Maria Loretha di tengah hamparan ladang Sorghum [Foto: Dok Maria Loretha] |
Begitulah Maria Loretha
mewujudkan impiannya. Membuka lahan bersama warga, menyuburkan tanah tandus
berbatu menjadi tanah yang hijau meraya. Sorghum aneka warna menjadi hiasan
tanah Likotuden, Lembata, dan Adonara, Nusa Tenggara Timur.
Saya melihat, Nusa
Tenggara Timur tidak lagi gersang menyengat badan. Sorghum menjadi pelipur cinta
Maria untuk siapa saja yang ingin singgah. Bulir-bulir sorghum aneka warna
telah melanglang buana lintas negara. Saatnya geber ekspor produk petani kita,
Indonesia.
Saya mau cerita tentang
siapa sebenarnya Maria Loretha, apa yang dia lakukan untuk meningkatkan taraf
hidup petani di kampungnya, sehingga Maria Loretha pun diganjar beragam
penghargaan dan terbang ke negara-negara yang konsen dalam bidang pertanian.
Juga apa peran dan fungsi karantina terhadap pertanian negeri ini.
Maria Loretha, hidupnya
diabadikan untuk menggali dan mencari sumber pangan alternatif pengganti beras
di daerah terpencil Flores, Nusa Tenggara Timur. Dia mengembangkan sorghum
sebagai pengganti beras di daerahnya.
Ladang Sorghum dalam pengawasan Maria Loretha [Foto: Dok Maria Loretha] |
Sorgum sebenarnya sudah
tidak asing sih untuk masyarakat NTT dan NTB, karena sorghum jadi pangan
alternatif daerah ini kala musim kemarau tiba. Namum, kebijakan pemerintah yang
memprioritaskan pengembangan beras, sorghum semakin ditinggalkan dan warga
mulai jarang menanamnya. Bibitnya pun mulai sulit dicari. Padahal, kandungan
karbohidratnya lebih tinggi dibanding beras.
Maria Loretha, petani
yang berasal dari Desa Pajinian, Kecamatan Adonara Barat, Pulau Adonara,
Kabupaten Flores Nusa Tenggara Timur yang mengembangkan dan membudidayakan tanaman serealia tersebut. NTT sering
diberitakan di berbagai media massa sebagai daerah rawan pangan, kurang gizi,
dan gizi buruk.
Daerah yang 70% terdiri
atas lahan kering dan berbatu itu sebenarnya memiliki kekayaan pangan lokal
yang dapat menaikkan taraf hidup dan kegiatan ekspor industri petani lokal
hingga mancanegara.
Masyaraka sering
beranggapan, pangan sama dengan beras. Padahal mereka punya beragam jenis
seperti ubi, keladi, pisang, sorgum, jelai, beras hitam, beras merah, dan
sebagainya.
Dalam bincang-bincang
saya dengan Maria, dikatakan bahwa NTT punya lahan kering yang sangat besar dan
potensial. Seharusnya lebih dikembangkan benih-benih lokal yang lebih cocok
dengan tanah dan udara NTT.
Tidak mendatangkan
benih-benih dari luar yang membutuhkan biaya produksi tinggi. Teknologi yang
berada di pedesaan sangat terbatas, apalagi sumber daya air yang ada di Flores.
Bermula Dari Sepiring
Sorgum
Ketika Maria pertama
kali menginjakkan kaki di Flores, dia makan jagung titi yaitu bahan dasar dari
jagung pulut. Ini menjadi makanan (pangan) pendamping kebanggaan orang Lamaholot di Flores Timur,
Alor, dan Lembata. Lantas, bagaimana Maria
mampu mengembangkan secara besar-besaran sorghum di daerahnya?
Pada April 2007, Maria
diberi sepiring sorghum yang ditaburi parutan kelapa oleh tetangga kebunnya
yang bernama Mama Maria Helan (55). “Rasanya gurih, enak, dan mengenyangkan,”
ucap Maria. Lantas Maria meminta benih sorghum tersebut. Ternyata, Mama Maria
Helan mendapatkan sorghum tersebut atas pemberian sang kakak yang berada di
desa sebelahnya sekadar untuk dimasak saja.
