Heni Sri Sundani,
hanyalah seorang anak petani miskin. Boleh dibilang, makan hanya sekali sehari.
Tiba-tiba masuk majalah Forbes. Masa kecil yang sangat miris, ketika berumur
satu tahun sudah ditinggal oleh kedua orang tuanya karena perceraian.
Ibunya menikah di usia
yang sangat muda, bahkan sebelum mendapatkan haid pertamanya. Heni lebih banyak
diasuh oleh sang nenek yang notabenenya tidak bisa baca dan tulis. Ketika ingin
sekolah, saat SD sekolah ditempuh dalam waktu 2 jam, SMP lebih kurang 4 jam
pulang pergi.
Sementara, SMA sendiri
adanya di kota, bahkan ketika ingin melanjutkan kuliah dirinya justru menjadi
TKI ke Hongkong. Hidupnya memang tidak pernah mudah. Tapi Heni tidak pernah
menyerah, ketika dia berpikir menyerah, otomatis hidupnya akan berakhir seperti
sang Ibu.
Pun hidupnya akan
berakhir seperti teman-teman sebayanya yang baru berumur 13 tahun tetapi sudah
jadi janda dua kali. Ketika Heni datang ke berbagai forum, banyak mahasiswa/i
yang ingin jadi seperti dia.
Heni berkata kepada
mereka,”Jangan jadi saya, jadi saya itu berat, biar saya aja, kamu ga akan
kuat,” (ngakak juga saya dengarnya).
Heni membuat satu
campaign, namanya Sarjana Pulang Kampung. Dia kembali ke Kampung dan membangun
kampung. Pertanyaannya, “Mengapa harus kembali ke Kampung?” Kita semua tahu,
orang-orang terbaik di Indonesia terpusat di kota. Tetapi yang dibutuhkan
Indonesia, buka satu obor raksasa di Jakarta. Tetapi yang dibutuhkan Indonesia
di masa depan adalah obor-obor kecil yang menyala dari sebuah desa.
Saat ini Heni membuat
satu gerakan bernama “Anak Petani Cerdas”. Dulu hanya dimulai dengan 15 orang
anak dan modal 100 ribu rupiah. Bersyukur setelah satu-tiga tahun berjalan, ada
tersebar lebih dari 3.000 anak yang tersebar di pulau Jawa dan Lombok.
Kalau dulu Heni hanya
membantu satu kampung saja di Bogor. Tetapi, setelah lima tahun kemudian,
dirinya dan teman-temannya bisa membantu lebih dari 150 ribu keluarga petani
dari Aceh hingga Papua.
Bagaimana caranya Heni
bisa sampai seperti itu? Heni memulai dari “Setiap orang harus menemukan WHY-nya masing-masing.”
Mengapa harus menemukan WHY-nya?
Menurut Heni, “Saya
memberi bukan karena saya punya banyak, tetapi karena saya tahu bagaimana
rasanya tidak punya apa-apa. Ketika saya ingin sekolah, saya tidak punya duit
untuk sekolah. Ketika ingin makan, saya tidak punya duit untuk makan. Saat mau
lanjut kuliah, tidak ada beasiswa. Akhirnya, dari menemukan why inilah, itu
yang akan menjadi alasan terbaik kita untuk melakukan hal ini.”
Ketika kita ingin
melakukan perubahan sosial, hal pertama yang harus kita lakukan adalah membantu
diri kita sendiri dulu. Bayangkan saja, bagaimana kita bisa membantu orang lain
kalau kita tidak bisa membantu diri sendiri.
Setelah bertemu dengan
alasan yang tepat mengapa kita harus mengerjakan hal ini, barulah kita akan
dapat yang namanya komitmen. Karena yang namanya perubahan sosial itu tidak
mudah. Banyak sekali hal-hal yang harus kita korbankan. Termasuk diri kita.
Pengorbanan yang Heni
lakukan ketika lulus dari Hongkong di tahun 2011, dia menjadi salah satu
sarjana dengan predikat terbaik. Dia banyak mendapat tawaran beasiswa untuk
melanjutkan kuliah di luar negeri. Tapi, dia lebih memilih pulang ke Indonesia
dan menjadi salah satu guru yang hingga hari ini tidak pernah dibayar.
