Makan memang sudah jadi kebutuhan pokok manusia, di manapun berada.
Pemenuhan kebutuhan makanan sebagai salah satu bagian wajib diri maupun
keluarga yang harus dipenuhi. Makan dan makanan menjadi sumber utama energi,
penyerapan zat-zat berguna untuk merangsang pertumbuhan sel-sel tubuh juga
nutrisi otak jangka panjang.
Saya pribadi punya pengalaman dengan makan dan makanan itu sendiri. Bagi
keluarga saya, makanan itu mesti dihargai dan dihormati. Memperolehnya pun tak
segampang membalik telapak tangan. Ada usaha dan kerja keras dari orang lain, juga
terutama ayah sebagai pencari nafkah, sementara ibu yang mengolah makanan
tersebut menjadi makanan lezat.
Anak-anak orang tua saya itu ada enam orang. Ibu selalu masak dengan tiga
lauk macam lauk dan satu macam sayuran. Biasanya, untuk makan ibu sudah tahu
seberapa banyak dan besar porsi makan dari tiap-tiap anaknya. Dengan satu
setengah centong nasi, sayur, dan tiga macam lauk tadi sudah ditata dalam
piring saji anak-anaknya.
Apapun yang disajikan di dalam piring kami, mesti dihabiskan. Hal ini sudah
diterapkan ibu kepada anak-anaknya sejak kecil. Jika dalam satu piring saji
kami tidak ada yang habis, ibu menerapkan hukuman untuk makan keesokannya.
Salah satu anaknya yang tidak menghabiskan hidangannya tidak akan mendapatkan
jatah 2 macam lauk.
Hingga saat ini, hal itu berlaku pula untuk keluarga saya. Kalau saya masak
dua atau tiga jenis lauk pauk dan satu jenis sayuran, apapun yang saya sajikan
untuk keluarga harus dihabiskan di dalam piring saji tersebut. Saya tidak akan
memasak lagi dengan jumlah lauk dan menu tersebut. Tetapi, akan saya kurangi
hanya satu macam lauk dan satu macam saja jenis sayurnya.
Benar sekali memang, kita mesti menjaga bahan-bahan makanan yang ada
termasuk makanan yang sudah dimasak jangan sampai terbuang percuma. Menurut Food
Sustainability Index 2017 yang dirilis oleh The Economist Intelligence Unit
(EIU), untuk katagori limbah dan bahan makanan yang terbuang (Food Loss and
Waste), Indonesia menempati peringakt kedua terbawah atau hanya lebih baik dari
Arab Saudi.
Nah, di sinilah saya menerapkan pentingnya
makan makanan yang ada di dalam piring saji wajib dihabiskan, jangan ada
yang tersisa. Terserah saja orang mau bilang “rakus” atau apa. Bahwa, Allah SWT
juga memberikan kita kenikmatan makanan itu jangan disia-siakan. Mubazir itu
temannya setan.
Dari hal-hal inilah, kita, saya dan keluarga terutama, mesti menerapkan
yang namanya #MakanBijak. Artinya apa? Ada batas-batas perut dapat menerima
makanan yang tersaji atau dihidangkan. Jadi, kita makan itu tidak karena lapar
mata. Jika hidangan yang tersaji rasanya ingin dimakan, itu hanya nafsu semata.
Apalagi saat ini kita masuk di bulan suci Ramadan. Otomatis dan tentunya,
banyak sekali hidangan yang disajikan, beragam warna, beragam rasa, juga
beragam nama. Mestinya, di bulan Ramadan, justru kita mengerem untuk tidak
membuat makanan jadi terbuang sia-sia. Dinas Kebersihan DKI Jakarta pada 2016
saja mengungkap ada kenaikan volume sampah sebesar 10% di 10 hari pertama
Ramadan. Dominan dari sampah itu adalah sampah organik berupa sisa makanan.
Entah itu sisa makanan yang memang dimakan lantas tidak habis, juga makanan
yang dibuat karena lapar mata dan nafsu, lantas tidak dimakan. Sangat disayangkan memang.
“Makanlah makanan sesuai dengan porsi kita, jangan berlebih-lebihan. Jadi
tidak lapar mata. Makan makanan yang kita butuhkan bukan yang kita maui,” ucap
Dinda Prameswari Assitant Brand Manager
Mylanta pada 15 Mei 2018 di Kota Kasablanka, Jakarta Selatan.
