Tuesday, November 1, 2016

Jakarta Night Journey: Meretas Ibukota Menuju Puncak Negara

Kota Jakarta bermula dari  satu bandar kecil di muara Sungai Ciliwung lalu berabad-abad kemudian  kota itu  berkembang jadi pusat perdagangan internasional yang ramai. Mulanya, informasi tentang Jakarta terkumpul sedikit melalui beberapa prasasti yang ditemukan di kawasan bandar itu.
Kota Tua-Taman Fatahillah
Foto: Dok. Pribadi
Mengawali sejarah kota Jakarta ini dimulai dari pelabuhan kecil bernama Sunda Kelapa di bawah kekuasaan kerajaan Padjajaran, kerajaan Hindu terakhir di Jawa Barat. Di zaman itu, bangsa portugis merupakan orang asing pertama yang menginjakkan kaki di pelabuhan Sunda Kelapa.

Mereka datang dari Malaka sekitar 1522 sebagai utusan Gubernur Malaka. Setelah berhasil mengadakan perjanjian dengan penguasa Sunda Kelapa maka mereka diizinkan untuk mendirikan benteng di dekat muara Sungai Ciliwung. Tahun 1527 orang-orang Portugis kembali dengan membawa satu armada kecil tanpa tahu bahwa Sunda Kelapa suda dikuasai Fatahillah.


Batavia Market, salah satu tempat makan di Kota Tua
Foto: Dok. Pribadi
Untuk merayakan kemenangan tersebut, Fatahillah memberi nama Batavia untuk Sunda Kelapa menjadi Jayakarta, artinya “Kemenangan Sempurna”. Peristiwa itu terjadi pada 22 Juni 1527 dan selanjutnya dijadikan sebagai hari jadi kota Jakarta.

Perjalanan saya mengikuti Jakarta Night Journey dimulai dari cetusan program Gubernur DKI Jakarta saat ini, Basuki Tjahaja Purnama, atau  biasa disapa Ahok, yaitu kantor Jakarta Smart City. Jakarta Smart City ini sebagai  aplikasi konsep kota pintar yang memanfaatkan Teknologi Informasi dan Komunikasi untuk tahu, paham, dan sebagai kendali beragam sumber daya di Kota Jakarta khususnya dan sekitarnya secara efektif dan efisien. Hal itu berguna untuk memaksimalkan layanan publik, memberi solusi dari masalah yang dihadapi, serta mendukung pembangunan Jakarta yang berkelanjutan.
Kantor Jakarta Smart City di Balaikota Jakarta
Foto: Dok. Pribadi
Saya dan rombongon dibawa ke dalam kantor JSC. Di situ terlihat layar-layar per wilayah dengan masing-masing masalah yang dikontrol dari meja kerja staf JSC. Pengaduan masyarakat langsung dapat dilayangkan di Jakarta Smart City. Kelancaran JSC berfokus pada dua apps yang dibuat, yaitu Qlue dan CROP (Cepat Respons Opini Publik. Qlue semacam aplikasi yang dibuat untuk warga, sementara CROP aplikasi yang diunduk oleh karyawan Pemprov DKI Jakarta dan Kepolisian.

Peserta Jakarta Night Journey saat dijelaskan mengenai Jakarta Smart City
Foto: Dok. Pribadi
Qlue seperti media sosial yang  punya fitur untuk menyampaikan aspirasi atau pengaduan dari masyarakat secara real time. Jadi, sifatnya langsung dan dapat diunduh secara bebas melalui ponsel pintar berbasis android. Melalui Qlue, semua warga Jakarta bisa melaporkan setiap hal yang dianggpa mengganggu, seperti banjir, macet, kebakaran, jalan rusak, sampah, atau layanan rumah sakit sekalipun.

Ternyata, laporan masyarakat tak terbatas pada laporan dalam bentuk kalimat saja. Tetapi, lokasi yang bermasalah pun dapat difoto. Nah, laporan itu lantas dikelompokkan dengan cara digital dan terintegrasi dengan interface smartcity.gi.id dan CROP. Seluruh karyawan harus meng-install apps tersebut di ponsel pintar mereka. Terutama untuk karyawan yang memang benar-benar fokus pada tugas yang berhubungan atau bertanggung jawab langsung dengan daerah kejadian, seperti camat dan lurah. Ini merupakan terobosan yang terbilang cukup canggih untuk wilayah Jakarta.

