[Sumber: https://cdn.tmpo.co/data/2012/12/14/id_156408/156408_620.jpg] |
Dunia benar-benar panggung sandiwara: Sandiwara di segala lini,
terutama hukum dan politik. Yang benar bisa jadi salah dan sebaliknya.
Menapaki Pulau Dewata,
mencari tahu secara langsung sumber berita, bersama teman #SobatJW, bertatap
muka dengan sahabat-sahabat dekat Jero Wacik. Bertemulah kami dengan beberapa
orang sahabat yang mengenal dirinya secara dekat, seperti I Tengah Pringgo
(Waket DPD Partai Demokrat Bali), I Putu Suasta (Mantan Ketua Bapilu Partai
Demokrat), I Made Mudarta (Ketua DPD Partai Demokrat Bali), I Wayan Gunawan
(Ketua Fraksi Partai Golkar DPRD Bali), juga pendidik Prof. Dr. Wayan Windia (Dosen
Universitas Udayana, Bali), dan I Ketut Mardjana, Ph.D (Mantan Direktur Pos
Indonesia dan Pemilik The Ayu Kintamani Exclusive Villa).
Di situ, kami berbincang
panjang lebar, terutama kasus yang membelit salah satu putra daerah Bali itu, Jero
Wacik. Tanpa disadari, saya hanyut dalam perbincangan politik dan seperti kursus
singkat pembelajaran Politik Praktis dari sahabat dekat Jero Wacik.
Dalam kasus itu, Jero Wacik didakwa melakukan
tindakan pemerasan untuk memperkaya diri sendiri ketika menjabat sebagai
menteri ESDM. Ini, aneh! Hal-hal yang didakwakan kepadanya itu terjadi pada
2010, sementara beliau baru diangkat menjadi menteri ESDM pada pertengahan
Oktober, tepatnya 19 Oktober 2011. Permainan politik seperti apa ini?
Pemerasan, hal in i
menyangkut pada karakter, tindakan, dan rekam jejak (track record) seseorang. Dan hal-hal seperti itu tak terlihat dalam
diri Jero Wacik.
“Pak Jero apa adanya,
boleh dibilang sederhana. Bahkan, kalau pulang ke kampung halaman (Bali) kami
menjemputnya. Dia tidak punya kendaraan pribadi di sini. Sepertinya, sangkaan
pemerasaan itu tidak logis, tegas Mudarta selaku Ketua DPD Partai Demokrat
Bali.
Sangkaan berikutnya
adalah Jero Wacik melakukan penyalahgunaan Dana Operasional Menteri (DOM). Kesaksian
Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan, penggunaan DOM itu sesuai dengan Deskresi
atau kebijakan masing-masing menteri, dan tidak dapat dipisahkan antara dirinya
sebagai menteri dengan pribadi.
Penyalahgunaan DOM
seperti yang didakwakan itu tidak menguntungkan Jero Wacik juga tidak merugikan
negara, karena DOM sebagai biaya operasional menteri dan dipakai sesuai kewenangan dirinya sebagai
menteri. Jelas, dari kesaksian Jusuf Kalla, apa yang dilakukan Jero Wacik tidak
terbukti dan tidak ada yang dilanggar. Harusnya ini sudah gugur secara hukum, begitu pula
dengan penggantian uang Rp8,4 Miliar, gugur! Apabila hal ini dipersoalkan, terkesan jadi
mengada-ada. Bukti-bukti yang digulirkan tidak terbukti, dan kesaksian Jusuf
Kalla dipersidangan seperti diabaikan.
Sangkaan ketiga seperti
yang didakwakan adalah menerima Rp349 juta dari Ketua Umum Bidang Energi dan
Pertambangan Kadin untuk perayaan ulang tahun ke-63. Ini bukan budaya
Jero Wacik memperingati ulang tahun. Beliau tidak kenal yang namanya perayaan
ulang tahun.
“Jero Wacik tidak
mengenal ulang tahun. Di Bali yang biasa dirayakan itu otonan atau hari Weton (Jawa). Jadi, tidak ada yang namanya ulang
tahun”, tegas I Ketut Mardjana.
Dari hasil persidangan,
pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) membuat keputusan atas kasus
tersebut untuk Jero Wacik hukuman 4 tahun penjara denda Rp150 juta, serta
diharuskan mengembalikan uang negara sebesar Rp5 Miliar. Sementara, JPU
menuntut dirinya dengan hukuman 9 tahun penjara, denda Rp300 juta, dan
mengembalikan uang negara sebesar Rp18,7 Miliar.
Tak puas dengan putusan
Hakim Tipikor, Jaksa Penuntut Umum mengajukan banding. Alasan banding
disampaikan bahwa putusan majelis hakim terlalu rendah dari tuntutan Jaksa
Penuntut Umum. Dalam hal ini, apakah JPU memiliki bukti-bukti baru yang menguatkan
agar JW tetap dibui sesuai tuntutan JPU? Mana bukti-bukti tersebut.
Semua saksi-saksi yang
dihadirkan saat persidangan mengatakan bahwa tidak pernah memberikan uang untuk
kepentingan pribadi kepada Jero Wacik (lihat
Pledoi Jero Wacik dalam http://relawanjw.blogspot.co.id/2016/01/pledoi-pribadi-ir-jero-wacik-se.html).
Untuk itu Jero Wacik dan
penasihat hukum harus menyusun Kontra
Memori Banding. Kontra memori banding yang dibuat itu sebagai bentuk tanggapan
terhadap memori banding atau dengan lain perkataan kontra banding dengan tujuan
untuk meng-counter memori banding. Kontra memori banding ini untuk menanggapi
alasan-alasan yang dimuat dalam memori banding. Hakikat dari kontra memori
banding mendukung keputusan pengadilan tingkat pertama.
Hal-hal yang ditimbulkan
dari pembandingan terhadap putusan pengadilan akan muncul: Penguatan putusan pengadilan yang
bersangkutan. Ini berarti, hasil dari penilaian dan penghargaan
pengadilan Jero Wacik conform dengan
pendirian pengadilan.
Mengubah putusan pengadilan. Sebagian dari hasil penilaian pengadilan yang
bersangkutan conform dengan penilaian
pengadilan tinggi, sementara lainnya perlu perubahan sesuai pendirian
pengadilan tinggi.
Timbul putusan baru. Pengadilan tinggi membatalkan putusan pengadilan negeri
yang bersangkutan, karena tidak didukung hasil penilaian dan penghargaan atas
fakta yang ada. Putusan baru tersebut dapat berupa yang tadinya putusan
pemidanaan, diubah menjadi putusan bukan pemidanaan. Dapat saja Pak JW diputus
bebas.
Jelas-jelas jika
Pengadilan Tipikor menjatuhkan hukuman ringan kepada Pak Jero Wacik,
karena memang beliau tidak bersalah.
Seharusnya, hakim Pengadilan Tipikor pun lebih saksama mencari dan melihat
bukti-bukti yang diajukan JPU. Sudah sepantasnya Pak Jero dibebaskan, karena
memang tidak terbukti. Hakim Tipikor hendaknya tidak mengabaikan fakta dan
kesaksian para saksi, apalagi orang nomor dua di negeri ini sudah menyampaikan
kesaksiannya mengenai Pak Jero.
Dalam kesaksiannya JK menyebutkan,
bahwa tidak mungkin seorang Presiden yang kala itu masih dijabat oleh SBY mau
mengangkat seseorang (dalam hal ini Jero Wacik) dua kali menjadi menteri jika
tidak mempunyai prestasi yang baik.
Ini bukti nyata kerja
beliau. Beberapa waktu lalu, wisatawan yang datang ke Indonesia sangat sedikit.
Pariwisata Indonesia mengalami penurunan, karena ancaman bom, terutama Bali
sekitar 2003-2005, tsunami, dan juga terorisme. Melalu kinerja kerja Jero
Wacik, pariwisata Indonesia meningkat pesat dalam kurun waktu 5 tahun,
kenaikannya lebih dari 50%.
Pada 2008, Jero Wacik
juga membuka Studi Kebudayaan di UI, UNUD, UNHAS, dan UGM. Bahkan, karena beliau
jugalah karya-karya budaya Indonesia diakui oleh UNESCO dan bersertifikat. Jero
Waciklah yang mendaftarkan semua itu, hingga akhirnya, Keris, Wayang, Batik,
Angklung, Subak, Tari Saman, Tari Bali, Geo Park menjadi kebanggaan pariwisata
Indonesia di mata dunia (lihat Pledoi
Jero Wacik dalam http://relawanjw.blogspot.co.id/2016/01/pledoi-pribadi-ir-jero-wacik-se.html).
Ini artinya, Jero Wacik
tidak main-main kalau menyangkut urusan negara. Apalagi setelah terpilih
menjadi menteri, seluruh perhatiannya
tercurah untuk membela kepentingan negara. Di mana anak bangsa yang kala itu
kondisi bangsa terpuruk yang benar-benar ikhlas dan mau menghabiskan waktu
hanya untuk negara? Mungkin satu dari seribu! Ini artinya, beliau bekerja tidak
main-main. Benar-benar didedikasikan untuk negara ini. Bahkan, anak dan
istrinya pun luput dari perhatian.
Politisasi Hukum Jero Wacik Tak Bertuan
Kasus yang menimpa Jero
Wacik hingga saat ini sangat berdampak pada kehidupanya, baik pribadi, keluarga/orang-orang
terdekat, juga sahabat beliau. Mereka tidak percaya hal ini terjadi. Negara,
yang dibilang negara hukum tetapi penegakkan hukum masih belang di sana-sini. Bagaimana tidak, seakan semua sudah dipelintir
jauh dari akar hukum sesungguhnya.
