Thursday, June 13, 2013

Buruh, Siapa Paling Bertanggung Jawab?

Kasus-kasus itu hingga kini ada yang terselesaikan, mengambang, bahkan tidak ada penyelesaian sama sekali. Apalagi jika melihat kondisi buruh perempuan yang tenaganya dialihdayakan (kontrak). Perasaan was-was selalu menghantui  mereka. Pertanyaan-pertanyaan ketidaktenangan dalam benak mereka selalu muncul. “Bagaimana besok, ke depannya nasib kami jika sewaktu-waktu pihak perusahaan memberhentikan secara tiba-tiba, entah itu habis masa kontrak, atau perusahaan tidak mau memakai tenaga kami lagi?”.
Pertanyaan-pertanyaan yang menggelayut membuat hidup mereka tidak tenang dan nyaman. Bekerja di bawah bayang-bayang ketidakpastian. Tetapi, mereka melakukan itu demi keluaga. Pemenuhan kebutuhan ekonomi yang semakin lama semakin menghimpit jiwa. Membebani setiap pundak keluarga yang menginginkan kehidupan lebih layak dengan tingkat perbaikan ekonomi signifikan.
Beberapa peraturan perundang-undangan di bidang perburuhan, seperti UU Keselamatan di Tempat Kerja No. 33 Tahun 1947 dan UU Kerja No. 12 Tahun 1948, mengalami beragam deviasi  di tingkat pelaksanaan. Politik buruh murah diterapkan rezim Orde Baru sebagai insentif yang ditawarkan bagi investor asing dalam mengeksekusi buruh dari pemenuhan hak-haknya. Bahkan, dari kemampuan menuntut hak-hak asasinya.
Krisis ekonomi yang melanda negeri ini pada akhir 1997, menunjukkan ketidakberdayaan pemerintah untuk berhadapan dengan modal asing. Keterpurukan akibat menumpuknya utang luar negeri, ditambah  keterasingan rezim saat itu dari dukungan rakyat, segera saja menempatkan Indonesia di bawah kekuasaan rezim neo liberalisme dunia International Monetary Fund (IMF) beserta Bank Dunia.
Adanya pemberlakuan kebijakan flexible labour market sangat signifikan. Setelah pengesahan UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003, sistem kerja kontrak dan outsourcing menjadi bentuk sistem kerja yang sah dan legal. Dampak yang dialami buruh  semakin menyudutkan dan di bawah bayang-bayang ketidakpastian kerja (job insecurity) dan hak-hak buruh di tempat kerja (right in work) semakin banyak berkurang. Peraturan mengenai perburuhan yang diberlakukan sekarang memang memberikan privilege(hak istimewa) lebih jaminan hak di tempat kerja seperti upah minimum, jam  kerja, jaminan sosial, kompensasi PHK) kepada buruh tetap dibanding saat mereka bekerja dengan sistem alihdaya (kontrak).
Meski pada UU Ketenagakerjaan ada batas waktu terhadap jenis dan lamanya sistem kerja kontrak, tekanan modal dan politik perburuhan tetap tidak memihak kepada buruh. Akibatnya, praktik-praktik sistem kerja kontrak menjadi sangat liar. Kita dapat mengatakan secara sederhana, kebijakan perburuhan di negara ini sebagai kebijakan yang “mudah merekrut, mudah pula mem-PHK”.
Jaminan hak-hak buruh yang digaungkan hanya mimpi belaka. Tidak adanya lapangan pekerjaan di dalam negeri, dengan sangat terpaksa membuat  penduduk negeri ini mengambil jalan pintas menjadi BMI (Buruh Migran Indonesia) keluar negeri. Meskipun risiko yang dihadapi sangat besar.  Mengingat banyak kejadian yang telah menimpa BMI sebelumnya. Walaupun kecenderungan bekerja sebagai BMI atau TKI sudah dimulai sejak tahun 1990-an, akan tetapi krisis ekonomi yang terus berkepanjangan tidak menyurutkan langkah penduduk negara ini menjadi BMI atau TKI. Bahkan, pernah Pemerintah negara ini melalui perpanjangan tangannya Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia mendorong rakyatnya untuk menjadi Tenaga Kerja Luar Negeri melalui iklan di televisi. Apa artinya? Itu menjadi bentuk ketidakmampuan pemerintah negeri ini dalam menciptakan lapangan pekerjaan.
Meski Undang-Undang No. 39 Tahun 2004 tentang Perlindungan dan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Luar Negeri (PPTKILN) sudah dikeluarkan, akan tetapi pemerintah negeri ini perlu sangat serius menata kebijakan dalam sektor tersebut. UU No. 39 Tahun 2004 itu pun sekarang perlu banyak revisi. Mengingat banyak kejanggalan yang ada di dalamnya. Jika dilihat secara detail, di UU itu ada satu kata “perempuan”, yaitu perempuan hamil dilarang bekerja keluar negeri. Tujuh puluh satu kata perlindungan, dan tiga ratus kata penempatan. Artinya, secara implisit terjadi eksploitasi tenaga kerja pada Undang-Undang No. 39 Tahun 2004 tersebut.
