Monday, June 26, 2017

Jiwa-Jiwa Terperangkap dan Keberagaman Kemanusiaan Kita

Selama  yang masih dia ingat, Greg hanya ingin satu hal… menjadi seorang wanita. Meski sebagai anak laki-laki, dia cemburu kepada adiknya yang seorang perempuan. Saat usianya telah mencukupi, Greg melakukan hal yang bisa ia lakukan, berubah menjadi seorang wanita.

Transgender dan Transeksual, dua hal yang berbeda
Foto: Dok. https://upload.wikimedia.org
Greg menjadi Deborah dan Deborah menjadi satu dari 6.000 orang lebih yang sudah berubah dari laki-laki menjadi perempuan. Satu dari beberapa ratus orang per tahun berusaha memperbaiki kesalahan alami. Sexual Reassignment Surgery (SRS) atau operasi perubahan  jenis kelamin, merupakan operasi termahal, menyakitkan, dan permanen. Hal itu sebagai hasil perjalanan panjang, terkadang menjadi pergolakan menyiksa untuk orang-orang yang punya pikiran dan perasaan sebagai seorang dari satu jenis kelamin. Akan tetapi, memiliki organ dari jenis kelamin berbeda.

Tulisan ini akan menjelajahi dunia transeksual dari sisi ilmiah, sosial, dan dinamika seksual ketika mereka menjalani perubahan dari lelaki menjadi perempuan, dalam segala cara dan bentuk. Apa yang membuat seorang lelaki sebagai lelaki dan seorang perempuan sebagai perempuan? Mengapa beberapa kita terlahir dengan organ seksual yang tidak sesuai dengan sisi psikologis kita?

Mereka terlahir sebagai pria, tetapi merasa sebagai wanita. Jika melihat di depan cermin, mereka akan bertanya, “Mengapa saya bisa seperti ini?” mereka selalu mengatakan, hidup seperti ini rasanya ingin mati saja. Bagi transeksual, hidup dalam tubuh mereka sendiri sebagai penderitaaan. Mereka pun selalu mengatakan, kalau mereka lahir dengan organ seksual yang salah.

Setiap tahun, ribuan transeksual yang terlahir sebagai pria memutuskan untuk mengubah dirinya menjadi wanita. Meski risiko dan biaya yang besar, mereka tetap ingin melakukan operasi dan mengubah bentuk tubuhnya. Hal yang membuat bulu kuduk berdiri adalah, kelamin mereka diubah untuk selamanya. Oww, saya tak dapat membayangkan!

Bagi transeksual, mereka seringkali sulit beradaptasi dengan lingkungannya. Seperti dituturkan “X” yang tak mau disebutkan identitasnya. Hal itu dikarenakan dia takut kehilangan semua yang sudah dimiliki. “Keluarga, termasuk pendapatan, bahkan kehidupan. Saya tak butuh belas kasihan dari orang-orang sekitar”, tandasnya.

Menurut keterangan medis, kondisi mereka ini disebut dyasphoria gender. Biasanya disebut juga dengan transeksualisme. Mereka berpikir bahwa mereka adalah wanita, tetapi dilahirkan dengan tubuh sebagai pria. Penyebab itu semua belum jelas. Tetapi, yang pasti pengaruhnya terjadi pada mereka setiap detik, menit, dan hari.

Jennifer berkata, “Bagi saya, hampir selama hidup saya berpura-pura menjadi orang lain”. Anne beda pula, dia mengalami kesulitan untuk bergaul di masyarakat sebagai seorang pria. Dia merasakan seperti hidup dalam kematian. Alexia pun demikian, dia selalu berfantasi menjadi seorang wanita. Hal itu terjadi sejak dia berusia tiga setengah tahun.

Menurut Kim, hal itu bukan sebagai pilihan, tetapi untuk bertahan hidup. Setiap malam dia tidur dan berdoa untuk “tidak bangun” di keesokan harinya. Vanessa pun beranggapan bahwa dia salah, sebenarnya dia adalah pria. Harusnya dia melakukan kegiatan yang biasa dilakukan pria dan bergaul dengan pria. Berusaha menjadi pria. Untuk pria normal, bertindak sebagai pria sangatlah mudah. Untuk transeksual, menjadi diri mereka sama dengan menolak tubuh mereka. Bagi sebagian orang hanya ada satu solusi, yaitu menjadi jenis kelamin yang berlawanan.

Menurut Marie Keller, seorang konselor di La Gender Center, untuk mereka yang berpikir itu sebuah pilihan, dianggapnya seperti “lalat di dinding kotor”. Dia yakin tak lama kemudian, siapapun punya keyakinan hal itu, akan membuangnya jauh-jauh. Banyak yang kesulitan dan menderita untuk mengalaminya. Itulah sebabnya, kenapa pilihan itu sangat bodoh.

Dr. Russel Reid, seorang psikiater di London mengatakan, Anda tak memilih menjadi seorang transeksual. Itu karena kejadian alami dan Anda berusaha mengatasinya sebaik mungkin. Jika Anda salah mengatasinya, Anda akan bersedih. Jika Anda mengatasinya dengan benar atau menjalani perawatan yang benar, maka hidup Anda akan sukses.

