Wednesday, April 18, 2018

Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ): Perlahan Tapi Pasti Mengurai Kemacetan, Pindah ke Angkutan Umum, Mengapa Tidak?!


 
Kemacetan Jakarta di jam-jam padat kendaraan [Foto: Dok www.quora.com]

Transportasi, telah menjadi bagian penting dari perkembangan satu kota, apalagi kota metropolitan Jakarta,  yang masyarakat menyebutnya dengan ‘Megapolitan’. Jakarta yang semakin maju dan berkembang, baik secara luas maupun kepadatan kota, membuat warga maupun pendatang di Jakarta perlu moda transportasi dan tempat tinggal layak huni untuk menghindari kemacetan.

Moda transportasi publik yang saat ini sedang giat dikerjakan dan dibangun pemerintah berupa moda transportasi angkutan umum Mass Rapid Transit (MRT) atau Transportasi Massal Cepat dan Light Rail Transit (LRT) atau Kereta Cepat Ringan.

Dua moda transportasi publik kontemporer ini menjadi penting sebagai bagian dari upaya pemerintah mengatasi kemacetan yang sudah menjadi aktivitas sehari-hari di ibukota. Diharapkan, dengan hadirnya MRT dan LRT, kemacetan dapat terurai dan jam-jam kerja menjadi semakin produktif ketimbang sekadar dihabiskan di jalan raya.

Untuk banyak pemerintah di dunia, transportasi menjadi bagian tak terpisahkan dalam kehidupan perkotaan. Masyarakat urban perlu fasilitas untuk beragam aktivitas, seperti akses cepat ke tempat kerja, ruang huni nyaman dan bebas macet, atau tempat tinggal (pemukiman) layak dan nyaman. Terpenting lagi urusan transportasi yang cepat, lancar, serta nyaman untuk tiba di tempat kerja.

Untuk pemerintah sendiri, khususnya DKI Jakarta, urusan transportasi publik jadi hal yang sangat mendesak segera diselesaikan, mengingat dampak yang dibawa serta menyangkut banyak aspek kehidupan warga. Transportasi yang jelek menyebabkan munculnya banyak keluhan untuk ibukota Jakarta ini. Hal ini dapat pula memberi efek negatif terhadap kehidupan warganya. 

Jakarta menjadi tempat untuk segala rupa urusan. Terlepas dari citra Jakarta yang macet dan semrawut, Jakarta tetap menjadi  kota impian bagi warga negeri ini. Jakarta seperti kantung madu yang dikerubuti jutaan semut, yang untuk itu mereka mesti saling menggigit dan menginjak.

Kedudukan Jakarta sebagai ibukota negara, pusat pemerintahan sejak zaman kolonial, bertambah-tambah urusan menjadi berkelindan dengan posisi Jakarta sebagai sentra ekonomi (bisnis) dunia. Sekitar 70% uang beredar di wilayah Jakarta, kegiatan budaya urban dan tradisional dari beragam komunitas yang mendekam di Jakarta dan sekitarnya.

Membongkar soal transportasi di negeri ini menjadi kajian dengan masalah yang begitu dinamis. Penduduk mesti tahu secara “njelimet” transportasi dengan sudut pandang bening, dan tidak menjerit, “Maceet!” Sulitnya birokrasi dan tetek bengek urusannya! Siapa tahu, publik juga bisa kritis, cerdas, dan memberi serta menciptakan satu solusi terkait hal transportasi.

Ketika kita bicara transportasi di negeri ini, menjadi satu masalah yang benar-benar begitu dinamis dan membuat pikiran “gatal bergerak”. Masalah ini begitu lekatnya di kehidupan kita sehari-hari juga merata tersebar. Artinya, saya, kita, dan siapapun akan merasa “merana”, “kecewa”, bahkan “sengsara”. Dari sinilah, BPTJ (Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek) punya peran besar dan aktif membuat data terhadap masalah, mencari solusi, dan mengikutsertakan masyarakat, khususnya generasi muda sekarang, juga para blogger untuk  bersama berpikir.
Rekan-rekan Blogger bersama BPTJ [Foto: Dok Pri]
Pada Senin (16/04/2018) BPTJ bersama Blogger bicara soal transportasi publik yang perlahan-lahan mulai ditinggalkan. Orang lebih memilih menggunakan kendaraan pribadi. Padahal, kalau dihitung-hitung, kendaraan pribadi justru memberikan kontribusi macet yang lumayan panjang. Bayangkan saja, satu kendaraan mobil tiap hari di Jakarta hanya digunakan oleh satu orang. Apakah ini tidak akan menambah deret panjang kemacetan?

Padahal pihak swasta sudah menyediakan transportasi publik yang bisa dipakai warga Jakarta untuk melaju ke kantornya masing-masing. Gengsi? Gerah? Bau? Keringatan? Ah, ini sih hanya alasan klise saja menurut saya. Kini, pun kalau mau dilihat, transportasi publik sudah nyaman.

Pengalaman pribadi saya menggunakan kereta ekonomi untuk mencapai tempat tujuan. Dari rumah ke stasiun saya menggunakan motor dan kendaraan saya itu “numpang” parkir di stasiun yang hanya bayar 5 ribu rupiah saja. Lantas saya sambung dengan kereta ekonomi. Kereta ekonomi sekarang sudah sangat jauh berbeda. Di dalam kereta bersih, wangi, dan ber-AC lagi.