Beragam masalah yang menimpa TKI, mulai dari sistem perekrutan, pra penempatan, penempatan  di negara tujuan, hingga pasca kepulangan, menjadi indikator nyata, bahwa masih ada banyak hal-hal yang tidak beres yang harus segera diselesaikan dan ditata kembali untuk sektor ini.
Konsepsi Hak Buruh
Ada dua cara dalam melindungi buruh atau pekerja ini, yaitu 1). Melalui undang-undang perburuhan. Dengan adanya undang-undang perburuhan ini, buruh akan terlindungi secara hukum, baik dari jaminan negara yang dapat memberikan pekerjaan yang baik dan layak, memberikan perlindungan di tempat dirinya bekerja (kesehatan, keselamatan, dan upah layak), hingga dengan pemberian jaminan sosial setelah pensiun. 2). Melalui adanya serikat pekerja atau serikat buruh. Meskipun undang-undang perburuhan itu dikemas dalam bungkus yang sangat cantik, tetapi buruh tetap perlu keberadaan serikat pekerja atau serikat buruh untuk pembuatan perjanjian kerja bersama (PKB). PKB adalah sebuah dokumen perjanjian bersama antara majikan dan pekerja atau buruh yang berisi hak dan kewajiban masing-masing pihak.  Hanya melalui serikat pekerja atau serikat buruh inilah mereka dapat bermusyawarah untuk mendapatkan hak-hak tambahan di luar ketentuan undang-undang untuk menaikkan kesejahteraan mereka.
Jika masing-masing pihak sudah memahami memahami makna yang terkandung dalam PKB tersebut, selanjutnya melaksanakan PKB secara konsekuen. Oleh karenanya tidak akan timbul masalah yang cukup berarti. Meskipun PKB sudah mengatur hak-hak dan kewajiban pengusaha juga pekerja melalui kesepakatan umum, tidak mustahil akan terjadi penafsiran yang  berbeda dalam pelaksanaannya. Jika terjadi hal-hal seperti itu, kedua belah pihak harus melihat kembali PKB yang telah disepakati dan dipakai sebagai  pedoman sehingga segala perbedaan itu dapat diselesaikan secara musyawarah.
Negara-negara yang sudah maju telah membuktikan bahwa kedua alat tersebut telah mengurangi kesenjangan antara si  kaya dan miskin, juga sekaligus  mengurangi potensi kemarahan sosial. Akan tetapi, apa yang sesungguhnya terjadi di  negara kita ini, perlindungan undang-undang dengan status usahanya berorientasi kepada keuntungan (profit). Pemerintah malah ikut-iktan mengambil dana deviden dari keuntungan Jamsostek. Oleh karenanya, uang pensiun yang diterima buruh tidak pernah cukup memenuhi kebutuhan keluarga buruh atau buruhnya sendiri.
Berawal dari situ dapat kita lihat, hal itulah sebagai salah satu yang menyebabkan pensiunan buruh jatuh dalam lubang kemiskinan yang boleh dibilang tragis. Bahkan, saat bekerja pun hidup mereka sudah berada pada tingkat subsistem, setelah pensiun akan lebih tragis lagi. Semua ketidakadilan itu dapat diketahui oleh seluruh politisi dan pemerintah di negeri  ini. Akan tetapi, tidak ada satu partai pun yang membuat hak inisiatif dalam mengubah undang-undang peradilan perburuhan dan sistem jaminan sosial ketenagakerjaan.
Bicara tentang hak buruh artinya kita bicara tentang hak asasi maupun yang bukan asasi. Hak asasi sebagai bentuk konsep moral dalam lingkungan masyarakat dan bernegara, bukan suatu konsep yang lahir seketika dan  bersifat menyeluruh. Hak asasi lahir setahap demi setahap melalui periode tertentu dalam sejarah perkembangan masyarakat. Sementara, hak yang  bukan asasi berupa hak buruh yang telah diatur dalam beragam peraturan perundang-undangan yang sifatnya non-asasi.
