Sunday, July 27, 2014

Ramadan di Rantau




Cerita ini dikirimkan langsung dari Jerman oleh senior saya-Mas Taufiq Wisnu Priambodoyang sejak 2003 merantau ke negara Hitler(baca: Jerman). Bersama istri yang juga teman saya semasa kuliah di Universitas Indonesia, Andri Pramesyanti, dan kedua putrinya, mereka berbagi cerita di dalam blog saya. Indahnya perbedaan! Mungkin dua kata itu yang bisa saya ucapkan untuk Mas Taufiq dan keluarga nun jauh di sana. Kerinduan mereka untuk merasakan Ramadan dan Idul Fitri di tanah air begitu lekat mendalam dalam benak dan hati. Rindu yang teramat mendalam!

Sejak memutuskan merantau ke Jerman 2003 lalu, sejak itu pula kami menjalani Ramadan di rantau. Walau sedih tidak dapat merasakan suasana syahdu Ramadan di tanah air serta kemeriahan Eid-nya, ada banyak hal spesial yang kami temui di sini, yang tidak kami jumpai saat Ramadan di tanah air. Sesuatu yang dapat mengobati kerinduan dan sedikit menghapus kesedihan. Ramadan rasa internasional (international taste), jumpa saudara seiman dari pelbagai bangsa, ras, beserta adat istiadatnya, menjadi salah satu obat rindu kami kepada sanak saudara. Sebetulnya nuansa Ramadan di Jerman sudah kami rasakan jauh-jauh hari. Sejak Rajab para khatib di mimbar-mimbar Jumat rajin menyeru umat untuk bersiap diri dan keluarganya menyambut datangnya bulan suci. Saat Ramadan akhirnya tiba, kami ramai berbagi salam dan doa kepada siapa saja sesama muslim, di mana saja kami jumpai.

Berbuka puasa bersama dengan warga Indonesia di kota tempat tinggal, dapat mengurangi rasa rindu berkumpul bersama keluarga. Warga yang sudah menjadi keluarga selama di rantau. Kami berbagi kegembiraan dan makanan berbuka bersama, berbagi nasihat dan petuah. Sering pula acara ifthar bersama dari rumah ke rumah tersebut, berlanjut tarawih bersama, bahkan kadang sahur bersama.

Hisab atau Hilal Rukyat?
Awal Ramadan di Jerman khususnya, atau Eropa pada umumnya ditetapkan oleh majelis ulama (di Jerman oleh Zentralrat der Muslime), yang menggunakan metode hisab. Sebagian masjid menggunakan metode hilal rukyat, yang tidak dilakukan sendiri oleh mereka. Melainkan mengacu ke pengamatan bulan baru oleh masjid atau organisasi di negara-negara arab. Beberapa kali, Ramadan mulai tidak pada hari yang sama (seperti tahun ini) karena perbedaan acuan dan metode. Beberapa kali pula Eid tidak dirayakan serempak di seluruh Jerman. Majelis ulama berijtihad pula tentang durasi shaum muslimin di negara dengan perbedaan siang ke malam ke fajar yang sangat singkat. Muslim yang tinggal di bagian utara negara-negara Skandinavia misalnya. Pada puncak musim panas, matahari bisa dikata tidak pernah tenggelam. Jadwal imsyakiah mereka merujuk Negara tempat muslim tinggal sebagai mayoritas (Turki misalnya).

Bist Du, Ok?
Menjadi minoritas (dalam hal keyakinan) kadang menarik perhatian mayoritas di sekiling. Termasuk saat Ramadan tiba dan kita berpuasa. Bagaimana mungkin Anda tidak makan dan tidak minum seharian (pada Ramadan musim panas 1435 H kami berpuasa 19 jam)? Kalau tidak makan masih ok, kalau tidak minum seteguk air pununsinn! Ujar kolega orang Jerman atau bangsa Eropa non muslim lainnya, saat mereka menjumpai kami berpuasa. Sangat tidak mungkin, bagi mereka untuk menahan diri tidak makan apalagi minum, sepanjang hari. Kolega yang saya jumpai tidak bertanya lanjut saat saya jelaskan: karena kami menganggap shaum di bulan Ramadan sebagai bentuk ibadah dan pengabdian, maka kami jalani dengan mudah dan ringan. Tidak makan atau minum adalah hal yang bagi kami juga sangat sulit dilakukan di luar ritual ibadah. Jangankan tidak makan atau minum, terlambat makan atau lupa minum (karena sibuk) sudah cukup membuat kami lemas dan pusing. Beberapa kolega saya jumpai mereka ikut lega sambil takjub saat Ramadan berlalu tanpa ada kejadian khusus terhadap kesehatan saya.
Ya, shaum Ramadan, salat lima waktu, akhlakul karimah menjadi modal dakwah bil hal kami kepada rekan sejawat atau masyarakat nonmuslim di sekitar kami tinggal. Bahwa ritual dalam Islam itu seragam, jelas serta natural (sesuai fitrah).

