God gives everybody talents. And how they use it and
create their own brain for visualized every moment in their life. Do not gripe
for anything. Enjoy for every story as much as possible. Here, I wanna say what
I got sometimes ago. That’s about painting on Daluang. This is for the first
time I made it. Who doesn’t know Daluang?
Kepala Museum Tekstil Jakarta, Esti Utami dalam laporannya Foto: Dok. Pribadi |
Sebelumnya, tidak
banyak yang saya ketahui tentang Daluang, Tapa, atau pun Fuya. Sekilas, flashback
sebentar untuk apa yang saya peroleh sebelum mengikuti melukis, menggambar,
atau apapun namanya itu di atas Daluang bersama seorang wanita yang memiliki
bakat terpendam dalam bidang lukis/gambar, Tanti
Amelia. Bakat yang terpendam itu dia asah terus menerus sehingga akhirnya
seperti sekarang. Dia bisa memberikan dan meneruskan
keterampilan yang dimilikinya
kepada seluruh crafter blogger yang
ingin tahu lebih jauh cara atau teknik melukis di atas kertas yang saya bilang
spesial dan mahal, yaitu kertas Daluang.
Kain kulit kayu (Fuya) terakhir buatan Mama Asa Lembah Bada Foto: Dok. Pribadi |
Experience ini
sebagai bentuk kerja nyata yang tak akan pernah saya lupakan dalam hidup. Diberi
kesempatan yang tak ternilai oleh Museum Tekstil, Ibu Misari untuk melihat lebih jauh kehidupan Megalitikum yang
hingga hari ini masih berlangsung. Apa itu? Ya, pembuatan kain kulit kayu di
satu lembah yang sangat mendunia dan hanya dimiliki Indonesia,
yaitu Lembah Bada.
Pesona Lembah Bada Foto: Dok. Pribadi |
Di Lembah inilah semua
kekayaan alam telah Tuhan berikan untuk memakmurkan kehidupan masyarakat di
sana dengan cara mengolah kulit pohon Malo, Bea, atau Saeh. Kulit-kulit kayu
yang sudah dikuliti mereka perlakukan sedemikian rupa, sehingga menghasilkan
kain kulit kayu yang boleh dibilang cukup rancak. Proses panjang pembuatannya
tak menyurutkan langkah mama-mama di sana untuk melestarikan tradisi
megalitikum tersebut.
Dari Lembah Bada-lah
saya mulai mengenal apa itu Fuya (kain kulit kayu) untuk sebutan yang ada di
Sulawesi. Sementara, jika kita beranjak dan menelusuri literatur penulisan
daerah lainnya dengan nama berbeda. Fuya sudah ada di Sulawesi sejak zaman
neolitikum. Sejarah kulit kayu di daerah ini tidak tertandingi dan secara
mengejutkan berusia lebih tua dari tempat lain di dunia. Ini merupakan
keajaiban bahwa teknik tradisional telah bertahan sangat lama di Sulawesi
Tengah. Di Sulawesi yang memiliki sejarah panjang kulit kayu, tetap disebut
fuya.
Fuya dari Lembah Bada, Sulawesi Tengah Foto: Dok. Pribadi |
Penelitian mengenai
kulit kayu Indonesia yang dilakukan negara lain secara bertahap telah
mengungkapkan sejarah dan rute penyebaran teknik kulit kayu. Pada waktu
bersamaan,
penelitian tentang asal usul dan sejarah Daluang, bahan yang digunakan untuk membuat wayang beber,
satu bentuk seni yang menjadi kebanggaan Indonesia, tidak mengalami kemajuan
sama sekali.
Kertas Daluang Kang Mufid, Bandung Foto: Dok. Pribadi |
Bagaimana dengan Tapa?
Tapa tidak dikenal di Jawa maupun di Sulawesi.
Akan tetapi, sebutan tapa dipakai oleh orang-orang di seluruh dunia. Itu
sebutan yang paling banyak berada di daerah Hawaii dan Meksiko (daerah
Kepulauan Pasifik). Tapa
diperkenalkan pertama kali oleh pelaut bernama Marcopolo.
Sementara di Jawa, lebih
dikenal dengan nama Daluang,
Daluwang, atau Druwang, sedangkan di Bali diberi nama Ulantaga. Perlu diketahui, pemakaian kain kulit kayu di daerah Jawa
lebih kepada untuk tulisan dan dikenal dengan Daluang atau Dluwang itu tadi. Dalam bahasa Jawa, “Druwang” memiliki
arti, yaitu kertas. Sebagian naskah-naskah kuno yang didapat di Pulau Jawa
banyak yang ditorehkan di atas kertas kulit kayu atau daluwang.
Melalui Kriya Indonesia
bersama painter Tanti Amelia, kembali
saya beroleh kesempatan untuk menorehkan hasil imajinasi
ke dalam bentuk lukisan di atas kertas Daluang. Melukis menjadi satu aktivitas yang sangat
mengasyikan dan mampu mengejawantahkan imajinasi-imajinasi liar yang terarah
pada satu media.
Museum Tekstil menjadi
tempat yang sangat nyaman tatkala melukis berlangsung. Helatan ini digelar pada
Kamis, 1 Desember 2016 bersama Kartini Blue Bird dan Crafter Blogger.
Melukis di atas daluang ini sekaligus mengakhiri Beaten Bark Exhibition: Hidden
Treasure: Tapa, Fuya, Daluang di Museum Tekstil Jakarta.
Pada kesempatan itu
hadir pula Wakil Deputi Bidang Kebudayaan, Bapak Usmayadi Rameli, Peneliti Kain/Kertas
Kulit Kayu Prof. Isamu Sakamoto, Kepala Museum Tekstil Esti Utami, dan Representatif Blue Bird, Ibu Nova.
Sebelum workshop dimulai, Kepala Museum Seni, Ibu Esti Utami menyampaikan laporan
kegiatan yang dilangsungkan. “Pameran ini bertujuan untuk mengangkat kain kulit
kayu hingga mendunia. Kain kulit kayu menjadi kebanggaan bangsa ini. Oleh karenanya
perlu dijaga dan dilestarikan,” ucapnya.
Workshop melukis di
atas kertas Daluang ini dibuka oleh Asisten Deputi Bidang
Kebudayaan, Bapak Usmayadi
yang sekaligus menutup pameran Beaten Bark. Beliau mengatakan, bahwa “Kain kulit kayu
menjadi satu tradisi negeri ini yang perlu dijaga dan dipelihara agar tidak
punah”.
Asisten Deputi Bidang Kebudayaan, Bapak Usmayadi Rameli Foto: Dok. Pribadi |
Sementara itu, Ibu Nova
selaku representatif Blue Bird menyampaikan bahwa, “Peran wanita
(Kartini-Kartini Blue Bird) sangat diharapkan agar tradisi kain kulit menjadi
satu tradisi yang terus terpelihara hingga akhir zaman. Di tangan-tangan
terampil Kartini Blue Bird inilah tradisi kain kulit kayu ini nantinya akan
tetap terus dijaga dan diwariskan ke anak cucu”.
Ibu Nova, Representatif Kartini Blue Bird menyerahkan lukisan dari Daluang kepada Prof. Sakamoto Foto: Dok. Pribadi |
Pada kesempatan yang
sama pula, Asisten Deputi Bidang Kebudayaan menerima penyerahan lukisan dari
Ibu Tanti Amelia; Prof. Isamu Sakamoto menerima penyerahan lukisan dari
Representatif Blue Bird, Ibu Nova. Sedangkan Kepala Museum Tekstil, Ibu Esti
Utami menerima penyerahan lukisan dari Founder Kriya Indonesia, Astri
Damayanti.
Founder Kriya Indonesia, Astri Damayanti menyerahkan lukisan dari Daluang kepada Kepala Museum Tekstil, Ibu Esti Utami Foto: Dok. Pribadi |
Tanti Amelia, menyerahkan lukisan dari Daluang kepada Asisten Deputi Bidang Kebudayaan, Bpk. Usmayadi Foto. Dok. Pribadi |
Untuk selanjutnya, acara
lukis melukis ini dimulai. Peserta diberikan seperangkat alat melukis berupa
pensil, penghapus, kertas gambar, kuas, gelas plastik berisi air, dan kertas
Daluang. Menyakinkan diri sebelum menorehkan kuas di atas daluang, untuk
mengetes gambar di kertas gambar yang diberikan.
Beberapa peralatan melukis Foto: Dok. Pribadi |
Saya coba menggambar
jerapah di atas kertas gambar. Setelah yakin, selanjutnya saya pindahkan
melukis di atas Daluang. Setiap tarikan garis dengan penuh kehati-hatian saya
torehkan di daluang. Jika pun menorehkan garis yang salah, masih bisa dihapus.
Akan tetapi, saya harus berhati-hati jangan sampai kerta daluang basah terkena siraman
air. Karena teksturnya yang mudah robek jika terkena cairan.
Proses menggambar Jerapah di kertas Daluang Foto: Dok. Pribadi |
Kemudian torehan cat
akrilik satu demi satu warna mulai saya tancapkan. Tak banyak bermain warna
untuk gambar Jerapah saya itu. Hanya cokelat dan hitam. Sementara warna rumput
saya padupadankan dengan warna hijau, kuning, putih, dan kecokelatan. perpaduan
dari warna-warna yang sudah saya campurkan punya kesan tersendiri. Gambar itu
seolah-olah hidup dan berkata-kata. Jadilah Jerapah model saya dalam satu
bingkai indah bersama Daluang.
Lukisan Jerapah yang sudah jadi di atas kertas Daluang Foto: Dok. Pribadi |
Agh, Daluang punya
cerita panjang yang akan tetap saya kenang sepanjang zaman. Daluang
menjadi mahal. Tak sekadar mahal karena dijual. Tetapi, mahal karena mulai
terjegal. #SaveDaluang
Keceriaan Bersama Crafter Blogger Foto: Dok. Pribadi |
1 comments:
Merasa tersanjung disebut painter, mas Jun... padahal aku da cuma blogger yang suka doodle doang (baca : orat oreeet waeee massss)
barakallah mas Jun, semoga kita tembus go international
Post a Comment