Sejak kecil, saya memang dekat sama Ibu dan Bapak. Ibu,
kalau ada hal-hal yang sekiranya perlu dibicarakan, entah masalah kakak, adik,
atau urusan dalam negeri, ceritanya selalu ke saya. Saya pun sebaliknya. Karena
untuk saya, ibu jauh lebih bisa mengerti pola pikir saya.
Di pemakaman Ibu dan Mba Foto: Dok. Pribadi |
Ya, sekitar tahun1988, saat duduk di bangku SMP, ibu
didiagnosis dokter mengidap penyakit diabet. Saya tahunya itu penyakit gula
atau kencing manis. Memang, ibu punya tubuh subur dan suka yang namanya buat
tepung digoreng dan minum teh manis hampir tiap pagi. Tapi itu dilakukan bukan
tanpa sebab, karena ibu pernah terkena hepatitis, mau tidak mau diharuskan
konsumsi gula. Tetapi justru sebaliknya.
Saya masih berpikir polos dengan tubuh ibu yang subur
itu, saya pikir ibu sehat-sehat saja. Sehatnya saya lihat dari fisik, ibu
termasuk rajin berolahraga, jalan pagi, dan melakukan hal-hal yang cukup
mengeluarkan keringat. Saat periksa kondisi tubuh yang ibu bilang ke dokter
sering lemas dan banyak minum, alhasil ibu diminta cek darah. Alhamdulillahnya,
apa yang disampaikan dokter tak membuat ibu shock.
Hari-hari ibu jalani saja seperti biasa. Sakit dalam yang
di deritanya pun tak dirasa. Semua terlihat normal-normal saja. Tetapi, memang
ibu coba kurangi untuk konsumsi nasi (karbohidrat), tepung-tepungan, dan
sejenisnya. Saran dokter pun dijalani ibu. Minum teh manis diperbolehkan kalau
kondisi tubuh benar-benar lemas.
Hingga pada satu ketika, sekitar pukul 2 malam, ibu
muntah tetapi mengeluarkan darah beberapa kali. Tak tahu kenapa, ibu masih bisa bertahan dan kuat. Alhamdulillahnya,
bapak sudah ada di rumah, padahal saat itu bapak baru pulang dari kontrol proyek.
Bapak bilang ke ibu, “Ibu harus bapak bawa ke rumah sakit, ibu tahan dulu dan
kuat ya”. Anak-anaknya bangun semua mendengar ibu mau dibawa ke rumah sakit.
Tanpa ba-bi-bu, dini hari itu juga bapak larikan ibu ke
rumah sakit dengan mengendarai sepeda motor. Ibu dibonceng bapak di belakang.
Pokoknya, bagaimanapun caranya, bapak bawa ibu tiba di rumah sakit. Setiba di
rumah sakit, beberapa perawat segera memasang jarum infus ke tangan ibu.
Saya masih ingat sekali, ketika itu masa-masa saya ujian.
Sempat belajar dan tidur di bagian bawah
ranjang ibu di rumah sakit. Pagi-pagi sekali pulang aplusan jaga sama Mba.
Terkadang, tiap pagi saya antarkan bubur kacang hijau dan telur matang, juga
baju-baju pengganti ibu.
Lebih kurang empat puluh hari, saya dan kakak-kakak
berganti jaga. Terkadang bapak pulang sebelum kerja menyinggahi ibu, dan pulang
dari kerja berganti pula berjaga.
Empat puluh hari pas ibu di rumah sakit. Di hari keempat
puluh itu pula dokter menyatakan ibu sudah baik dan boleh dibawa pulang.
Sebelum pulang, dokter berpesan kepada ibu bahwa ada hal
yang harus dilakukan ibu saya agar tak kekurangan insulin. Ya, antara kuat dan
tak kuat ibu harus menyuntikkan sendiri
insulin ke tubuhnya. Tetapi, sebelumnya dokter dan suster mengajari cara
menyuntik yang benar. Tiga kali sehari, ibu menyuntikkan insulin itu. Saya
berpikir, ibu seperti orang ketergantungan obat. Tetapi, memang begitulah
keadaannya. Itu berlansung sekitar delapan tahun. Di tahun kesembilan, ibu
mulai mengonsumsi tablet diabet (glibenglamid). Glibenglamid dikonsumsi ibu 15
tahun. Jadi, ibu tak lepas dari obat itu sekitar 23 tahun.
Sempat saat periksa kondisi kadar gula dinyatakan normal oleh dokter dan diabet ibu hilang. Ibu
pun masih setia pula mengonsumsi jamu-jamuan. Segala macam obat ibu coba. Semangat ibu untuk sembuh tinggi. Hingga
suatu hari disarankan oleh temannya untuk minum cairan rebung bambu kuning. Ibu,
karena memang ingin sembuh, ikut saran temannya tersebut. Alhasil, ibu
keracunan dan dilarikan ke rumah sakit. Alhamdulillahnya tak lama berdiam di
ruang yang menurut saya buat saya termenung itu.
