Siapa sih yang tak suka nonton film, boleh ngacung. Siapa pula yang kalau disuguhi film-film kesukaannya mampu bertahan di depan TV atau gawainya berjam-jam. Ya, film memang sudah menjadi salah satu hiburan yang murah meriah dan paling banyak diminati.
Film bukan barang langka di negeri ini. Pernah sih ya digadang-gadang kalau di negeri ini paling banyak beredar justru film luar negeri. Ke mana film produksi negeri sendiri? Hal ini pernah jadi pertanyaan besar pula para penikmat film dalam negeri.
Sineas film dalam negeri tak tinggal diam dengan banyaknya berita yang beredar. Merasa terpanggil dan tertantang untuk mewujudkan berita yang seakan film Indonesia mati. Tidak! Kalau boleh dibilang, saat itu film dalam negeri mas dormansi. Tetap bergerak, tetapi bisa jadi buat kejutan mungkin.
Banyak sineas-sineas profesional dan berbakat di negeri ini hadir. Semua memberikan kontribusi terbesar untuk kemajuan film dalam negeri. Peran besar sineas Indonesia untuk kemajuan budaya yang satu ini tak bisa dielakan.
Sineas-sineas siang malam bekerja berusaha mewujudkan hiburan yang bisa dinikmati banyak orang. Dukungan dari berbagi pihak pun sudah semestinya dilayangkan, dalam hal ini yang paling utama pemerintah. Ya, undang-undang tentang perfilman yang sudah ditelurkan sudah semestinya dilaksanakan, tetapi?
Dari Undang-Undang No 8 tahun 1992 hingga Undang-Undang No.33 Tahun 2009, undang-undang perfilman negeri ini seperti kacau balau tak dilaksanakan. Bagaimana tidak, UU ini sebenarnya sudah masuk ke dalam program legislatif nasional, tetapi justru banyak benturan dan tidak berjalan.
Kedudukan lembaga dibuat samar. Pendanaannya sulit. Termasuk kepada perlindungan insan film Indonesia. Banyak pahit getir yang dialami insan film karena UU yang tidak dilaksanakan.
Kewajiban pemerintah untuk mengakomodir UU ini tidak berjalan sebagaimana mestinya. Juga termasuk menerbitkan PP maupun Kepmen yang menjadi turunannya.
Apa akibatnya? Otomatis, semua regulasi peraturan perfilman menjadi kacau balau. Kita bisa melihat, film-film dalam negeri seperti dianaktirikan alias diperlakukan tidak adil.
Kalau film negeri ini katanya didengung-dengungkan, sepertinya hanya sebagai “senang-senang belaka”. Digadang-gadang, film Indonesia sedang maju-majunya, dari sisi mana?
Kalau mau melihat kenyataan yang sebenarnya terjadi, lebih dari setengah perfilman negeri ini tidak memiliki kesempatan untuk mengoleksi penonton yang bisa memadai. Kalau mau dilihat lebih jauh lagi, film-film yang diproduksi justru jarang dipertontonkan di bioskop. karena beberapa pemangku kepentingan yang punya kepentingan.
Hal-hal inilah yang diangkat ketika Sarasehan Peran Serta Masyarakat Perfilman yang berlangsung di Gedung Pusat Perfilman H. Umar Ismail pada Selasa (9/1/2018) Kuningan beberapa waktu lalu. Banyak pemerhati film hadir, termasuk Mas Akhlis Suryapati juga wartawan paling senior sekaligus kritikus film ternama Wina Armada dan Pak Dadang Rusdiana selaku anggota Komisi X DPR-RI.
Insan Perfilman dalam Sarasehan Peran Serta Masyarakat Perfilma di Perfiki [Foto: Dok Pri] |
Bang
Akhlis mengatakan, “Ketika terjadi silang-sengkarut pendapat dan tindakan yang
merugikan film Indonesia, maka kita menempatkan hukum atau peraturan menjadi
acuan untuk mengkritisi semua itu. Sarasehan ini digagas oleh masyarakat
perfilman dengan mengajak wartawan film untuk mengkritisis kondisi perfilman
yang sebenarnya, tanpa harus ada kecurigaan-kecurigaan, apalagi kebencian,
terhadap pihak-pihak tertentu. Insan film terlalu capek untuk diadu-domba dan
terpecah-pecah.”
