Wednesday, January 10, 2018

Laut dan Tegasnya Diri Boen Sri Oemarjati




Kalau saya melihat laut, laut ini identik dengan sosok yang benar-benar membuat saya belajar disiplin, teliti, dan cermat. Dia salah satu dosen yang “galak” tetapi sangat baik hati dan suka berbagi. Galak tapi suka berbagi dan baik hati itu yang membuat sebagian mahasiswanya jatuh cinta. Jatuh cinta dari cara beliau mendidik dan menerapkan apa itu kalimat “Tidak ada kata terlambat”, “Disiplin diri itu sangat penting”, dan “Cermat, teliti satu per satu sebelum dikemas”.


Hingga kini, kalimat-kalimat itu masih mengiang tak  hilang ditelan semesta. Saya selalu mengukir kalimat itu jauh di lubuk hati paling dalam. Apalagi, saat diri ini sudah menjelang semester akhir kuliah, dan sempat menjadi asisten praktikum mata kuliah yang beliau ajar . Dengar nama mata kuliahnya saja sudah megang jidat, TAKSONOMI HEWAN AVERTEBRATA. 

Bagaimana tidak megang jidat, pertama, yang dihadapi preparat semua (awetan) hewan-hewan tak bertulang belakang. Saya mesti menghapal dan tahu bagian dari hewan, baik makroskopis maupun mikroskopis. Selain itu, mesti terjun ke lapangan untuk melihat biota laut yang sesungguhnya. Hahahah… ngakak-ngakak juga saat pertama ke laut dan menikmati indahnya bawah laut itu.

Sebelum berangkat ke pulau yang menjadi tujuan praktikum, Pulau Pari, semua mesti dibuat daftar. Daftar peralatan yang mesti dibawa dan dipakai nanti di lapangan. Ahaaaa… di sinilah, raut wajah tegang pertama dimunculkan. Aje gileee… saya benar-benar mesti teliti. Tali transek panjang 10 meter yang sudah bertanda kain ditulisi dengan spidol yang tak boleh luntur (spidol permanen) ukuran 10 meter pertama hingga 10 meter terakhir.

Lantas, masker, snorkel, dan kaki katak  yang disesuaikan dengan kontur muka dan ukuran kaki. Aduh mak, ini benar-benar buat saya mesti siap sebelum tempur terjun ke laut. Gilanya lagi, beliau mengecek satu per satu masing-masing peralatan kelompok kalau-kalau ada yang kurang. Kalau ada yang kurang sebelum hari H, beliau masih berkicau riuh rendah dan masih bisa dicari.
Heran juga saya, biasanya kan ya diserahkan ke ketua kelompok. Tapi ini dosen, benar-benar hebat. Salut saya. Seperti tak kenal kata lelah untuk mengecek  setiap kelompok. Kalau sudah tak ada yang kurang, perasaan lega.

Beliau ini memang istimewa bagi saya. Mungkin di sebagian mahasiswa lainnya juga. Baiknya itu lho. Sampai-sampai, satu kelas dibeliin magnum yang waktu itu zaman-zamannya magnum lagi happening dan digandrungi. Beliau juga yang membelikan untuk saya kertas skripsi, tinta printer, dan meminjamkan komputernya untuk saya mengetik skripsi. 

Nah, kalau bicara soal ketat, ini dosen super ketat. Terlambat sedikit masuk kelas praktikumnya, bisa-bisa……  Saya benar-benar belajar banyak disiplin dari dosen yang satu ini. Ini dosen multi talenta. Dulunya kuliah di Fak. Sastra UI, dan mengajar bahasa Indonesia di Jurusan Biologi. Eh,  beliau tertarik  sama Biologi dan ikut kuliah Biologi. Memang pada dasarnya dosen pintar, lulus di Biologi UI pun dengan predikat Cum Laude. Gelar S1-nya ada MIA (Matematika dan Ilmu Alam) waktu itu yang tersemat. S2 dan S3 beliau di Sastra (negara Belanda dan Jerman). Ngiri saya melihat kepintarannya. Tapi tidak sombong. 