Indonesia secara tegas dan mengakui keberadaan hak asasi manusia seperti tertuang dalam UUD 1945. Negara melaksanakannya di dalam masyarakat. Hak buruh berupa hak dalam memeroleh pekerjaan yang layak untuk kemanusiaan yang telah diakui keberadaannya dalam UUD 1945 sebagai hak konstitusional. Artinya, negara tidak diperkenankan mengeluarkan kebijakan, baik berupa undang-undang (legislative policy) maupun peraturan pelaksanaan yang dimaksudkan sebagai upaya dalam mengurangi substansi dari hak konstitusional. Bahkan, di dalam negara dengan hukum yang lebih modern (negara kesejahteraan) negara berkewajiban menjamin  pelaksanaan hak konstitusional. Begitu pula hak-hak yang bukan asasi, mengalami proses sesuai kepentingan dan perkembangan masyarakat yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
 Perlindungan Negara Kepada TKI
TKI yang dielu-elukan sebagai pejuang devisa, tapi bernasib sengsara (Foto: ciricara.com)
TKI yang dielu-elukan sebagai pejuang devisa, tapi bernasib sengsara (Foto: ciricara.com)
Pemerintah pernah mengadakan rapat koordinasi nasional mengenai Perlindungan TKI pada 13 Juli 2006, melibatkan elemen PPTKIS/PJTKI yang selama ini ditengarai sebagai salah satu sumber masalah yang sering menerpa buruh migran. Rakornas itu menghasilkan reformasi terhadap penempatan dan perlindungan buruh migran di luar negeri dengan membentuk BNP2TKI dan memangkas birokrasi penempatan. Akan tetapi, BNP2TKI bukan jawaban tepat selama korupsi di negeri ini masih  beredar. Depnakertrasn pun menolak meratifikasi konvensi internasional terhadap perlindungan  buruh migran dan keluarganya.
Cara-cara pemerintah menempatkan buruh migran pun penuh korupsi. Menurut laporan BPK pada 5 Juli 2006 mengenai pengelolaan dana pembinaan dan penyelenggaraan penempatan TKI ke luar negeri pada 2004 dan 2005, ada sejumlah indikasi korupsi. Seperti penatausahaan berkas penyelenggaraan penempatan TKI belum sesuai rencana, ada perbedaan data TKI antara Dirjen PPTKILN dengan BNP2TKI dan Disnaker, dan TKI yang tidak diikutkan dalam asuransi. Dirjen PPTKILN juga tidak teliti dalam melakukan tugasnya dalam menerbitkan SIUP PJTKI karena 19 PJTKI tidak memenuhi syarat, modal yang disetorkan kurang dari  750 juta rupiah dan 11 PJTKI tidak menyerahkan jaminan sebesar 250 juta rupiah. Temuan BPK lainnya menyebutkan 17.432 TKI yang berada di Arab Saudi tidak mendapat perlindungan asuransi. Mereka juga dibebankan biaya tambahan pembuatan paspor, pemeriksaan  kesehatan, dan administrasi. Terdapat pungli terhadap 58.110 TKI yang besarnya 25 ribu rupiah dengan total nilai mencapai 1,4 miliar rupiah.
Kualitas terhadap perlindungan  buruh migran Indonesia makin merosot. Buktinya, jumlah buruh migran Indonesia yang  meninggal semakin meningkat. Sistem perlindungan yang ada tidak memiliki kekuatan hukum dan lebih buruk dari ketentuan sebelumnya. Indikasi nyata adalah peraturan tersebut melegalkan sistem penempatan buruh migran Indonesia dengan biaya cukup tinggi. Biaya perekrutan, pembinaan, dan penempatan yang semula tidak dibebankan kepada buruh, kini dibebankan kepada mereka.
Seharusnya, perlindungan  terhadap TKI yang bekerja di luar negeri dimulai dan terintegrasi dalam setiap langkah, mulai dari proses perekrutan, selama bekerja, dan ketika pulang ke Indonesia. Dengan kepemilikan  dokumen yang benar dan resmi diharapkan TKI terhindar dari risiko yang mungkin timbul selama mereka bekerja di luar negeri. Sisi lain yang diperlukan dalam perlindunganTKI di luar negeri berupa kepastian pekerjaan untuk mereka melalui job order  yang disampaikan pengguna TKI secara langsung (calling visa) atau melalui PJTKI. Dalam hal ini dituntut tanggung jawab PJTKI/PPTKIS atau mitra kerjanya di luar negeri dalam pengurusan dokumen untuk tenaga kerja yang ditempatkan.
Dalam hal ini, pemerintah jangan seperti “pemadam kebakaran”, begitu TKI terkena masalah berat, baru sibuk terjun langsung ke lapangan. Alhasil, kasus-kasus yang harusnya terselesaikan dengan cepat, menjadi terbengkalai lama. Semoga, pemerintah negeri ini semakin  terbuka lebar mata dan kepalanya untuk lebih konsen  menangani buruh-buruh negara ini yang notabenenya menjadi penyumbang terbesar devisa negara. (JJW). Bisa dilihat di: http://migrantinstitute.net/buruh-siapa-paling-bertanggung-jawab

