada yang hidup dalam kondisi kekurangan. Lahan garapan bahkan “minjam”
alias tak punya sendiri.
Buah naga, sistem tanam tumpang sari [Foto: DokPri] |
Jika pun berhasil,
rerata memang harus hidup prihatin. Kalau field trip (kunjungan lapangan), tapi
ke daerah yang paling terpencil, dalam hati kecil berkata, “Sampai kapan mereka
terus begini?” Bukan bagaimana-bagaimananya. Dalam keprihatinan hidup dan
sahajanya, mereka masih mampu bertahan. Bertahan menepis keadaan. Uluran tangan
dermawan untuk pengembangan lahan jika mereka punya, jadi barang langka dan
berharga.
Mengalami sendiri itu
jadi satu pengalaman yang sangat berharga. Bagaimana tidak, melihat mereka
menanam padi, dari pembibitan hingga panen. Bagaimana menyiangi di tengah terik
hari bolong. Panas hujan mungkin sudah kebal hinggap di badan mereka. Demi apa?
Demi hidup layak dan keluarga bisa makan.
Kebun Nenas Desa Cirangkong, Kab. Subang, Jawa Barat [Foto: DokPri] |
Sama halnya dengan
petani-petani di Desa Cirangkong, Kecamatan Cijambe, Kabupaten Subang, Provinsi
Jawa Barat. Ini entah kali ke berapa saya turun lagi ke lapangan dan melihat
secara langsung kehidupan petani buah Naga dan buah Nenas. Kebun Petani Binaan
dari Dompet Dhuafa (DD) dengan dana berasal dari Wakaf Ummat.
Nenas Madu dari Kebun Binaan DD di Desa Cirangkong [Foto: DokPri] |
Dalam helatan bernama
Panen Raya DD, beberapa orang blogger dan media diajak serta oleh yang punya
acara, DD, bertandang ke sana, menyaksikan secara langsung buah naga dan nenas
siap panen di kebun yang dibina DD.
Dalam cakupannya, kebun
tersebut punya luas sekitar 8 hektar. Tanaman utamanya buah Naga dan Nenas.
Untuk menambah variasi hasil, dilakukanlah yang namanya tumpang sari. Di
sela-sela pohon nenas dan buah naga, ditanam pepaya Calina juga jambu biji dari
jenis crystal.
Buah Naga pudar warna, terkena penyakit stem cancer [Foto: DokPri] |
Petani-petani marginal
yang memang tak seberuntung petani tetangganya, mungkin, tertangkap mata oleh
DD. DD sebagai lembaga yang menangani zakat, infak, sadakah, juga wakaf, tergerak
untuk membebaskan mereka dari kesulitan.
Buah Naga mulai menua [Foto: DokPri] |
Tak dinyana, apa yang
dilakukan DD bak gayung bersambut. Melihat lahan yang sangat potensial untuk
dikembangkan, DD dan para petani setempat semakin bersemangat. Notabenenya
juga, lahan yang dikelola tersebut sebagai bekas lahan perkebunan yang dulu
dikelola oleh PT Moreli, akan tetapi bangkrut. Kebangkrutan PT Moreli membuat
petani setempat seolah tak punya harapan.
Bersama salah satu petinggi DD, Mas Salman [Foto: DokPri] |
Inisiatif DD ini menjadi
satu cahaya kehidupan petani di Desa Cirangkong. Mengapa DD memilih desa ini
sebagai tempat contoh perkebunannya? Salah satu alasan DD adalah desa tersebut
sebagai salah satu desa marjinal dan banyak penduduk miskin.
Melalui dana wakaf dari
sumbangsih donatur, DD mampu mengangkat kembali kehidupan mereka. Wakaf di
tanah air sebenarnya sangat potensial. Sebelumnya, Badan Wakaf Indonesia (BWI)
pernah mengukur lahan wakaf. Hasilnya,
banyak lahan wakaf di tanah air belum secara maksimal dikelola.
Titik-titik wakaf itu ditemukan dalam jumlah besar, sekitar 450 ribu titik.
Sementara itu, luas lahannya sendiri sekitar 3,3 miliar meter persegi bernilai
600 triliun.
Melihat hal tersebut,
memang ironis. Wajar jika bangsa ini belum menjadi satu bangsa yang ‘apa-apa’,
padahal limpahan materi sumber daya alam begitu banyak. Saya bukan skeptis,
mungkin juga sumber daya manusia yang mau mengelola dan expert tak memenuhi
kriteria alias tidak ada. Tapi, tak mungkin kalau tidak ada. Masalahnya, siapa
yang ingin bergerak dan tergerak.