Balik sebentar ke mata kuliah Praktikum Taksonomi Hewan Avertebrata itu tadi. Sebagai asisten dosen praktikum, saya dan beberapa teman mesti menyiapkan preparat (awetan) untukk dipraktikuman pada hari  itu. Bayangkan saya, hampir semuanya hewan tak bertulang belakang. Ada cacing pita, cacing kremi, ubur-ubur, spongia, dan masih banyak lainnya.

Saya mesti menjelaskan ke praktikan satu per satu bagian dari tubuh hewan-hewan tersebut. Sebelumnya belajar dulu pake beberapa buku acuan Avertebrate Taxonomy yang sudah lupa siapa penulisnya (hihihi… maaf). Paling inget ya buku Biologi Laut penulis James W. Nybakken (semoga benar nih tulisannya). 

Setelah praktikan jelas apa yang dilihat secara makroskopis, selanjutnya mesti juga jelasin secara mikroskopis. Yah, melalui bimbingan beliau (dosen) ini saya dan teman-teman asisten dibekali. Caranya menyampaikan materi juga enak dan tidak membosankan, meski serius. 

Beliau selalu menekankan, ketika ujian Praktikum Taksonomi Averterbrata tiba, itu yang buat jantung mau copot. Ampuuun maaak!! Kalau yang ga benar-benar belajar, bisa kosong blong itu kertas. Stress berat pokoknya kalau sudah ujian Avert (biasa kami sebut) datang. Ya, si dosen sih santai-santai. Mungkin dalam hati cekikikan melihat mahasiswa/i-nya bengong b**o gitu. Saya yang jadi asdos juga  ngakak dalam hati kadang senyum kecut. 

Ya, beliau menerapkan disiplin ujian menggunakan bel hanya dalam waktu 30 detik. Bisa ga bisa di 30 detik itu. Sistemnya berkeliling, kalau satu soal tak bisa dijawab, ya sudah, mesti mengingat-ngingat dengan sekuat tenaga. Itu soal yang diberikan preparat semua lagi.  Benar-benar tak ada kata “sontek mensontek”. 

Kedisiplinan yang beliau ajarkan kepada saya itu banyak buah manisnya. Mengatur waktu jadi penting, dan on time (tepat waktu) itu sudah jadi sarapan saya sehari-hari dari beliau. Masuk mata kuliah yang beliau ajarkan pun seperti itu. Bisa-bisa beliau sudah duduk manis menunggu mahasiswa/i-nya datang. Ya, kadang sembari  malu-malu meong yang agak-agak terlambat masuk kelas, maju mundur nyundul masuk. Malu banget kalau telat. 

Budaya itu beliau turunkan dan ajarkan secara ketat kepada asisten-asisten mata kuliah praktikum beliau. Mau tidak mau dan tanpa unsur paksaan, saya dan teman-teman terbiasa. Oleh karenanya, budaya ‘ngaret’ perlahan-lahan terkikis dari diri saya (berusaha terus untuk tak datang terlambat). Menurut saya, sudah basi  dan mesti dibuang ke tong ini kalimat “Lebih baik terlambat daripada tidak datang sama sekali.”  Sudah 2018, saatnya mengubah mind set untuk menetapkan dalam diri tidak datang, baik acara resmi maupun tak resmi, terlambat.

Satu kesukaan beliau, karena perokok, untuk tidak merokok di ruang kuliah atau ruang kerjanya, beliau mengunyah permen karet. Rambutnya diikat dengan pengikat rambut pita berwarna hitam. Terkadang rambut dua warnanya tergerai ditiup sang bayu yang centil. Kedua tangannya menghela rambut-rambut itu yang beliau sandarkan di antara telinga beranting khas. 

Kacamata tebal menggantung di antara dua daun telinganya. Tatkala kacamata itu dirasa kotoran tebal menempel, jika tidak menggunakan flannel, beliau sesekali menggosok-gosokkannya di antara ujung baju. Khasnya beliau pun tak akan hilang dari ingatan saya. 