Jaminan Perlindungan Anak

Setiap anak yang dilahirkan ke dunia dalam keadaan suci. Karenanya, orang tua dan lingkungan tempat tinggalnyalah yang akan membentuk watak atau karakater anak. Apakah karakter yang terbentuk itu baik atau bnuruk, tergantung bagaimana cara orang tua mendidik dan di mana lingkungan  tempat mereka tinggal. Anak sebai sebuah kepercayaan yang diberikan dari sang Khalik kepada orang tua. Oleh karena itu, jangan pernah  sia-siakan mereka. Mereka merupakan generasi penerus bangsa. Apa artinya, jika generasi penerus bangsa ini punya dekadensi moral dan akhlak.  Itu menjadi indikator akan rusak dan hancurnya tatanan sebuah bangsa.
Kenyataan memperlihatkan, permasalahan anak sangat menyentuh hati dan membuat miris. Bahkan,  telah jauh melewati batas. Anak-anak yang seharusnya mendapat perlindungan secara kuat, dipelihara, dididik, dan dibina malah dijadikan objek-objke yang sangat menyayat hati, bahkan menjurus kepada perbuatan tercela. Contoh mudah, anak dijadikan sebagai pelaku tindak kejahatan sosial dan tindak kejahatan seksual.
Untuk masalah tindak kejahatan sosial, anak dijadikan sebagai subjek terhadap penjualan barang-barang haram, seperti obat-obatan terlarang, pil ekstasi, film porno, pencopet, pengamen  yang diorganisir, perampas, yang hasilnya diserahkan kepada bandar. Di tindak kejahatan seksual, anak dijadikan sebagai “barang dagangan” sindikat penjualan anak, baik antardaerah, antarnegara, bahkan lintas benua. Anak dijadikan pemuas nafsu orang dewasa. Juga sebagai objek kelainan seksual penyuka sesama (homo). Bahkan, anak tiri dan anak kandung sekalipun digagahi orang tuanya sendiri.
Melihat fenomena yang ada, seperti di Aceh dan daerah-daerah konflik lainnya, anak tinggal di barak-barak pengungsian dengan tidak menikmati indahnya masa kecil. Tanpa menikmati pendidikan yang layak untuk masa depan karena sekolah-sekolah mereka diberangus,  dan tanpa rumah ketenangan. Hal ini yang menghiasi hampir setiap hari  laman daring (baca media online-red) dan media cetak negara ini.
Mana program pembangunan yang didengungkan mampu menyentuh kehidupan mereka? Akibatnya, permasalahan ini tidak kunjung selesai. Justru makin berkepanjangan.  Oleh karena itu, bentukan karakter dan moral dari peran besar orang tua sangat menentukan terhadap keberlangusungan sang anak. Selain itu, masyarakat dan negara turut punya andil dalam memberikan perlindungan kepada mereka, karena sesuai dengan kewajiban yang telah dibebankan kepada hukum.  Negara menyediakan fasilitas dan beragam keperluan lain untuk anak-anak generasi penerus masa depan ini demi  menjamin pertumbuhan dan perkembangan mereka secara maksimal dan lebih berada dalam  relnya.
Anak-anak yang hadir di dunia ini sudah seharusnya diberi  bimbingan, pendidikan, dan pembinaan. Hal itu diperuntukkan agar mereka tumbuh dan terus berkembang sebagai anak yang sehat, normal, dan cerdas. Anak sebagai pewaris tahta negara, masyarakat, dan keluarga.  Terkadang, mereka mengalami masa-masa sulit dan  bertindak brutal melanggar hukum. Akan tetapi, meskipun mereka melanggar hukum, bukan berarti lantas dihukum, diperparah lagi dimasukkan ke dalam penjara.