Nah, sudah kita ketahui bersama, bahwa Mylanta ini sebagai salah satu
produk untuk mengatasi gejala sakit maag yang berinisiatif mengajak seluruh
masyarakat Indonesia untuk menerapkan kebiasaan makan secara bijak melalui
kampanye “Makan Bijak”. Karena, selain dapat membantu mengurangi sampah
makanan, #makanbijak juga sangat baik untuk kesehatan perut. Apalagi saat ini
masuk dalam bulan Ramadan, dengan mengonsumsi makanan tidak berlebihan, juga
dapat membantu menjalani ibadah puasa secara aman.
Menurut Dinda juga bahwa Mylanta ini mampu menetralisir asam lambung.
Mylanta begitu intens untuk mendorong masyarakat Indonesia menjaga pola makan
dan menjaga alat pencernaan melalui pola makan yang baik dan benar.
Selain itu, tak bisa dihindari bahwa, orang Indonesia sangat suka yang
namanya kebersamaan atau kumpul-kumpul. Kumpul-kumpul (hangout) ini tentunya
selain minum (teh atau kopi) juga makan. Disampaikan pula oleh Dinda, bahwa
makanan di masyarakat Indonesia dipercaya menjadi perekat hubungan sosial.
Selain itu, menurut studi yang dilakukan Mylanta bahwa 63% sakit maag
disebabkan oleh pola makan. Bayangkan saja, 2,5 juta orang berpotensi sakit
maag karena makan berlebihan. Memang, mesti benar-benar menerapkan #MakanBijak
agar hal ini tidak mendera keluarga kita.
Apa yang melatarbelakangi sehingga kita perlu #MakanBijak? Ada beberapa hal
yang akhirnya menurut Dinda kita perlu #MakanBijak, yaitu karena seringnya kita
memesan makanan terlalu banyak. Makanan yang dipesan belum tentu dimakan semua
sehingga makanan mubazir dan terbuang percuma. Memesan makanan yang terlalu
banyak dan makan berlebihan akibatnya
orang terkena gangguan pencernaan. Selain itu, makanan yang sudah dipesan kemudian
dimakan tetapi tidak dihabiskan, akhirnya menimbulkan sampah makanan.
Dinda juga mengatakan, “Bukan hanya makan yang tidak teratur, mengonsumsi
makanan secara tidak bijak, misalnya berlebihan juga dapat mempengaruhi
kesehatan perut, salah satunya seperti rasa begah dan tidak nyaman di perut. Jelang
bulan puasa ini Mylanta mengajak masyarakat Indonesia untuk lebih bijak dalam mengonsumsi makanan
sehingga pencernaan lebih terjaga dan lebih nyaman dalam menjalankan ibadah
puasa.”
Jadi, #MakanBijak juga dapat memberikan impact terhadap food waste yang
selama ini banyak terjadi di masyarakat termasuk juga food loss. Akan tetapi,
keduanya punya pengertian yang berbeda. Menurut Arief Daryanto, Ph.D., Direktur
dan Peneliti bidang Ekonomi Agribisnis Institut Pertanian Bogor menjelaskan,
Saat membahas mengenai ketersediaan atau ketahanan pangan (food security),
seringkali kita hanya berfokus pada cara untuk meningkatkan produksi makanan
tanpa memikirkan bagaimana mengatasi faktor tingkat food loss & waste.
Padahal food loss & waste merupakan persoalan penting yang kini menjadi
perhatian negara-negara di dunia karena dapat mempengaruhi tingkat ketahanan
pangan suatu negara serta berimbas pada pemerataan kesejahteraan masyarakat.”
Fakta tentang Food Loss dan Food Waste [Foto: Dok Pri] |
Apa sebenarnya food loss itu sendiri? Food loss adalah makanan yang hilang
sebelum sampai ke tangan konsumen (kehilangan yang terjadi ketika makanan dalam
tahap pengolahan atau distribusi). Sementara itu, food waste sendiri kehilangan
yang terjadi pada saat makanan dikonsumsi.
Ini sebagai gambaran untuk kita, masyarakat Indonesia khususnya bahwa
menurut FAO, ada sekitar 1.3 triliun ton makanan yang hilang setiap tahunnya di
seluruh dunia dengan rincian: tingkat kehilangan saat produksi 10%,
kehilangan saat tahap pengolahan paska
panen & distribusi 7%, kehilangan selama pengolahan 15, kehilangan saat
pemasaran 6%, dan kehilangan saat tahap konsumsi 9%.
Jadi, penerapan #MakanBijak bukan sesuatu yang mustahil untuk kita lakukan.
Mengingat hingga triliunan ton makanan yang hilang, sayang sekali kalau kita
juga ikut menyia-nyiakan atau
memubazirkan makanan yang sudah disediakan. #MakanBijak menjadi salah satu
kunci pula untuk kita terhindar dari segala macam penyakit karena tumpukan
sampah organik makanan.