Transeksual sering dianggap sama dengan waria. Suka memakai pakaian wanita untuk kesenangan atau kepuasan pribadi. Untuk orang-orang transeksual, hal itu bukanlah masalah seks, melainkan perjuangan melawan  perasaan ketika berada pada tubuh yang salah. Bagaimana seseorang  mengatasi hal itu? Semua tergantung orang itu sendiri. Ada yang memilih hidup sebagai wanita tanpa operasi, ada juga yang mengambil semua cara tanpa memedulikan rasa sakit untuk menjadi wanita.

Tak lama memang, Anne kemudian melakukan rekonstruksi total pada wajah. Hal itu dilakukannya agar tampak lebih feminin. Kim pun melakukan hal yang sama, termasuk pencangkokan buah dada, juga prosedur untuk mengurangi buah jakunnya. Jennifer dijadwalkan untuk melakukan operasi yang sangat penting, termasuk alat kelaminnya. Sebuah prosedur yang lebih baik, sudah dimulai beberapa abad lalu.

Ada beberapa aspek jika melakukan operasi. Pertama, mereka ingin vagina yang lebih baik. Kedua, menurut Gary Alter, MD, seorang dokter bedah plastik, mereka menginginkan sensasi sehingga dapat orgasme. Ketiga, tentunya mereka ingin terlihat lebih cantik luar dalam.

Sebelum seorang transeksual dibawa ke ruang operasi, ada tahapan penting yang harus diutamakan. Melihat kesehatan mental pasien. Psikiater Russel Reid dan Konselor Marie Keller dari LA-USA, bertanggung jawab untuk hal itu. Allexia sebagai salah satu pasien baru Dr. Reid yang ternyata baru belakangan ini dia hidup sebagai wanita. Begitu pula dengan Vanessa. Bahkan di kantornya, Vanessa masih sebagai seorang pria. Keduanya sama-sama melakukan langkah pertama menjadi seorang wanita.

Terapi hormon wanita akan menghasilkan sesuatu yang fantastis dan dramatis. Selama ini, testosteron selalu menggelora dalam tubuh Vanessa. Hal itu membuat dirinya semakin bernafsu. Akan tetapi, dia tidak menghendakinya. Dia tak menghendaki jenis kelamin itu. Hal itulah yang membuat dia sangat takut. Hormon wanita  yang disuntikkan ke dalam dirinya, membuatnya dapat meredam dan bisa mengendalikan diri. Sebenarnya, apa yang dialami Vanessa bukan semacam dorongan, lebih kepada perasaan atau emosi.

Sementara Allexia, buah dadanya semakin tumbuh dan dia merasa sangat emosional. Tetapi terkadang dia berkata, tidak terlalu emosional, justru membuat dirinya lebih tenang. Dia berpikir tak perlu lagi rasanya menyembunyikan sesuatu. Saat Allexia melihat foto dirinya dia berujar, “Ya, Tuhan, itu foto diriku tiga tahun lalu. Itu bukan saya, itu adalah saudara saya”. Allexia yang sudah menjadi wanita bertutur dengan lugu kepada saudara perempuannya. Rambut Allexia yang tumbuh tebal pun tak lepas dari komentarnya. Begitu pula jenggot yang memenuhi dagunya. Allexia berkata untuk dirinya sendiri, “Sekarang dia saudari saya”. Allexia sungguh beruntung, seluruh anggota keluarga mendukungnya. Bahkan, hubungannya dengan saudarinya seperti terlahir kembali. Hal itu terjadi sejak Allexia mulai hidup sebagai wanita.

Saat Allexia masih menjadi seorang pria, dan namanya masih sebagai Simon, dia seperti tak bersemangat. Dia seperti orang yang tidak bahagia dan jarang keluar rumah. Allexia jarang bersenang-senang. Hal itu yang terkadang menyulut kesedihannya. Dia merasa baik dan lega ketika dapat bercerita kepada seseorang. Karena sebelumnya, hanya dia yang tahu siapa dia sebenarnya.

“Untuk kebanyakan orang, saat mereka mulai merasakan hormon itu bekerja, mereka merasa akhirnya  telah berjalan di jalur yang benar. Mereka seperti mengalami kekurangan vitamin. Akan tetapi, akhirnya  mendapatkan vitamin yang mereka perlukan”, demikian Marie Keller menjelaskan kondisi transeksual.

Sebenarnya, efek hormon yang diberikan sangat dramatis, dalam arti dapat membuat impoten. Membuat tubuh mereka feminin dan buah dada tumbuh. Awalnya, membuat mereka sangat lembut dan menjengkelkan. Tetapi, setelah ada kemajuan pada perubahan tersebut, mereka mengetahui apakah berada di jalur yang tepat. Karena, jika mereka menyukai lelaki, maka mereka tak ingin impoten. Jika mereka manja, tentunya juga tak ingin impoten. Apalagi jika kita pria biasa, tentunya tak ingin buah dada membesar. Jadi, itulah yang dinamakan tes diagnostik.