Dalam paparannya juga Bang Wina Armada menyampaikan,
pemerintah telah melakukan pelanggaran atau tidak memenuhi kewajibannya dalam
penyelenggaraan perfilman.
“Ini bukan pendapat saya, melainkan sesuai
undanga-undang, yaitu UU No. 33 tahun 2009 tentang Perfilman,” ucapnya.
Kalau dilihat, wajar insan perfilman mempertanyakan
hal ini. Dari raut-raut wajah mereka terlihat ada kekecewaan yang menghinggap. Mengapa pemerintah lamban bahkan
tak bereaksi terhadap UU No. 33 Tahun 2009 ini.
Apa yang dikatakan Bang Wina Armada ini sangat
beralasan. Akibat dari tidak adanya peraturan turunan UU Perfilman tersebut,
ketidakadilan terjadi, utamanya ketika penyelenggaraan usaha perfilman. Bukan
kesan lagi, tetapi nyata terjadi, yang kuat menindas yang lemah.
Terjadi penindasan yang tak beralasan. Film negeri ini
dibuat tak adil. Produser tak mengeluarkan suara meski film yang dibuat dan
usaha film yang dijalani rugi miliaran rupiah. Ada rasa khawatir yang sangat
mendalam insan-insan perfilman negeri ini karena semakin terhimpit dan tak ada
kesempatan untuk terus berproduksi dan mengedarkan film yang dihasilkan.
Bang Evry Joe, selaku produser film, mau tidak mau
mencurahkan segenap kegelisahan dan keresahan yang dialaminya.
“Kami ini membuat film dengan uang
miliaran rupiah, Pak. Lenyap begitu saja karena film
kami tidak bisa beredar, atau bisa beredar tetapi hanya
diberi jatah sepuluh atau lima layar. Bayangkan, ada 1.500
layar bioskop di Indonesia, dan film Indonesia hanya main di 10 atau 15 layar
bioskop. Hanya film-film tertentu milik produser tertentu yang diberi jatah 40 layar
sampai 70 layar di hari-hari awal pertunjukan. Kami
ini seperti mengemis di negeri sendiri, Pak. Lalu di mana pelaksanaan
undang-undang itu? Di mana payung hukum itu? Di mana komitmen pemerintah yang
katanya ingin memajukan film Indonesia dan menjadikan film Indonesia tuan rumah
di negara sendiri?”
Nah, apa lacur, Bang Evyr pun lanjut menyampaikan, “Di
antara produser film Indonesia itu pun terjadi saling curiga, tidak kompak,
bahkan menjalar pada insan-insan film, organisasi-organisasi perfilman tidak
solid. Situasi dan kondisi film di negeri ini menjadi tak kondusif. Yang tak
diuntungkan oleh hal-hal dan situasi seperti ini ikut-ikutan nyinyir terhadap
yang tertindas.
Bang Rully Sofyan dari Asirevi pun menyampaikan bahwa
UU Perfilman benar-benar terjegal karena kekuatan politik bisnis yang besar.
Dalam ucapannya beliau menyampaikan,
“Ketika saya menjadi Pengurus Badan Perfilman Indonesia, ikut mengawal dan membahas masalah ini, beberapa
Peraturan Pemerintah bahkan sudah ditandatangani oleh Menteri Parekraf pada
waktu itu. Perlu sekali lagi ditandatangani Menteri Pendidikan dan Kebudayaan,
karena UU Perfilman mengaturnya demikian. Eh, ternyata masuk-angin juga. Begitu
pun DPR yang semula sempat bersemangat membentuk Panja, akhirnya masuk angin
juga. Jadi UU Perfilman memang terjegal.”
Di kesempatan sarasehan itu hadir anggota
Komisi X DPRI RI, Dadang Rusdiana menyimak semua paparan dan “unek-unek” insan film, dan bertekad membawa aspirasi ini ke
Komisi X DPRI RI.
