Wednesday, October 10, 2012

INDAH PADA WAKTUNYA

Memang sih, kalo dipikir-pikir tanpa nalar seperti mimpi. Selama ini, tak terbayangkan bisa menggapai sedikit demi sedikit apa yang dicita-citakan. Let it flow aja. Gak pernah ngebayangin  dapat hidup dalam ikatan perkawinan yang damai, tenang, adem ayem.

Dulu, emak bilang, "Win, kalo kau nanti mau kawin, mak hanya bisa mendoakan, semoga kau dapat wanita saleha dan mengerti keluarga".

Aiih, ucapan emak itu topcer monceeerr... alhasil, didenger sama Allah SWT, dapetlah anak yang bernama Win ini wanita saleha dan mengerti keluarga. Sayangnya, si emak yang punya anak Win ga bisa hadir karena masih terhalang sakit.  Mak selalu berdoa di sela-sela tidur di atas dipan kayu tuanya.

Selang beberapa bulan, sang istri mengandung, si emak masih sakit-sakitan. Tapi, saat Win menelepon si Emak, Emak begitu semangat menyambut. Obrolan panjang pun sanggup Emak jabanin... mungkin saking senengnya karena anak kandung yang menelepon.

Tapi, kondisi Emak ga bertahan lama. Lama kelamaan Mak drop, koma. Diagnosis dokter hipoglikemia... Waktu itu, si Bapak ga kepikiran bawa Emak ke rumah sakit. Dipikir Bapak, emak bisa pulih dalam waktu 2-3 hari. Tapi, kondisi berkata lain. Emak makin lemah dan tak berdaya.

Akhirnya, keputusan jatuh, Emak harus dibawa ke rumah sakit. Ohhh... sempat beradu urat leher antara anak-anak Emak dengan petugas kesehatan. Mak masuk IGD pukul 10 pagi, baru dapet kamar pukul 2.30 sore... itu pun di bangsal yang isinya sampe 8 orang. Tiga hari di bangsal, akhirnya mak pindah ke ICU. Di ICU itulah semua terjadi. Emak cuma bertahan 2 hari... Emak terlalu baik, Allah SWT tak ingin melihat Emak terus menerus menanggung sakit... sampailah waktu yang paling "indah" itu dalam hidup Emak... Oh Emak... kau Tuhan dalam hidup nyata anak-anakmu di dunia.

BADAK YANG ANGKUH


Di pedalaman hutan Ujung Kulon ada seekor badak yang memiliki tubuh tambun. Badak itu memiliki cula yang sangat tajam. Kaki-kakinya besar dan sangat kuat. Di hutan itu, dia terpilih menjadi raja hutan.
Badak sangat ditakuti oleh hewan-hewan lain penghuni hutan itu. Tidak ada seekor hewan pun yang berani dan sanggup menentangnya. Serigala sekalipun tidak berani mengajak berkelahi. Bahkan, Harimau dan Singa yang terkenal buas pun tidak sanggup menghadapinya. Tak heran, itu karena kekuatan badak yang sangat luar biasa besarnya. Selain itu, belum ada hewan yang mengalahkan dirinya. Oleh karena itu, badak didaulat menjadi Raja Badak. Akan tetapi, angkuhnya minta ampun.

Ketika Raja Badak sedang berjalan-jalan melewati kumpulan para hewan, cukup keras Raja Badak berkata, “Hei, siapa yang berani dan siap bertanding melawanku?”
Para hewan yang mendengar lantang ucapan Raja Badak, semuanya terdiam. Semua menundukkan kepala dan ketakutan. Tak ada satupun yang berani mengeluarkan suara, meski hanya berbisik. Bergaya yang sangat angkuh, Raja Badak mempertunjukkan kekuatannya kepada para hewan yang ada di hutan itu dengan cara mencokel akar pohon kelapa melalui culanya. Akhirnya, pohon kelapa itu roboh. Begitu pula dengan pohon jambu yang tepat berada di depannya, juga tumbang. Rantingnya patah mematah, dan daunnya berguguran. Rumput-rumput dan ilalang pun disibakkan, sehingga akar-akarnya ikut tercabut. Tanah-tanah yang menempel di akar rerumputan dan ilalang pun berhamburan tak tentu arah. Raja Badak merasa di atas angin seolah tak ada yang benar-benar sanggup melawan dirinya.

