Saturday, February 3, 2018

Kecam Sawit Eropa Bunuh Indonesia



Uni Eropa berusaha membunuh petani sawit Indonesia [Foto: Dok https://cdn-a.william-reed.com]

Bicara sawit, bicara manusia. Hal ini penting bagi  sepanjang sejarah manusia. Banyak produk  dan olahan makanan berasal dari sawit. Sawit pun begitu banyak digunakan dalam lansekap (arsitektur). Sawit menjadi salah satu tanaman yang paling penting secara ekonomi.

Di dalam banyak budaya historis, sawit menjadi simbol gagasan kemenangan, kedamaian, dan kesuburan. Untuk warga dunia penghuni iklim sejuk, sawit sebagai perlambang daerah tropis dan menjadi tempat destinasi wisata tak tertandingi.  

Secara morfologi,  sawit tumbuh sebagai pohon dan semak. Memiliki dua metode pertumbuhan, secara soliter dan berkelompok.  Representasi sawit secara soliter diakhiri dengan mahkota daun.  Karakter monopodial itu diperlihatkan oleh batang yang tidak merunduk, trunkless, dan trunk-forming.

Sawit yang secara umum dibatasi oleh pertumbuhan soliter meliputi Washingtonia dan Roystonea. Pohon sawit  terdapat tunas aksila di simpul daun, biasanya di dekat pangkal tunas baru muncul. Sawit memiliki daun besar berwarna hijau yang merupakan senyawa palmately (fan-leaved) atau pinnately (bulu) tersusun secara spiral di bagian atas tangkai. Daunnya indah, memiliki selubung tubular dan akan membuka di kala cukup usia.

Bunganya jenis spadix atau spike yang dikelilingi oleh satu atau lebih bracts atau spathes dan semakin tua akan mengeras. Bunga berwarna putih dan kecil berbentuk radial simetris dapat berupa uniseksual atau biseksual. Sepal dan kelopak biasanya masing-masing berjumlah tiga dan mungkin berbeda atau bergabung di bagian pangkal. Benang sari umumnya berjumlah enam dengan filamen terpisah, menempel satu sama lain atau menempel pada bagian alas putik. Buah sawit merupakan buah berbiji tunggal terkadang buah berry.Kalau diurai satu per satu morfologi kelapa sawit, tentu tak akan pernah selesai.

Ya, bicara sawit  tak lepas dari APKASINDO. Apkasindo menjadi Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia yang terbesar di negeri ini dengan anggota empat puluh juta lebih. Saat ini, kelapa sawit sebagai pemasok devisa paling besar. Hal ini diakui oleh seluruh dunia bahwa Indonesia memiliki perkebunan kelapa sawit terbesar. Karena besarnya itu tadi, orang-orang melihat di mana letak kelemahan Indonesia dari sisi penanamannya.
 
Kata siapa perkebunan sawit merusak lingkungan? [Foto: Dok http://www.thestar.com.my]
Sekarang, Eropa mulai membidik Indonesia mengenai tata kelola penanaman kelapa sawit. Dengan satu pertanyaan yang mengganggu “otak” mereka, mengapa sawit Indonesia bisa mengalahkan minyak yang mereka miliki, seperti minyak jagung, biji bunga matahari, dan sebagainya?

Saat ini, banyak isu-isu yang dilontarkan kepada Indonesia berkaitan dengan sawit, sementara kehidupan orang-orang atau petani kita yang hampir 40 juta bergantung pada sawit.

Oleh karenanya, peran ahli, terutama orang-orang yang berkecimpung di kelapa sawit sangat diharapkan untuk keberlanjutan sawit negeri ini. Melihat posisi petani kelapa sawit Indonesia seperti dibunuh oleh Eropa.

Salah satu hal yang dikaitkan atau dituduhkan terkait pengembangan kelapa sawit khususnya di Indonesia adalah persoalan sustainability. Walaupun ketika kita berhadapan dengan beragam pihak di Uni Eropa, mereka tidak akan menyangkal kalau kita sampaikan bahwa kelapa sawit bukan sekadar komoditi biasa, tetapi kelapa sawit mengandung tiga hal yang sangat pokok.
 