Sehubungan dengan sampah makanan ini juga, Annisa Paramitha dari
Waste4Change, salah satu organisasi yang konsen pada lingkungan menyampaikan, “Konsumen
Indonesia dihadapkan pada banyaknya pilihan makanan, tapi tidak semua pilihan
itu merupakan makanan yang baik atau sehat untuk dikonsumsi. Saat 40%
masyarakat Indonesia dinyatakan kurang gizi, sekitar 10% yang lain justru
mengalami obesitas (kelebihan berat badan). Dengan tingkat sampah makanan
mencapai 13 juta ton per tahunnya, kita sebenarnya bisa memenuhi kebutuhan
pangan 28 juta orang yang hidup di bawah garis kemiskinan. Dengan mengurangi
sampah makanan, selain dapat mengatasi krisis pangan, kita juga bisa mengurangi
dampaknya terhadap kerusakan lingkungan misalnya menurunkan tingkat gas metana.”
Bagaimana sampah-sampah makanan ini dikelola secara bijak oleh Annisa?
Diketahui bahwa di Jakarta saja per harinya menghasilkan sampah sebanyak 7.500
ton dan ironisnya 4.050 tonnya adalah sampah makanan. Nah, 65% dari sampah
makanan itu berasal dari perumahan. Saking banyaknya produksi sampah makanan
ini, berkait erat dengan perilaku masyarakat itu sendiri.
Perlu juga kita ketahui bersama bahwa sampah-sampah makanan itu tadi
berasal dari pola konsumsi makanan yang berlebihan, menyisakan makanan, juga
proses industri pangan mulai dari transportasi hingga standar kualitas buah dan
sayuran.
Hal tersebut didukung dengan fakta sampah makanan yang ada di Indonesia itu
sendiri. Jumlah penduduk Indonesia yang 250 juta dengan kebutuhan makanan per
tahunnya mencapai 190 juta ton, dan total makanan yang terbuang per tahunnya
mencapai 13 juta ton. Kalau dilihat, 13 juta ton makanan yang terbuang ini sama
dengan jumlah kebutuhan makan 11% populasi Indonesia atau sekitar 28 juta
penduduk. Hmm… sayang banget ya kalau makanan kita disajikan tidak dihabiskan.
Apa kerugian yang dapat ditimbulkan dari hal ini? Tentunya banyak, antara
lain penumpukan sampah makanan/organik di TPA yang berpotensi menimbulkan gas
metana. Gas ini pun akan ikut berkontribusi pada pemanasan global. Selanjutnya terjadinya
krisis pangan yang berdampak pada keberlanjutan manusia.
Oleh karena itu, sampah makanan ini harus dicegah dengan #MakanBijak,
mengambil makanan secukupnya dan menghabiskannya, juga berbelanja secara bijak.dan
tentunya kita perlu memeriksa secara berkala masa berlaku makanan dalam kemasan
agar tidak mubazir.
Bagaimana solusi mengelola sampah makanan ini? Tentunya kita mesti memilah
sampah dari sumber dan proses sampah makanan menjadi kompos yang bermanfaat
untuk tanaman. Ya, masyarakat memang mesti didorong untuk #MakanBijak dan tidak
berlebihan.
Apa yang bisa kita perbuat untuk hal ini? Berikut tipsnya:
1.
Mengurangi konsumsi makanan instan yang tidak baik untuk
kesehatan dan beralih konsumsi makanan yang diproduksi secara lokal (tentu
lebih sehat dan segar).
2.
Rencanakan dengan saksama sebelum membeli (beli yang
dibutuhkan-tidak tergoda dengan makanan yang tidak baik untuk dikonsumsi).
3.
Masak bahan makanan seperlunya dan tidak menyisakan
makanan.
4.
Simpan bahan makanan dengan baik agar dapat dikonsumsi
untuk jangka waktu lebih lama.
5.
Olah kembali makanan yang tidak bisa kita makan.
6.
Selain itu, pihak pengelola restoran juga sebaiknya menerapkan
sistem denda jika pembeli menyisakan makanan (perlu nih disosialisasikan, jadi
makanan tidak mubzir).
Tentang Mylanta
Mylanta merupakan antasida—obat maag
dar PT. Johnson & Johnson Indonesia. Bahan aktif Mylanta adalah Alumunium
Hidroksida, Magnesium Hidroksida, dan Stimekon yang dapat meredakan gajal skit
maag karena asam lambung berlebih seperti perih dan mual. Mylanta tersedia
dalam kemasan cair dan tablet dengan quick action formula, bantu cepat sikat
sakit maag kapanpun maag menyerang.