Tak dapat dipungkiri,
Indonesia menjadi salah satu Negara paling kaya budaya di dunia. Kekayaan
budaya tanah air ini tak bisa dipandang sebelah mata oleh negara lain. Saking
kayanya, sempat-sempat ada negara yang mengklaim budaya tanah air. Mulai dari
lagu, alat musik, juga kuliner.
MTM 12: Mba Novi (pegang mik) Cinta Bumi; Ibu Nia (kerudung ungu), Mas Bregas MTM [Foto: DokPri] |
Memang, bukan tugas
generasi sebelumnya saja yang menjaga budaya negeri ini, tetapi peran generasi
muda sebagai generasi penerus sekaligus penyelamat bangsa punya arti penting. Emban
tugas perlahan-lahan beralih ke generasi millenials biasa kita sebut.
Mungkin sedikit dari
mereka entah tahu, mengerti, atau tidak kalau ditanya kain Savu dari mana
asalnya. Lantas, ada apa saja cerita di dalam kain Savu tersebut? Atau juga
ditanya nama salah satu daerah di Yogyakarta yang terkenal dengan kerajinan
tanah liat atau gerabahnya.
Pengenalan budaya sejak
dini sangat penting untuk generasi penerus cita-cita tanah air. Hal itu agar
mereka tak lupa akan sejarah dan tempat asal usul mereka. Akar budaya perlulah
mereka kenal dan tahu agar mereka tak gagu ditanya para guru.
Budaya, sebagai bentuk
perilaku sosial dan norma yang ada dalam masyarakat. Budaya juga dianggap
sebagai konsep sentral dalam antropologi, meliputi interval fenomena yang
dipancarkan melalui pembelajaran sosial di masyarakat.
Aspek seperti perilaku,
praktik sosial seperti budaya, bentuk ekspresif seperti seni, musik, tari,
ritual, agama, dan teknologi (penggunaan alat, memasak, tempat berlindung, dan
pakaian) dapat dibilang sebagai budaya universal. Hal itu ditemukan di semua
lapisan masyarakat . Konsep budaya material mencakup ekspresi budaya, seperti
teknologi, arsitektur, dan seni. Sementara itu, aspek material budaya seperti
prinsip organisasi sosial.
Kriya (kerajinan) pun
masuk dalam budaya tanah air. Di dalam kriya ini pun penuh dengan simbolisasi
dan filosofi sarat makna. Oleh karenanya, kalau kita perhatikan, setiap goresan
cat atau pewarna di dalam satu hiasan, mengandung makna yang tak bisa
dipisahkan dari baik itu leluhur atau yang berkaitan dengan saji.
Ya, cerita-cerita di
balik kriya terdapat cerita yang sudah berurat berakar dari zaman dahulu. Ada pesan-pesan
yang mesti disampaikan untuk generasi penerus mereka agar akar budaya asal tak
mati jika di bawa keluar.
Seperti sedikit saya
singgung tentang kain Savu tadi. Kain Savu sebagai kain tenun menjadi barang
wajib setiap orang yang akan menikah untuk menggunakan kain itu di wilayah Nusa
Tenggara Timur. Hal itu dimaksudkan agar tidak terjadi pernikahan dengan
saudara dari pihak ibu.
Savu juga tak jauh beda
dengan batik yang berada di Jawa. Di Yogya dan Solo masa dulu, tak semua motif
bisa dipakai orang. Karena motif-motif tertentu menjadi pembeda seseorang,
apakah bangsawan atau rakyat biasa. Hal itu dapat dilihat dari motif yang
dipakai raja. Kini, Sultan HB IX telah membebaskan motif-motif tersebut dipakai
orang banyak. Motif batik juga tak lepas dari upacara dan kehidupan orang-orang
Jawa.
LAWE dengan kain luriknya [Foto: DokPri] |
Menjadi satu keniscayaan
bahwa benar adanya, masyarakat sebagian sudah tidak tahu lagi tentang wastra
tanah air. Terutama anak-anak muda sekarang. Gadget lebih mereka kuasai. Kain yang kalau mereka lihat mungkin
hanya bergumam dalam hati, “Aah, kenapa juga kain kok dibela-belain?”
Bisa jadi juga, mereka hanya melihat kain saat upacara
adat digelar atau saat ada acara perkawinan. Sangat disayangkan memang,
Indonesia belum sepenuhnya membuat dokumentasi kain-kain nusantara.
Batu Ike, alat pemukul kain kulit kayu [Foto: DokPri] |
Booth Cinta Bumi [Foto: DokPri] |
Tas dari kain kulit kayu produk Cinta Bumi [Foto: DokPri] |
Sejalan dengan itu, perhelatan Meet The Makers 12 “Craft
As Art” kali ini mengusung tema MENGAKAR. Di sini, dipertunjukkan kerajinan
yang tersebar di tanah air yang masing-masing benar-benar mengakar pada nilai
seni, sejarah, kebudayaan, dan fungsi yang tinggi.
Kita juga perlu ketahui, mengakar di sini dimaknai sebagai merasuknya pengetahuan,
keterampilan, dan berkelanjutan untuk generasi muda yang memiliki jiwa sebagai
penerus seni, sejarah, dan kebudayaan Indonesia. Di tangan-tangan generasi
mudalah tongkat estafet seni ini akan diserahkan kelak.
Peserta Diskusi MTM 12 [Foto: Dok.MTM Salma Indria Rahman] |
Besyukur, saya masih bisa ikut menyaksikan kembali untuk
yang kedua kalinya di Meet The Makers ini. Sementara Meet The Makers telah
melakukan helatan untuk yang ke-12 kalinya saat ini. Helatan Meet The Makers 12
kali ini bertempat di Nusa Gastronomy. Tepatnya di Jalan Kemang Raya 81.
Berlangsung mulai 5-7 Oktober 2017 yang diikuti 14 artisan, yaitu Pekunden
Pottery (Jakarta), Gerai Nusantara AMAN (Jakarta), Kanawida (Tangerang), Batik
Rifaiyah (Batang), Brahma Tirta Sari (Yogyakarta), Marenggo Natural Dyes
(Yogyakarta), Wiru (Yogyakarta), LAWE (Yogyakarta), Omah Batik Sekar Turi
(Sleman), Borneo Chic (Kalimantan), Cinta Bumi (Bali-Sulawesi), Tafean Pah
(NTT), Tenun Molo Bife (NTT) dan Savu (NTT).
Hasil karya mereka punya nilai seni masing-masing dan tak
bisa disamakan. Begitu pun cerita di baliknya. Ada proses panjang yang mereka
lalui untuk sampai pada tahap seperti sekarang ini. Ketekunan, kesabaran, dan
keterampilan khusus menjadikan mereka terampil di bidangnya. Kearifan
penggunaan bahan mereka junjung tinggi.
Tak hanya mencipta, tetapi bahan-bahan ramah lingkungan dan
berkelanjutan yang dapat memberikan nilai ekonomi tersendiri juga kepada
khalayak.
Di tengah-tengah MTM ini pun hadir Red Lotus. RL menjadi
komunitas aktif tempat berkumpul artisan, pengrajin, & desainer yang
didedikasikan untuk menciptakan kerajinan sebagai benda seni handmade dalam paduan estetika dan
fungsi. RL sangat mendukung kegiatan MTM ini juga mendorong dan menampilkan
kerajinan seni yang menghubungkan langsung ke publik. RL inilah yang menjadi
penggerak untuk MTM.
Seperti yang sebelumnya saya lihat, MTM selalu
menghadirkan pengrajin dan seniman yang menjaga tradisi kearifan lokal beragam
karya, seperti kain tenun, tas anyaman, batik, syal, selendang, dan beragam
interior. Ya, pameran ini tak sebatas pameran, tetapi sebagai pemahaman secara
utuh dan mendalam untuk kerajinan seni nusantara dalam menumbuhkan kecintaan
terhadap produk lokal. Keberlanjutan MTM berkat kerja keras dan kerja sama
individu juga organisasi, seperti Brahma Tirta Sari, Pekunden Keramik, dan
Borneo Chic.
Bapak Ellias Yesaya (Berpakaian khas) Bamboo Music Maker (Foto: DokMTM Salma Indria Rahman] |
Oya, ketika saya berkunjung ke sana, saya melihat beragam
alat musik dari bambu yang dibuat secara cerdas oleh Pak Ellias Yesaya. Pak Ellias
Yesaya sebagai music maker berasal dari Krayan, Kalimantan Utara. Beliau juga
mengajarkan kepada orang-orang bagaimana membuat alat musik dari bamboo sebagai
instrument Dayak Lundayeh.
Nah, alat musik bambu itu pun bisa dikolaborasi dengan
alat musik lainnya. Ketika kunjungan itu pula, saya menyaksikan musik bambu,
dan suling yang dikolaborasi dengan gitar.
Para peserta mencoba alat musik bambu [Foto: DokPri] |
Pak Ellias dengan Musik Bambunya [Foto: DokPri] |
Mengalun nada dari buluh perindu Pak Ellias Yesaya. Aah
sungguh syahdu. Sukses untuk Meet The Makers, sukses untuk seluruh artisan. Nah, untuk yang ingin berkunjung, masih ada kesempatan lho teman-teman hingga hari ini. Siapa lagi yang mencintai budaya tanah air ini kalau bukan kita.
1 comments:
Senang deh dateng ke pameran MTM. Dapat pengalaman dan wawasan baru banget! Semoga kriya nusantara terus lestari ya :)
Post a Comment