Biji kelapa sawit sebagai bahan baku minyak goreng [Foto: Dok http://www.ifc.org]
Pertama, terkait dengan pengentasan kemiskinan. Yang kedua terkait dengan pembangunan masyarakat, dan ketiga terkait dengan upaya-upaya global di dalam berusaha mencari keterkaitan dengan sustainable tersebut. Apabila ketiga hal ini diberikan kepada mereka (Uni Eropa), sudah dipastikan, mereka tidak akan bisa menentang.

Akan tetapi, persoalan utamanya bukan di ketiga hal itu. Tetapi selalu, di dalam forum terpisah persoalannya  yang digembar-gemborkan terkait sustainability, mempekerjakan anak di bawah umur, gender, juga lingkungan hidup.

Terkait hal ini  Bapak Ir. H. Aziz Hidayat, Kepala Sekretariat Komisi ISPO, sebagai tokoh sentral di dalam pengembangan Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO), akan angkat bicara. Bagaimana sesungguhnya ISPO di Indonesia berjalan.  

Di dalam negeri pun ISPO masih belum sepenuhnya dipahami oleh seluruh lapisan pemerintah. Betapa pentingnya ISPO yang mengandung unsur strategis untuk dapat diterapkan dalam menangkal sebagian isu-isu yang dilontarkan kepada kelapa sawit Indonesia. Di dunia, Indonesialah yang pertama menerapkan sertifikasi ISPO ini.

Sementara, Pak Mahendra Siregar, selaku Direktur Eksekutif Asosiasi Negara-Negara Produsen Sawit Dunia. Bagian ini memiliki posisi yang sangat strategis karena akan mewakili industri sawit nasional kita untuk menghadapi beragam tuduhan tentang sawit Indonesia juga isu-isu yang dilakukan oleh pihak luar negeri. Pak Hendra bicara tentang pemikirannya mengenai diplomasi sawit.

Asmar Arsjad selaku Sekjen Apkasindo mengatakan bahwa  sawit adalah rakyat. Kita semua maklum, dari 12 juta kelapa sawit internasional dan 20 juta kelapa sawit nasional, hampir 45% adalah kelapa sawit rakyat. Sekitar lima juta lebih kelapa sawit rakyat.
 
Asmar Arsjad Sekjen Apkasindo [Foto: Dok Pri]
Kenapa kita bicara rakyat?  Kita ketahui bahwa lebih dari 40 juta orang, pendapatannya ada di kelapa sawit. Mulai dari petani itu sendiri, pedagang, pabrikan, hingga kepada petani yang menjual atau orang-orang yang terlihat dengan kelapa sawit.

Saat Amar Arsjad melakukan pertemuan dengan Duta Besar Eropa, disampaikan semua hal yang berkaitan dengan kelapa sawit. Yang dipertanyakan adalah, “Mengapa sustainable harus kepada kelapa sawit?” 18 juta hektar dunia, dan 12 juta hektar Indonesia punya, kenapa tidak pada kedelai, bunga matahari?

Dengan entengnya Duta Besar Eropa menjawab, “Itu cerita lama”. Menurut Pak Amar, Indonesia baru membangun, jadi mesti ada pengorbanan, apakah itu hutan atau segala macamnya. Wajar saja, dulu Eropa dan Amerika juga membabat hutan, Indonesia tidak ribut juga kebarakan hutan, California, Kanada.

Jadi Amar Arsjad katakan pada saat itu bahwa Uni Eropa ini sebagai mafia, pelanggaran HAM. Mereka malah memberikan data kepda wakil Indonesia, “kita tidak anti sawit”. Import kelapa sawit dari Indonesia terus meningkat setiap tahun. Kalau begitu, Uni Eropa ini seperti orang bermuka dua, di satu pihak anti kelapa sawit, biodiesel berbasis minyak sawit dilarang masuk. Jadi, menurut Amar Indonesia tidak bisa bicara kepada Uni Eropa terlalu vokal, harus ada aksi.