Kebuli atau Kebab?
Selain besarnya pahala yang Allah SWT janjikan bila kita dapat mengoptimalkan waktu berinteraksi dengan masjid, hidangan ifthar yang masjid-masjid (masajid) siapkan menjadi daya tarik pula bagi jamaah untuk berbondong datang ke masjid. Menu dan pola hidangan pun spesifik dan khas, tergantung di mana kita bersantap saat ifthar. Bila waktu ifthar tiba, bila kita berbuka di masajid Turki, beberapa biji kurma ditambah satu gelas susu akan ikut menemani. Dilanjut dengan salat maghrib berjamaah. Selesai salat, jamaah duduk memanjang mengikuti meja makan yang disusun pararel beberapa baris. Di atas meja sudah diletakkan beberapa roti tebal (Fladenbrot) dan air mineral + gelas pastik. Pengurus masjid datang, membawa troli dengan periuk besar di atasnya, berisi (gelombang 1) sup. Troli tersebut berjalan sambil mengisi mangkuk-mangkuk di atas meja, dari satu baris meja ke baris berikutnya. Troli berikutnya dengan periuk besar berisi hidangan utama siap meluncur, tidak lama troli pertama selesai melayani meja pada baris terakhir.

Lain lagi bila kita hadir santap ifthar di masajid Arab. Segera saat waktu maghrib tiba beberapa biji kurma hadir bersama segelas susu atau air putih. Selepas salat maghrib, kebuli kambing sebagai hidangan utama sudah menunggu. Format melingkar untuk 6--8 orang dalam satu baki besar yang pernah digunakan di masajid Arab, sudah digantikan dengan format duduk di depan meja makan. Jangan risau tidak kebagian hidangan utama. Selama Ramadan sepertinya masajid siap member makan siapa saja yang hadir ke masajid untuk berbuka puasa. Seolah tiada pernah kehabisan persediaan bahan makanan di dapur (masajid di Jerman dilengkapi dengan dapur besar nan modern. Dirancang untuk menyediakan hidangan masal). Hidangan yang serupa kadang jamaah jumpai pula saat sahur di masajid (saat itikaf).

Tarawih dan Itikaf
Ramadan musim panas kali ini (1435 H) merupakan tantangan berat untuk muslim yang tengah tinggal di belahan bumi utara khatulistiwa. Tidak saja karena panjangnya masa shaum tiap harinya (03:30 21:50) tetapi juga singkatnya waktu yang tersisa untuk menunaikan ibadah tarawih di malam harinya. Di musim panas, Isya mulai pukul 23:50, alias 3 jam saja menjelang sahur (waktu sahur sendiri hanya berjarak 5 jam dari waktu ifthar. Perut masih kenyang terisi hidangan ifthar). Lantas kapan tidurnya? Ulama di Eropa pun berijtihad memberikan fatwa, bahwa waktu Isya boleh diawalkan. Jadi bila Isya dirangkai 11 rakaat tarawih, semuanya selesai sebelum tengah malam (atau paling tidak 15 menit setelah tengah malam). Ada pula ijtihad yang membolehkan menjamak maghrib dengan Isya + tarawih.

Hampir setiap Ramadan, beberapa masjid (terutama masjid besar) mendatangkan khusus imam tarawih.Para imam tersebutdatangdari beberapa kota lain atau negara lain. Imam tarawih dan qiyamul lail tersebut memang sangat istimewa, terutama kemerduan suaranya. Menjadikan ibadah salat menjadi terasa sangat syahdu. Jangan berpikir imam salat tarawih dan qiyamul lail sudah renta dengan janggut panjang yang memutih. Mereka adalah pemuda gagah(usia 20-30 tahun) dengan janggut hitam tebalnya yang berwibawa. Imam yang siap membawa jamaah larut dalam kekhusyukan tarawih  dan  witir 11 rakaat.

Masajid di Jerman sebagian besar dikelola oleh, kalau tidak komunitas Turki (masajid Turki) atau komunitas Arab (umumnya dari Maghribi atau Maroko; masajid Arab). DITIB dan IGMG (aliansi ke partai Refah) adalah dua organisasi dominan pengelola masajid di antara komunitas Turki.Pada masajid yang mereka kelola, jumlah rakaat salat tarawih pada umumnya 23 rakaat. Bila kita memutuskan salat tarawih di salah satu masjid Turki, bersiap-siap kita harus punya kecepatan yang sama dengan imam dan jamaah asal Turki lainnya.  Malam ke-27 adalah malam yang oleh komunitas Turki diyakini (ditetapkan ?) sebagai Lailatul Qadr. Jumlah jamaah tarawih pada malam itu akan sangat banyak. Masajid akan penuh.

Format tarawih di masajid Arab, seperti biasa di awali dengan salat  Isya. Lanjut dengan tarawih delapan rakaat (salam di setiap dua rakaat) dan witir. Durasi tarawih juga tidak terlalu panjang, 40--60 menit. Di sepuluh malam terakhir bulan suci, masajid Arab juga menyelenggarakan salat tahajud + tempat untuk ber-itikaf (juga untuk muslimah). Saat tahajud, masajid masih dipenuhi oleh jamaah, yang larut dalam kesyahduan malam bersama lantunan qiraat (ditambah qunut) merdu  imam tarawih. Salat Tahajud biasanya dimulai sat jam sebelum waktu imsak. Ramadan dengan segala keunikannya menjadi pengalaman dan kenangan tersendiri bagi kami. Keunikan yang mungkin akan kami rindukan, suatu saat di masa yang akan datang.
Allahu alam bis shawab.

0 comments: