Dulu, zaman-zamannya
masih sekolah (SMA dan Kuliah) kalau ngelihat orang kerja, dalam hati bicara, “Kapan
ya bisa seperti mereka, kerja, dapat uang, terus uangnya buat nikah, buat ini,
buat itu, de el el lah pokoknya”. Terbersit juga kalau sudah kerja, pengen
nabung buat beli kendaraan.
Bukan berapa besar yang saya terima tetapi perjuangan di balik ini Foto: Dok. http://i.imgur.com/B7n3lAX.png |
Kuliah rasanya lama
banget jalani. Padahal tak pernah berpikir untuk kuliah atau nyambung sekolah
lagi. Tamat SMA maunya langsung kerja. Akan tetapi Allah SWT memberi jalan
berbeda. Mau tidak mau harus mengenyam yang namanya bangku kuliah. Ucapan yang
pantas, Alhamdulillah wa syukurillah. Karena di luaran sana masih banyak yang
mengidam-idamkan ngenyam kuliah, tapi terbentur dana.
Selama kuliah pun saya
tak mau diam. Sana-sini cari tambahan. Ada lowongan jadi asisten dosen, saya
coba ikut. Dan Alhamdulillah sih ya diterima. Waktu itu honornya per asistensi…
(tutup muka, bungkam mulut ah nyebutinnya), ha ha ha… ngakak-ngakak kalau ingat
honornya.
Tak berhenti sampai di
situ, ngelamar-ngelamar juga ke bimbingan belajar yang ada di sekitaran Depok
dan Jakarta. Alhamdulillah diterima juga untuk ngajar sesuai bidang studi.
Waktu itu ngajarnya private dan kadang gantiin di kelas. Lumayan juga honor yang
diterima. Boleh dibilang lebih “manusiawi”.
Untuk memperoleh ini
semua, saya benar-benar butuh perjuangan yang lumayan panjang dan berat. Harus
berbagi waktu antara kuliah dan mengajar privat dan kelas. Terkadang, kalau ada
praktikum kuliah yang menyita waktu hingga berjam-jam, di situ udah mulai
cemas. Cemasnya mikir begini, “Kelar jam berapa nih praktikum?” Padahal
praktikum hanya satu SKS, tapiiiiiii lamanya bisa empat hingga lima jam
sendiri.
Habis dari praktikum
langsung cabut ngajar. Ngajarnya alhamdulillahnya tak jauh-jauh amat. Namun,
Depok di tahun 1994 sudah macet. Macetnya memang tak separah sekarang. Ya,
tetap was-was juga kalau-kalau telat sampai tempat ngajar.
Hidup saya dari satu
tempat ngajar ke tempat ngajar lainnya, hahaha. Maklumlah anak kuliah yang
merantau, pastinya uang tak tiap hari ada di kantong. Saya harus mutar otak
untuk tetap bertahan di kota besar semacam Jakarta ini. Ngajarnya terkadang di
luar bidang dari saya kuliah.
Mantap juga ditawari
untuk ngajar orang-orang PLN, waktu itu ngajar Fisika. Saya bisa saya ambil.
Ada yang minta privat Matematika pun begitu, sekiranya saya bisa dan mampu saya
ambil. Bukan manfaatkan kesempatan, tapi rezeki itu jalannya memang
berbeda-beda.
Nah, sebelum selesai
kuliah, saya ikut salah satu Tim Ekspedisi Kementerian Kesehatan RI yang waktu
zamannya saya itu dijabat oleh Bapak Farid Anfasa Moeloek. Proyek ini saya
ambil berkaitan dengan bidang saya, Biologi. Padahal waktu itu, saya mau maju
untuk seminar penelitian. Saya tunda untuk waktu yang tidak terlalu lama, hanya
dua minggu.
Nah, di Proyek bersama
Depkes ini saya dan tim diundang ke istana negara untuk diresmikan
keberangkatan oleh Presiden B.J. Habibie kala itu. Di sana, bertemu pula dengan
beberapa senior-senior dan Pak Menteri. Ya, bersyukur ternyata Pak Menterinya
orang yang juga jadi dosen di Fakultas Kedokteran tempat saya juga kuliah.
Kami berbincang dan
tukar nomor kontak. Akhirnya, diberangkatkanlah proyek Eskpedisi Biota Medika
ini oleh Pak Menteri Kesehatan, Menteri Kesejahteraan Rakyat, dan Presiden B.J.
Habibie.
Saya dan beberapa orang
mendapat tempat di pedalaman Jambi untuk melihat etnobotani, tanaman obat yang
dipakai oleh Suku Anak Dalam (SAD) untuk menyembuhkan mereka. Melalui jejaring
salah satu LSM di Jambi, saya mulai berpetualang masuk hutan keluar hutan
Jambi.