Oleh karena itu, pemerintah perlu didorong . lima tahun lalu apkasindo mengatakan, “Jangan eksport CPO ke Uni Eropa. Apakah kita berani?” Tiga tahun lalu Apkasindo sempat melakaukan demo di Jakarta, “Boikot barang-barang Uni Eropa, apakah berani?”

Jadi pemerintah harus didorong. Kalau kita (petani) siap, apapun risikonya, untuk kepentingan nasional, semua rakyat sawit akan melakukan apa saja. Jadi, pemerintah memang harus benar-benar didorong, apapun itu. Apakah berani memboikot barang-barang Uni Eropa?

Beberapa waktu belakangan, Menteri Perdagangan mengatakan,  bahwa “Kita harus action”. Susu bubuk  misalnya, kenapa harus masuk Indonesia? Menteri Perdagangan juga bilang, “Supplay Chain!” Kalau negara ini mau maju dan bersaing di pasar global, kita harus supplay chain.

Menurit Amar ini merupakan momentum bagi kita, kalau pemerintah ingin membela petani kelapa sawit, membela rakyat yang 40 juta orang itu (petani sawit). Diplomasi sudah banyak dilakukan.

Bayangkan saja, jika pemerintah tidak beraksi dengan hal ini, sekitar 5,3 juta penduduk petani sawit Indonesia dibunuh oleh Eropa. Eropa tidak dibiarkan melakukan gerakan  sistematis di Parlemen mereka. Mereka melakukan voting yang menyetujui proposal UU Energi terbarukan di dalamnya melarang penggunaan minyak sawit untuk biodiesel tahun 2021. Proposal yang diajukan harus memperoleh persetujuan dari eksekutif Komisi Eropa dan pemerintah negara-negara anggota agar bisa diterapkan.

Di kesempatan inilah Amar Arsjad dan rekan-rekan berusaha untuk mempertahankan dan memperjuangkan petani sawit Indonesia dengan mendatangi duta besar Uni Eropa agar proposal tersebut tidak diterima.

Apkasindo berusaha dan mencoba mendorong pemerintah untuk melakukan langkah nyata. Tentu saja ini tidak bisa diomongkan, perlu strategi khusus yang bisa dilakukan. Karena hal ini tidak main-main. Apa yang disampaikan  Pak Asmar kepada press dan blogger tidak mengekspor CPO dan produk-produk turunannya ke Eropa yang sekarang mungkin masih sekitar 20% dari total ekspor Indonesia. Itu yang pertama.

Yang kedua adalah memboikot produk-produk Eropa. Ini sebagai status yang tidak main-main. Hal ini terkait dengan apa yang dirumuskan Apkasindo, bahwa Apkasindo melihat situasi yang terjadi sekarang ini adalah ancaman bagi industri sawit Indonesia.

Bagaimana kita menyikapi dari sisi keberlanjutan usaha  kelapa sawit Indonesia? Ir. H Aziz Hidayat, Kepala Sekretariat Komisi ISPO menyampaikan paparannya. Masih banyak di antara kita yang belum banyak memahami ISPO.
 
Ir. H. Aziz Hidayat, Kepala Sekretariat Komisi ISPO [Foto: Dok Pri]
Ada juga beberapa kementerian yang belum penuh secara komitmen untuk mendukung adanya ISPO. Komitmen penerapan ISPO ini diharapakan dapat meningkatkan kredibilitas. Kredibilitas ini sangat penting karena akan sangat mempengaruhi keberterimaan ISPO sendiri di dunia internasional. Karena masih ada yang menyangsikan keberadaan ISPO ini.

ISPO lahir sebagai amanat UU Perkebunan (UU No. 39 tahun 2014 tentang Perkebunan). Azasnya sangat jelas, akan tetapi pertanyaannya adalah apakah kita sudah berdaulat dengan sawit kita, padahal kita nomor satu di dunia?

Ternyata, belum. Itu karena kita masih ditekan, dipengaruhi oleh negara asing yang tidak punya sawit. “Sawit hingga hari ini masih menjadi komoditi satu-satunya yang masih menjadi nomor satu di dunia,” ucap Aziz.

Komoditi Indonesia yang dulu unggul seperti tebu, kopi, juga kakao, sekarang sudah merosot, tinggal sawit saja. Apakah kita rela sawit juga bernasib sama?

Tentunya tidak, seperti yang dikatakan Pak Amar, “Sawit adalah Rakyat”.  Tujuan dari pasal 3 UU Perkebunan sudah banyak yang tercapai. Hal itu terbukti dari devisa sawit itu menjadi nomor satu di Indonesia.
Undang-undang perkebunan pasal 3 telah memenuhi tujuan yang diinginkan dari keberadaan sawit di Indonesia, yaitu:
·        Kesejahteraan dan kemakmuran rakyat
·        Sumber devisa negara
·        Lapangan kerja dan kesempatan usaha
·        Produksi, produktivitas, kualitas, nilai tambah, daya saing, dan pangsa pasar
·        Kebutuhan konsumsi & bahan baku industri dalam negeri
·        Perlindungan kepada pelaku usaha perkebunan dan masyarakat
·        Mengelola & mengembangkan sumber daya perkebunan secara optimal, bertanggung jawab dan lestari
·        Pemanfaatan jasa perkebunan

Kelapa sawit menjadi bagian ekspor terbesar Indonesia pada 2016. Niali ekspor sawit pada 2016 sebesar 12,32% dari total ekspor Indonesia atau 13,56%  dari ekspor non migas. Nilai ekspor sawit 2016 US$17.8 miliar (25, 7 juta ton CPO, PKO, dan turunannya, dan 5,2 juta ton bungkil dan cangkang, lebih besar dibanding tahun 20115, yaitu US$16.5 miliar.

Program  B-20, biodiesel yang dihasilkan 2,7 juta KL. Impact biodiesel sendiri terjadi pengurangan emisi gas rumah kaca 4,49 juta ton CO2. Nilai tambah industri hilir melalui biodiesel Rp4,4 triliun, penghematan devisa negara & Ketergantungan pada bahan bakar fosil Rp14,83 triliun.

“Sawit ini menjadi tanaman anugerah Tuhan bagi bangsa Indonesia untuk bangsa di dunia. Dan tidak ada dari pohon sawit yang terbuang, semua dapat dimanfaatkan dan punya nilai ekonomis,” jelas Pak Aziz.

ISPO juga mengikut perkembangan dari negara-negara yang Indonesia ekspor. Utamanya adala memenuhi Amsterdam Declaration in Support of Fully Sustainable Palm Oil Supply Chanin by 2020. Ekspor sawit Indonesia untuk tahun 2020 harus sustainability.

Hal ini dipantau oleh ESPO(European Sustainable Palm Oil). Publikasi secara resmi ESPO di Brussel pada 23 November 2017 menunjukkan perkembangan yang sangat signifikan. Pada 2016 impor CPO oleh Eropa untuk bahan makanan dan refinery mencapai 69% yang sudah CSPO (Certified Sustainable Palm Oil), diantaranya 60% diproses untuk industri makanan.

Juga terdapat trend positif penggunaan SPO di Eropa sejalan dengan meningkatnya produksi CPO dari negara-negara produsen sawit pada 2017 yang terdiri atas RSPO seluas 2,83 juta Ha (tak hanya Indonesia), ISPI seluas 1,9 juta Ha, dan MSPO seluas 260 ribu Ha. Terkadang ESPO di anggap lebih jelek dari MSPO.

Bagaimana usaha kita mengatasi black campaign sawit? Salah satu upayanya dengan ISPO, tujuannya untuk mendorong usaha perkebunan untuk  menaati peraturan yang telah dikeluarkan pemerintah (kepatuhan), meningkatkan kesadaran pengusaha kelapa sawit untuk memperbaiki lingkungan, melaksanakan perkembangan perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan, dan meningkatkan daya saing minyak sawit Indonesia di pasar internasional. Ada 16 undang-undang yang perlu dipatuhi. Kalau hal-hal itu terpenuhi, artinya sawit Indonesia patuh terhadap undang-undang.

