Kemacetan Jakarta di jam-jam padat kendaraan [Foto: Dok www.quora.com] |
Transportasi, telah menjadi bagian penting dari perkembangan satu kota, apalagi kota metropolitan Jakarta, yang masyarakat menyebutnya dengan ‘Megapolitan’. Jakarta yang semakin maju dan berkembang, baik secara luas maupun kepadatan kota, membuat warga maupun pendatang di Jakarta perlu moda transportasi dan tempat tinggal layak huni untuk menghindari kemacetan.
Moda
transportasi publik yang saat ini sedang giat dikerjakan dan dibangun
pemerintah berupa moda transportasi angkutan umum Mass Rapid Transit (MRT) atau Transportasi Massal Cepat dan Light Rail Transit (LRT) atau Kereta
Cepat Ringan.
Dua
moda transportasi publik kontemporer ini menjadi penting sebagai bagian dari
upaya pemerintah mengatasi kemacetan yang sudah menjadi aktivitas sehari-hari
di ibukota. Diharapkan, dengan hadirnya MRT dan LRT, kemacetan dapat terurai
dan jam-jam kerja menjadi semakin produktif ketimbang sekadar dihabiskan di
jalan raya.
Untuk
banyak pemerintah di dunia, transportasi menjadi bagian tak terpisahkan dalam
kehidupan perkotaan. Masyarakat urban perlu fasilitas untuk beragam aktivitas,
seperti akses cepat ke tempat kerja, ruang huni nyaman dan bebas macet, atau tempat
tinggal (pemukiman) layak dan nyaman. Terpenting lagi urusan transportasi yang
cepat, lancar, serta nyaman untuk tiba di tempat kerja.
Untuk
pemerintah sendiri, khususnya DKI Jakarta, urusan transportasi publik jadi hal
yang sangat mendesak segera diselesaikan, mengingat dampak yang dibawa serta
menyangkut banyak aspek kehidupan warga. Transportasi yang jelek menyebabkan
munculnya banyak keluhan untuk ibukota Jakarta ini. Hal ini dapat pula memberi
efek negatif terhadap kehidupan warganya.
Jakarta
menjadi tempat untuk segala rupa urusan. Terlepas dari citra Jakarta yang macet
dan semrawut, Jakarta tetap menjadi kota
impian bagi warga negeri ini. Jakarta seperti kantung madu yang dikerubuti
jutaan semut, yang untuk itu mereka mesti saling menggigit dan menginjak.
Kedudukan
Jakarta sebagai ibukota negara, pusat pemerintahan sejak zaman kolonial,
bertambah-tambah urusan menjadi berkelindan dengan posisi Jakarta sebagai
sentra ekonomi (bisnis) dunia. Sekitar 70% uang beredar di wilayah Jakarta,
kegiatan budaya urban dan tradisional dari beragam komunitas yang mendekam di
Jakarta dan sekitarnya.
Membongkar
soal transportasi di negeri ini menjadi kajian dengan masalah yang begitu
dinamis. Penduduk mesti tahu secara “njelimet” transportasi dengan sudut
pandang bening, dan tidak menjerit, “Maceet!” Sulitnya birokrasi dan tetek
bengek urusannya! Siapa tahu, publik juga bisa kritis, cerdas, dan memberi
serta menciptakan satu solusi terkait hal transportasi.
Ketika
kita bicara transportasi di negeri ini, menjadi satu masalah yang benar-benar
begitu dinamis dan membuat pikiran “gatal bergerak”. Masalah ini begitu
lekatnya di kehidupan kita sehari-hari juga merata tersebar. Artinya, saya,
kita, dan siapapun akan merasa “merana”, “kecewa”, bahkan “sengsara”. Dari
sinilah, BPTJ (Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek) punya peran besar dan
aktif membuat data terhadap masalah, mencari solusi, dan mengikutsertakan
masyarakat, khususnya generasi muda sekarang, juga para blogger untuk bersama berpikir.
Pada
Senin (16/04/2018) BPTJ bersama Blogger bicara soal transportasi publik yang
perlahan-lahan mulai ditinggalkan. Orang lebih memilih menggunakan kendaraan
pribadi. Padahal, kalau dihitung-hitung, kendaraan pribadi justru memberikan
kontribusi macet yang lumayan panjang. Bayangkan saja, satu kendaraan mobil
tiap hari di Jakarta hanya digunakan oleh satu orang. Apakah ini tidak akan
menambah deret panjang kemacetan?
Padahal
pihak swasta sudah menyediakan transportasi publik yang bisa dipakai warga
Jakarta untuk melaju ke kantornya masing-masing. Gengsi? Gerah? Bau?
Keringatan? Ah, ini sih hanya alasan klise saja menurut saya. Kini, pun kalau
mau dilihat, transportasi publik sudah nyaman.
Pengalaman
pribadi saya menggunakan kereta ekonomi untuk mencapai tempat tujuan. Dari
rumah ke stasiun saya menggunakan motor dan kendaraan saya itu “numpang” parkir
di stasiun yang hanya bayar 5 ribu rupiah saja. Lantas saya sambung dengan
kereta ekonomi. Kereta ekonomi sekarang sudah sangat jauh berbeda. Di dalam
kereta bersih, wangi, dan ber-AC lagi.
Tidak ada
yang namanya pedagang asongan, ayam, kambing, “bengkel” sepeda hadir di dalamnya. Jauuuh sangat rapi dan tertib. Nah,
mestinya masyarakat kita sudah pintar untuk memilih menghindari macet di jalanan agar tak
terlambat sampai tujuan.