Ya, beliau ini sangat mencintai laut. Kisah yang sudah bertutur ribuan tahun lamanya yang terselip di ujung horizon. Ketika Bumi masih dalam bentuk janin, laut berada dalam masa-masa perjuangan membentuk diri sendiri. Laut yang dinikmati dan digerayangi berisikan gumpalan lava-lava  panas dan saling berbenturan dengan bebatuan.

Ketika langit menyembul dalam warna jingga, kemudian memudar warna dalam hamparan cakrawala, tidakkah kita tahu bagaimana dengan warna laut? Ia juga menjingga, membias cahaya dengan cemerlang yang berkereta pada buih. Ketika langit mengelabu mendung menghampiri, bagaimana dengan warna laut? Ia pun enggan bercerita dan ceria, sedu sedan oleh abu-abu menyapa segara.

Laut itu sungguh setia pada warna yang berpendar. Laut yang selalu ada dalam warna horizon yang tercipta untuk saling mengerti. Saat kita mengarungi laut, di situ pula kita sedang mengarungi cakrawala. Keduanya takkan pernah dapat berpisah. Warna yang tersembul dari laut, sebagai pancaran warna langit.

Laut adalah tantangan. Di sana, pasukan itu dituntut untuk selalu waspada. Pasang mata, pasang telinga, siapkan kaki katak, masker, dan snorkel. Ia bercerita tentang kepuasan yang sangat tinggi ketika pasukan itu “mengawini”. Ia sebagai misteri yang harus benar-benar dicari, seperti mencari uang dalam butiran tepung atau seperti membuka lembar demi lembar buku yang tertutup debu. Laut itu lebih rumit dari rumus Statistika yang paling rumit sekalipun. Laut itu bukan jelmaan mikroba-mikroba yang senantiasa menggerogoti luka. Laut, sebagai bentuk jaringan yang terus menerus berkembang.

Lebih dari 24 tahun, saya tak sanggup menjumpai definisi laut. Seperti apa yang diminta dan dimau sang guru, Boen Sri Oemardjati (BSO biasa disingkat). Dia pun kini sudah tidak lagi terburu-buru memahami dan mengerti tentang laut sepertu dahulu kala. Tanpa banyak kata, BSO akan jabarkan laut itu seperti apa. Dahulu dia merasakan, laut itu begitu terasa dekat dengannya.
BSO mengenal laut seperti dia mengenal dirinya. Setiap jejak kakinya melangkah, setiap jengkal kedalamannya, setiap warna yang terurai dari pantulan langit, semua itu sebagai sebuah bentuk keindahan yang tak sanggup dia katakan.

Jika saya ditanya apa itu laut, mungkin saya hanya terdiam merenungi! Saya, tentunya akan memikirkan hal ini bisa lebih lama, lebih jauh, dan lebih dalam. Mungkin juga bisa menerawang ke mana-mana. Saya juga tak dapat menceritakan kepada beliau seberapa besar diri saya mencintai laut dan menyayangi apa yang ada di dalamnya.

Apalagi yang harus saya deskripsikan apabila dirinya (BSO) itu sebentuk laut itu sendiri. Tetapi, saya menemui di balik bundar dua bola matanya dahulu ada banyak senyum terkembang. Tatapan matanya begitu semangat untuk menceritakan tentang laut. Akan tetapi, kedua belah bibirnya tak sanggup untuk berkata, seperti apa laut yang dia tahu dan kenal sepanjang hidupnya. Dia melihat dan berkata, “Sekarang kamu sudah memahami tentang laut”.

Kekayaan alam yang tak ternilai harganya itu menjadi bentuk keindahan dan sumber keragaman hayati, mutiara alam yang sangat menakjubkan. BSO begitu memesona dan melekat dengan kehidupan lautnya. Terima kasih ibu yang telah memberitahukan saya banyak hal. Ibu yang telah menjadi bagian dalam kehidupan kuliah saya. Sekarang, dirimu telah tenang bersama dalamnya laut.