Menurut Anne, saat bercermin dan memerhatikan perubahan tubuh, misalnya hormon yang bekerja, berkurangnya otot, dan lain-lainnya, di situ dia mulai merasa bebas. Akhirnya merasa seperti orang normal.

Jennifer menuturkan, dia mulai dengan estrogen dan akan mengalami beberapa suntikan. Semua dia lakukan selama tiga kali masa perawatan. Untuk selanjutnya, dia diberi penahan testosteron, dan bentuk tubuh mulai berubah. Itu sungguh luar biasa. Jennifer pun merasa bahagia. Dia merasa seperti Audrey Hepburn. Hidup berganti kelamin tanpa diketahui menjadi perhatian untuk banyak pelaku transeksual. Meski terapi hormon sangat penting, tetapi hormon tak menjamin setiap pelaku transeksual akan tampak seperti wanita. Satu konsep yang sudah diketahui.

Kim merasa senang seperti wanita. Teman-teman yang jujur kepadanya berkata, bahwa dia seperti pria yang mengenakan pakaian wanita. Sebagai seorang wanita transeksual, banyak yang harus dilakukan, selain sebagai wanita sungguhan. Karena mereka masih harus melakukan kebiasaan pria, seperti bercukur.

“Saya harus mencukur rambut tangan, lengan, dada, punggung, leher, dan kaki”, terang Vannesa tanpa malu-malu. Penampilan, tindakan, maupun cara berjalan, semua diubah menjadi feminin.
“Saya ingin merasa seperti wanita normal. Perlakukan saya seperti wanita biasa. Saya pun ingin orang-orang melihat saya seperti orang biasa. Satu-satunya cara untuk hal itu adalah menjadi wanita sepenuhnya. Semuanya termasuk yang nyata, pakaian dan gaya rambut hingga cara berjalan dan bicara. Misalnya, biarkan saya melakukan secara perlahan-lahan”, urai Anne panjang lebar.

Anne punya nada lebih dalam dan vokal yang kuat. Seperti saat sedang marah, mungkin kita bisa mendengarnya. Anne akan mengeluarkan suku kata sehingga kita dapat memahaminya. Anne belajar mengucapkan e-r-r-r-r-r dari bagian belakang tenggorokannya. Dia harus mengurangi gelombangnya. Lantas memperbanyak vokal dan mungkin sedikit menaikan titi nada.

Transeksual yang terlahir sebagai pria, menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk menjadi maskulin. Misalnya dengan masuk militer dan olahraga. Untuk mencari kejantanannya, biasanya Anne berolahraga hoki. Dari semua kata sifat yang dipakai untuk menggambarkan transeksual, kekerasan bukan hal pertama yang dipikirkan. Tetapi terjadi diskriminasi, bahkan berlanjut ke kekerasan. Kekerasan adalah pusat pertahanan hidup. Melalui proses itu terjadi keadaan yang tidak menyenangkan untuk orang lain.

Mereka proyeksikan gangguan itu terhadap orang yang  melakukan perubahan. Mereka berkata, “Jangan lakukan itu”. Maksud sesungguhnya adalah, “Jangan buat saya merasa tak nyaman”. Di permainan hoki, Anne dinilai kemampuannya bukan jenis kelaminnya. Dia pun berharap, begitu pula di tempat kerjanya, dan dia masih dikenal sebagai Dave.

Suatu hari Dave (Anne), mendatangi Joanne Massey-HRD kantornya. Lantas Dave bercerita bahwa dia memiliki kesalahan identitas jenis kelamin dan berpikir untuk mengubahnya. Untuk sebagian orang, ada masanya  mereka berubah dari Jack di hari Jumat, lalu Senin pagi menjadi Jill. Tidak untuk Anne, dia selalu menjadi Jill karena selalu mengenakan pakaian wanita. Tapi, ada saatnya memakai rok. Dave pergi di hari  Jumat sore dan datang di Senin pagi.

Kelly Hemphill sebagai wakil perusahaan untuk pekerja mengatakan, Dave memakai rok, kemeja, kaus kaki, sepatu hak tinggi,  dan menjadi Anne. Saat itu Dave pertama kalinya bekerja memakai rok. Tetapi, tak seorang pun yang merasa terganggu. Ketika Dave datang ke kantor, HRD-nya sedang menunduk, ketika  HRD-nya melihat, Dave berdiri dengan berpakaian setelan. HRD-nya tak begitu memerhatikan. Ketika Dave pergi, HRD-nya melihat Dave memakai setelah itu. Dave memakai rok, stocking, dan lain dari biasanya. HRD-nya benar-benar tak menduga. tetapi, lama-kelamaan orang-orang di kantor  dapat menerima sesuatu yang baru.

HRD-nya begitu khawatir, karena Dave belum dioperasi dan belum berubah sepenuhnya. Wakil pekerjanya melihat Dave juga was-was, karena masih melihatnya seperti pria. Juga cemas jika ada orang lain yang belum tahu latar belakangnya. Mungkin orang-orang akan tertawa dan memberi komentar. Wakil pekerjanya begitu iba melihat Dave.