Tidak mudah mendapatkan
bibit sorghum lokal itu. Hingga Maria memutuskan untuk berburu benih. Benih
pertama kali yang diburunya adalah sorghum berkulit merah. Maria mendapatkannya
dari Bapak Agustinus di Desa Nobo, Kecamatan Ilebura, Kabupaten Flores Timur.
Sebenarnya, Maria tidak pernah makan sorghum. Tetapi,
saat butiran sorghum itu menyentuh lidahnya, rasa gurih membuat dirinya
ketagihan dan menyukai. Sorghum berwarna merah oleh penduduk setempat disebut watablolon merah atau jagung solo. Sorghum di Kabupaten Ende disebut osho, sedangkan orang Manggarai
menyebutnya lepang, mesak, atau pesi. Pengalaman pertama memakan sorghum itu membuat Maria penasaran dengan tanaman serealia itu. Rasa penasarannya terhadap sorghum
semakin tinggi karena sorghum sulit dicari.
Pangan alternatif
sekaligus punya nilai ekspor sebagai
hasil pertanian dimiliki oleh sorghum. Hal itu telah dibuktikan sendiri oleh
Maria ketika dirinya diundang oleh petinggi Roma mengenalkan sorghum ke tingkat
dunia.
Ya, Maria menemukan
solusi untuk NTT terhadap pangan altenatif yang dapat dikembangkan selain
beras. Ketika Maria merintis sorghum ini banyak sekali bahasa-bahasa yang
terkesan melecehkan usahanya. Ada yang bilang tanaman kuno, kenapa sorghum yang
ditanam, siapa yang akan beli.
Hingga ada yang
mengatakan, “Itu kan makanan burung, bisa dimakan ya?” Akan tetapi, tidak
sedikit yang menangis terkejut ketika diingatkan kembali dengan sorghum,
jewawut, maupun jelai yang sudah lama mereka tinggalkan dan lupakan.
Adonan cookies berbahan Sorghum [Foto: Dok Pri] |
Maria tak kenal
menyerah. Tantangan demi tantangan dia hadapi. Tantangan terbesar ada pada
lidah orang-orang di sekitar tempat tinggalnya. Mereka sudah terbiasa makan
nasi. “Biar sudah makan jagung, pisang, ubi, belum makan rasanya kalau belum
makan nasi. ”Apalagi nasi berhubungan erat dengan strata kelas. Malulah dibilang
miskin kalau makan sorgum apalagi ubi, hehehe,” jelas Maria sembari tertawa.
Selain itu, Maria juga
harus melawan pola kultur petani yang tanam serempak hanya memanfaatkan musim tanam pertama saja. Padahal, sorghum sangat
baik ditanam setelah panen padi dan jagung dengan memanfaatkan sisa-sisa musim
hujan menjelang musim kemarau.
Maria sangat tertarik
memanfaatkan lahan tidur yang luas di NTT untuk ditanami sorghum. Dia membayangkan,
daerahnya menjadi tempat agrowisata. “Anda
bisa bayangkan ketika tiba di Kupang atau Flores misalnya, disambut tanaman sorghum aneka warna,” ujarnya.
Cookies Berbahan Dasar Tepung Sorghum [Foto: Dok Pri] |
Promosi Geber Pangan
Hasil Pertanian
Maria dengan tekun dan
giat melakukan pencarian bibit hingga ke
pelosok desa. Di sela-sela itu juga dia berupaya membangkitkan minat masyarakat
terhadap sorghum sebagai pengganti beras. Maria bisa menggeber sorghum untuk
ekspor sebagai produk petani Indonesia ke tingkat dunia.
