Biru, biru, nuansa biru di hamparan lepas berpadu dalam
guratan hijau. Menyisakan semburat cokelat dengan tetumbuhan bernama makro alga
(seaweed) dan sejenisnya. Beragam biota bersemayam di ujung-ujung kanopi bunga
dan terumbu karang. Warna biru dalam riakan gelombang memberi nuansa keteduhan.
Kritikus sastra pada masanya. Dari beliau saya banyak belajar Foto: Dok. https://staff.blog.ui.ac.id |
Tatkala kapal berlabuh di Muara Karang, segenap pasukan
Biologi berderap menuju Kelotok. Kelotok yang biasanya dikomandoi Pak Tamam,
masih mengiang di telinga, klotok… klotok..., saat mesin berbunyi dan dinamo
memutar haluan. Beberapa buah kelotok memang sudah dipersiapkan untuk membawa
pasukan menuju salah satu pulau di gugusan Kepulauan Seribu, Pulau Pari. Pulau
yang menjadi sandaran utama pasukan untuk ‘menggosongkan kulit’, beriak-riak
dalam deburan air asin yang maha luas a.k.a laut.
Laut sudah jadi bagian hidupnya sebagai salah serorang Dosen Taksonomi Avertebrata Foto: Dok. SI |
Dengan seperangkat peralatan laut yang sudah dipersiapkan
jauh-jauh hari. Suara setengah berteriak itu masih mendengung hingga sekarang.
“Persiapkan semuanya, kantong
plastik, tali transek yang sudah diberi jarak 10 meter bertanda kain dengan
tulisan spidol tahan air, rafia, bak pelampung, kuadran, mika, pensil, benang
nilon, dan sebagainya. Jangan sampai ada yang tertinggal”, membahana suara BSO (Boen Sri Oemarjati) saat-saat masih berada di ruang laboratorium Biologi lantai tiga untuk satu
tujuan… menuju laut!
Kacamata, Topi, dan Jaket lengan panjang itu jadi ciri khas beliau Foto: Dok. SI |
Bersama beberapa teman, perjalanan pagi menjelang siang
itu dimulai dari salah satu stasiun kereta, Pondok Cina. Berkumpullah beberapa
anggota “pasukan” menuju Stasiun Kota. Dari Stasiun Kota, ngoprek-ngoprek
Mikrolet M atau Metromini berapa gitu… (M berapa, Metromini berapa, lupa
bener!). Intinya, Mikrolet dan Metromini melabuhkan pasukan di Muara Karang.
Aroma ‘segar laut’ tercium sudah. Kapal-kapal yang
melempar sauh terlihat dari kejauhan. Bersandar beragam jenis kapal dengan
tiang-tiang layar beragam warna dan bendera. Beragam tulisan terpampang di dinding Kelotok
dengan warni-warni pelangi. Hmm… penuh corak!
Saat praktikum lapangan di salah satu pulau di gugusan Pulau Seribu Foto: Dok. SI |
Mungkin benar juga, ketika kapal-kapal mulai mengarungi
segara, warna-warna itu menyemburatkan tanda kehidupan di tengah laut yang jauh
dari kehidupan daratan. Tanda-tanda yang memberikan nuansa indah dalam balutan
gelombang dan berkendara buih-buih lautan.
Ombak-ombak yang menyembul tenggelam di tengah laut itu seolah-olah
ingin bercakap-cakap dengan pasukan. Menyambut kedatangan pasukan penuh suka
cita. “Mari kita bersenda gurau. Mari kita bercengkerama dengan lumba-lumba
yang menguik-nguik di tengah segara, mengikuti lajunya Kelotok”.
Saya terkesima menatap keagunganNya. Selama ini, menatap
laut hanya dari layar kaca, kini jejakkan kaki ini menyentuh sendiri. Karena
BSO yang mengantarkan kaki ini menuju segara! BSO menyeringai tatkala gelombang
laut menaik. Baju pelampung telah dikenakan. Mabuk laut mungkin sudah jadi
makanan. Mungkin baru pertama kali menghirup udara laut. Mual, muntah, itu
biasa.
Saat beliau mendampingi mahasiswa/i praktik lapangan Foto: Dok. SI |
Tak lekang dalam ingatan, permen karet bermerek Xy****l
itu terus berkelahi di antara gigi geligi di atas Kelotok. Hempasan gelombang
yang sesekali menerpa tak beliau hiraukan. Tamparan bayu laut ke wajah yang
terlihat renta sering sekali menghinggapinya. Tatkala bayu laut itu menyinggahi
raut wajahnya, kibasan tangan menghela rambut-rambut bercampur warna putih dan
hitam (baca: uban) dia sandarkan di
antara telinga beranting khas.