Anak menjadi topik hangat yang tak akan habis diperbincangkan dan menjadi isu penting dalam negara, masyarakat, dan  keluarga. Negara, sebagai tempat bernaung warga negaranya harus memberikan jaminan perlindungan kepada anak-anak masa depan bangsa ini. Jika kita melihat kasus yang menimpa salah satu anak di Langkat, Sumatera Utara bernama Raju. Dapat dijadikan pembelajaran berharga. Apakah layak anak di usia 8 tahun yang masih perlu bimbingan orang tua, dalam masa pertumbuhan dan terus berkembang hidup di balik hotel prodeo dan dihadapkan pada pengadilan? Raju bukan satu-satunya kasus yang mencuat di negara ini. Ada lebih dari 4.000-an anak Indonesia yang dimajukan ke meja hijau atas dasar tuduhan kejahatan ringan seperti pencurian menurut laporan yang dibuat Steven Allen 2003.
Mereka, secara umum tidak mendapat dukungan dari Dinas Sosial dan pengacara. Tak heranlah apabila dari sekian banyak anak-anak tersebut dijebloskan  ke dalam penjara. Melihat masalah paling besar anak-anak yang dihadapkan pada perkara hukum karena Undang-Undang  No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak sudah tidak relevan, baik dari sisi yuridis, filosofis, dan sosiologis. Undang-undang tersebut tidak memberikan jawaban tepat terhadap penangan anak sebagai anak yang berhadapan dengan hukum.
Anak Berkonflik dengan Hukum dan Pemenjaraan
Anak yang punya masalah terhadap hukum diarahkan dan diselesaikan ke pengadilan, akibatnya anak mendapat tekanan mental  dan psikologis terhadap anak yang punya konflik dengan hukum itu akan mengganggu tumbuh kembang si anak. Proses yang dilakukan seperti ini justru memunculkan masalah, karena mereka harus diselesaikan secara hukum. Padahal, kenyataan yang terjadi tidak jarang anak-anak yang bermasalah dengan hukum itu tadi disatukan dengan orang dewasa, seperti dalam penjara yang berbaur dengan orang dewasa.
Betapa penting peran dan kedudukan anak untuk bangsa ini. Karena itu, kita harus bersikap responsif dan progresif dalam menata peraturan perundan-undangan yang berlaku. Apabila kita melihat pengertian anak, kita akan bernafas lega karena sudah dipahami  secara komprehensif.
Dalam konstitusi negara ini, anak punya peran strategis yang secara tegas disebutkan bahwa negara menjamin hak setiap anak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta perlindungan dari kekerasan dan  diskriminasi. Hal-hal terpenting bagi anak sudah sepatutnya dihayati sebagai  kepentingan terbaik bagi kelangsungan hidup umat manusia.  Konsekuensi dari ketentuan pasalk 28B UUD 1945 perlu ditindaklanjuti dengan membuat kebijakan pemerintah y ang bertujuan  melindungi anak.
Anak-anak negeri ini sudah sepantasnya mendapat perlindungan dari dampak negatif perkembangan pembangunan yang cepat, globalisasi yang semakin menggerus di ranah komunikasi dan  informasi, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan perubahan gaya dan cara hidup sebagian orang   tua yang telah membawa kepada perubahan sosial sangat mendasar dalam kehidupan bermasyarakat yang sangat punya pengaruh terhadap nilai dan perilaku anak.
Penyimpangan atau pelanggaran hukum yang dilakukan oleh anak karena faktor-faktor di luar anak itu sendiri. Menurut Dirjen Pemasyarakatan, bahwa tingkat kriminalitas serta pengaruh negatif penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat aditif  lainnya semakin meningkat tajam. Hal-hal ini harus segera dicegah untuk kemajuan dan masa depan mereka. Sejak dini, penanaman nilai-nilai moral dan agama perlu ditekankan secara tegas.