Anne (Dave) mulai hidup sepenuhnya sebagai wanita sekitar 15 tahun silam. Hormon membuatnya lebih lembut, akan tetapi itu belum cukup. Dia tahu, untuk berubah seutuhnya dia perlu sesuatu yang luar biasa. Apa yang dilakukan Anne? Dia menuju San Fransisco untuk bertemu ahli bedah dengan keahlian khusus, perubahan wajah menjadi feminin. Dalam beberapa hari, wajah Anne akan secara permanen diubah tampak seperti wanita.
Hingga kini, Anne hanya berhubungan dengan Dr. Doug Ousterhout melalui telepon dan email foto wajahnya. Selanjutnya dilakukan persiapan secara detail. Sinar X dari wajahnya dibuat. Foto yang baru diambil, lantas Dr. Ousterhout menganalisis wajah yang akan diubah. Sebagian adalah matematis, sudut proyeksi dan bentuk rahang. Dengan kata lain, sebagian dari itu adalah bentuk artistik yang menjadikan rahang dan dagu indah pada wanita. Begitu pula dengan hidung dan kening.

Otak Transeksual
Di Amsterdam, penelitian otak transeksual menemukan sesuatu yang luar biasa. Dokter Louis Gooren, ahli endokrin yang tinggal di Amsterdam salah satu dokter peneliti. Hingga saat ini, beliau telah merawat sekitar 2.400 transeksual. Hal itu membuatnya semakin ahli di bidangnya. Transeksualisme dapat menyerang siapa saja.

Menurutnya, banyak orang hidup sebagai transeksual. Kita dapat menemukan transeksual di seluruh dunia. Penelitian untuk otak transeksual hampir tak mungkin dilakukan. Karena, banyak detail otak yang hanya dapat diketahui saat pembedahan. Dokter Gooren dan koleganya di Institut Otak Netherland telah melakukan langkah besar untuk penelitian itu. Pertama dan satu-satunya penelitian otak donor yang terserang transeksual telah dipotong. Penelitian tersebut dikomandoi Dokter Dick Swaab, seorang profesor neurobiologi. Dia perlu waktu 12 tahun untuk mengumpulkan delapan otak transeksual.

Para dokter mengetahui area otak yang menurut mereka dapat memberikan jawaban. Hipotalamus, penghasil hormon yang tersembunyi di dasar otak. Sebuah area yang diketahui oleh imuwan dapat membedakan perbedaan fisik antara pria dan wanita. Hipotalamus diiris dan disiapkan untuk riset. Ketua peneliti, Dr. Frank Krujiver menjelaskan, yang dilihat adalah hasil mikrotom, yaitu irisan tipis otak. Jika sudah disiapkan dalam film, irisan hipotalamus itu diberi larutan kimia, sehingga tampak serat neuron.

Sudah diketahui bahwa otak biologis antara pria dan wanita normal memiliki pola neuron yang berbeda di dalam otak. Kita dapat melihat perbedaan struktur otak yang terlahir sebagai pria dan wanita yang menentukan sikap seksualnya. Kita juga dapat melihat, struktur otak pria lebih besar dibanding wanita. Juga tampak jelas titik-titik hitam. Itu adalah serat otak lain yang penting untuk sikap seksual. Pertanyaannya adalah, bagaimana otak transeksual dibedakan dengan otak pria normal dan wanita normal?

Jawabannya ada pada satu-satunya bukti yang mengonfimasi otak transeksual. Otak mereka tidak seperti yang lainnya. Ada gambaran otak yang terlahir sebagai pria, ketika usia 5 atau 8 tahun, dia merasa bahwa dirinya seorang wanita. Jadi, itu adalah transeksual dari pria menjadi wanita. Kita juga  dapat melihat ukuran dan jenisnya, sejenis dengan wanita, bukan pria. Semua otak transeksual yang pernah dipelajari mirip dengan lawan jenis saat mereka lahir. Banyak pertanyaan mendasar yang belum terjawab. Misalnya, efek apa yang dimiliki hormon wanita pada otak? Hal yang menarik, salah satu otak transeksual yang terlahir sebagai pria dan pernah dipelajari tak pernah dipersoalkan pada hormon wanita. Dan masih menunjukkan karakteristik feminin. Hal itu yang menunjukkan, bahwa hormon bukan penyebab perbedaan otak.

Contoh dari delapan otak belum seberapa. Tetapi konsistensi dari hasil temuannya tetap menantang para ilmuwan. Mereka yang tak yakin dan skeptis lebih menyukai informasi tentang penyebab kondisi itu. Tetapi, untuk orang seperti Kim, penyebabnya tidaklah begitu penting dibanding efek yang menyerangnya. Dia ingin menikah dan orang-orang sulit menerimanya. Seperti penyanyi Rock sekelas Billy Idol yang ingin menjadi wanita. Hal itu dapat merusak hubungannya. Setelah empat kali menikah dan memiliki empat anak. Kim menyadari tak mungkin hidup dengan keadaan begitu. Dia mulai melakukan transisi itu. Sebuah proses yang meresahkan istrinya, Nancy. Ken menjadi aneh dengan pakaian dan kebiasaan anehnya. Nancy, istri Kim berkata, “Saya merasa, dia (Kim) sedang salah jalan”. Nancy menemukan solusi berbeda setelah mempelajari kondisinya.

