Workshop Tenun Wignyo Rahadi, Cikole Sukabumi Foto: Dok. Pribadi |
Kalau dalam makanan ada istilah Haute Cuisine, tak kalah dengan itu,
dalam busana atau kain pun juga ada, yaitu Haute Couture. Haute Couture
sebagai istilah kebalikan dari ready to
wear. Jadi, Haute Couture sebagai satu istilah high dress making. Kata tersebut sering dipakai dalam menjelaskan bagian custom made yang memang secara spesifik dibuat oleh seorang
desainer yang diberikan untuk klien yang meminta secara khusus. Kain atau baju haute couture yang dibuat oleh seorang
desainer dibuat berdasarkan permintaan atau pesanan sesuai ukuran klien yang
memesannya.
Proses pewarnaan benang. Foto: Dok. Pribadi |
Seiring dengan perkembangan busana
dan kain di negeri ini, pada satu
kesempatan dalam rangkaian acara ASEAN
Traditional Textile Weaving Togetherness yang sudah berlangsung pada 24-25
Agustus 2016 lalu, salah satu agenda yang telah dirancang
adalah berkunjung ke pusat tenun yang berada di Cikole, Sukabumi. Tenun Gaya
namanya. Ya, pemilik tenun tak lain Wignyo Rahadi.
Saya, Mba Astri Damayanti (Founder
Kriya Indonesia yang banyak melakukan riset ke berbagai wilayah Indonesia demi
untuk melestarikan dan membuat buku mengenai beragam kerajinan Indonesia), Mba
Diah Woro, Mba Nisa, Mba Fika (masing-masing mereka memang penyuka tenun dan kain), serta Mba Lita
(pecinta tenun dan juga petualang tenun yang sudah berpetualang ke
daerah-daerah demi tenun, salah satunya NTT), berkesempatan
menikmati indahnya kain tenun milik Mas Wignyo. Sungguh menakjubkan saat melihat
keindahan kain-kain tenun di pusat tenun Mas Wignyo miliki itu.
Menggulung benang, butuh kesabaran. Foto: Dok.Pribadi |
Tetapi saya tak hanya berlima teman, kami bersama rombongan dari delegasi ASEAN yang terdiri dari Ubon Ratchathani University Thailand, Academy of Malay Studies University of Malaysia, University of Arts and Culture, Peranakan Museum Singapore, Research from South Borneo Museum, dan Perwakilan Baduy Luar yang memiliki ketertarikan pada tenun di negeri ini. Selain dari delegasi ASEAN, ikut serta pula dalam kunjungan tersebut pengelola Museum Tekstil (Mis Ari) dan Sahabat Budaya/Kain Indonesia.
Banyak orang yang dulu kuliah
mengambil jurusan apa, dan bekerja di bidang tidak sejalan dengan yang dinginkan. Wignyo
Rahadi sebagai salah satu contoh dari sekian banyak orang tersebut. Sebenarnyalah,
pada masanya, Wignyo sangat tertarik dalam dunia seni. Akan tetapi, dia sering
berbeda pendapat dengan orang tuanya. Demi untuk memuaskan keinginan mereka,
Wignyo memutuskan untuk menyenangkan keduanya dan mengambil kuliah di
jurusan ekonomi.
Begitu ironisnya kehidupan, saat
dirinya bekerja menjabat jabatan
rangkap, sebagai seorang manajer keuangan sekaligus sebagai pemasaran di perusahaan Salim Group. Tahun
1995, Salim Group membuka lini anak perusahaan bidang pembuatan benang sutra
bernama PT Indo Jado Sutra Pratama yang berada di Sukabumi.
Hal baru itu memberi tantangan
tersendiri untuk dirinya. Justru hal itu menarik kembali minatnya untuk
mengetahui seluk-beluk benang sutra. Dari yang mulanya sebagai audit keuangan,
dirinya harus menghadapi perkebunan murbei, ternak ulat sutera, juga industri
pengolahan benang sutra itu sendiri.
Benang siap ditenun. Foto: Dok. Pribadi |
Menyambung benang putus dalam tenunan. Foto: Dok. Pribadi |
Dari hal itu, Wignyo secara perlahan
tapi pasti sangat tertarik mengembangkan bisnis tenun. Mula pertama banyak yang
berkeluh kesah untuk tenunannya, karena dari hasil alat tenun bukan mesin
(ATBM) yang dia miliki motifnya sangat monoton. Tetapi, Wignyo tak putus
asa, hal itu dia pelajari dengan semua penenun yang ada.
Menenun dengan Jacquard (ATBM) Alat Tenun Bukan Mesin Foto: Dok. Pribadi |
Wignyo mulai mencoba membuat modifikasi alat tenun untuk dapat membuat
motif-motif baru serta lain dari yang lain. Pada 1997, dirinya memulai usaha
tenun sutra di Sukabumi. Lokasi yang dipilih bukan tanpa alasan. Lokasi itu
dipilih karena workshopnya dengan bahan
baku berjarak cukup dekat, ketika itu dibeli dari PT Indo Jado.