Prinsip perlindungan hukun kepada anak harus sesuai dengan Konvensi Hak Anak-Anak (Convention on the Right of the Child) yang sudah diratifikasi oleh pemerintah RI melalui Kepres Nomor 36 Tahun 1990 Tentang pengesahan Convention on the Right of the Child. Jika menelaah UU Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, hal itu dimaksudkan untuk melindungi dan mengayomi anak yang bermasalah atau berhadapan dengan  hukum agar anak-anak dapat menyongsong masa depan yang masih panjang dan memberi mereka kesempatan untuk dibina menjadi manusia yang punya jati diri, bertanggung jawab, dan berguna bagi diri sendiri, keluarga, masyarakat, dan negara. Akan tetapi, dalam pelaksanaannya, anak menjadi objek dan diperlakukan cenderung dirugikan.
Sistem penjara yang sangat menekankan pada unsur balas dendam dan penjeraan yang disertai dengan lembaga  “Rumah Penjara” secara perlahan-lahan dianggap dan dipandang sebagai sistem dan sarana yang tidak lagi sejalan dengan konsep rehabilitasi dan reintegrasi sosial, agar narapidana menyadari kesalahannya, tidak lagi berkeinginan untuk melakukan tindak pidana dan kembali menjadi warga negara yang bertanggung jawab.
Kepedulian terhadap persoalan anak mulai ada sejak 1920-an setelah Perang Dunia I. Dalam perang itu, pihak yang paling menderita adalah anak dan kaum perempuan. Setelah perang, anak-anak dan perempuan mendapati kenyataan pahit, suami, ayah mereka terluka bahkan meninggal dunia. Perempuan menjadi janda, dan anak-anak menjadi yatim-piatu. Oleh karenanya, anak-anak kehilangan sosok yang dapat dijadikan panutan, contoh, dan imam keluarga sekaligus sosok yang mampu melindungi keluarga dari segala bentuk bahaya.
Salah seorang perempuan aktivis Eglantyne Jebb lantas mengembangkan butir-butir tentang hak anak pada 1923 yang diadopsi menjadi Save the Children Fund International Union. Isinya antara lain:
  1. Anak harus dilindungi di luar dari segala pertimbangan ras, kebangsaan, dan kepercayaan.
  2. Anak harus dipelihara dengan tetap menghargai keutuhan keluarga.
  3. Anak harus disediakan sarana yang diperlukan untuk perkembangan secara normal, baik material, moral, dan spiritual.
  4. Anak yang lapar harus diberi makan, anak yang sakit harus dirawat, anak cacat mental atau cacat tubuh harus dididik, anak yatim piatu dan anak terlantar diurus/diberi pemahaman.
  5. Anaklah yang pertama-tama mendapat bantuan atau pertolongan pada saat terjadi kesengsaraan.
  6. Anak harus menikmati dan sepenuhnya mendapat manfaat dari program kesejahteraan dan jaminan sosial, mendapat pelatihan agar pada saat diperlukan nanti dapat dipergunakan untuk mencari nafkah, serta harus mendapat perlindungan dari segala bentuk eksploitasi.
  7. Anak harus diasuh dan dididik dengan suatu pemahaman bahwa bakatnya dibutuhkan untuk pengabdian kepada sesama umat.
Beragam tuntutan yang meminta agar ada perhatian khusus pada anak, membuahkan hasil dengan memasukkan hak-hak anak dalam Piagam Deklarasi  Universal Hak Asasi Manusia pada 10 Desember 1948. (JJW): http://migrantinstitute.net/jaminan-perlindungan-anak