Seperti Hidup dalam Penyamaran
Seorang transeksusal seperti Silvy, terkadang merasa kalau identitas dirinya seperti terpinggirkan. Hingga harus menjalani hidup “dalam penyamaran”.

“Saya sering merasa sedih jika orang memandang kami ini sebagai bentuk penyimpangan. Atau ada juga yang berpendapat jika keberadaan kami melawan kodrat. Tetapi, saya tak merasa menyimpang, kok. Sejak lahir kami memang begini dan kami memang ada. Saya akhirnya berani menerima kondisi ini sambil berharap kelak bisa mengubah diri menjadi perempuan, seperti Mba Dorce”, kata Silvy yang merasa naluri keibuannya sering kali timbul kalau melihat bayi mungil.

Selama ini, gender dan identitas diri seseorang memang dikaitkan dengan jenis kelaminnya. Meski menurut sosiolog dan pakar ilmu antropologi Kessler dan McKeena, dalam Gender: An Ethnomethodology Approach (1978), identitas jenis kelamin sebenarnya  lebih pantas kalau dikaitkan dengan perasaan mendalam batin seseorang, yang membuatnya merasa sebagai laki-laki atau perempuan. Identitas seksual seharusnya merupakan varian yang mandiri terhadap bentuk seksual secara fisik, karena jenis kelamin jiwa itu mulai tertanam di usia dua tahun. Meski baru mulai disadari dengan kuat menjelang remaja.

Maccoby, E. dan Jacklin, C. dalam  The Psychology of Sex Differences (Stanford University Press, 1974, hlm 136) menyebutkan, bahwa mayoritas warga di dunia memiliki jenis seksual yang sesuai dengan jenis kelamin fisiknya. Namun, memang ada insan transgender atau  transeksual dengan sex identity atau jenis kelamin jiwa, yang berbeda dari jenis seksual tubuhnya. Mereka tergolong dalam male-to-female transsexual (MFT), yaitu transeksual dari laki-laki ke perempuan. Pada seorang yang bertubuh lelaki tetapi merasa dirinya perempuan, seperti Silvy. Begitu juga  sebaliknya, female-to-male transsexual (FMT), yaitu transeksual dari perempuan ke lelaki.

Sebelum jenis kelamin jiwa para insan transeksual dipahami secara lebih arif, banyak orang menganggap, para transeksual sebagai orang yang abnormal sehingga perlu disembuhkan dengan beragam terapi, termasuk kejutan listrik. Namun, setelah disadari bahwa identitas seksual mereka lebih kuat daripada bentuk kelamin fisiknya, timbul pandangan yang lebih toleran pada upaya mereka untuk menemukan identitas seksual yang dianggap ideal, termasuk dengan melakukan perubahan identitas secara fisik. Misalnya, melakukan operasi kelamin seperti yang banyak dilakukan transeksual lainnya.

“Sebenarnya, apakah yang menyebabkan semua ini terjadi, Silvy?”, begitu tanya saya sok filosofis. Silvy mereguk habis kaleng minumannya. Bincang kami sore itu di salah satu kafe yang cukup tenang, terletak di hotel antik kawasan atas kota Semarang.
“Apakah mungkin kehidupan yang berjalan salah ya? Entahlah. Kami, sepertinya memang terlambat menyadari, bahwa kami terlahir begini. Kemudian orang memandang kami aneh. Tetapi, untuk sementara kami akhirnya menerima, sambil menunggu kesempatan untuk mengubah diri. Kadang saya berpikir, bahwa saya ini seekor ulat jelek yang menanti waktu untuk bermetamorfosis menjadi kupu-kupu cantik”, ucapnya agak melankolis.

Secara ilmiah, menurut Maccoby dan Jacklin, penyebab transeksual masih belum bisa ditentukan secara pasti. Sebagian menduga, proses yang menjadi penyebab terciptanya manusia transgender masih belum diketahui secara jelas. Selama ini diduga disebabkan pengaruh hormon dalam kandungan. Seperti, kekurangan testosteron pada janin dengan kelamin fisik laki-laki, dapat menyebabkan bayi memiliki “jiwa” perempuan. Sebaliknya, kelebihan testosteron pada janin bayi kelamin perempuan dapat menyebabkan memiliki “jiwa” lelaki. Tetapi, penyebab sebenarnya dari hal itu hingga sekarang masih jadi misteri.

“Aku sendiri sudah lama menabung. Nanti aku akan ke Singapura untuk menjadi wanita super seksi, pasti kamu heboh melihatnya. Tunggu saja nanti”, kata Silvy memecah keheningan. “Apa tidak bisa operasi kelamin di Indonesia?” ucap saya padanya. “Ngga aah… daripada hasilnya tidak memuaskan. Di sana kan lebih mulus dan aman. Asal saya bisa menjadi perempuan, biaya berapapun  tidak masalah. Ibaratnya, buat apa seseorang, katakanlah kaya dan ternama, jika tidak bisa menjadi diri sendiri. Ya kan?”