Ketika suasana dalam keadaan tegang, tiba-tiba datang seekor kera. Raja Badak lantas berkata, “Hai hewan pohon berbuntut, dari mana kau?”
“Kenapa Raja Badak? Aku sedang berjalan-jalan menikmati indahnya pemandangan dan udara segar di hutan ini”, jawab Kera.

“Kenapa jalan sendirian dan tidak bersamaku?” tanya Raja Badak lagi.
“Berjalan sendirian lebih asyik, Raja Badak terlalu percaya diri, mengapa engkau harus ikut bersamaku!” jawab Kera sambil tersenyum.
Raja Badak sepertinya tersinggung mendengar ucapan Kera. Dia tak mengira jika hewan berbuntut itu berani berkata seperti itu. Seolah-olah telah memandang enteng dirinya. Selama ini, hewan-hewan penghuni hutan Ujung Kulon sangat takut kepadanya.

“Apa kau bilang?” kata Raja Badak bernada emosi.
“Apa engkau belum tahu kalau aku ini raja hutan yang sangat disegani dan ditakuti hewan-hewan penghuni hutan di sini. Begitu beraninya dirimu bicara tidak sopan? Engkau tidak takut kepadaku?”
“Aku tidak takut”, sela Kera. “Aku tidak akan pernah takut kepada hewan yang angkuh sepertimu, hei Raja Badak”. Sebenarnya, kekuatanmu tidak luar biasa, sama seperti hewan-hewan lain penghuni hutan ini!”
Perkataan Kera membuat Raja Badak semakin emosi. Kemarahan Raja Badak tak dapat ditahan-tahan lagi. “Benar-benar makhluk berbuntut tak waras!” Saatnya sekarang aku ingin menikmati isi kepalamu yang gurih itu!” kata Raja Badak dengan raut wajah merah padam.
“Ohh… baik jika engkau menginginkan isi kepalaku. Tetapi, terlebih dahulu Raja Badak harus dapat mengalahkanku dalam perlombaan esok hari di dalam hutan ini”, kata Kera berbuntut panjang menantang Raja Badak.

“Esok kita akan berlomba untuk mencari siapa yang paling kuat antara aku dan engkau. Jika engkau keluar sebagai pemenang, silakan ambil isi kepalaku dan cabik-cabik badanku dengan cula tajammu. Akan tetapi, jika aku  keluar sebagai pemenang, maka engkau harus tunduk dan patuh terhadap setiap perintahku dan mengakui bahwa akulah makhluk di hutan ini yang paling jago”, ucap Kera berbuntut sembari menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.

“Owh, boleh juga usulmu itu hei Kera berbuntut, teriak Raja Badak seolah menyetujui tantangan dari Kera.
Lantas, hewan-hewan penghuni di Hutan Ujung Kulon itu pulang ke tempat masing-masing. Seluruh penghuni hutan akan kembali esok pagi untuk melihat perlombaan antara Raja Badak dan Kera berbuntut.
Akankah Kera akan bertindak bodoh? Tentu tidak. Kera berani menantang Raja Badak sebab dia sudah punya ide untuk mengalahkan Raja Badak itu. Beberap waktu lalu, Kera membuat patung yang menyerupai dirinya. Patung itu dibuat dari kayu besi yang terkenal sangat keras dan kuat. Patung itu bukan patung sembarangan. Karena, patung itu dapat bergerak seperti layaknya Kera sungguhan. Oleh karena itu, jika digerakkan seolah-olah patung itu hidup. Kera beristirahat untuk mempersiapkan tenaga esok pagi sebelum perlombaan. Dia juga membuat patung itu benar-benar mirip dengan dirinya.