Jelas-jelas bukti-bukti
yang diajukan oleh JPU tidak cukup bukti dan dibantah langsung oleh Jero Wacik.
Semuanya tidak benar. Saksi-saksi dihadirkan sesuai kapasitas tanpa ada tekanan
dan unsur paksaan. Memberikan keterangan yang sejujur-jujurnya. Apa lacur,
bermainlah politisasi sejak zaman dahulu hingga saat ini. Dalam perjalanannya,
dari waktu ke waktu ternyata hukum tidak steril dari subsistem kemasyarakatan
lainnya. Politik kerap melakukan intervensi terhadap hukum. Oleh karenanya,
ketika kita melihat sistem ketatanegaraan Indonesia, hukum belum dapat
dijadikan panglima, ini yang dialami Jero Wacik. Karena adanya eskalasi politik
yang semakin masif, maka rentan dengan adanya politisasi dalam penegakan hukum
untuk beliau. Siapa tuan ini semua?
Prof. Dr. Ketut
Swastika, Rektor Universitas Udayana bicara tentang Jero Wacik, “…beliau ini
orang yang sangat cerdas. Itu kelihatan dari pengetahuan ilmu dan pengetahuan
umumnya yang sangat bagus. Sehingga saya kira, kalau beliau bisa memimpin
Departemen Budpar sebanyak dua kali, dan sekarang Menteri ESDM, hal itu
menunjukkan tanda-tanda beliau sangat cerdas. Beliau juga orang yang jujur. Itu
yang penting. Jadi, kombinasi antara kecerdasan dan kejujuran itu adalah yang
paling penting”.
Budayawan yang ternyata
satu sekolah SMA saat di Singaraja, Putu Wijaya, berucap tentang Jero Wacik.
“Menerjemahkan berpikir positif menjadi tindakan”. “Berpikir positif di dalam
kinerja Jero Wacik adalah bertindak cepat, tangkas, dan pantang menyerah. Baginya, segala sesuatu tidak boleh
ditunda-tunda, harus segera dilaksanakan. Dalam kaitannya dengan birokrasi,
kinerja Jero Wacik menunjukkan komitmen, dedikasi, dan loyalitas pada atasan.
Sebagai akibatnya, kinerja Jero Wacik menjadi tangkas, cekatan. Tidak berjalan
sendiri, sehingga satu hentakan dengan komando tertinggi. Bagi saya, itu bukan
kelemahan, tetapi bagian dari semangat “kesatuan””.
Hal senada juga
disampaikan oleh Jaya Suprana, “Jero Wacik itu
sosok yang dinamis, enerjik, dan ramah. Selama menjadi menteri di era
SBY, lebih banyak bekerja ketimbang berbicara. Selama mengenal Jero Wacik, sangat nyata membantu
kegiatan kebudayaan yang saya lakukan, mulai dari MURI di tanah air sampai
pagelaran konser music klasik dan wayang
orang di Sydney Opera House”.
“Orang yang tidak mengenal
Jero Wacik, bisa jadi akan mempunyai gambaran yang keliru tentang dirinya.
Mungkin dia akan dianggap kaku, formil, cenderung satu arah atau apapun dalam
berkomunikasi. Sebab kebanyakan pejabat banyak seperti itu, tetapi Jero Wacik
Tidak. Beliau tidak pernah mengutamakan kepentingan pribadi. Saya akan mau saja
dimanfaatkan oleh negara atau pemerintah jika itu demi kepentingan yang lebih
besar—yakni untuk rakyat dan bangsa. Di manapun kita berada,, hubungan tetap
harus dijaga agar kita semua tetap bisa berkontribusi pada masyarakat”, ucap
Christine Hakim sebagai seorang aktris, sineas, dan produser film tentang Jero
Wacik.
Kasus Jero Wacik memberikan kita pelajaran berharga bahwa penegakan hukum harus dipisahkan dan terbebas dari berbagai urusan atau kepentingan politik. Menarik penegakan hukum kedalam episentrum praktik politik pada akhirnya akan memperlemah upaya pemberantasan korupsi atau justru mengorbankan orang-orang yang tidak berdosa dan tidak melakukan korupsi menjadi terdakwa/pelaku. Ini sungguh tidak adil jika tidak dicermati secara jeli, terutama oleh penegak hukum dalam hal ini, Jaksa dan hakim sebagai pemutus persidangan.
Penegakan hukum menjadi
imparsial dan cenderung menguntungkan pihak-pihak tertentu yang memegang
kendali atau kekuatan politik tertentu. Pemerintah harus mengevaluasi kembali
posisi atau jabatan strategis dibidang hukum agar terbebas dari kepentingan
politik tertentu..
----------------------------------------
Indrasto, Wahyu et al (Edt). 2013. Jero Wacik, Testimoni 100
Tokoh. Ganeca Exact.
0 comments:
Post a Comment