Pernah satu ketika Heni
mengajar di sekolah formal. Akan tetapi, hal itu tidak bisa dilakukan kalau
setengah-setengah dan mesti full time. Jadi, kalau ditanya apa pekerjaannya
saat ini, Heni bisa menjawab full time di komunitas.
“How far you go,
seberapa jauh kita melangkah,seberapa tinggi kita terbang dengan gerakan dan
komunitas kita, itu bergantung seberapa kokohnya komitmen kita,” tutur Heni.
Karena kalau kita
melakukan pekerjaan ini di masyarakat, menurut Heni, kita akan banyak menjumpai
kesulitan. Fondasi kita mesti benar-benar kuat, karena tidak ada yang
menggajinya.
Untuk bisa membuat
gerakan sosial atau usaha sosial di
masyarakat apalagi? Biasanya, Heni memulai dari “What” dulu. Apa masalah di
sekitar kita. Melihat permasalahan di sekitar kita apa. Heni membuat “Anak
Petani Cerdas” karena tinggal di kaki Gunung Pangrango, di Cimande.
Jadi, masalah di sekitar
kita itu apa. Kita bisa atau tidak menjadi bagian dari solusi permasalahan yang
ada di sana. Lantas tujuannya apa? Heni percaya, bahwa pendidikan itu senjata
paling ampuh untuk memutus rantai kemiskinan. Hal ini telah ia buktikan
sendiri. Goalnya adalah, agar anak-anak petani miskin yang tidak punya harapan,
bisa bersekolah. Di satu rumah ada yang bisa jadi sarjana.
Kenapa? Karena kalau kita
hanya memberi bantuan sembako terus menerus, justru tidak akan menyelesaikan
masalah. Yang ingin diselesaikan adalah akar masalahnya. Selanjutnya adalah
“Resouces”-nya apa? Ketika kita ingin memulai gerakan sosial bertanyanya jangan
ke orang, tapi tanyakan ke diri kita.
Apa kita miliki saat
ini? Di Gerakan Anak Petani Cerdas, Heni berpikir dia punya ilmu. Dia sanggup
mengajar, akhirnya diputuskan untuk
mengajar. Tidak perlu harus menunggu orang lain. Bayangkan, kalau kalian
ingin membuat gerakan sosial menunggu orang lain, akan lama dan bisa tidak
jadi-jadi.
Ketika mengerjakan
sesuatu itu kerjakan yang benar, bukan yang paling mudah. Karena hal ini
penting. Mengerjakan yang mudah-mudah tetapi bukan itu tujuannya, justru tidak
akan menyelesaikan apa-apa.
Lantas jalannya dengan
cara bagaimana? Ada banyak cara, ada yang membuat platform online sosial,
startup, juga membuat komunitas kecil-kecilan. Semuanya memang benar, yang
tidak benar itu yang tidak melakukan apa-apa. “Ujung-ujungnya, kita akan bertemu
dengan passion kita,” ucap Heni.
Untuk menjadi leader di
masyarakat, menurut Heni bukan dari power-nya, tetapi justru dari ability
empower others. Terakhir, lebih ke arah “WHO”-nya. Kita mengerjakan hal ini
untuk siapa, targetnya siapa, donaturnya siapa, partnernya siapa.
“Partner terbaik saya
adalah suami saya. Karena apa? Diskusinya mudah di rumah. Ketika saya menikah
dengan suami saya, saya melihat cara berpkir yang sama. Karena menikah itu
bukan sekadar aku dan kamu menjadi kita. Saya memilih laki-laki ini karena visi
dan misinya sama seperti yang saya miliki. Kami prosesnya ta’aruf, dan saya
memilih dia gara-gara dia bilang seperti ini,”nikah itu bukan siapa yang paling
siap, tapi siapa yang paling berani,” tutup Heni.
3 comments:
Waah pengabdian dan cinta Tanah Air yang membuat saya bangga pada sosok wanita yang satu ini..
Dia ambil sarjana sembari kerja jadi TKI di Hongkong. Lulus dengan memuaskan. Banyak tawaran beasiswa, tapi dia milih pulang ke desa. Salut.
Terima kasih kak Jun atas ulasannya 🙏🙏
Post a Comment