Sepasang alat bantu baca (baca: kacamata) menjadi sahabat setia yang dilepas saat cipratan
air laut menerpa dan berembun. Jika tidak menggunakan flannel, beliau sesekali
menggosok-gosokkannya di antara ujung baju.
Kemungkinan besar dari kita tidak akan pernah tahu bahwa
ada kisah panjang di balik laut. Kisah yang sudah bertutur ribuan tahun lamanya
yang terselip di ujung horizon. Ketika Bumi masih dalam bentuk janin, laut
berada dalam masa-masa perjuangan membentuk diri sendiri. Laut yang dinikmati
dan digerayangi berisikan gumpalan lava-lava panas dan saling berbenturan dengan bebatuan.
Ketika langit menyembul dalam warna jingga, kemudian
memudar warna dalam hamparan cakrawala, tidakkah kita tahu bagaimana dengan
warna laut? Ia juga menjingga, membias cahaya dengan cemerlang yang berkereta
pada buih. Ketika langit mengelabu mendung menghampiri, bagaimana dengan warna
laut? Ia pun enggan bercerita dan ceria, sedu sedan oleh abu-abu menyapa
segara.
Laut itu sungguh setia pada warna yang berpendar. Laut
yang selalu ada dalam warna horizon yang tercipta untuk saling mengerti. Saat
kita mengarungi laut, di situ pula kita sedang mengarungi cakrawala. Keduanya
takkan pernah dapat berpisah. Warna yang tersembul dari laut, sebagai pancaran
warna langit.
Laut adalah tantangan. Di sana, pasukan itu dituntut untuk
selalu waspada. Pasang mata, pasang telinga, siapkan kaki katak, masker, dan
snorkel. Ia bercerita tentang kepuasan yang sangat tinggi ketika pasukan itu
“mengawini”. Ia sebagai misteri yang harus benar-benar dicari, seperti mencari
uang dalam butiran tepung atau seperti membuka lembar demi lembar buku yang
tertutup debu.
Di laut inilah saya menjadi tahu makna kehidupan sebenarnya Foto: Dok. https://cdn.pixabay.com |
Laut… tidak hanya itu!
Saat pasukan semakin dalam hingga masuk ke dalam gobah juga palung
samudera. Laut… barisan terumbu karang yang indah, bernaung dan berenang
kehidupan ikan-ikan dengan beragam spesies di dalamnya yang sungguh
menakjubkan. Bercerita tentang ombak yang selalu dinamis meliak-liukkan
tubuhnya. Laut… bercerita tentang kehidupan dan kematian.
Laut itu lebih rumit dari rumus Statistika yang paling rumit sekalipun.
Laut itu bukan jelmaan mikroba-mikroba yang senantiasa terus berbiak. Laut,
sebagai bentuk jaringan yang terus menerus berkembang.
Sudah lebih dari 21 tahun, saya tak sanggup menjumpai definisi laut. Seperti
apa yang diminta dan dimau sang guru, Boen Sri Oemardjati. Dia pun kini sudah
tidak lagi terburu-buru memahami dan mengerti tentang laut sepertu dahulu kala.
Tanpa banyak kata, BSO akan jabarkan laut itu seperti apa. Dahulu dia
merasakan, laut itu begitu terasa dekat dengannya.
BSO mengenal laut seperti dia mengenal dirinya. Setiap jejak kakinya
melangkah, setiap jengkal kedalamannya, setiap warna yang terurai dari pantulan
langit, semua itu sebagai sebuah bentuk keindahan yang tak sanggup dia katakan.
Jika saya ditanya apa itu laut, mungkin saya hanya terdiam merenungi! Saya,
tentunya akan memikirkan hal ini bisa lebih lama, lebih jauh, dan lebih dalam.
Mungkin juga bisa menerawang ke mana-mana. Saya juga tak dapat menceritakan
kepada beliau seberapa besar diri saya mencintai laut dan menyayangi apa yang ada
di dalamnya.
Apalagi yang harus saya deskripsikan apabila dirinya (BSO) itu sebentuk laut
itu sendiri. Tetapi, saya menemui di balik bundar dua bola matanya ada banyak
senyum terkembang. Tatapan matanya begitu semangat untuk menceritakan tentang
laut. Akan tetapi, kedua belah bibirnya tak sanggup untuk berkata, seperti
apa laut yang dia tahu dan kenal sepanjang hidupnya. Dia melihat dan berkata,
“Sekarang kamu sudah memahami tentang laut”.
Kekayaan alam yang tak ternilai harganya itu menjadi bentuk keindahan dan
sumber keragaman hayati, mutiara alam yang sangat menakjubkan. BSO begitu
memesona dan melekat dengan kehidupan lautnya. Terima kasih ibu yang telah memberitahukan saya banyak hal. Ibu yang telah menjadi bagian dalam kehidupan kuliah saya. Selamat jalan Ibu, dirimu tetap dalam ingatan.
#ODOP11