Kekerasan Sebagai Sebuah Tragedi

Bukan karena kurangnya pengetahuan teknis yang menghambat kita dalam memberikan perlawanan jujur dan serius mengenai kejahatan, justru hambatannya lebih bersifat ideologis dan politis. Apa yang di atas permukaan terlihat sebagai argumen  teknis tentang apa yang bisa kita buat dan tidak mengenai kejahatan. Tiba gilirannya menjadi sebuah argumen moral dan politik terhadap hal-hal yang harus dan tidak boleh kita lakukan.

Kita punya tingkat kekerasan kriminal karena kita sudah  menata kehidupan sosial ekonomi kita lewat cara tertentu dibanding cara lain. Brutalitas dan kekerasan kehidupan Amerika menjadi tanda bahwa ada biaya sosial yang sangat besar untuk mempertahankan penataan tersebut. Tetapi, dengan mata yang sama, menggantikannya juga menjadi hal yang bernilai, dan jika kita terus mentoleransi kondisi yang telah membuat kita menjadi masyarakat industri yang paling keras, maka itu bukan karena masalahnya begitu misterius, atau karena kita tidak tahu apa yang harus dilakukan, tetapi karena kita telah memutuskan bahwa keuntungan yang diperoleh dari mengubah kondisi itu tidak sebanding dengan biayanya.

Mengapa kita terus bergulat dalam kematian dan penderitaan yang tidak bisa dicegah? Bagaimana kita dapat memahami mengapa kita sebagai bangsa secara kolektif bertingkah seperti protagonis terhadap suatu tragedi, membawa kekerasan dan kehancuran untuk diri sendiri dan orang lain yang kita cintai, dan semuanya atas nama moralitas?

Hal itu karena jalan  memahami karakter, baik individu maupun nasional melalui  studi mitos besar dan paradigma tragis yang menunjukkan bentuk pola dasarnya. Pendekatan moral terhadap kekerasan tidak membantu kita memahami sebab dan pencegahan kekerasan. Hal yang lebih buruk lagi, beberapa asumsi moral tentang kekerasan sesungguhnya menghambat upaya kita dalam memelajari sebab dan pencegahan kekerasan.


Cara pemikiran moral yang paling populer terhadap kekerasan justru menimbulkan kesimpulan keliru bahwa memahami perilaku kekerasan berarti memaafkannya. Bagaimana dengan tindakan kekerasan yang telah melebihi batas? (JJW). Bisa dilihat juga di link berikut: www.migrantinstitute.net/kekerasan-sebagai-sebuah-tragedi.

Buruh Migran Indonesia Perlu Tahu

Lama banget ga ngeblog... kangeeen jadinya... oleh-oleh dari tetangga sebelah yang sempet dioprek-oprek.
Agak serius nih tulisan. Hehehe...

Selain  beroleh pengalaman  di negeri orang, tahu seluk-beluk budaya, ritme kerja, dan utamanya bahasa. Tidak dapat dipungkiri, saat seorang buruh migran memutuskan untuk bekerja keluar negeri, hanya satu yang ingin dicapai, meraih mimpi yang telah dirajut bertahun-tahun lamanya. Bagaimana  agar pundi-pundi saat pulang ke tanah air dapat terus bertambah. Akan tetapi, ada hal-hal yang tidak boleh dilupakan dan perlu diketahui oleh seorang Buruh Migran sebelum melangkah lebih jauh ke negeri yang akan dituju. Apa itu?

