Wednesday, February 21, 2018

Pesannya untuk Saya, Kami, dan Kita: Menulis dengan Cinta!


Dini Fitria [Foto: Dok Pri]

Ada banyak cara orang melepaskan ‘unek-unek’ dalam dirinya. Bisa lewat nyanyian, makan, belanja, wisata, kongkow, juga menulis. Untuk saya, kalau tidak makan, ya nongkrong atau kongkow. Setiap orang punya caranya

Menulis untuk saya pribadi sebagai semacam terapi. Ya, terapi kepuasan batin yang tak bisa dinilai dengan uang. Batin yang  kosong, mungkin juga lelah, terobati dengan saya menorehkan kata-kata. Akan tetapi, torehan itu bukan torehan gundah gulana yang jadi harga mati saya buat. Tetapi,  cinta dan hati yang menggerakkan sehingga menjadi satu kekuatan untuk bangkit. 

Tulisan yang dihasilkan mungkin akan berarti jika dimainkan dengan cinta dan hati. Tak saya pungkiri, begitu pun Dini Fitria, penulis tiga buku (Islah Cinta, Muhasabah Cinta, & Hijrah Cinta) yang menggali lebih banyak tulisan lewat cinta yang dimainkan. Menulis dengan cinta menjadi semacam gerakan yang dia lakukan agar tulisan  yang dihasilkan tak hambar. Sayang banget, ketiga buku itu belum sempat singgah di meja bacaan saya. Saya hanya sempat baca di salah satu blog teman blogger yang sudah membuat review salah satunya saja, yaitu “Islah Cinta”, di Blog Mba Yayat.

Tulisan tanpa cinta bagai taman tak berbunga, begitu mungkin kata pujangga. Aaaghh , kayak nyanyi dangdut aja. Tapi iya lho, tulisan yang keluar dari lubuk hati paling dalam dan didasari oleh cinta itu beda. Bisa jadi buat pembacanya termehek-mehek. Ada rasa yang keluar. Pembaca larut di dalamnya. Ini kayak “mainan”  24 tahun lalu kepada editor-editor saya. Tak henti-hentinya saya ingatkan, “Kalau nulis jangan datar-datar aja. Jalan aja ada belok-beloknya, masa tulisan ga ada twist sama sekali.”  Aah lupakan sejenak. Apa yang Dini katakan di “Menulis dengan Cinta-nya” ini mengiangkan saya kembali, bukan berarti saya lebih tahu dan tulisan saya paling bagus, tidak! 

Hari ini, besok, lusa, dan hari-hari ke depannya, saya masih terus belajar dari siapapun, baik dari Dini Fitria, Teh Ani Berta, Mba Yayat, Mba Agatha, juga sesama teman blogger yang ikut acara ini. Eh iya, sampe lupa saya mau bilang judul acara ini, “Menulis dengan Cinta Bersama Dini Fitria”. Materinya tentang Story Telling untuk Artikel Blog & Feature Stories kerja bareng alias didukung oleh Indonesian Social Blogpreneur, C2live, Coworking evhive Space, Kulina, ZOYA, ZOYA Cosmetics, dan Shafira. Bertempat di JSC EVHIVE, pada Kamis (15/02/2018) bersama rekan-rekan blogger.


Rekan-rekan blogger [Foto: Dok Pri]
Sebelum jauh-jauh ngoceh nih, saya mau ceritain tentang pendukung acara ini. Saya mulai dari C2live ya teman. C2live ini sebagai jaringan media yang ngumpulin dan ngedukung blogger, penulis, pembuat konten di Indonesia dalam membagikan cerita mereka yang mengagumkan. Ya, boleh dibilang, tempat bagi pembuat konten berkualitas tinggi.
 