Dari pertemuan saya
dengan salah satu LSM di Jambi inilah saya “dilirik” oleh Direktur
Eksekutifnya. Padahal saat itu saya belum lagi selesai kuliah. Memang sih,
sudah semester akhir. Hingga proyek di pedalaman hutan Jambi bersama jejaring
LSM di sana selesai, tukar-tukaran nomor kontaklah saya.
Saya “dipinang” oleh
mereka untuk bergabung di LSM tersebut menjadi Analis Konservasi Biologi.
Waaaw, saya pikir! Ini kesempatan yang tidak boleh saya sia-siakan. Kalau saya
kerja di Jambi, artinya saya balik ke kampung halaman. Tetapi, kerjanya memang
di kabupaten. Waktu itu tepatnya di Kabupaten Sarolangun Bangko, sebelum
dipecah menjadi kabupaten sendiri-sendiri.
Sebelumnya saya pulang
dulu ke Jakarta setelah proyek Depkes selesai untuk melanjutkan sidang seminar
hasil penelitian saya. Alhasil, seminar hasil penelitian saya diterima, artinya
saya berhak maju sidang. Maju sidang saya itu masih ingat sekali, bulan puasa,
sekitar Januari tahun 1999.
Selama disidang Alhamdulillah
juga lancar jaya. Harap-harap cemas menunggu nilai hasil sidang, ada yang
bilang “B gendut” “A minus”, dan sebagainya. Saya tak penting nilai, tetapi
bagaimana saya bisa segera lulus dan bekerja tanpa jadi beban orang tua lagi.
Ya, pengumuman nilai
diberikan, Alhamdulillah, nilai A yang keluar. Senang, plong, dann beban hidup
saya berkurang satu.
Selang 10 hari pasca
sidang skripsi, surat panggilan kerja dari LSM di Jambi itu datang. Saya bingung,
mereka minta surat keterangan lulus sementara. Ya, seumur-umur kan baru kali
ini mengurus ini itu. Tanya ini itu ke sana ke marilah saya akhirnya. Bersyukur
Alhamdulillah, saya minta surat keterangan lulus sementara ke bagian akademik
bisa keluar cepat begitu pula transkrip nilai sementara.
Saat itu masih zamannya
fax-fax-an ya teman. Jadi, saya harus ke warnet untuk nge-fax itu surat-surat
yang dibutuhkan. Jadi, saya hanya
istirahat sepuluh hari saja setelah lulus kuliah dan akhirnya bekerja.
Nah, di kesempatan
bekerja itu tidak saya sia-siakan. Beruntungnya saya, LSM itu didanai oleh
salah satu grup musik dunia yang concern dengan indigenous people. Saya bertemu
langsung dengan peneliti Suku Anak Dalam yang juga ahli Eko Antropolgi, Dr.
Oyvind Sanbuk yang notabenenya orang Norwegia dan sepuluh tahun lebih meneliti
SAD di Jambi, sampai paham dan bisa bahasa SAD.
Di LSM ini, saya masuk
hutan keluar hutan untuk mencari kira-kira tanaman yang biasa digunakan SAD
untuk makanan dan juga obat-obatan. Nah, setiap tanggal 28 di akhir bulan, saya
dan teman-teman menunggu sesuatu yang sudah jadi hak sebagai pekerja. Gaji, ya
gaji! Saya digaji bukan dalam rupiah, tapi dikonversi dalam dolar. Saya terima
sekitar 80 dolar di zaman krisis ekonomi tahun 1999 tersebut.
Dolar yang sempat gila-gilaan saat krisis ekonomi di Indonesia Foto: Dok. http://listcrown.com/wp-content/uploads/ |
Alhamdulillah banget.
Gaji pertama itu saya masih banget, beli keripik pisang sepuluh kantong. Kenapa
keripik pisang? Ya, keripik pisang itu sebagai makanan dan camilan favorit
bapak saya di rumah. Pulang ke rumah dari
Kabupaten Sarolangun Bangko sekitar 5 jam perjalanan. Biasanya dua minggu
sekali pulang dengan menggunakan Mobil Help. Tiba di rumah sekitar pukul 8
malam.
Keripik pisang ini dibeli dari gaji pertama saya Foto: Dok. https://doingbusinessinindonesia.files.wordpress.com |
Ya, bapak dan ibu saya, saya pulang saja sudah sangat senang, apalagi
saya bawakan makanan yang sangat sederhana itu dari gaji pertama saya, bukan
main senangnya. Terlebih lagi saya, dengan hati berbuncah, finally I could give my parents snack from my first
salary. Bersyukur!
1 comments:
Duh... endingnya bikin terharu.. bahagia banget ya, Mas. Ortu juga bahagia.
Btw, suka baca cerita pengalaman seperti ini. Nice sharing!
Post a Comment