Kini
pun banyak dibangun strata title mengusung konsep TOD yang dekat langsung
dengan jalur transportasi publik. Memang membangun kesadaran berkendara dari
diri sendiri minimal. Minimal, penggunaan transportasi publik dapat ‘sedikit’
memberi solusi macet yang sudah ampun-ampunan di ibukota ini.
Di
kesempatan itu pula, Kepala BPTJ, Bambang Prihartono menyampaikan, aturan
ganjil genap yang diberlakukan di jalanan ibukota bukan untuk memilih atau
memisahkan kendaraan yang melintas. Justru, pemerintah mencari solusi yang
tepat. Sama halnya dengan kemacetan yang dialami di tol Jakarta-Cikampek.
Pemberlakuan
ganjil genap ini tak pilih kasih. “Baik, truk, mobil pribadi, ataupun
proyek-proyek yang sedang dibangun, semua menyebabkan macet”, ucap Bambang
ketika bertemu dengan para Blogger (16/04).
Beberapa
kebijakan BPTJ mengatasi kemacetan jalan Tol Jakarta-Cikampek dibuat dalam tiga
aturan. Pertama, adanya pembatasan operasional angkutan yang dimulai pukul 6-9
pagi di beberapa ruas jalan (Cawang-Karawang Barat (dua arah)). Ini diterapkan
di hari Senin-Jumat, kecuali libur nasional dan mobil angkutan BBM dan BBG.
Kedua,
peraturan ganjil genap di tol Bekasi Timur & Bekasi Barat sebelum masuk tol
menuju Jakarta. Diberlakukan mulai pukul 6-9 pagi WIB di hari Senin-Jumat,
kecuali libur nasional. Ketiga, dengan aturan ini, diharapkan warga tidak
banyak menggunakan angkutan pribadinya melintas tol.
BPTJ
membuat lajur yang dikhususkan untuk Angkutan Umum (LKAU) di sisi paling kiri
jalan tol. Lajur itu diutamakan untuk angkutan umum bus. Prioritas KLAU Bekasi
Timur arah Jakarta danBus
Transjabodetabek Premium pukul 6-9 pagi WIB di hari Senin-Jumat, kecuali di
libur nasional.
Upaya-upaya
BPTJ untuk mengurangi kemacetan mestinya didukung masyarakat pengguna moda
transportasi pribadi beralih ke moda transportasi umum.
“Mindset
birokratnya juga perlu diubah, bahwa yang merasakan macet berkepanjangan itu
warganya”, ucap Bambang.
Sebenarnya,
dari sejak dulu Kementerian Perhubungan sudah mengeluarkan kebijakan dan
berupaya mengurai benang kusut macet ibukota, akan tetapi tranportasinya justru
tidak ada perkembangan. Kehadiran BPTJ membawa perubahan baru mengantisipasi
macet di beberapa ruas jalan ibukota.
Hal ini
tak lain adalah masyarakat yang terus menerus diedukasi dan mengerti bahwa
penggunaaan kendaraan pribadi bukan mustahil tidak berdampak di jalan raya.
Tetapi menjadi penyumbang macet yang tidak terelakan. Kehadiran BPTJ menjadi
salah satu solusi yang tepat mengurai
macet, warga memperoleh edukasi yang baik dan benar, dan warga pun mau beralih
ke moda transportasi publik.
Edukasi
memindahkan orang yang tadinya kukuh menggunakan kendaraan pribadi, lantas
beralih ke transportasi publik itu bukan instant hadir. Edukasi yang memang
perlu effort dan berkepanjangan. Mindset warga diubah perlahan-lahan, bagaimana
mereka “ikhlas/rela/rida”, jalan kaki
pindah bus hingga sampai kantor.
Bayangkan
saja, kalau kita menggunakan transportasi umum, itu negara sudah menghemat
sekitar 145 triliun rupiah untuk operasional, bbm, dan tetek bengek lainnya. Dana
sebesar itu bisa saja dialihfungsikan untuk memperbaiki dan memperlebar ruas
jalan. Ya, bicara segampang membalikkan telapak tangan. Tetapi, BPTJ
perlahan-lahan berhasil membuktikannya.
Ucapan
petinggi BPTJ ini benar dilakukan lho ternyata. Secara tak sengaja, ketika saya
akan pulang dan keluar dari parkir, saya melihat Pak Toni Tauladan, menunggu
angkutan umum. Nah, yang seperti ini menjadi contoh untuk pejabat/petinggi
lainnya di BPTJ. Pak Toni Tauladan pun
bilang, Perpindahan itu perlu waktu. Setuju pak!
Karena
pergerakan orang di Jabodetabek yang per harinya mencapai angka 48 juta, BPTJ
pun saat ini sedang mempersiapkan RITJ. Sekitar 60%-nya akan didominasi oleh
angkutan umum. Itu artinya, warga bisa mengakses kendaraan umum yang nyaman
dilengkapi AC untuk sampai ke tempat tujuan tanpa susah-susah.
Sebenarnyalah,
pemerintah dalam hal ini BPTJ sudah sangat berusaha mengatasi macet dengan
segala bentuk perlakuan, kesadaran masyarakatlah yang diperlukan. Beralih ke
moda transportasi umum itu jauh lebih baik dan menekan pengeluaran biaya.
Satu
hal juga yang tak bisa dipungkiri adalah perubahan tata ruang otomatis membuat
fasilitas transportasi berubah. Moda transportasi umum sudah harus menjadi
kelas premium yang dilengkapi Wi-Fi, Seatbelt, dan kendaraan berangkat dari
pemukiman warga. Jadi, ayuuk ramai-ramai
kita naik angkutan umum.