Silvy sendiri berasal dari kota Medan. Dia yang alumnus Fakultas di  Universitas Sumatera Utara itu sebenarnya punya satu usaha garmen di sana. Dia ke Semarang  untuk mengurus bisnis sambil menjenguk sang kekasih, juga lelaki cantik yang pernah saya lihat tampil sebagai model pria dalam satu peragaan busana. Obrolan kami ini terjadi tanpa sepengetahuan sang kekasih.

Jadi Perempuan, Selanjutnya?
“Aku ingin menikmati hidup sepenuhnya sebagai perempuan. Menikah, punya anak, meski bukan anak kandung. Pokoknya, menjadi istri dan ibu yang baik. Di samping itu, aku ingin berjuang membantu para transeksual lainnya, agar mereka dapat kehidupan yang layak. Agar tidak dicibirkan masyarakat lainnya. Paling tidak, identitas kami sebagai transeksual dapat diterima. Biar bagaimanapun juga kami ini kan memang ada”, urai Silvy panjang lebar.

Silvy benar, karena sebagian besar para transeksual masih belum juga bisa diterima lingkungannya, bahkan keluarganya sendiri. Mereka terpaksa memilih satu di antara dua pilihan yang sama pahitnya, yaitu terbuang dari lingkungannya atau berpura-pura menutupi jati dirinya. Jutaan para transeksual ibaratnya masih hidup dalam lorong kegelapan, menunggu kapan sinar terang akan muncul. Padahal, sebenarnya merela hanyalah orang yang berbeda pada identitas seksualnya saja.

Jika mereka terbantu untuk menemukan identitas seksualnya, mungkin mereka bisa lebih mengoptimalkan kiprah hidupnya. Tak saja demi kebahagiaan diri sendiri, tetapi juga menebar amal membantu sesama. Seperti yang terjadi pada artis Dorce Gamalama.

Tidak Lagi Terpinggirkan
Salah satu cendekiawan muda sekaligus Doktor alumnus Filsafat Universitas Gajah Mada, Dr. Saifur Rohman, S.S., M.Hum., berpendapat bahwa, keberadaan kaum transgender tak bisa diabaikan begitu saja. Perkembangan zaman membuat kita semakin terbuka terhadap realitas kehidupan baru, yang dapat membawa ke arah pemahaman yang sebelumnya tidak terpikirkan. “kini, di era millennium baru, wacana terhadap hak asasi dan keberagaman tak saja semakin terbuka, tetapi juga semakin tersebar luas. Berkat era baru penyebaran informasi dari ranah sibernetika. Orang semakin memahami problematika yang dihadapi kaum transgender. Oleh karenanya, mereka yang berada di lingkungan keagamaan pun mulai dapat menerima mereka sebagai pribadi yang unik”, ucap Saifur yang juga dikenal sebagai budayawan muda dan penulis novel.

Transgender merupakan satu istilah, secara menyeluruh  digunakan untuk satu bentuk pribadi, perilaku, atau kelompok yang cenderung menyimpang dari peran gender yang selama ini dianggap normal, yaitu peran gender  sebagai lelaki dan perempuan. Secara garis besar, istilah transgender mengacu pada kondisi tempat identitas gender  seseorang yang secara genetis, baik lelaki maupun  perempuan tidak lagi dianggap cocok dengan identitas kejiwaan yang dirasakan. Transgender juga dipandang tidak menyiratkan bentuk seksualitas seseorang secara khusus. Karena itu, transgender juga bisa terjadi pada mereka yang terlahir sebagai heteroseksual (lelaki atau perempuan yang berminat pada lawan jenisnya), homoseksual (lelaki atau perempuan yang tertarik pada sesama jenisnya), biseksual (orang yang tertarik secara seksual baik terhadap lawan jenis maupun sesama jenisnya), yang merasa tak lagi sepadan dengan orientasi seksual yang sedang terjadi dengan dirinya saat ini. Menurut kamus Oxford English Dictionary (2004) disebutkan, transgender adalah sesuatu hal, berhubungan atau mengacu pada seseorang yang tak sepakat dengan identitas seksualnya secara fisik sebagai lelaki atau perempuan, dan berminat untuk bergeser pada salah satu identitas yang didambakannya.

Vivi Sylviana (63 tahun) yang tergolong trangender senior kota Semarang menuturkan, transgender di Indonesia sudah ada sejak zaman dulu kala, seperti tampak pada salah satu tokoh wayang kulit yang disebut Kenyawandu, yaitu sosok perempuan yang bersikap seperti laki-laki. Namun, menurut Sylvi, fenomena transgender di Indonesia mulai menyeruak di era 70-an, saat Gubernur Jakarta, ketika itu Ali Sadikin, mencoba mengangkat harkat waria. Dia memberikan tempat untuk berekspresi di arena Jakarta Fair dengan menyelenggarakan pemilihan Ratu Waria. Hal itu berdampak positif untuk kehidupan para waria. Karena untuk menunjukkan ekspresi mereka tak lagi mejeng di jalanan, yang justru menimbulkan cemoohan dari masyarakat. Apalagi, lantas beragam kelab malam yang ada mulai membuka pintu untuk para waria menunjukkan bakatnya sebagai penyanyi dan penari.