Peserta JNJ antusias mendengarkan dan menyimak penjelasan JSC dari Mas Daniel
Foto: Dok. Pribadi
Setelah selesai dikenalkan dengan Jakarta Smart City, JNJ beranjak ke gedung yang biasa dipakai untuk berkantornya Bapak Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta, yaitu Gedung Balaikota. Di tempat ini disajikan hal-hal yang berkaitan dengan progress, uraian singkat dari masing-masing tempat, profil Balaikota, foto besar Gubernur dan Wakil Gubernur, tempat ruang kerja Gubernur, ruang rapat serba guna, dan profil proyek yang sedang dibangun Pemprov DKI Jakarta.

Sebelum menempati gedung Balaikota Medan Merdeka Selatan, pemerintah Provisi DKI Jakarta yang masih berbentuk Staad Batavia, menempati gedung Stadhuis yang saat ini difungsikan sebagai Museum Sejarah Jakarta yang berlokasi di Taman Fatahillah di Kota Tua. Ketika terjadi pemekaran Kota Batavia ke arah Selatan, kantor-kantor pemerintahan juga ikut pindah. Kantor Balaikota (Stadhuis) pindah  dari Batavia lama ke Jalan Tanah Abang Barat No. 35 (tahun 1913). Lantas pada 1919 pindah ke Jalan Medan Merdeka Selatan No. 8-9 Jakarta Pusat.

Bagian dalam Gedung Balaikota Jakarta
Foto: Dok. Pribadi
Adapun bangunan No. 8 dipergunakan sebagai kantor dan tempat kediaman Residen Jawa Barat, sementara bangunan No. 9 digunakan untuk kantor Gemeente Batavia dan rumah kediaman Burgemeester (Walikota). Pada tanggal 1 Okotber 1926, kantor Gemeente Batavia diganti menjadi kantor Stads Gemeente Batavia hingga masa pemerintahan Jepang.

Di tahun 1940 gedung utama Balaikota Provinsi DKI Jakarta yang saat ini dipakai dibangun pada abad ke-19 dengan gaya Tuscan. Terletak di Jalan Medan Merdeka Selatan, semula digunakan sebagai tempat kediaman Burgemeester (walikota) selain untuk kantor penyelenggaraan pemerintahan Kota Jakarta Baru lantas menjadi kantor Balaikota sepenuhnya, setelah rumah kediaman resmi walikota dibuatkan di Jalan Suropati No. 7 Jakarta Pusat.

Tahun 1954 ketika masa pemerintahan Walikota Soediro, kantor Balaikota diperluas dnegna penambahan gedung No. 8. Dengan begitu, kantor Balaikota DKI Jakarta menempati dua gedung, yaitu di jalan Medan Merdeka Selatan No. 8 dan 9. Pada 1961 dengan adanya keputusan Presiden mengenai penggantian sebutan Kotapraja Jakarta Raya menjadi pemerintahan DCI (Daerah Chusus Ibukota) Jakarta, maka kepala pemerintahannya tidak lagi seorang walikota, melainkan seorang gubernur. Sejak saat itu gedung Balaikota lebih difungsikan sebagai kantor Pemerintahan DKI Jakarta dan DPRD.
Asyik masyuk dalam Balaikota
Foto: Dok. Pribadi
Di dalam gedung Balaikota sendiri terdapat beberapa bagian yang masing-masing bagian punya nama dan fungsi berbeda-beda. Balairung atau ruang serba guna untuk memfasilitasi berbagai acara Pemprov DKI Jakarta dan tempat memajang program-program pemerintah. Ruang TPUT (tim Pembebasan Urusan Tanah), sebagai tempat atau ruang untuk koordinasi pimpinan daerah dalam merumuskan kebijakan pertanahan di DKI Jakarta. Balai Agung sebagai tempat kepala daera menyaksikan dan menghadiri beragam acara.
Selasar (bagian depan) Balaikota Jakarta
Foto: Dok. Pribadi
Jakarta, dari tahun ke tahun semakin berkembang dan memoles wajah menjadi cantik rupawan. Pembangunan dilakukan di mana-mana, moda transportasi terus bertambah, hingga berujung pada penambahan jalan laying dan moda transportasi  cepat, seperti pembangunan MRT (Mass Rapid Transport).

Selepas dari Balaikota, saya dan rombongan bersama bus Wisata Balaikota beranjak menuju Kota Tua. Sepanjang perjalanan, pemandu wisata dalam kota menjelaskan beberapa tempat bersejarah yang menjadi cerita panjang di kota Jakarta, antara lain Glodok, Kota Tua, Museum Bank Mandiri, juga Museum Bank Indonesia.