Representatif C2live [Foto: Dok Pri]
Fungsinya sebagai platform untuk mereka berbagi dan menemukan ragam ide menarik, sudut pandang orisinil dan pengetahuan mendalam berbagai hal menakjubkan di negeri ini.
Nah, C2live sebagai agregator (C2live.com), tempat kontes blogging yang efisien (C2live Connect), dan juga sebagai tempat Meet up (Acara Bulanan) untuk komunitas blogger di Indonesia. Blogger-blogger bisa banget kerjasama dengan C2live. Banyak keuntungan lho yang bisa diperoleh, antara lain  artikel kita bisa mendapat visibilitas lebih dan backlink. Kita juga bisa ngadain lomba blogging yang cukup efektif dan efisien, ssstttt… gratis lagi!
C2live bisa juga bantu sediakan beragam dukungan, semisal tempat acara dan makanan. Yes, kalo kalian punya ide untuk kerjasama di C2live, bisa segera hubungi tim mereka. C2live digawangi oleh--salah satunya--Putra Rizkhy Ananda sebagai Community Manager. Bisa dikulik di sini nih www.c2live.com

Untuk makan siangnya, Kulina menjadi  best friend di acara ini dengan makanan “juara”. Tak diragukan lagi, Kulina ‘raja’ di bidangnya. ZOYA (www.zoya.co.id), ZOYA Cosmetics (www.zoyacosmetics.com), dan Shafira menjadi pilihan busana muslim untuk muslimah Indonesia. Kepiawaiannya menampilkan busana, alat kecantikan (kosmetik)-nya, dan beragam keperluan wanita lainnya tak perlu diragukan lagi. Anda bisa cuci mata di website-nya Shafira www.shafira.com

Sekarang, saatnya saya ngobrolin bintang utamanya, Dini Fitria. Dia pernah bekerja di salah satu stasiun TV Swasta sebagai jurnalis TV untuk program bernuansa Islam. Pengalamannya bepergian dari satu negara ke negara lain untuk mengulik kehidupan Muslim minoritas membuatnya ingin berbagi experience.  Lewat tulisan yang dituangkan dalam bentuk buku, Dini menuliskannya dengan penuh cinta. Karenanya, buku yang ditelurkan disukai pembaca.
 
Dini Fitria bersama Founder ISB, Ani Berta [Foto: Dok Pri]
Satu kali dia katakan, “Membenci sesuatu yang terlalu, bisa jadi  berbalik pada kita, akan jatuh cinta lebih mendalam”. Hahaha… bisa jadi sih. Tapiii…, bagaimana pun juga, setiap orang punya cara berbeda menyikapi.   

Eiitss, apa yang dikatakan Dini itu tepat mengenai dirinya. Ya, dia begitu tidak sukanya dengan India. Dikatakannya, ketika menginjakkan kaki pertama kali di negara itu pada Maret 2011, kondisi yang tak dia bayangkan sebelumnya. Di jalan-jalan begitu banyak dilihat dan ditemukan pengemis yang membuatnya miris hati. Entah seribu alasan lain yang membuatnya tak ingin kembali lagi ke India jika ada tawaran lagi. Hehehe… saya belum kebayang, itu India seperti apa ya sampai-sampai buat dirinya berat banget untuk balik lagi.

Eeeh, ternyata di Oktober 2016, dia balik lagi ke India untuk mengulik lebih jauh kehidupan Muslim minoritas di India yang dituangkannya ke dalam buku. Dia torehkan setiap kalimat cantik itu dengan cinta. 

Di sini, Dini memberikan pencerahan juga untuk blogger,  bagaimana menulis dengan cinta melalui gaya bertutur. Nah, untuk hal ini saya tidak pandai. Ber-story telling sepertinya jauh banget dari saya. Selama 24 tahun, saya bergelut dengan tulisan-tulisan ilmiah, mau tidak mau kebawa dalam ranah tulisan blog saya. Entahlah, saya biarkan orang menilai dengan semua kritik membangun. Itu mesti saya terima untuk kemajuan saya as a personal. Bisa jadi juga, tulisan di blog saya itu ‘Brosur Online’ yang   jadi tempat jualan mudah dan murah tanpa bayar promosi.  Kalau bayar harganya bisa menggila. Hehehe…

Tapi tetap, mencoba menulis dengan rasa dan cinta selalu saya coba. Rasanya seperti apa, biar saya dan pembaca saja yang merasakannya. Ya, saya punya ciri sendiri yang  tidak mungkin saya tinggalkan. Dari Dini  saya petik pelajaran berharganya itu. 