“Di era inilah mulai terbentuk berbagai komunitas waria di Indonesia. Komunitas yang tak saja mewadahi para waria dalam satu paguyuban, tapi juga mencoba untuk menyalurkan ekspresi mereka di bidang kecantikan dan kesenian. Sejak saat itu, kaum transgender mulai tampil ke kancah masyarakat sebagai ahli kecantikan dan artis di bidang tari atau nyanyi”, urai Sylvi yang kini terkenal sebagai perias pengantin dan ahli kecantikan andal.

 Sebenarnya, satu pribadi transgender bisa saja menunjukkan sifat normal saat bergaul dengan orang lain. Tetap eksis  pula dengan keberadaan identitas seksual yang diinginkannya. Hal itu sebagaimana dijelaskan Lynne Layton dalam  In Defense of Gender Ambiguity yang termuat dalam jurnal Gender & Psychoanalysis. (I, 1996).

“Orang biasanya menentukan jenis gender seseorang ketika dia dilahirkan, berdasarkan jenis kelamin yang bersangkutan. Untuk kaum transgender, penjelasan seperti ini tak berlaku bagi mereka, karena  mereka merasa tidak sepadan dengan identitas seksual  secara fisik, sehingga menolak identitas gender berdasarkan identitas lahirnya (non-identification). Atau tidak memperlihatkan identitas fisik sesuai bentuk kelahiran (non-presentation)”, begitu penjelasan Layton.  

Istilah Transgender dan Perkembangannya
Istilah transgender mulai tenar di dunia internasional sekitar tahun 1970-an. Dalam Konferensi Internasional Gender Dysphoria yang ke-8 di Manchester, Inggris. Pada 2007, lebih diperjelas, istilah ini menggambarkan operasi kelamin. Pada 1980-an, istilah transgender mengembang sebagai istilah keren yang menyatukan semua jenis identitas gender dari semua orang yang tak merasa tepat dengan identitas kelahiran mereka. Menginjak era 1990-an, istilah transgender, bahkan mulai memasuki ranah politik sebagai aliansi yang mencakup semua hal berkaitan penyatuan pendapat untuk mempertanyakan keabsahan norma gender laki-laki dan perempuan, yang selama ini dirasa tidak tepat dan dipaksakan terhadap mereka. Itu termasuk menuntut persamaan hak dan berlakunya norma kehidupan yang tidak diskriminatif untuk mereka di depan hukum.

Pada 2003, NCTE (National Center for Transgender Equality), sebuah  organisasi  transgender internasional yang dibentuk di Inggris, misalnya, mengeluarkan pernyataan bahwa mereka bersatu sebagai kekompok yang memperjuangkan keadilan sosial untuk mengakhiri kekerasan dan diskriminasi terhadap kaum transgender. Mereka menyelenggarakan pendidikan, pemberdayaan, serta advokasi terhadap para insan transgender melalui berbagai isu yang dianggap penting. Langkah-langkah seperti itu terus berkembang hingga sekarang.

Meski terkadang dianggap mencakup pengertian yang sama, ternyata istilah transgender punya makna berbeda dengan istilah transeksual. Hal itu dijelaskan oleh Harry Benjamin dalam bukunya, The Transexual Phenomenon  (New  York: Julian Press, tth (?)). Istilah transgender adalah penyebutan yang sopan bagi identitas kaum homoseksual, baik mereka terlahir dalam jenis kelamin laki-laki, namun punya jiwa perempuan (gay), atau mereka yang terlahir dengan kelamin perempuan tetapi punya jiwa lelaki (lesbian), yang sebelumnya dianggap sebagai penyebutan melecehkan.

Sementara, istilah transeksual lebih ditujukan pada kaum mereka yang dalam hidup sehari-hari tampil dengan bentuk dan perilaku seksual seperti yang diinginkan. Misalnya, seorang lelaki berpenampilan dengan busana perempuan atau sebaliknya, seorang perempuan dengan penampilan yang tomboy dan bersikap layaknya lelaki.

Tentang sikap dan perilaku transeksual ini, Benjamin membaginya dalam beberapa skala tingkatan. Oleh para praktisi psikologi sering disebut “skala Benjamin” (Benjamin scale), antara lain ‘skala transeksual ringan’ (Transsexual Nonsurgical), mereka hanya sesekali tampil dengan busana lawan jenisnya. Level kedua, disebut sebagai transeksual murni (True Transsexual-Moderate Intensity), yaitu mereka yang sehari-harinya tampil dalam pakaian lawan jenisnya dan bersikap sebagai pribadi lawan jenis yang diidamkan. Ketiga, transeksual tingkat tinggi (Transsexual High Intensity). Dalam tahapan ini insan yang bersangkutan memutuskan untuk meraih identitas seksual yang diinginkan secara total. Misal dengan melakukan operasi kelamin seperti yang terjadi pada artis Dorce Gamalama dan beberapa lainnya.