Glodok-Klenteng Dharma Jaya, setelah pembantaian orang Cina di Batavia pada 1740, pemerintah Belanda punya tekad agar peristiwa itu  tidak terulang lagi. Belanda melarang orang Cina tinggal di dalam tembok kota Batavia dan karena alasan keamanan melarang mereka masuk ke Batavia di malam hari. Orang Cina lalu pindah ke satu kawasan yang terletak di sebelah Barat Daya Batavia, kemudian berkembang menjadi kawasan Pecinan.

Kawasan itu dikenal sebagai Glodok dan merupakan “China Town” untuk Jakarta. Glodok lantas menjadi pusat perdagangan yang berkembang dengan pesat. Jalan Gadjah Mada merupakan salah satu jalan utama di Glodok yang menjadi kawasan perdagangan modern serba sibuk. Akan tetapi, di kawasan Glodok Tua ada rumah orang Cina zaman dulu dengan atap melengkung, memiliki balkon, dan dihias beragam ornamen Cina. Rumah Cina itu sebagian masih berfungsi sebagai toko. Di kawasan itu juga terdapat satu rumah ibadah Cina, yaitu Kelenteng Dharma Jaya yang dibangun pada 1650.

Tak lama berselang, saya dan rombongan tiba di Kota Tua dalam suasana udara yang hangat. Kota Tua atau “Jakarta Kota” punya sisa-sisa peninggalan kolonial Belanda yang paling tua di Indonesia. Sebagian dari sisa-sisa bangunan peninggalan Belanda dapat dilihat di situ. Bahkan sebagian bangunan masih digunakan untuk kantor.

Pusat kota Batavia ada di Taman Fatahillah yang menjadi satu ruangan terbuka dengan bentuk segi empat. Setiap sisinya berbatasan denga jalan raya. Di sebelah Barat, satu blok dari Taman Fatahillah, terdapat Kali Besar yang merupakan satu saluran air (kanal) yang memiliki kedudukan sejajar dengan Kali Ciliwung di sebelah timur Taman Fatahillah. Singgah sebentar di Kota Tua untuk ambil foto bersama-sama, untuk selanjutnya putar haluan menuju Monas.

Untuk memasuki Monas perlu antri. Karena lift masuk dan turun hanya satu. Itupun dengan kapasitas yang dibatasi hanya bisa dimasuki 10 orang saja. Monas, punya ketinggian 132 meter yang letaknya di tengah lapangan Merdeka, menjadi simbol kota Jakarta. Di puncak monument itu terdapat simbol api berkobar yang terbuat dari logam perunggu berlapis emas seberat 35 kg. Itu melambangkan kekuatan dan kemandirian bangsa Indonesia.

Seluruh dinding Monas dilapisi marmer dari Italia. Monas menjadi salah salah satu proyek mercusuar Presiden Soekarno yang dibangun dengan biaya sangat mahal. Meski awalnya banya dikritik namun harus diakui manfaat dari proyek mercusuar itu kepada masyarakat. Pembangunan Monas dimulai pada 1961, tetapi baru dapat diselesaikan pada 1975 dan dibuka secara resmi oleh Presiden Soeharto.

Di lantai dasar Monas terdapat Museum Sejarah Nasional yang menggambarkan perjuangan kemerdekaan Indonesia dalam bentuk diorama. Juga terdapat ruang kemerdekaan tempat pengunjung dapat menyaksikan teks proklamasi yang asli serta mendengarkan suara pembacaan teks proklamasi dari Bung Karno.

Monas di malam hari
Foto: Dok. https://i.ytimg.com
Melalui Tugu yang menjulang hingga ketinggian 137 meter itu pengunjung dapat menyaksikan panorama kota Jakarta dan sekarang dikembangkan menjadi area penting sebagai paru-paru kota Jakarta dan sebagai tempat kegiatan sosial budaya sekaligus sebagai arena olahraga dan rekreasi yang dihuni oleh hewan rusa, burung merpati, dan lapangan bola mini. Pengunjung juga dapat menggunakan kendaraan tradisional Betawi yaitu Delman yang dilengkapi akssesoris khas daerah itu.

Senja mulai menjelma menjadi malam. Beruntunglah saya dan rombongan bisa hampir mencapai puncak Monas. Melihat Jakarta dari ketinggian di malam hari. Gemerlap lampu ibukota menerangi setiap sudut jalanan. Tembakan temaram sinar menyelimuti seluruh permukaan Jakarta. Gemuruh bayu menyibakkan rambut panjang saya dan menghela suara yang keluar dari masing-masing mulut kami.

Perjalanan Night Journey saya berakhir bersama di Puncak Negara ini. Selamat malam Puncak Negara, teruslah menjulang hingga akhir menjelang.



0 comments: