Rumah Achmad Soebardjo Jalan Cikini Raya No. 82 Jakarta Pusat Foto: Dok. Pribadi |
Ketika kaki saya menapak
ke salah satu rumah di Jalan Cikini Raya No. 82 pada Jumat, 19 Agustus 2016,
tampak terlihat beberapa tenda berwarna putih dan keramaian mulai terjadi.
Rumah, berdasarkan penglihatan dan tanya
saya ke beberapa orang yang berada di sana sebagai rumah tua peninggalan
Belanda.
Kamar yang dipakai oleh Achmad Soebardjo Foto: Dok. Pribadi |
Benar saja, dilihat dari
plafon yang tinggi dan bentuk
bangunan ala kolonial, dengan semen yang masih kokoh hingga sekarang. Hanya di
beberapa bagian di “dempul” ulang sehingga terlihat bersih dengan nuansa
warna putih.
Foto keluarga Achmad Soebardjo Foto: Dok. Pribadi |
Ya, rumah yang saya
sambangi pagi itu adalah rumah mantan Menteri Luar Negeri Republik Indonesia
untuk pertama kalinya pada saat republik
ini terbentuk, Achmad Soebardjo. Achmad Soebardjo, atau biasa disapa Soebardjo
memiliki arti cemerlang atau bercahaya.
Itulah arti kata dari
nama yang diberikan oleh Raden Mas Said, Bupati Blora ketika salah satu tokoh nasional
negeri ini lahir.
Salah satu sisi kamar dan foto Achmad Soebardjo Foto: Dok. Pribadi |
Apa yang dikatakan Raden Mas Said itu menjadi kenyataan.
Achmad Soebardjo, sebagai wartawan, salah satu tokoh proklamasi, menteri luar
negeri, juga pernah menjabat sebagai duta besar. Semua jabatan itu dia jalani
dengan kecemerlangan dan sukses.
Achmad Soebardjo, sesuai dengan arti namanya, Cemerlang Foto: Dok. Pribadi |
Sebagai napak tilas
lahirnya Kementerian Luar Negeri negara
ini, Menteri Luar Negeri Retno L.P. Marsudi sengaja mengambil tempat perhelatan
di rumah tersebut. Perhelatan itu mengundang kerabat Achmad Soebardjo
(anak-anak), mantan-mantan menteri luar negeri yang pernah menjabat di negeri
ini. Hal ini dilakukan untuk mengingat kembali perjuangan Achmad Soebardjo dalam
merealisasikan lahirnya kementerian luar negeri atas perintah Presiden Soekarno
kala itu.
Menteri Luar Negeri, Retno Marsudi dalam sambutannya pada Napak Tilas Kemlu di kediaman Achamd Soebardjo (alm) Foto: Dok. Pribadi |
Achmad Soebardjo diminta
langsung oleh Presiden Soekarno sebagai menteri luar negeri. Soebardjo bingung,
mengapa? Karena, dia tidak punya tempat untuk ngantor, sementara urusan luar negeri negara ini terus berjalan dan
meminta dirinya untuk bergerak cepat.
Soebardjo terlahir dari
pasangan Teuku Muhammad Yusuf yang masih berdarah bangsawan
Aceh,Pidie-Wardinah, keturuan Jawa-Bugis. Kakek dari ayah merupakan Ulee Balang
dan ulama di daerah Lueng Putu, sementara Teuku Yusuf sebagai pegawai
pemerintah menduduki posisi Mantris di daerah Teluk Jambe, Karawang. Ibu
Seobardjo adalah anak Camat di daerah Telukagung, Cirebon.
Ruang baca Achmad Soebardjo Foto: Dok. Pribadi |
Teuku Abdul Manaf
merupakan pemberian nama awal oleh ayahnya untuk Soebardjo. Sementara itu,
ibunya memberi nama Achmad Soebardjo. Sedangkan Djojoadisoerjo ditambahkan
sendiri setelah dewasa ketika dirinya ditahan di penjara Ponorogo karena
peristiwa 3 Juli 1946.
Mantan Menteri Luar Negeri era SBY, Marty Natalegawa hadir dalam Napak Tilas Kemlu di kediamanAchmad Soebardjo (alm) Foto: Dok. Pribadi |
Menempuh pendidikan di Hogere
Burger School, Jakarta (saat ini setara dengan Sekolah Menengah Atas) pada
tahun 1917. Lantas melanjutkan pendidikan di Universitas Leiden, Belanda dan
memperoleh ijazah Meester in de Rechten (saat ini setara dengan Sarjana Hukum)
di bidang undang-undang pada tahun 1933.