“Tentu
saja kami perlu terus-menerus diingatkan dan didorong seperti ini, karena yang
dibahas di DPR itu banyak sekali,” kata Dadang.
“Peran masyarakat melalui media,
termasuk media sosial, sangat membantu dalam mendorong DPR maupun pemerintah
untuk menindaklanjuti proses-proses legislasi dan monitoring sesuai fungsi dan
tugasnya,” lanjutnya.
Dadang
Rusdiana punya pendapat sama, UU Perfilman
yang ada sudah cukup bagus dan memadai. Kebetulan juga tahun ini tidak masuk
dalam Program Legislasi Nasional di DPR-RI.
“Persoalannya
memang pada implementasi dan tidak diterbitkannya peraturan-peraturan
turunannya oleh Pemerintah,” kata Dadang lagi.
Kalau melihat di beberapa pasal-pasal UU No. 33 Tahhun
2009 ini ada beberapa pasal yang
jelas-jelas tak dilaksanakan, seperti yang dicuatkan Bang Wina.
Contohnya pasal 20, tentang 60% film untuk porsi film
dalam negeri, tetapi tidak terjadi.
Bahkan film-film barat justru mendominasi dan film dalam negeri nol pengunjung.
Pada pasal 26, praktik monopoli. Ya, sudah semestinya,
film-film asing yang beredar di negeri ini tidak memonopoli peredaran film
bangsa sendiri.
Peraturan Pelaksana UU Perfilman itu mesti ada. Hal ini
untuk menciptakan kepastian hukum.
Mencegah terjadinya perpecahan di lingkungan
masyarakat perfilman itu sendiri. Kalau melihat kondisi saat ini, masyarakat
perfilman mulai terpecah-pecah. Apakah iklim seperti ini sengaja diciptakan
oleh pihak-pihak tertentu, sehingga peredaran dan produksi film sendiri tidak
naik ke permukaan dan film-film asing bebas berkeliaran?
UU
No. 33 Tahun 2009 ini sudah semestina melindungi dan mendukung pengembangan
kebudayaan nasional, presiden sendiri pun sudah mengatakan. Tugas pemerintah
pula memajukan perfilman nasional, akan tetapi, pemerintah tak menjalankan
tugasnya. Nah, Pak Presiden mesti tahu dunia perfilman Indonesia itu seperti
apa.Film itu sebagai sebagai budaya. Negara harus ikut berperan serta memajukan kebudayaan. Film sebagai saran pencerdasan bangsa. Film di era globalisasi sekarang ini dapat dijadikan sebagai alat penetrasi kebudayaan.
Oya, melihat juga jumlah penonton bioskop negeri ini, pemerintah mesti melaporkan ke publik jumlah penonton setiap tahunnya. Mesti dilihat komparasinya antara film Barat dan film negeri sendiri. Pemerintah waji pula membatasi film-film import ini. Semoga, penyelenggara negara semakin kritis menghadapi hal-hal demikian. Apalagi, masyarakat kita bukan lagi masyarakat yang terima jadi. Tetapi, perlu kejelasan dan penyertaan otentifikasi bukti tak sekadar janji. Ditunggu kerja pemerintah dan legislasi selanjutnya. Mau dibawa ke mana UU No. 33 Tahun 2009 ini?
Bersama Bang Gemi, Komunitas Masyarakat Pencinta Film [Foto: Dok Pri] |
4 comments:
Kasihan hanya di jatah 5 layar, kalau satu bioskop cuma 500 orang berarti 2500 . Rugi bandar produser
Film bisa jadi tolak ukur bagaimana pemerintah majukan sinemafotografi . Plus meningkatkan wisatawan untuk mengunjungi pariwisata yg ada di indonesia
Mba @Muthiah: terima kasih Mbaa... masih belajar mba ngulasnya. Perlu banyak belajar lagi nih dari senior. Ajarin ya Mba Muth.
Mpo @Ratne: Nah iya pok... dikit banget ya layarnya. Asli tekor banget produser.
@Miss Dapur: Bener sih miss... cuma itu tadi, pemerintah lama nih gerakannya untuk nangkep UU No. 33 Tahun 2009.
Great blog I enjoyeed reading
Post a Comment