Pagi mulai menjelang, seluruh hewan penghuni hutan berkumpul di tempat yang sudah ditentukan itu. Mereka ingin melihat perlombaan seru dan sangat jarang itu. Gemuruh suara sangat ramai ketika Raja Badak muncul di hutan itu lebih awal. Selang beberapa menit diikuti oleh Kera berbuntut, gemuruh suarah pun kembali menggema di seantero hutan itu. Para penghuni hutan melihat situasi semakin seru dan panas.
“HIduuup Raja Badak!” Hidup Kera! Teriak penghuni hutan Ujung  Kulon penuh semangat.
Sang Bangau pun memberi komando, pertandingan segera dimulai. Raja Badak langsung mendengus dan mengejar Kera dengan culanya yang tajam. Sang Kera tetap tenang, malah menyambut serangan Raja Badak.

Awalnya, Kera tersudut dan terjatuh di tanah karena kaitan cula Raja Badak.  Akan tetapi, dia berdiri lagi menantang Raja Badak. Sementara itu, Raja Badak merasakan sesuatu yang sangat menyakitkan di culanya. Dia tidak mengira kalau tubuh Kera begitu kuat dan keras.
Saking geram dan penasaran, Raja Badak mengaitkan lagi culanya ke tubuh Kera. Kera terhempas lagi ke tanah, tetapi cepat berdiri dan mengajaknya berkelahi lagi. Terus-menerus Raja Badak mengaitkan culanya, sehingga membuat cula itu lama kelamaan kerkikis, menipis, lecet-lecet, dan patah. Sedang Kera tetap tenang dan bangkit menantang Raja Badak.

Raja Badak merasakan sakit yang teramat sangat karena culanya patah. Akhirnya, dia tidak mampu lagi meneruskan perlombaan itu. Akhirnya, sang Kera ditetapkan sebagai pemenang. Raja Badak harus siap mengakui kekalahannya dari Kera, dan mengakui pula jika Kera lebih pintar dari dirinya. ––Jun Joe—

SESAL KEMUDIAN TAK BERGUNA



Di dalam sebuah hutan, hiduplah sepasang Rubah. Rubah itu memiliki seorang anak laki-laki. Mereka hidup bahagia dan dalam kedamaian. Rubah itu selalu mengajak anak laki-laki satu-satunya bercanda dan bersenda gurau. Saat malam, mereka sering bernyanyi dengan suara lantang. Akibatnya, penunggu hutan yang lainnya, merasa terusik.

Lion sebagai raja hutan, tidak tahan mendengar suara berisik dari keluarga Rubah tersebut. Raja hutan ribut dan mengamuk. Sepasang Rubah itu pun diserangnya secara membabi buta. Bapak Rubah melawan dengan sekuat tenaga. Saat masih berkelahi, Pak Rubah meminta kepada anaknya yang masih kecil untuk berlari menyelamatkan diri.

Begitu takutnya Rubah kecil itu. Dengan perasaan takut yang masih menyelimut, Rubah kecil berlari sekuat tenaga. Sementara, ayah dan ibunya masih berkelahi sekuat tenaga melawan Raja Hutan yang bengis. Meskipun begitu, tetap saja kedua Rubah itu tidak mampu menghadapi Raja Hutan, mereka akhirnya tewas mengenaskan di tangan Raja Hutan. Sementara, Raja Hutan mengalami luka cukup parah.
Rubah kecil terus berlari hingga tenaganya habis. Di tengah jalan sang Rubah kecil jatuh pingsan. Kakinya luka-luka terkena duri dari dalam hutan. Ketika itu, lewatlah sepasang kerbau hutan. Mereka begitu iba melihat anak Rubah kecil itu kelelahan dan kaki luka terkena duri. Akhirnya, sepasang kerbau hutan itu menolong anak Rubah.

“Ibu, ayo kita tolong dan bawa pulang anak Rubah kecil malang itu”, kata Bapak Kerbau.
“Iya Pak, kelihatannya dia tidak jahat!” jawab Ibu Kerbau.
Anak Rubah kecil itu dibawa pulang dan diasuh dengan penuh suka cita oleh sepasang Kerbau hutan hingga sembuh. Memang, kebetulan sekali, keluarga Kerbau belum memiliki anak. Akhirnya, keluarga Kerbau mengangkat anak Rubah itu menjadi anak mereka.