ISPO menerapkan semua peraturan perundangan terkait  keberlanjutan yaitu peraturan Menteri Pertanian No. 11 tahun 2015, “Sistem Sertifikasi Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (ISPO) dasar penerapan ISPO.

ISPO ini melindungi lingkungan, taman nasional, sumber air, sepadan sungai, pantai, daerah rawan bencana alam, hutan atau padang rumput dengan keanekaragaman hayati yang tinggi dan area yang memiliki sejarah tinggi. Juga melindungi spesies tanaman terancam punah, area perkebunan harus  memperhatikan spesies tersebut dan menemukan alasan mereka terancam punah. Spesies yang terancam punah tidak dapat dipelihara  di perkebunan tanpa  perlakuan khusus dan izin dari pemerintah.

Sertifikasi ISPO mengacu pada ISO (17021-2006; 19011-2011; 9001-2008; 14001-2004; dan 17000-2004, IAF (International Accreditation Forum), PP No. 102 tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional, Keppre No. 78 tahun 2001, tentang Komite Akreditasi Nasional, Sistem Sertifikasi Nasional tahun 2010, dan UU Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian No. 20/2014.

Sementara itu pelaksanaan ISPO sendiri tidak memihak dan penilaian dilakukan oleh lembaga terakreditasi yang disetujui Komisi ISPO. Sertifikasi ISPO mengacu sesuai sistem dari Organisasi Internasional untuk Standardisasi (ISO). ISPO sendiri sudah memberikan pengakuan kepada 12 negara lembaga sertifikasi dan mengakui 1.184 auditor, 8 lemabga konsultan, dan satu lembaga untuk penyelenggaraan pelatihan pelatihan Auditor ISPO.

Pun sekretariat Komisi ISPO berkoordinasi dengan BSN dan KAN memverifikasi laporan hasil audit ISPO dari LS sebagai bahan tim penilai dan komisi ISPO dalam memberikan pengakuan sertifikasi ISPO, fasilitasi pelatihan auditor ISPO, pengawasan dan evaluasi pelaksanaan audit ISPO oleh lembaga sertifikasi, serta penyelesaian sengketa.

Jika ada pernyataan bahwa sawit menyebabkan deforestasi itu tidak benar. Justru, sawit-sawit inilah yang menyelamatkan hutan-hutan yang dulu telantar dan rusak. “Justru sawit inilah yang menyelamatkan”, tutur Aziz.

ISPO secara tegas tidak membenarkan adanya diskriminasi dan mempekerjakan anak. Mewajibkan pelaku usaha memberikan hak pekerja sesuai peraturan perundang-undangan. Seperti fasilitas pembentukan serikat pekerja, upah yang layak sesuai UMK, Jaminan Kesehatan, Keselamatan Kerja, dan sebagainya.

ISPO juga memiliki prinsip menghormati hak masyarakat adat, tak boleh  berkonflik dan sengketa dalam pembebasan lahan. Perolehan lahan yang berasal dari hak ulayat/hak adat wajib terlebih dahulu dilakukan musyawaran bersama masyarakat adat pemegang hak adat dan warga pemegang  hak atas tanah bersangsuktan yang dituangkan  dalam kesepakatan penyerahan tanah dan imbalannya dengan diketahui gubernur/bupati/walikota sesuai kewenangan.

Pun manfaat ISPO memberikan  sesuatu yang lebih untuk pelaku usaha industri sawit  juga meningkatkan daya saing sawit Indonesia di pasar internasional mendukung terwujudnya Sustainable Development Goals.
Memang, ISPO perlu disosialisasi secara seluas agar masyarakat dan pelaku usaha industri kelapa sawit paham. Jadi, ISPO sebagai salah satu langkah untuk menghindari justifikasi pihak-pihak asing yang mengatakan bahwa sawit sebagai perusak lingkungan.