Disiplin, tekun, rajin, cermat, teliti, juga bersahaja, dirimu turunkan kepada asisten-asistenmu yang dulu pernah setia berada di samping dan laboratorium hingga nyawa tercabut dari raga. Hal-hal yang pernah diajarkan olehmu akan saya ajarkan kepada anak-anak dan keturunan saya selanjutnya. Tenang, bu!

#ODOPJanuari2018

Istimewa itu, Lelaki [Suami] yang Mampu “Mengenyangkan” Keluarga



Istimewanya saya belum tentu sama dengan orang lain [Foto: Dok CoverDens.com]
Tak terbersit sebelumnya, saya mesti banting tulang bantu ibu ngolah bahan-bahan makanan di dapur. Saat itu usia saya masih 8 tahun. Ya, waktu itu jatuhnya saya masih duduk di kelas dua sekolah dasar. Bahkan, saat usia saya masih 6 tahun, ibu dan bapak sudah memberikan pelajaran berharga untuk mencuci dan menyetrika baju sendiri.

Biasanya, mencuci  saya lakukan di hari Sabtu selepas pulang sekolah. Baju, sepatu, dan peralatan sekolah lainnya yang berhubungan dengan kain-kain masuk ke dalam bak cucian. Ditambah lagi belum ada mesin cuci. Tangan-tangan inilah sebagai karya terindah Sang Pencipta untuk diberdayakan.

Tangan-tangan penuh kekuatan ini pula yang meringankan pekerjaan ibu di dapur sebagai tempat favoritnya mengolah makanan untuk keluarga. Di dapur itu pula, tangan-tangan ini membantu ibu memasukkan nasi, sayur, dan lauk pauk ke dalam wadah-wadah catering.

Saya tidak tahu, entah dari mana datangnya istimewa meracik bumbu dan membuat makanan. Padahal saya hanya melihat saja saat ibu masak dan membuat bumbu. Paling saya kalau tidak tahu satu atau dua nama bumbu dapur dan kegunaannya, saya hanya bertanya saja, “Bu, ini rimpang kecil-kecil dan baunya khas, berwarna putih pucat, apa namanya?” 

Ibu hanya mengorek sedikit bagian umbi dan menciumnya, lantas memberi jawab untuk saya, “Kencur.” Pelan-pelan saya perhatikan cara ibu saya mengolah dan meracik bumbu. Bahan-bahan dasar pembuatan jenis masakan tertentu dan bagaimana membuat  kolaborasi enak dari bumbu yang ada.

Dari melihat, kemudian mencium jenis bau-bauan rimpang sebagai bumbu dapur, indera penciuman saya makin sensitif. Campuran bahan masakan yang tadinya saya tak tahu, lama kelamaan terasah dengan cepat. “Makanan x ini dicampur dengan  bahan y”, dan apa yang saya pikirkan lantas tanyakan ke orang yang memasak, benar. 

Ya, bersyukurnya, ibu saya tidak pernah melarang anak-anaknya untuk ubek-ubek dapur. Bahkan, membuat masakan atau sekadar camilan untuk diberikan ke bapak dan saudara lainnya, dipercayakan pada anak-anaknya, terutama saya. Buat nasi goreng yang simpel dan saya sajikan ke keluarga pun, rasanya pas dan disukai.

Saya tidak tahu, hal-hal itu datang dari mana. Hanya bersyukur saja dan terus mengasah untuk lebih tajam agar tak hilang sensitivitas indera. Begitu pula ketika saya harus berpisah dengan orang tua dan saudara-saudara saya. Saya menimba ilmu di Jakarta, sementara orang tua dan saudara-saudara saya tetap di Sumatera (Jambi).

Untuk menghemat pengeluaran, yang namanya anak kost, jalan yang saya ambil adalah masak. Kalau teman-teman kost saya bilang, “Lapar, makan sama garam juga enak, Jun.” Saya timpali saja, “Ya ya ya, masak lebih sehat tapi, kan. Kalo ga bisa masak ga apa-apa, cemplungin garam agak banyakan sama dikasih air.” Aah… ngakak-ngakak-lah saya dan teman-teman kost waktu itu.