Dia melatih perempuan-perempuan yang
sebelumnya bekerja sebagai pembuat batu bata, untuk menjadi seorang penenun.
Ada banyak kendala dalam bisnis yang dijalankannya itu. Memang, perlu proses
panjang agar bisnis yang dilakukannya itu mendapat pengakuan dari masyarakat.
Apalagi, perempuan-perempuan yang biasa bekerja kasar, tiba-tiba menjadi
seorang penenun yang butuh ketelatenan juga kesabaran tinggi menganyam benang
menjadi kain dan baju yang sangat indah.
Tetapi. Wignyo terus memompa semangat perempuan di Sukabumi
tersebut untuk mau bekerja di workshop tenun
sutranya. Dia memang harus banyak bersabar dalam menghadapi pekerja. Karena,
mereka perlu beradaptasi dari pekerja kasar ke kerajinan tenun yang perlu
keterampilan dan konsentrasi tinggi. “Pusing memang, kain dengan panjang 115
sentimeter itu terdiri dari 4.200 lembar benang”, ucapnya.
Dengan kegigihannya, dia berhasil
menghimpun pekerja-pekerja perempuan Sukabumi untuk menenun melalui alat tenun
bukan mesin (ATBM) hasil modifikasinya dari mesin Jacquard. Saya melihat sendiri proses penenunan kain di workshopnya
tersebut. Bukan main rumitnya. Jika tidak dibarengi dengan kesabaran tinggi,
tidak akan pernah tercapai kain tenun dengan motif halus, cantik, dan berdaya
jual tinggi.
“Kita harus telaten, tekun, dan
teliti. Menelisik satu per satu benang lalu memasukkan ke alat tenun. Jika ada
yang putus, kita sambung satu-satu”, ucap Sari yang telah bekerja di penenunan
Wignyo selama 4,5 tahun.
Hasil tenun dari workshop Wignyo
memang beda dari yang lain. Ada satu bentuk tenunan yang menarik perhatian
saya, yaitu tenung benang putus. Jadi, benang-benang yang sudah ditenun lantas
digunting. Dari guntingan benang itu menimbulkan motif yang sangat berbeda,
seperti bulu-bulu. “Ya, benang ditenun lalu digunting. Guntingan benang itu
yang timbul seperti bulu-bulu” kata Wignyo.
Model tenun yang dibuat rok Foto: Dok. Pribadi |
Tenun Wignyo dikenal dengan merek dagang Tenun Gaya. Tenun Gaya ini diketahui pula sebagai Tenun SBY, mengapa? Ya, karena saat SBY menjabat sebagai Presiden, dia sering menggunakan baju dari kain tenun tersebut.
Dari hari ke hari, peminat tenun
Wignyo terus meningkat. Tenun Gaya menikmati hasil jerih payahnya sekitar 11
tahun lalu seiring meningkatnya jumlah konsumen. Itu terlihat dari salah
seorang anaknya, mengikuti jejaknya menjadi seorang Fashion Designer yang
menempuh pendidikan di Lasalle College The Art, Singapura.
Pengakuan Wignyo menyebutkan, konsumen yang datang ke tempatnya tidak begitu suka motif batik yang terlihat besar dan padat, sedangkan tenun punya motif halus dan warna-warna lembut. Kesederhanaan dan menjaga orisinalitas tradisional kain tenun itulah yang membuat Wignyo mudah mengambil pasar luar negeri. Tenun-tenunnya pun sudah merambah pasar luar negeri.
Wignyo, juga
tergabung dalam APPMI (Asosiasi Perancang Pengusaha Mode
Indonesia), mengatakan,”Tenun itu pada dasarnya memiliki teknik
yang sama, motiflah yang membedakan antara satu tenun dengan tenun lainnya”.
Wajar saja jika melihat
dari proses pembuatan kain tenun ini, dibanderol dengan harga relatif mahal.
Untuk satu kain Tenun Gaya yang simpel, dibanderol dengan harga satu juta
rupiah, sedangkan Tenun Gaya bermotif rumit dibanderol dengan harga 7 juta
rupiah. Semua itu kembali kepada proses pembuatan yang custome made.
Di Jakarta, Wignyo hanya
membuka tempat sebagai sampel dan pemesanan, proses pengerjaan dilakukan di
Sukabumi. Sebelumnya, dia juga membuat busana, tapi kini busana dibuat hanya
untuk melayani pesanan saja.
Tenun kain yang dibuat rok Foto: Dok. Pribadi |
Cerita Wignyo menjadi
pengingat penting dalam kehidupan. Kita harus tetap semangat dalam menggapai
apa yang diinginkan dan pantang menyerah meski cobaan datang menerpa. Untuk hal
ini, orang harus cerdas memilih pilihan yang dipilih. Memilih pilihan yang akan
membuahkan hasil perlu proses, seperti Wignyo.
0 comments:
Post a Comment