Hari berganti hari, bulan berganti bulan, dan tahun berganti tahun. Rubah kecil yang malang itu, sekarang tumbuh menjadi dewasa dan berbadan kekar. Dia juga sangat rajin membantu kedua orang tuanya, meski itu orang tua angkat. Oleh karena itu, keluarga Kerbau Hutan begitu mencintai dan menyayanginya.
Hidup dalam kedamaian dan ketenangan selama bertahun-tahun, tanpa disangka, induk kerbau melahirkan anak kerbau kecil yang sehat dan cerdas. Begitu senangnya keluarga kerbau hutan, termasuk juga Rubah. Mereka begitu bergembira akan kehadiran seorang anak di tengah-tengah keluarga itu.
Beberap bulan sudah berlalu, Ibu Kerbau harus membantu sang suami berladang. Mereka menanam padi di sawah. Ketika itu, Ibu dan Bapak kerbau menitipkan anaknya yang masih kecil kepada Rubah. Rubah pun dengan setia menunggui adik angkatnya itu dengan riang gembira.
Begitu setianya sang Rubah menunggui adik angkatnya. Jangankan hewan-hewan ganas yang akan mengganggu, nyamuk dan hewan kecil lainnya dia halau. Oleh karenanya, bayi kerbau itu dapat beristirahat dengan tenang dan tidur nyenyak.

Menjelang siang, Induk dan Bapak Kerbau pulang dari ladangnya. Akan tetapi, keduanya sangat kaget dan terkejut melihat dari kejauhan anak angkat mereka berlari kencang bersimbah keringat.
“Paaaak, bapaaak! Ibuuuuuu! Cepaat pulang!” teriak Rubah sekencang-kencangnya.
“Apa yang terjadi” tanya Induk Kerbau dengan tatapan curiga saat melihat begitu banyak darah di moncong dan hidung Rubah.

“Ada apa engkau berlari-lari ke ladang? Bukankah kami memintamu menunggui adik di rumah?”. Jangan-jangan… Oh! Apakah engkau melahap adikmu sendiri?”
“Kurang ajar!”
“Tid… tidak Pak, bu…!”
“Pak, mulutnya banyak darah, jangan-jangan anak kita sudah dimakannya. Hajar saja dia Pak. Benar-benar anak Rubah tidak tahu balas budi!” kata Induk Kerbau.

Tanpa menungu dan bertanya apa yang sebenarnya terjadi, Bapak Kerbau memukul dan menghajar anak Rubah dengan kayu balok, sehingga anak Rubah itu jatuh pingsan dan terkapar di tanah. Begitu amarahnya Bapak Kerbau, anak Rubah itu dilempar ke dalam sungai yang mengalir deras.
“Pak, cepat lihat bayi kita!” Induk Kerbau meminta suaminya untuk segera melihat anak mereka.
Mereka tergesa-gesa berlari menuju rumah.

Apa yang ditemukan Induk dan Bapak Kerbau itu? Ternyata bayi mereka masih tidur dengan nyenyaknya. Anak mereka selamat dan tidak kurang apapun juga. Di dekat anak Kerbau itu terlihat bangkai Ular Piton yang sangat besar dengan kepala hampir remuk dan badan tercabik-cabik.
“Oh Tuhan,…jadi, Rubah itu telah menyelamatkan anak kita dari lilitan Ular Piton yang besar ini”, kata Induk Kerbau.

“Oooh Bu… bu… kita telah bertindak tanpa berpikir dan bertanya terlebih dahulu kepada Rubah”, ucap Bapak Kerbau kepada istrinya dengan raut wajah menyesal. Mereka berdua segera berlari menyusuri aliran sungai ketika anak Rubah itu mereka lemparkan. Akan tetapi, usaha mereka sia-sia. Rubah yang malang itu tidak dapat ditemukan lagi. Apakah sudah mati tenggelam atau hanyut dibawa aliran sungai yang deras itu. Tidak ada yang tahu. –Jun Joe