Salah seorang anak Achmad Soebardjo menyampaikan sambutannya Foto: Dok. Pribadi |
Ahmad
Soebardjo kembali ke Hindia Belanda dan terus memegang idealism yang bersikap tidak ingin bekerja sama dengan pemerintah
kolonial, sehingga ia menolak bekerja untuk kepentingan Belanda. Beliau
kemudian bekerja sebagai pembantu di Kantor Hukum yang berada di Semarang.
Setelah
di Semarang, beliau pindah kerja ke Surabaya sebagai ahli hukum junior di salah
satu usaha hukum yang dipimpin oleh salah satu tokoh pergerakan nasional
lainnya, yaitu Mr. Iskaq Tjokrohadisuryo. Ketika berada di Surabaya, kondisi
pergerakan nasional di Hindia Belanda sedang mengalami tekanan berat akibat
kebijakan represif Gubernur Jenderal Mr.
P.C. de Jonghe.
Akibat kebijakan tersebut, setiap mahasiswa
yang baru pulang dari Belanda langsung diawasi oleh Pemerintah, sehingga
menyulitkan mereka dalam menyampaikan aspirasi dan melakukan konsolidasi
memperkuat pergerakan. Hal itu juga
terjadi pada diri Achmad Soebardjo, sehingga dirinya hanya fokus pada pekerjaan
sebagai pengacara, dan memperdalam pengetahuaan di bidang organisasi politik dan politik
internasional, serta terus melanjutkan aktivitas jurnalistiknya.
Menjadi
politikus, pejuang, dan intelektual, dirinya sering bermain-main dengan ide.
Ide itu dapat membuat segala sesuatu jadi berubah, dapat membuat sejarah baru
maupun mengubah karakter manusia. Pada suatu kesempatan dirinya menyampaikan
pidato di Gedung Kebangkitan Nasional Jakarta tahun 1974. Lantas, dari pidato
itu dibuatlah buku berjudul Peranan
Ide-Ide dalam Gerakan Kemerdekaan Indonesia”. Menurutnya, ide itu penting
untuk memperjuangkan kemerdekaan negara ini.
Pada halaman
6 buku tersebut beliau menuliskan kalimat, “Saya berpendapat bahwa ide-ide
merupakan unsur terpenting dalam perkembangan dan kemajuan sejarah dunia, termasuk
sejarah kemerdekaan Indonesia. Tapi bukan sembarangan ide dapat menggerakkan
manusia untuk berbuat sesuatu yang bermanfaat bagi negara dan masyarakat. Hanya
ide-ide yang mengandung kebenaran dan keadilan dapat menyentuh jiwa manusia yang dapat merasakannya”.
Negara ini pun hadir
berasal dari ide sebagai dasar juga penyangga. Kepercayaan dirinya mengenai ide
menjadikannya yakin bahwa, memahami sejarah tidak cukup tanpa mengerti dan
menghayati ide dan nilai yang mengelilinya. Ide, untuk dirinya sebagai dopping
untuk terus membebaskan negeri ini dari kolonial.
Setelah Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, Achmad Soebardjo diangkat menjadi Menteri Luar Negeri dalam Kabinet Presidensial periode 19 Agustus 1945 -14 November 1945 dan kembali menjabat Menteri Luar Negeri pada Kabinet Sukiman-Suwirjo periode 1951-1952. Selain itu, ia juga pernah menjabat sebagai Duta Besar Indonesia untuk Republik Federal Swiss periode 1957-1961.
Dalam bidang pendidikan, dirinya memperoleh gelar Profesor di bidang sejarah Konstitusi dan Diplomasi Indonesia dari Fakultas Sastra, Univeritas Indonesia. Achmad Soebardjo Djojoadisoerjo meninggal dunia pada 15 Desember 1978 di usia 82 tahun di Rumah Sakit Pertamina, Kebayoran Baru, akibat komplikasi. Dirinya dimakamkan di rumah peristirahatannya di Cipayung, Bogor. Pemerintah menganugerahi almarhum sebagai Pahlawan Nasional pada tahun 2009 melalui Keppres No. 58/TK/2009. [Diolah dari berbagai sumber]
0 comments:
Post a Comment