Mahendra Siregar dengan pengalamannya melihat situasi dalam negeri untuk konteks luar negeri: bagaimana diplomasi sawit Indonesia yang sudah berlangsung selama ini.
 
Mahendra Siregar [Foto: Dok Pri]
Kata kunci dari persoalan yang dihadapi industri sawit Indonesia dengan Uni Eropa ini adalah “Diskriminasi”, tidak ada yang lain. Tetapi, seperti kita kerap dengar, pada saat membahas diskriminasi ada yang membatasi terminologi diskriminasi yang terkait  dengan prinsip-prinsip yang ada di dalam WTO. Intinya adalah tidak melakukan pembatasan atau pengenaan tarif impor dan langkah-langkah kebijakan perdagangan yang diskriminatif. Hal ini yang disebut prinsip antidiskriminasi.

Ada beberapa hal untuk diskriminasi ini. Pertama, dalam kaitannya dengan WTO. WTO menetapkan tuduhan anti dumping Uni Eropa terhadap biodiesel ekspor sawit dari Indonesia, itu tidak beralasan dan meminta Uni Eropa membatalkan. Bahkan di pengadilan Uni Eropa sendiri juga dibatalkan karena terbukti tuduhan  itu tidak benar.

Ada beberapa hal tentang diskriminasi ini, berkenaan dengan parlemen Eropa, bahwa mereka mengeluarkan resolusi tahun lalu dalam konteks sawit dan deforestasi. Dikaitkan dalam konteks WTO-nya,dikatakan hal itu tidak mengikat. Tidak punya efektivitas legislasi dan sebagainya. Benar, akan tetapi seluruh prosesnya dan pemberitaannya sebagai bentuk diskriminatif terhadap sawit. Tidak harus menunggu hingga benar-benar efektif menjadi satu kebijakan.

Lalu, bentuk diskriminasi lain yang dilakukan dengan berbagai studi. Studi yang melihat bagaimana keberlanjutan sawit. Padahal sebenarnya kalau bicara soal keberlanjutan mestinya harus berlaku utuk semuam komoditi. Tidak bisa tidak. 

Kemudian diskriminasi oleh berbagai pihak. Apakah itu media, LSM, dan lain-lain. Lalu juga diskriminasi oleh perusahaan. Seperti perusahaan-perusahaan Eropa dan label-label yang mengatakan tidak mengandung sawit (no palm oil content). Ini sebagai bentuk diskriminasi. Mendeskriditkan sawit, bahwa dengan mendeskriditkan sawit penjualan mereka dapat meningkat. Belum lagi isu yang ditebarkan bahwa sawit menyebabkan deforestasi. Padahal pengadilan  di Belgia sendiri sudah membuktikan bahwa hal ini tidak benar.

Sawit menjadi komoditi utama perkebunan yang menjadi penggerak dalam mengentaskan kemiskinan dan pendorong pembangunan desa. Banyak prestasi pemerintah Indonesia bersama petani kelapa sawit dalam mencegah kebakaran hutan juga mengedepankan tata kelola lingkungan hidup berkelanjutan sudah seharusnya dihargai dan dipercaya dunia.

Bahwa tudingan deforestasi di sektor perkebunan sawit sama artinya tidak menghargai pemerintah Indonesia. Karena sawit banyak ditanam di areal pengguna lain yang sudah ditetapkan pemerintah atau lahan-lahan telantar. Kelapa sawit tidak ditana di areal konservasi. Eropa tak melihat fakta ini justru lebih senang mendeskriditkan dan menuding penyebab deforestasi tanpa melihat fakta di lapangan.
 
Foto bersama narasumber dan moderator [Foto: Dok Pri]
Pemerintah kita mesti bertindak tegas dalam melihat hal ini. Ini tidak dapat dibiarkan. Mengecam sawit sama dengan mengecam Indonesia, sawit itu rakyat.