Tidak ada yang namanya pedagang asongan, ayam, kambing, “bengkel” sepeda hadir di  dalamnya. Jauuuh sangat rapi dan tertib. Nah, mestinya masyarakat kita sudah pintar untuk memilih  menghindari macet di jalanan agar tak terlambat sampai tujuan. 
Kini pun banyak dibangun strata title mengusung konsep TOD yang dekat langsung dengan jalur transportasi publik. Memang membangun kesadaran berkendara dari diri sendiri minimal. Minimal, penggunaan transportasi publik dapat ‘sedikit’ memberi solusi macet yang sudah ampun-ampunan di ibukota ini.
Kepala Badan BPTJ, Bambang Prihartono [Foto: Dok www.kompas.com]
Di kesempatan itu pula, Kepala BPTJ, Bambang Prihartono menyampaikan, aturan ganjil genap yang diberlakukan di jalanan ibukota bukan untuk memilih atau memisahkan kendaraan yang melintas. Justru, pemerintah mencari solusi yang tepat. Sama halnya dengan kemacetan yang dialami di tol Jakarta-Cikampek.

Pemberlakuan ganjil genap ini tak pilih kasih. “Baik, truk, mobil pribadi, ataupun proyek-proyek yang sedang dibangun, semua menyebabkan macet”, ucap Bambang ketika bertemu dengan para Blogger (16/04).

Beberapa kebijakan BPTJ mengatasi kemacetan jalan Tol Jakarta-Cikampek dibuat dalam tiga aturan. Pertama, adanya pembatasan operasional angkutan yang dimulai pukul 6-9 pagi di beberapa ruas jalan (Cawang-Karawang Barat (dua arah)). Ini diterapkan di hari Senin-Jumat, kecuali libur nasional dan mobil angkutan BBM dan BBG.

Kedua, peraturan ganjil genap di tol Bekasi Timur & Bekasi Barat sebelum masuk tol menuju Jakarta. Diberlakukan mulai pukul 6-9 pagi WIB di hari Senin-Jumat, kecuali libur nasional. Ketiga, dengan aturan ini, diharapkan warga tidak banyak menggunakan angkutan pribadinya melintas tol. 
Hananto Prakoso-BPTJ [Foto: Dok Pri]
BPTJ membuat lajur yang dikhususkan untuk Angkutan Umum (LKAU) di sisi paling kiri jalan tol. Lajur itu diutamakan untuk angkutan umum bus. Prioritas KLAU Bekasi Timur  arah Jakarta danBus Transjabodetabek Premium pukul 6-9 pagi WIB di hari Senin-Jumat, kecuali di libur nasional.

Upaya-upaya BPTJ untuk mengurangi kemacetan mestinya didukung masyarakat pengguna moda transportasi pribadi beralih ke moda transportasi umum.
“Mindset birokratnya juga perlu diubah, bahwa yang merasakan macet berkepanjangan itu warganya”, ucap Bambang.

Sebenarnya, dari sejak dulu Kementerian Perhubungan sudah mengeluarkan kebijakan dan berupaya mengurai benang kusut macet ibukota, akan tetapi tranportasinya justru tidak ada perkembangan. Kehadiran BPTJ membawa perubahan baru mengantisipasi macet di beberapa ruas jalan ibukota.

Hal ini tak lain adalah masyarakat yang terus menerus diedukasi dan mengerti bahwa penggunaaan kendaraan pribadi bukan mustahil tidak berdampak di jalan raya. Tetapi menjadi penyumbang macet yang tidak terelakan. Kehadiran BPTJ menjadi salah satu solusi  yang tepat mengurai macet, warga memperoleh edukasi yang baik dan benar, dan warga pun mau beralih ke moda transportasi publik.

Edukasi memindahkan orang yang tadinya kukuh menggunakan kendaraan pribadi, lantas beralih ke transportasi publik  itu  bukan instant hadir. Edukasi yang memang perlu effort dan berkepanjangan. Mindset warga diubah perlahan-lahan, bagaimana mereka “ikhlas/rela/rida”, jalan kaki  pindah bus hingga sampai kantor.

Bayangkan saja, kalau kita menggunakan transportasi umum, itu negara sudah menghemat sekitar 145 triliun rupiah untuk operasional, bbm, dan tetek bengek lainnya. Dana sebesar itu bisa saja dialihfungsikan untuk memperbaiki dan memperlebar ruas jalan. Ya, bicara segampang membalikkan telapak tangan. Tetapi, BPTJ perlahan-lahan berhasil membuktikannya.
Toni Tauladan-BPTJ [Foto: Dok Pri]
Ucapan petinggi BPTJ ini benar dilakukan lho ternyata. Secara tak sengaja, ketika saya akan pulang dan keluar dari parkir, saya melihat Pak Toni Tauladan, menunggu angkutan umum. Nah, yang seperti ini menjadi contoh untuk pejabat/petinggi lainnya di BPTJ.  Pak Toni Tauladan pun bilang, Perpindahan itu perlu waktu. Setuju pak!

Karena pergerakan orang di Jabodetabek yang per harinya mencapai angka 48 juta, BPTJ pun saat ini sedang mempersiapkan RITJ. Sekitar 60%-nya akan didominasi oleh angkutan umum. Itu artinya, warga bisa mengakses kendaraan umum yang nyaman dilengkapi AC untuk sampai ke tempat tujuan tanpa susah-susah.

Sebenarnyalah, pemerintah dalam hal ini BPTJ sudah sangat berusaha mengatasi macet dengan segala bentuk perlakuan, kesadaran masyarakatlah yang diperlukan. Beralih ke moda transportasi umum itu jauh lebih baik dan menekan pengeluaran biaya. 

Satu hal juga yang tak bisa dipungkiri adalah perubahan tata ruang otomatis membuat fasilitas transportasi berubah. Moda transportasi umum sudah harus menjadi kelas premium yang dilengkapi Wi-Fi, Seatbelt, dan kendaraan berangkat dari pemukiman warga.  Jadi, ayuuk ramai-ramai kita naik angkutan umum.