Baiklah, kan sebelumnya Dini kasih tentang Story Telling dan Feature Stories ya. Nah, apa dan bagaimana sih sebenarnya keduanya ini? Mari kita kuliti satu-satu. Feature Stories, seperti yang dia sampaikan, ini terkait dengan fakta bukan fiksi. Feature, semua hal mengenai emosi juga soal rasa. Jadi, feature yang berhasil menurut saya, ada fakta yang diangkat sesuai kenyataan. Di dalam cerita mampu mengaduk-aduk emosi pembaca sehingga pembaca larut di dalamnya. Pembaca merasakan apa yang penulis rasakan. Masing-masing memberi nilai yang mampu membuat siapa pun yang membaca ada di dalamnya. Inilah feature yang berhasil. 
 
Dini Fitria berbagi pengalaman [Foto: Dok Pri]
Di dalamnya ceritanya punya ciri tersendiri. Seperti apa ciri feature ini? Bertutur. Bagaimana seorang penulis mampu mengungkapkan cerita dengan cara bertutur, seperti berdialog dengan orang lain. Sangat bisa, budaya lisan (budaya tutur) masuk ke dalam tulisan feature. Deskriptif, seorang penulis feature dapat dengan jelas dan lugas memberikan gambaran terhadap cerita, profil, atau peristiwa. Hal ini, mengingatkan saya kembali pada jenis-jenis karangan atau cerita yang pernah Gorrys Keraf tulis dalam bukunya, KOMPOSISI.

Dari buku tersebut, Deskriptif atau menggambarkan satu cerita dalam satu tulisan ada di dalamnya. Memang, ini perlu latihan banyak, tak serta merta hadir dan langsung jadi bagus. Informatif. Feature memberikan informasi yang benar. Kalau melihat dan membaca apa yang dipaparkan Dini bahwa feature itu bicara fakta. So, jangan pernah juga buat-buat atau ngarang-ngarang cerita kalau mau menulis feature. Human interest menjadi bagian paling kuat dalam tulisan feature ini. 

Gaya Penulisan feature ini berbeda dari penulisan yang pernah ada. Di dalamnya mengandung keindahan kalimat, mampu memikat pembaca,  membeberkan (naratif), prosais, dan imajinatif. Jadi, disampaikan dengan gaya-gaya ringan dan menghibur. 

No Need Exactly  5W + 1H. Unsur ini sepertinya tak begitu berlaku untuk feature, artinya, 5W+1H bisa diabaikan. Feature  itu lebih kepada hal yang remeh temeh dan jarang tersentuh oleh pewarta yang sifatnya stright news (tulisan langsung/hard news). Human Interest, ada stressing pada fakta yang sifatnya mampu menghibur, selain membangkitkan emosi, bahka ada rasa simpati dan keharuan yang ditimbulkan. Artinya, feature stories mampu menyentuh sisi-sisi manusiawi karena tulisan bersifat bacaan ringan (light reading). 

Jenis feature cukup beragam, mungkin di bawah ini hanya sebagian contohnya saja yang dipaparkan Dini

1.    Feature human interest (human interest feature)
2.    Feature sidebar
3.    Feature biografi (biographical feature)
4.    Feature profile (profile feature)
5.    Feature perjalanan (travelogue feature)
6.    Feature “Di ballik layar” (explanatory feature)
7.    Feature sejarah (historical feature)
8.    Feature  musiman (seasonal feature)
9.    Feature tren (trend feature)
10. Feature ilmiah (scientific feature), dan lain-lain.

Satu feature itu hadir karena diciptakan. Bagaimana seorang penulis berusaha menciptakan satu tulisan feature yang bisa bertutur dengan baik, para pembacanya bisa larut dan terbawa emosi di dalamnya, dia adalah orang yang mampu bertutur menghasilkan story telling secara baik. 

Ya, kita mesti tahu bagaimana tulisan feature diciptakan. Seseorang yang ingin menciptakan feature adalah orang yang mampu  bertutur dengan gayanya. Artinya, Story Telling orang tersebut dapat dikeluarkan dan ditunjukkan, tak hanya cerita. Pembaca diajak untuk berimajinasi dari satu tulisan feature yang lahir. 