Memang, tak semua insan transgender melakukan tindakan transeksual. Tetapi, penelitian yang dilakukan Dr. Harry Benjamin di AS menyebutkan, bahwa sebagian besar kaum transgender berhasrat untuk melakukan operasi kelamin. Meski pada praktiknya, hal itu tak dapat dilakukan begitu saja. Itu dikarenakan menuntut adanya beberapa persyaratan, seperti pemeriksaan kadar estrogen atau hormon testosteron yang menentukan keberhasilan operasi kelamin sebagai proses peralihan identitas seksual ideal. Salah satu artis beken kita yang memang berhasil menjalani operasi kelamin adalah Dorce. Dia menuturkan, proses rumit  yang harus dijalani saat memutuskan untuk mengganti kelamin.

Ketika mendatangi ruang praktik dr. Djohansyah Marzuki, SpBP (dokter ahli bedah kenamaan  di Surabaya), Dorce sempat mengira, bahwa proses  operasi kelamin tidak terlalu sulit. Ternyata, dia harus menjalani berbagai pemeriksaan medis dan psikis yang panjang dan melelahkan. Di samping itu, ada surat rekomendasi dari Dinas Kesehatan dan surat rujukan dari dokter yang bersangkutan. Karena, dalam proses operasi kelamin itu terdiri atas berbagai bidang disiplin ilmu yang melibatkan para ahli, seperti ahli bedah, andrologi, urologi, dan tentu saja ahli psikologi. Dorce menuturkan, bahwa dia harus menjalani serangkaian pemeriksaan medis selama empat bulan, sebelum layak menjalani operasi kelamin yang mengubah dirinya menjadi seorang perempuan.

Keberagaman dan Berkah Kehidupan
Vivi Sylviana mengakui, jika tadinya dia merasa minder dan kecil hati karena merasa tersisihkan oleh masyarakat yang tak memberi peluang bagi kaum transgender. “Ah, waria, apa sih yang bisa mereka lakukan, paling berdandan, dan sebagai perempuan, lalu ngamen di pinggir jalan. Cemoohan itu saya dengar sendiri. Tetapi, biarlah semua itu menjadi pemicu bagi kami untuk terus berjuang, mengaktualisasikan diri agar bisa menegakkan harkat para insan sambil menyebutkan sejumlah nama transgender yang sudah berganti kelamin dan sukses dalam karier dan profesi mereka.


Pilihan hidup yang memang mereka pilih
Foto: Dok. http://firsttoknow.com/wp-content/uploads/2015/10/transgender-wife.jpg
Di antara sekian banyak nama transgender Indonesia, baik yang belum maupun yang sudah melakukan operasi transeksual, mencuat beberapa nama beken, seperti Chenny Han. Reputasinya untuk kecantikan sudah go international, Corrie Kawilarang, yang dikenal sebagai hair dresser ternama. Di bidang akademik, ada Dede Oetomo, di bidang musik dan film  ada Dorce Gamalama. Sementara itu, kalau kita melihat di negara tetangga, Thailand, menyeruak satu nama Thai That yang kini menjelma menjadi penyanyi pop cukup beken dan membintangi beberapa judul film.  

Bagi feminis tenar, Janice Raymond contohnya, berpendapat bahwa, identitas transgender sebaiknya dipandang sebagai keberagaman dalam kemanusiaan kita. Dalam bukunya berjudul The Transexual Empire (Woman’s Press, London, 1990) beliau menyebutkan, keberadaan kaum transgender menjadi fakta, bahwa secara alami memang ada jenis seksualitas seperti itu. Meski mereka berada dalam kondisi minoritas dalam dominasi gender heteroseksual lelaki dan perempuan. Kemampuan yang ditunjukkan oleh insan transgender yang sudah sukses menjalani kehidupan transeksual, baik dalam bidang ekonomi, kesenian, atau berbagai bidang profesi lainnya, telah menunjukkan, bahwa pendapat kalangan yang selama ini bersikap kolot dan tak menerima kehadiran kaum transgender, untuk lebih memahami fenomena ini sebagai berkah kehidupan dari Tuhan Yang Maha Esa, sudah menciptakan kaum transgender di muka bumi.

Sesungguhnya--sejak zaman dahulu--eksistensi kaum transgender secara tradisional sudah diakui masyarakat di berbagai belahan dunia. Di Thailand dan Laos contohnya, ada kaum transgender yang disebut Kathoey. Di India terdapat kaum Hijra. Bahkan diakui sebagai kaum dengan identitas gender ketiga. Begitu pula di Iran, Jepang, Nepal, berbagai wilayah lain, dan tentu saja Indonesia. Antropolog S. Graham, dalam bukunya berjudul Priest and Gender in South Sulawesi, Indonesia (Transgender Asia Research Centre, 2007) menyebutkan, di antara lima suku Bugis, Sulawesi Selatan, terdapat setidaknya lima identitas gender. Di antara para lelaki (Oroane), dan perempuan (Makunrai)…, ada juga yang disebut  sebagai Calalai (perempuan maskulin), Calabai (Lelaki feminin), dan Bissu (rohaniawan, representatif gender kelima). Keberagaman itu indah. Bagaimana menurut Anda?