  1. Setiap calon buruh migran atau buruh migran berhak  mendapatkan informasi penting dari orang atau pihak-pihak yang terkait.
  2. Setiap calon buruh migran atau buruh migran berhak mendapatkan informasi penting tentang dirinya. Apakah sehat (fit) atau tidak sehat (unfit).
  3. Setiap calon buruh migran atau buruh migran berhak memeroleh informasi yang menyangkut hajat hidupnya dengan baik di negeri orang dan diperlakukan secara adil dan manusiawi.

Ilmu pengetahuan atau informasi atau apapun namanya merupakan cahaya yang dapat menerangi. Berbekal informasi yang  jelas dan benar, seorang BMI tidak akan menemui jalan gelap, tertipu, akan tetapi tumbuh kepercayaan diri yang kokoh dalam memperjuangkan hak-haknya secara menyeluruh setelah selesai menjalankan kewajibannya.

Setiap calon buruh migran berhak diperlakukan secara manusia selama di penampungan. Adapun perlakuan manusiawi yang menjadi  hak BMI selama berada di penampungan adalah:
  1. Mendapat tempat yang layak dan tidak terpencil.
  2. Makan, minum, dan tempat tidur yang juga layak.
  3. Tidak mendapat pelecehan seksual.
  4. Tidak dipekerjakan tanpa upah.
  5. Tidak disekap.
  6. Dapat berkomunikasi dengan pihak keluarga.
  7. Mendapat pelatihan sesuai negara yang akan dituju.
  8. Mendapat perlindungan hukum
Hal-hal yang telah disebutkan itu sesuai dengan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia No: PER-07/MEN/IV/2005.

Perlu diketahui, seorang buruh migran sangat penting mengetahui perjanjian kerja sebelum terjadi kesepakatan. Dalam hal ini calon pengguna jasa dan calon Buruh Migran, bukan agen karena agen hanya sebagai perantara. Kontrak atau perjanjian kerja  berfungsi sebagai panduan mengenai hak dan kewajiban kedua  belah pihak. Di samping kesepakatan yang sifatnya umum, kontrak kerja juga mengandung kesepakatan khusus. Contohnya, pengguna jasa pada BMI untuk menjalankan kewajian agama, seperti salat lima waktu, puasa ramadan, bahkan melakukan ibadah haji (bila BMI Muslim dan untuk yang terakhir bila mampu), ke Gereja (bila BMI Nasrani), dan sebagainya.

Kesepakatan kerja juga dapat berisi larangan yang menjadi kesepakatan dan sanksi terhadap pelanggarnya. Seperti contoh larangan melakukan pelecehan seksual dengan  sanksi yang telah disepakati. Adapun isi kontrak kerja yang  minimal harus ada dalam perjanjian adalah
Jenis pekerjaan dan hal-hal apa yang harus dilakukan; tempat kerja; masa kerja; jam kerja dan waktu istirahat atau libur cuti tahunan, cuti  sakit; besar gaji termasuk besar potongan, lama pemotongan, kapan harus dibayar, dan cara pembayaran, bonus, dan upah lembur; asuransi meliputi asuransi kesehatan, keselamatan/kecelakaan kerja, dan jiwa; hak dan kewajiban BMI serta pengguna jasa; jaminan bahwa BMI tidak akan dipulangkan dalam keadaan sakit kecuali atas persetujuan KBRi atau KJRI, atau dokter; dan tata cara jika ingin berhenti bekerja.
Sebagai subjek atau pelaku yang melakukan pekerjaan, BMI berhak untuk membaca,memahami, bahkan menentukan isi kontrak kerja sebelum menandatanganinya. Calon BMI atau BMI punya hak meminta agar kontrak kerja ditulis dalam bahasa Indonesia, juga memiliki salinannya sebagai dokumen pribadi.