Bagaimana Menciptakan Feature?
Story telling menjadi penting karena pada dasarnya orang menyukai cerita. Mereka (pembaca) seakan-akan berada pada situasi tempat penulis bercerita. Story Telling lebih mudah menyentuh hati untuk mereka yang baca. Ketika seserong ber-story telling, ada kesan yang sangat dalam ditinggalkan pada cerita itu. 
 
Dini Fitria, kupas Story telling & Feature Stories [Foto: Dok Pri]
Akan tetapi, story telling saja tak cukup. Seseorang yang membuat feature mesti tahu tujuan yang jelas. Tujuan yang jelas untuk menggiring pembaca agar terarah pada jalan  satu cerita. Jika tak ada hubungannya atau dekat dengan keseharian tak perlu dituliskan. Feature sedapat mungkin ada hubungan, kebanggaan, juga dekat dengan sehari-hari kita. Penulis feature juga dapat memberikan rasa penasaran pembaca untuk dapat mengetahui apa sebenarnya yang terjadi. Saya berpikir, feature yang dibuat dapat tuntas dan tidak menggantung cerita. Ada nilai-nilai penghayatan yang diberikan penulis. Otomatis, penulis mampu mengikat pembaca dengan menanamkan nilai-nilai penghayatan yang kuat dari tulisan yang dibuat.   

Teknik Menulis Feature
Ini menjadi satu bagian yang tidak bisa dilepaskan begitu saja  ketika seseorang akan memulai menulis feature. Lead in angle. Tulisan pembuka (lead) atau bridging (tulisan penghantar sebagai jembatan ke body text atau content) mestilah diberikan. Dengan sedikit membuat rasa penasaran orang. 

Begitu pula dengan sudut pandang yang akan dikemukakan. Dari mana point of view yang baik dan menurut penulis bagus untuk dituangkan. Ada banyak point of view dari satu tulisan, tetapi kita dapat memilih satu yang terbaik untuk dijadikan  fokus agar tulisan tidak lari ke mana-mana. 

Membuat daya pikat seperti orang membuat jerat. Daya pikat dapat dikreasikan atau diciptakan  sesuai keinginan. Tapi, buatlah daya pikat yang memang benar-benar memikat dan pembaca tak beranjak dari bacaan. Bisa jadi perlu latihan untuk terus menulis agar tahu dan paham di mana daya pikat tulisan yang bisa menjadi “racun”.

Sistematika bahasa yang terjaga dan rapi menggambarkan pola berpikir dari seorang penulis. Hal ini juga mencerminkan logika berpikir penulis. Kita dapat melihat penulis yang gundah gulana dari cara dia menulis ketika kondisi hati tak tenang. Cara bertutur/bahasa yang disampaikan tak beraturan bahkan  cenderung meloncat-loncat. Artinya, logika bahasanya tidak benar. Bahasa yang rapi dan terjaga itu   memang perlu berlatih. Kalau teknik saja tidak cukup tanpa ada latihan.

Kepandaian kita bermain kata-kata sangat perlu untuk menulis feature. Mengapa? Agar pembaca tak bosan dengan kalimat yang hadir. Semua kembali pada jam terbang penulisnya. Banyak membaca jadi salah satu kunci penting untuk pintar bermain kata dan pilihan kata (diksi). 

Feature mampu memberikan nilai-nilai pendidikan sekaligus hiburan (menghibur). Teknik penguasaan model edutainment ini perlu dilatih tak serta merta hadir begitu saja. Mengemas feature dalam bentuk mendidik dan menghibur bukan pekerjaan mudah. Seiring bergulirnya waktu, penulis yang melatih diri dan mencoba memberikan nuansa ini, akan mampu menghasilkan tulisan feature yang dimaksud.