Kembali pulang ke rumah. Singkat cerita, di lima tahun
terakhir sakitnya, kondisi ibu sembuh-kambuh sembuh –kambuh. Sembuh dalam
artian badannya terlihat segar dan makannya pun banyak. Ketika saya menikah,
kondisi ibu kembali drop dan tak bisa menghadiri pernikahan. Selang istri saya
hamil menginjak bulan ketiga pada 2011 di awal bulan awal Desember, ibu koma. Dua
hari di rumah, akhirnya diputuskanlah untuk di bawa ke ICU.
Saya sempat pulang ke rumah sekitar hampir satu minggu. Sekitar
lima hari empat malam di ICU, kondisi ibu sudah “tak karuan”. Denyut jantung
mulai turun naik. Napas pun dibantu ventilator. Jarum di sekujur tubuh ibu. Saya
tak tahu, entah kenapa saya pesan tiket pulang kembali ke Jakarta itu pada
Sabtu di 10 Desember 2011 pukul 12.00 WIB. Sebelum ke bandara, saya masih
sempat menjenguk ibu dan berkata, “Ibu, nanti kalau ada apa-apa, saya akan
kembali menjenguk ibu”.
Mungkin Allah SWT memberi tanda. Ibu membukakan mata ada
dua kali kerjapan, seolah-olah mengiyakan. Saya sempatkan pula mencium kening
ibu. Lantas mengucapkan pamit untuk kedua kalinya dan ibu membukakan mata
kembali tetapi dipicingkan.
Teman yang sempat menjenguk bersama saya saat itu justru
bilang, “Jun, semoga pesawat kamu delay.
Benar, delay satu jam. Tepat pukul satu siang, pesawat yang saya tumpangi berangkat juga. Sebelum
berangkat, teman saya sempat berkata
lagi, “Jun, saya bukan mendahului Tuhan, melihat kondisi ibu, sepertinya tak
berapa lama Jun”. Saya hanya menjawab, “Keluarga sudah mengikhlaskan”.
Tepat pukul empat lebih sepuluh menit, saya baru saja
menginjakkan kaki di lantai dua rumah, istri menerima telepon dari Mba saya di
Jambi. Saya melihat, istri meneteskan air
mata, sambil berkata, “Ibu, sudah pergi!”
padahal itu kaki saya masih belum masuk pintu dan baru sampai dari Jambi
ke Jakarta.
Saya berusaha kuat
tetapi tetesan air mata jatuh tak bisa saya bendung. Hari itu juga saya
kembali cari tiket pesawat, tidak ada penerbangan lagi, habis. Dan Alhamdulillahnya,
saya dapat penerbangan pukul enam pagi.
Di dalam pesawat pikiran saya berkecamuk campur aduk. Berusaha
untuk menahan air mata agar tak berjatuhan. Sampai di rumah, banjir dengan
orang-orang yang melayat. Ibu siap-siap untuk dimandikan. Alhamdulillah, saya
masih bisa mandikan ibu, ikut menyalatkan, dan menguburkan.
Subhanallah
Banyak orang melayat dan menyalatkan ibu. Setelah
dimakamkan tak jauh dari Mba saya nomor dua, di situlah saya, kakak-kakak, dan adik
saya berurai air mata. Malam harinya iringan doa dan tahlil untuk alamarhumah
ibu dilantunkan. Doa-doa itu mengingatkan saya untuk terus saya kirimkan
kepadanya.
Saling berkunjung ke teman-teman ibu semasa hidupnya
sangat sering saya dan kakak-kakak lakukan. Tali silaturahmi tersambung kembali
dan di situlah memperlancar rezeki untuk semua.
Berkirim makanan kepada ana-anak yatim piatu seperti
kebiasaan ibu, pun masih dilakukan. Membawakan tetangga-tetangga dan
teman-teman ibu jika datang ke rumah, makanan, sebagai salah satu bentuk dari
sekian banyak hal yang pernah ibu lakukan saat masih ada bersama kami. Ya,
berkurban untuk ibu dan Mba yang juga sudah tiada, masih sering kami lakukan.
Hal ini untuk meneruskan kebiasaan yang pernah ibu lakukan pula. Setiap Kamis malam Jumat, lantunan ayat suci
Al Quran dan Surat Yasin berkumandang di rumah.
Semoga apa yang keluarga saya lakukan ini, semata-mata
hanya untuk rida Allah SWT kepada Ibu dan Mba saya yang sudah tiada, agar
doa-doa yang kami panjatkan sampai untuknya. Diberikan kemudahan untuk
urusannya, aamiin Ya Allah.
4 comments:
kok jadi melow mas bacanya. perjuangan ibu melawan sakitnya luar biasa.kehilangan ibu,kata teman2 membuat gairah hidup berhenti sesaat. semoga keluarga sehat terus agar bisa meneruskan kebiasaan2 baik beliau.
Yap Mba @dekCrayon... saya yang lagi nulisnya juga bercucuran air mata Mba. Smeoga Ibu dan Mba saya dimudahkan untuk segalanya.
Semoga yang sudah berpulang, dilapangkan kuburnya.
Aamiin Mba @WIDYANTI
Post a Comment