Kenyataan, selama saya kost di Jakarta, saya selalu masak untuk makan pagi, siang, dan malam saya. Meski sesekali kalau lagi bosan, makan di luar. Tapi, sesuai lidah Sumatera yang doyan pedas dan asin. Masak apapun, beberapa teman yang ikut makan bareng, merasakan enaknya makanan saya. 

Padahal, itu bumbu hanya garam dan gula saja. Bagaimana kalau saya masak dengan bumbu yang memang sudah saya persiapkan. Bisa jadi, teman-teman kost rekomendasikan buat rumah makan atau semacam tempat nongkrong. Hahaha. 

Ternyata, ada banyak hal istimewa yang saya tidak ketahui menurut orang-orang yang melihat saya. Mereka bilang, “berbakat”. Entahlah. Saya hanya menguji talenta itu untuk meyakinkan diri saya dengan hal-hal kata orang “Istimewa” yang tak banyak dimiliki para pria lainnya. 

Saat masih bersama mantan kekasih saya yang kini mendampingi kehidupan saya pun demikian. Saya sesekali main ke rumahnya saat itu. Akan tetapi sebelum sampai di rumahnya, saya ajak dia  untuk belanja cabe, santan, bawang, ayam, telur, gula, tepung, mentega, vanili, SP, TBM, dan beberapa macam bumbu ayam gulai serta chiffon. 

Mantan kekasih saya bertanya, “Eh, ngapain kita ke pasar?” Saya hanya senyum-senyum kecil saja sembari jawab, “Nanti tahu sendirilah”. Selesai belanja langsung ngacir ke rumahnya. Dengan segala kemampuan saya keluarkan jurus-jurus yang membuat dia makin klepek-klepek sama saya.

Bumbu gulai siap, ayam sudah beres dipotong-potong dan cuci bersih. Tsaaah… saatnya beraksi. Bumbu gulai ayam itu saya tumis hingga matang dan wangi, lantas ayam siap jebur. Saya curi-curi pandang saja selama masak. Ternyata, diam-diam dia memperhatikan dengan cermat setiap gerak tangan-tangan saya meracik, mengaduk, dan memindah. 

Begitu pula dengan telur, mentega, dan bahan chiffon yang sudah saya mixed. Dia hanya melihat dan memperhatikan saja kecepatan gerak tangan saya mengolah bahan. Alhasil, di hari itu, dua menu tersaji. Ayam gulai Sumatera dan Chiffon Cake.

Mantan kekasih saya pun makin jatuh cinta dengan perlakuan khusus di dapur yang saya berikan. Hal itu juga sebagai salah satu bentuk perhatian saya untuk dirinya. Ya, masak dan mengenyangkan perut calon pasangan saat itu, itu yang saya lakukan.

Alhasil, ketika saya akan melamar dirinya untuk jadi istri saya pun begitu. Di depan kedua orang tuanya, saya hadirkan istimewanya saya untuk bisa diterima sebagai calon suami anaknya dan menantu bapak ibunya. 

Kalau mengingat hal itu pun kadang geli dan tertawa sendiri. Bisa-bisanya saya masak yang ba bi bu tanpa saya rencanakan. Masak saya jadi kunci untuk menaklukkan orang tuanya. Hingga saya berkeluarga, masak terus saya lakukan untuk istri dan anak-anak tercinta.

Masing-masig kita diciptakan unik dan istimewa, nikmati saja [Foto: Dok http://img.picturequotes.com]

Saya tidak tahu, mungkin suami, atau pria lainnya punya hal istimewa di hadapan pasangannya secara berbeda-beda dan unik. Memasak ini menjadi satu bagian istimewa yang saya punyai, selain juga menjadi passion kuat saya. Saya kenyang, keluarga senang, teman-teman girang. Dengan keistimewaan itu, saya pun bisa mendatangkan uang. Bagaimana dengan kalian?