Dalam satu tulisan feature, mestilah ada muatan dan nilai (full of value). Nilai-nilai ini akan menjadi jaminan keberhasilan feature yang dibuat. Pesan atau amanat tersampaikan kepada pembaca. Pembaca dapat mengambil nilai yang dituliskan. Kemampuan mengerahkan hati dan jiwa untuk menghasilkan satu tulisan feature bukan perkara mudah. Hati yang gundah jiwa gelisah, tentu tak akan bisa menghasilkan karya feature terbaik yang ‘wah’

Boleh danTidak Boleh
Teknik why, what, dan how bisa kita pakai untuk menulis feature. Menangkap pembaca kita itu dengan cara menangkapnya lewat tulisan pertama (lead atau bridging). Jadi, pikat pembaca kita dengan kekuatan tulisan pertama. Banyak kegagalan penulisan feature di awal-awal kalimat yang memang sudah tidak menarik. Hasilnya, pembaca kabur. Tak perlu banyak basa-basi atau berbunga-bunga.

Tetapi, ketika saya menyimak penuturan Dini, di bagian ini agak kontradiktif dengan yang dia sampaikan. Masih dalam ingatan saya, bahwa ketika menulis di awal, agar  orang tertarik, buatlah “kalimat-kalimat indah”. Menurut saya, tak masalah mau buat kalimat berbunga-bunga tetapi tepat sasaran dan bisa memikat pembaca. 

Penulis, bisa seimbang menempatkan dirinya di satu tulisan baik sebagai subjek maupun objek.  Dominansi penulis dalam satu tulisan perlu dipertimbangkan agar tulisan tak timpang. Membuat keterhubungan tulisan dengan yang dialami diri sendiri dan berita kekinian (up to date) juga berkolaborasi dengan pembaca seakan-akan mereka satu nasib dengan kita. Hal ini penting  untuk memberikan dan mendapatkan engagement yang kuat dari tulisan yang dihasilkan.

Pembaca kini cerdas dan kritis. Berhati-hati ketika kita memberikan satu advice. Bisa jadi, pembaca tidak perlu nasihat yang sekiranya justru dapat membuat  mereka tersinggung atau marah. Kita juga boleh provokatif, akan tetapi tidak perlu agresif yang keterlaluan. Penambahan kosa kata untuk tulisan itu penting dilakukan. Kosa kata menjadi salah satu indikator keberhasilan seorang penulis membuat cerita. Terlihat tidak monoton dengan twist kalimat yang renyah. 

Padupadan pengalaman diri sendiri dengan kasus-kasus yang ditulis juga perlu. Ini menjadi salah satu kekuatan yang bisa ditonjolkan. Terlalu banyak ide, akan sulit juga membuat eksekusi. Ide mana yang akan dipakai, menurut hemat saya perlu skala prioritas yang tidak asal-asalan. Hindari kalimat yang loncat-loncat (jumping words). Jumping words, itu menandakan tulisan  seseorang tak beraturan. Cara berpikir yang meloncat-loncat  tidak tertata. 

Typo menjadi salah satu hal yang sering terjadi. Saya pribadi pun demikian. Sedapat mungkin, memeriksa kembali tulisan itu sangat penting. Typo, meski hanya satu huruf akan membuat tulisan yang tadinya indah menjadi rusak. Saya punya prinsip, “Kecil itu indah, jika yang kecil dibuat jelek , semua akan ikut buruk”.
 
Representatif Shafira (kiri), Founder ISB, Ani Berta (Tengah), Dini Fitria (Kanak) foto bersama [Foto: Dok Pri]
Seiring semakin berkembangnya feature, tentu kita juga perlu mengetahui dan melihat bagaimana satu tulisan feature yang baik. Ada rasa peka, feature bukan berita yang aktual atau up to date, akan tetapi, seorang penulis yang pintar mampu membuat keterhubungan cerita yang terjadi. Pandai-pandailah mengendus berita. Hal ini hanya menyangkut jam terbang dikolaborasi dengan latihan yang sering. Dengan sendirinya, kita akan terasah dan paham. Identitas kita sebagai penulis feature mestilah tegas. Ada kekhasan yang orang langsung pahami bahwa ini tulisan X, Y, atau Z, serta konsisten menuangkan tulisan yang dinanti banyak orang. 

“Untuk satu tulisan Feature, mesti ada premis. Premis ini menjadi dasar ketika seorang penulis menarik satu kesimpulan. Dengan kata lain, premis sebagai satu hal yang diinginkan. Akan tetapi, untuk mendapatkannya ada benturan atau tantangan. Ada benang merah alur cerita yang dipaparkan dan punya emosi,” ucap Dini mengakhiri paparannya.  