DD menjadi salah satu
lembaga yang komit dengan hal-hal yang dilakukan. Dari dana wakaf DD mampu
membesarkan mereka. Dari dana wakaf pula DD mampu menyejahterakan mereka.
Mereka pun kembali bersemangat dan giat. There
is a will, there is a way!
Berangkat dari hal-hal
tersebut, kalau kita sadar, sebagai negara dengan penduduk mayoritas muslim,
mestinya mampu menaikkan dan meningkatkan derajat kesejahteraan penduduknya
melalui zakat, infak, sadakah, juga wakaf.
Bukan tak mungkin, jika
wakaf dikelola secara baik, benar, juga amanah, akan terdapat perputaran dana
yang sangat besar. Tak hanya bergulir di antara orang-orang the have, tetapi turun ke fakir miskin
dan kaum dhuafa. Ya, di tanah air, wakaf hanya terlihat sedikit, sehingga bisa
dibilang seperti gunung es. Di balik itu semua ada hal-hal yang tak terduga dan
kita tidak tahu. Maka dari itu, DD terus mendengungkan dan menggalakkan
mengenai pentingnya wakaf.
Boleh dilihat hasil dari
wakaf yang diinisiasi oleh DD di desa Cirangkong Kabupaten Subang ini dalam
bingkai kebun buah naga dan kebun nenasnya. Petani-petani mulai berhasil
memanen buah naga dan nenas dengan hasil yang sangat memuaskan.
Model pertanian tumpang
sari yang diterapkan pun berujung pada hasil ganda. Betapa tidak, jarak tanam
buah naga yang cukup lebar, masih dapat ditanami dengan pepaya Calina dan pohon
jambu Crystal. Lahan yang juga dimanfaatkan tak sekadar tanam, petani setempat
memelihara kambing.
Di sini, terjadi fungsi multiple simbiosis antara buah, lahan,
dan hewan untuk menghasilkan buah dengan
produksi tinggi dan hewan-hewan dengan kategori baik. Kotoran kambing yang
dipelihara dijadikan bahan pupuk kebun buah. Begitu pula buah-buah yang busuk,
jatuh ke tanah menjadi pupuk juga kulit buah hasil kupasan. Semua kembali ke
alam.
Kmbing Satria, salah satu jenis kambing yang diternakan petani setempat [Foto: Dok Lita Chan Lai] |
Baik kulit buah naga,
kulit nenas, dan kotoran kambing, semua termanfaatkan di lahan pertanian ini. Tepat
mungkin peribahasa ini diberikan, “Tak ada rotan akar pun jadi”. Ya, tak mesti
mengharapkan atau mencari-cari yang tidak ada. Sementara, di sekitar masih
banyak yang dapat dimanfaatkan.
Buah naga atau pitaya (Inggris) sebagai buah dari jenis
kaktur bermarga Hylocereus dan Selenicereus berasal dari Meksiko,
Amerika Tengah, dan Amerika Selatan. Akan tetapi, kini banyak dibudidayakan di
hampir semua negara di dunia, terutama di Asia (Filipina, Indonesia, bahkan
Taiwan). Bunganya dapat ditemukan mekar di malam hari. Di Israel, Australia,
dan Jepang (Okinawa), bahkan di Tiongkok Selatan, buah naga bisa ditemukan.
Sekitar 1870, buah naga
dibawa oleh orang Perancis dari Guyana ke Vietnam yag menjadi tanaman hias. Nah,
menurut cerita, orang Vietnam dan China beranggapan bahwa buah naga sebagai
buah yang membawa berkah. Karenanya, buah ini diletakkan di antara dua ekor
patung naga warna hijau. Warna merah buah yang sangat terlihat menonjol di
antara warna-warna lainnya.
Buah Naga, buah dengan banyak nutrisi [Foto: DokPri] |
Menurut kebiasaan
tersebut, terutama di kalangan orang Vietnam yang memang terpengaruh banyak
kultur China dikenal sebagai buah naga (Thay
Loy). Lantas diterjemahkan di Eropa dan beberapa negara lain dalam bahasa
Inggris menjadi buah naga (dragon fruit).
Varian buah naga merah [Foto: DokPri] |
Di Desa Cirangkong ini,
kebun buah naga yang ditanam terdiri atas dua warna buah, yaitu merah dan putih
dan nenasnya dari jenis nenas madu (honey).