Promosi sorghum sebagai
pangan alternatif dan produk petani Indonesia ini memang harus dimulai dan
terus dilakukan. Ini harus dimulai dari rumah tangga petani dengan melibatkan
siapapun, terutama perempuan. Di Flores, peran perempuan sangat besar pada mata
rantai pertanian, mulai dari memilih bibit, menanam, merawat, lantas memanen,
menyimpan benih, hingga pengolahan pasca panen.
Maria melakukan hal ini
tak hanya membudidayakan benih lokal semata, tetapi juga melakukan
sosialisasi ke desa-desa, bahkan lintas
pulau antar-kabupaten. Apa yang dia lakukan banyak dicontoh dann ditiru petani
di NTT. Mereka melakukan apa yang Maria kerjakan, lantas mengundangnya untuk
datang ke desa mereka.
Maria
mensosialisasikan sorghum, jelai, maupun
jewawut. Dia membagikan benih gratis kepada petani yang membutuhkan. Maria menggali
kearifan lokal, menerapkan pertanian alami yang tidak menggunakan teknologi
modern, tidak menggunakan pupuk kimia, dan sama sekali tanpa pestisida.
Betapa kaya Indonesia
dengan keragaman hayatinya. Indonesia memiliki beragam jenis pangan lokal yang
membanggakan sekaligus mempunyai kandungan gizi tinggi. Masihkah kita
menggantungkan harapan pada beras? Apa yang terjadi sekarang? Ternyata,
Indonesia menjadi negara pengimpor beras terbesar di dunia. Indonesia menjadi
sarang penyakit diabetes kedua di dunia.
“Sorghum ada di
mana-mana, ada dalam bentuk beras, kue, sirup, dan sebagainya. Sorghum membuat
masyarakat NTT bangkit dari isu-isu keterbelakangan pangan. Dengan sorghum,
kita akan membalikkan semua rumor
terkait pakan burung. Sorghum akan memperkuat ekonomi masyarakat Indonesia,
khususnya di wilayah timur”, urainya.
Kalau kita lihat
sekarang, sorghum makin banyak dicari orang. Hal ini tepat sekali dengan apa
yang sedang gencar-gencarnya dilakukan oleh Kementerian Pertanian mengenai
Geber Ekspor Produk Pertanian Kita, Indonesia. Sorghum bisa jadi idola masa
depan.
Nah, bibit maupun sorghum
yang sudah panen pun tak bisa sembarangan keluar masuk negara lain. Mestilah memenuhi
standar kualitas dan bebas dari hama dan penyakit tanaman. Oleh karenanya, peran
karantina tumbuhan sangat penting.
Karantina tumbuhan
sebagai garda terdepan atau benteng untuk mengendalikan organisme pengganggu
tumbuhan. Kalau kita melihat dari sisi perlindungan tanaman, tiga hal penting
peran karantina tumbuhan, sebagai berikut.
- Mencegah masuknya OPTK A1 (ini belum ada di Indonesia) dari luar negeri ke dalam wilayah RI. Seperti penyakit hawar daun karet Amerika Selatan (SALB) yang disebabkan jamur Microcyclus ulei.
- Mencegah penyebaran OPTK A2 (ini sudah ada di wilayah Indonesia tapi masih terbatas pada wilayah tertentu saja) ke wilayah lain yang masih bebas OPT. Seperti CVPD (Citrus Vein Phloem Degeneration), disebabkan oleh MLO yang sudah memusnahkan tanaman jeruk di Garut-Jawa Barat pada 1950-an. Pada 1970-an penyakit ini menghancurkan tanaman jeruk di Sumatera Selatan.
- Mencegah OPT tertentu ke luar wilayah Indonesia (yang tidak diinginkan negara lain). Seperti Rhadopholus similis pada jahe ( Zingiber sp. ) ke Jepang.
Intinya adalah Karantina
Pertanian memegang peranan penting untuk mencegah masuknya HPHK dan OPTK.
Karantina pertanian sebagai bagian dari sistem perlindungan kesehatan hewan,
tumbuhan, lingkungan dan sumberdaya alam hayati (IAS, SDG, TSL dan Agen
Hayati).
.
1 comments:
Greaat post
Post a Comment