24 comments:

Keluarga Biru said...

Apa yang ditulis dari hati akan sampai ke hati juga, itu pesan yang selalu saya ingat sampai saat ini. Masih harus banyak belajar gimana menulis dengan gaya story telling yang bisa memikat pembaca hingga mau membaca sampai habis artikel kita, nggak diskip-skip mulu :D
Makasih banyak sharingnya Mas dan salam kenal. Ihwan KeluargaBiru

Amallia Sarah said...

Kadang susah2 gampang menulis itu ya mas. Terutama untuk pemula, harus sering latihan dan belajar dari yang sudah berpengalaman. Sehingga bisa sama2 sukses memiliki tulisan yang menarik dan banyak yang baca juga manfaaat

Helena said...

Whoaaa perlu latihan menulis feature yang engaging supaya pembaca betah tapi juga penuh Value.

Tuty Queen said...

komplit om tulisannyaa..aku malah ada yang terlewat nyatatnya, thank you yaa

duniaspasi said...

Saya jadi semangat mempelajari bagaimana meluaskan diksi dalam sebuah tulisan. I love the workshop :)

Wichan said...

aku setuju, ada kepuasan batin kalo abis nulis gitu. Apalagi bikin puisi. Aaakkkk. Tapi puisi gak bisa feature, aneh jadinya. Hahahhaah

Hanny Nursanty said...

Yup betul semua orang punya ciri khas ya mas

Annafi said...

Saya seneng banget bisa hadir ke workshop ini, pulangnya dapat banyak ilmu baru buat postingan kece!

Yayat said...

om jun kalo nulis panjang dan lengkap bener... salut always

Nefertite Fatriyanti said...

Fotonya bagus-bagus, aku seneng bisa datang di acara ini, serasa dicharges. Selama ini rasanya nulis kaya mesin, tanpa ruh.

Dzulkhulaifah said...

Gaya penulisan yang bertutur katanya sih emang lebih disukai sama pembaca, Mas Jun. Saya juga betah berlama-lama di sebuah blog kalau gaya nulisnya enak dibaca.

Resi Prasasti said...

Lengkap ya. aku masih banyak kurangnya kalau harus bercerita dari hati

https://www.junjoewinanto.com said...


Hai @KeluargaBIru: Iya mas, apa yang disampaikan dari hati itu akan sampai ke hati juga. BIsa jadi, suksesnya seorang penulis yang bisa membawakan dengan hati itu di sini rahasianya. Saya juga sama mas, masih harus banyak belajar sampai maut memisahkan. Ya, hidup ini pada dasarnya proses belajar terus menerus menuju ke arah perbaikan. Aah... saya salut sama Mas keluarga biru ini. Salam kenal juga ya Mas.

Mba @Amallia: Ya Mba, menulis itu mengatur sistematika berpikir. Seseorang akan terbaca pola pikirnya dari cara dia menulis. Memang harus sering latihan mba Amallia. Apalagi saya, mesti banyak-banyak latihan biar tetap bisa menulis enak. Semoga, tulisan-tulisan yang Mba Amallia tuliskan pembacanya senang yaa dan banyak.

Mba @Helena: Ya begitulah mba. Saya apalagi, masih jauh banget kalo soal tulis menulis ini. Mesti banyak belajar juga dari Mba Helena yang sudah duluan malang melintang di dunia pertulisan.

Wak @Uty Tuty: Yaa wak... ini nih yang jago nulis. Saya selalu membaca tulisannya yang mengalir seperti arus air. Tanpa mengurangi nilai dan rasa yang akan disampaikan kepada publik. Tulisannya Wak Uty ga dibuat-buat, jujur, dan terasa dari hati. Komplit atau ganya tulisan itu wak, bisa diatur. Yang penting itu tulisan wak uty keluar dari dalam hati.

Mba @Dunia Spasi: Nah, ini inspiring woman menulis untuk saya. Saya banyak belajar juga dari Teh Ani Berta dalam hal tulis menulis. Bagaimana mengolah kata menjadi kalimat yang keluar dengan enak tanpa menggurui.