Mengapa tanaman ini yang dipilih? Buah naga dan nenas sebagai salah satu buah yang banyak
dicari dan disukai masyarakat sekarang. Selain kandungan vitamin yang tinggi, juga mudah
ditanam.
Proses produksi pengolahan nenas [Foto: DokPri] |
Apalagi kedua tanaman
ini tak memerlukan banyak air. Seminggu sekali tanaman disiram. Tidak disiram
setiap hari bukan tanpa alasan, buah naga yang masuk ke dalam golongan
kaktus-kaktusan ini biasa hidup di lahan kering. Jika terlalu banyak air,
kemungkinan pohon buah dan akar akan mengalami pembusukan. Begitu pula nenas. Nenas
termasuk tanaman yang mampu hidup di lahan kering. Jadi, untuk pemeliharaan tak
terlalu sulit.
Memelihara buah naga dan
nenas memang tak terlalu sulit. Kesulitan masih dapat diatasi. Sejauh ini,
penyakit yang sering menyerang buah naga berupa stem cancer (kanker batang).
Ayam tidak dianggap sebagai hama, namun mereka dapat menyebabkan kerusakan parah pada buah jika masuk ke kebun. Penyakit yang ditemukan dalam buah naga adalah ganggang merah karat (Cephaleuros sp.), Anggur oranye (Fusarium sp.), Anggur putih (Botryosphaeria sp. dan Phomopsis sp.), Batang hawar (Helminthosporium sp.) dan antraknosa (Colletotrichum sp.), Dothiorella spot, kecokelatan busuk batang, batang menguning, busuk buah (Colletotrichum sp. dan Helminthosporium sp.).
Ada penyakit tentu ada langkah pencegahannya yang dapat dilakukan, antara lain mengusahakan kebun selalu bersih dari gulma dan sampah, tidak ada air hujan yang menggenang, dan pemberian fungisida secara berkala untuk mencegah serangan jamur.
Agung Karisma, pendamping petani di Desa Cirangkong [Foto: DokPri] |
Sementara, di lahan yang mencapai luas 8 hektar tersebut, produksi nenas juga dihasilkan. Nenas-nenas tersebut saat ini masih dikupas secara manual. Buah yang dihasilkan pun masuk ke dalam tempat pengolahan yang ada tak jauh dari kebun buah. Hasil akhir dikirim ke Tangerang untuk dibuat semacam jam/selai sebagai isian roti.
Nenas Madu hasil dari kebun binaan DD Desa Cirangkong [Foto: DokPri] |
Sebagai bentuk kepedulian DD dari wakaf, taraf hidup masyarakat mulai meningkat. Ya, wakaf menjadi instrumen ekonomi yang sangat potensial untuk ummat Islam.
“Wakaf produktif menjadi aset wakaf yang dikelola secara produktif hingga menghasilkan surplus wakaf beserta hasil pengelolaanya. Dari wakaf produktif ini juga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat kalau dikelola secara baik dan benar. Sasarannya mengembangkan aset atau menyewakannya tetapi kalau aset tidak potensial, maka akan merugi,” ucap Ahmad Shonhaji, selaku Direktur Mobilisasi Wakaf Dompet Dhuafa.
Sejujurnya, memang banyak tanah wakaf yang tidak dikelola secara baik dilihat dari potensial produktif lahan yang dapat diberdayakan untuk kebermanfaatkan ummat. Semestinya, hal ini dapat dihindari dengan mengajak lembaga juga instansi seperti DD dalam pengelolaan yang profesional hingga bisa produktif dan membantu masyarakat sekitar, baik secara ekonomi juga sumber daya manusia.
Oleh karenanya, sebagai lembaga nirlaba punya masyarakat Indonesia, DD bersungguh-sungguh ingin mengangkat harkat sosial kemanusiaan kaum Dhuafa dengan dana ZISWAF (Zakat, Infak, Sadakah, dan Wakaf), juga dana lainnya yang halal dan legal dari perseorangan, kelompok perusahaan/lembaga. Selama 24 tahun, DD sudah memberikan kontribusi lebih terhadap layanan perkembangan ummat di bidang sosial, kesehatan, ekonomi, dan kebencanaan (CSR).
Keinginan DD dalam meningkatkan sektor wakaf untuk memberikan supporting yang semakin kuat dalam program pemberdayaan, baik dengan cara membuka lapangan pekerjaan, stimulasi tumbuhnya sektor ekonomi produktif, juga meningkatkan sumber penghasilan lembaga untuk dana santunan kepada para mustahik.