Mba @Wichan: Benar Mba Wichan... saya menulis itu untuk mengisi jiwa-jiwa yang kosong. Atau mengisi ruang-ruang kosong di otak saya. Ibaratnya otak saya itu seperti peti yang bolong-bolong kecil tapi banyak. Bolong-bolongnya itu yang perlu saya isi untuk menutup apa yang kurang. Begitulah Mba Wichan. Masih terus belajar saya, sampai maut memisahkan.

Mba @Hanny: Ya mba, kita punya ciri khas masing-masing. Orang akan mengingat kita dengan ciri khas kita. Makanya, kalo blogger (saya) misalnya udah ga ada, yang saya tinggalkan hanyalah tulisan. Ciri khasnya, saya nulis panjang dan ga mau main-main alias ngasal. Gali lebih dalam dan kembangkan. Terpenting ada manfaat yang bisa dibaca banyak orang. Tetap tidak menggurui. Makanya, ciri khas ini perlu kita pertahankan dan jangan dibuang.

Mba @Annafi: Ya Mba, apalagi saya. Perlu hal-hal yang begini biar tidak bosan juga dengan tulisan yang itu-itu saja. Ada tambahan knowledge juga di tulisan yang akan disajikan ke publik. Banyak yang bisa saya petik dari worskhop itu.

Mba @Yayat: Terima kasih nyah Vale... mungkin ini udah jadi trade mark saya kali ya nyah. Nulis nanggung itu ga enak banget. Mending panjang dan kena. Ya, meski orang bacanya capek. Semua punya pilihan nantinya, mau yang panjang atau yang pendek. Hehehe.

Mba @Nefertite: Terima kasih Mba Nefer kalo fotonya bagus-bagus. Bukan karena ada Mba Nefer kaaan terus fotonya dibilang bagus? Hahahahah... guyon lho mbae. Iya Mbae, pastinya ada energi baru di workshop ini. Yang tadinya ga paham or tidak tahu jadi paham dan tahu. Ya, saya menikmati setiap ucapan yang dilontarkan pemateri saja. Berusaha untuk merangkum apa yang saya tangkap selama pemateri menjelaskan.

https://www.junjoewinanto.com said...

Mba @Dzulkhulaifah: Memang sih mba, gaya penulisan bertutur itu lebih disukai, akan tetapi kita perlu tahu dan bisa menempatkan pula, kapan gaya bertutur ini akan diterapkan di penulisan. Kalau saya jujur saja, di blog saya ini, tidak ada yang namanya gaya-gaya bertutur begitu, boleh dibilang minim banget. Kalau menurut saya sih (IMO), gaya bertutur ini cocok banget untuk buku cerita anak, buku novel, cerpen, atau untuk nulis yang model-model feature itu. Ya, setiap orang punya passion-nya masing-masing ya Mba. Tetapi, saya pribadi tidak akan pernah berhenti belajar untuk tahu tentang tulis menulis ini jauh lebih dalam.

Mba @Resi: Waaah... apalagi saya, agak-agak terdistraksi ketika harus menulis dengan gaya-gaya yang bukan gaya saya. Rasanya kaku dan ga luwes. Akan tetapi, bagaimanapun juga, kita mesti keluar dari zona nyaman kita agar turut merasakan juga menulis yang keluar dari lubuk hati paling dalam. Hehehe... memberikan jiwa dan rasa kepada satu tulisan itu bukan pekerjaan mudah. Penulis senior dan berpengalaman sekalipun masih kesulitan untuk menuangkannya. Semoga bisa ya mba karena latihan dan terus mengasah kemampuan untuk mencoba menulis dari lubuk hati paling dalam yang dapat menimbulkan rasa dan bermakna.

Maliha said...

'Rasa' yang dituangkan mba Dini dari perjalanannya di beberapa Negara ke bukunya,bener-bener menyentuh ya dan beruntung banget dapat ilmunya dari workshop ini

https://www.junjoewinanto.com said...

Mba @Maliha... hehehe... saya belum merasakannya, soalnya saya belum pernah dan belum tahu bukunya seperti apa. Bacanya juga belum Mba... Hehehe. Mba Maliha sudah baca ketiga bukunyakah?

Sifora said...

Mas jun caem dah nulis panjang, lengkap aku malah ada yang ketinggalan tapi kalau soal menulis dengan cinta bener sih ada bedanya juga lebih menyentuh hati ketika membacanya. Nah yang pengen ku gali dari blog ku tuh begitu bisa menghipnotis pembaca ketika membaca diawal sampai akhir kalau bisa mereka jadi setia hahahahaha setia dalam membaca. Kalau mas jun opo?

Unknown said...

Bener2 berbobot yah workshop Menulis dengan cinta ini dari awal sampe akhir workshop dipelototin terus agar gak ada satu ilmu pun yg terlewat

Melinda Niswantari said...

Mas Jun, tulisannya lengkap + detail banget deh. Menulis itu bagian dari healing ya, makanya kalau udah dituangakan dalam tulisan rasanya plooong hehehe. Beruntung ya mas bisa ikutan workshop ini jadi bekal buat menulis dengan hati dan cinta :)

Agatha Mey said...

"Nah, untuk hal ini saya tidak pandai. Ber-story telling sepertinya jauh banget dari saya. Selama 24 tahun, saya bergelut dengan tulisan-tulisan ilmiah, mau tidak mau kebawa dalam ranah tulisan blog saya."

Nahhhh itu dirimu, masssss... Trus kalau aku gimanaaaaaa ??? story telling jauh, ilmiah enggak... hahaha...

Wesss gpp, proses belajar orang beda-beda. ada yang cepet ada yang lemot kayak gw. Sing penting aku tetep nulis, demi kesehatan jiwa. Cieeeeee... tar pelan-pelan belajar kaya rangorang yang pada pinter2 menggambarkan tulisan.

Misu Pinku said...

Mbak, ilmunya lengkap banget! Ah, pasti terpakai banget nih.

Anindita Ayu said...

Masih harus belajar banyak nih, agar tulisan tidak monoton. Terima kasih banyak ilmunya mbak. Bisa coba dipraktekkan sedikit demi sedikit..

Puspita Yudaningrum said...

Yup setiap orang punya gaya kepenulisannya sendiri. Btw om jun nulisnya detail banget, salut nih...

https://www.junjoewinanto.com said...


Mba @Sifora: HAyoo ... tebak kalau saya apa? Saya mengikuti kata hati. Biarlah antara otak dan hati saya terjadi sinkronisasi, sambil terus belajar yak.

Mba @Fanni: Hehehe... ya setidaknya ada beberapa hal penting yang bisa dipetik dan diaplikasikan untuk menulis. Bersyukur banget kan Mba kita dapet ilmu haratis ini. Kalau ikut pelatihan yang lainnya, belum tentu dapat free begini ya.

Mba @Melinda: Nah bener banget, menulis itu bagian dari healing, obat, dan terapi jiwa. Memang sih, ada beberapa orang yang menulis jadi obat penyembuh jiwa, ada juga sebagai pelarian. Semoga Mba Mel ga buat pelarian yaaa... hahaha

Mba @Agatha: Weslah ga apa-apa, menulislah apa yang mau ditulis sebelum ada Undang-undang yang ngelarang mbake untuk menulis. Iyo thooo... Bukan lemot mbae, tetapi memang perlu penyesuaian diri aja kalau aku bilang mba. Penerimaan orang kan beda-beda ya. Aku juga mesti belajar banyak dari Mbae ki. Ben pinter tho yoo.

Mba Mba @Misu Pinku: Ini Mba siapa? Kalo saya dipanggil Mba...walah-weleh.Jelas-jelas namanya Jun Joe Winanto, yo masa lipstikan? Hahahah.

Mba @Anindita: Terima kasihnya sama Mba Dini yoo bukan sama saya Mba Anindita. Hehehe.

Mba @Puspita: Yah begitulah, setiap orang punya cara dan gaya. Jadi, mau maksain gaya orang masuk ke dalam gaya kita, ajee gileee... ga punya ciri khas namanya. Heheeh.