Sunday, July 23, 2017

Jaminan Perlindungan Anak: Belajar dari Raju


“Pada anak-anak terletak masa depan kita semua”
--Bertrand Russel--

Setiap anak yang dilahirkan ke dunia dalam keadaan suci. Karenanya, orang tua dan lingkungan tempat tinggalnyalah yang akan membentuk watak atau karakaternya.
Apakah karakter yang terbentuk itu baik atau buruk, tergantung bagaimana cara orang tua mendidik dan di mana lingkungan  tempat mereka tinggal.


Indahnya dunia kami
Foto: Dok. https://www.morleylibrary.org/images/morley/children/kids.png
Anak sebagai satu kepercayaan yang diberikan Sang Khalik kepada orang tua. Oleh karena itu, jangan pernah  sia-siakan mereka. Mereka merupakan generasi penerus bangsa. Apa artinya, jika generasi penerus bangsa ini punya dekadensi moral dan akhlak. Itu menjadi indikator akan rusak dan hancurnya tatanan sebuah bangsa.

Anak menjadi topik hangat yang tak akan habis diperbincangkan dan menjadi isu penting dalam negara, masyarakat, dan  keluarga. Negara, sebagai tempat bernaung warga negaranya harus memberikan jaminan perlindungan kepada anak-anak masa depan bangsa ini. Jika kita melihat kasus yang menimpa salah satu anak di Langkat, Sumatera Utara bernama Raju.

Raju
Foto: Dok. http://cdn0-a.production.images.static6.com/
Dapat dijadikan pembelajaran berharga. Apakah layak anak di usia 8 tahun yang masih perlu bimbingan orang tua, dalam masa pertumbuhan dan terus berkembang hidup di balik hotel prodeo dan dihadapkan pada pengadilan? Raju bukan satu-satunya kasus yang mencuat di negara ini. Ada lebih dari 4.000-an anak Indonesia yang dimajukan ke meja hijau atas dasar tuduhan kejahatan ringan seperti pencurian menurut laporan yang dibuat Steven Allen 2003.

Kenyataan memperlihatkan, permasalahan anak sangat menyentuh hati dan membuat miris. Bahkan, telah jauh melewati batas. Anak-anak yang seharusnya mendapat perlindungan secara kuat, dipelihara, dididik, dan dibina malah dijadikan objek-objek yang sangat menyayat hati, bahkan menjurus kepada perbuatan tercela. Contoh mudah, anak dijadikan sebagai pelaku tindak kejahatan sosial dan tindak kejahatan seksual.

Hidup dan besar di jalan, meminta-minta. Miris!
Foto: Dok. http://3.bp.blogspot.com/-FLUwfCaguvc/
Untuk masalah tindak kejahatan sosial, anak dijadikan sebagai subjek terhadap penjualan barang-barang haram, seperti obat-obatan terlarang, pil ekstasi, film porno, pencopet, pengamen  yang diorganisir, perampas, yang hasilnya diserahkan kepada bandar. Ditindak kejahatan seksual, anak dijadikan sebagai “barang dagangan” sindikat penjualan anak, baik antardaerah, antarnegara, bahkan lintas benua. Anak dijadikan pemuas nafsu orang dewasa. Juga sebagai objek kelainan seksual penyuka sesama (homo). Bahkan, anak tiri dan anak kandung sekalipun digagahi orang tuanya sendiri.

Melihat fenomena yang ada, seperti di Aceh dan daerah-daerah konflik lainnya, anak tinggal di barak-barak pengungsian dengan tidak menikmati indahnya masa kecil. Tanpa menikmati pendidikan yang layak untuk masa depan karena sekolah-sekolah mereka diberangus,  dan tanpa rumah ketenangan. Hal ini yang menghiasi hampir setiap hari  laman  online (daring-red) dan media cetak negeri ini.

Mana program pembangunan yang didengungkan mampu menyentuh kehidupan mereka? Akibatnya, permasalahan ini tidak kunjung selesai. Justru makin berkepanjangan.  Oleh karena itu, bentukan karakter dan moral dari peran besar orang tua sangat menentukan terhadap keberlangusungan sang anak. Selain itu, masyarakat dan negara punya andil dalam memberikan perlindungan kepada mereka, karena sesuai dengan kewajiban yang telah dibebankan kepada hukum.  Negara menyediakan fasilitas dan beragam keperluan lain untuk anak-anak generasi penerus masa depan ini demi  menjamin pertumbuhan dan perkembangan mereka secara maksimal dan lebih berada dalam  relnya.

Anak-anak yang hadir di dunia ini sudah seharusnya diberi  bimbingan, pendidikan, dan pembinaan. Hal itu diperuntukkan agar mereka tumbuh dan terus berkembang sebagai anak yang sehat, normal, dan cerdas. Anak sebagai pewaris tahta negara, masyarakat, dan keluarga.  Terkadang, mereka mengalami masa-masa sulit dan  bertindak brutal melanggar hukum. Akan tetapi, meskipun mereka melanggar hukum, bukan berarti lantas dihukum, diperparah lagi dimasukkan ke dalam penjara.

Mereka, secara umum tidak mendapat dukungan dari Dinas Sosial dan pengacara. Tak heranlah apabila dari sekian banyak anak-anak tersebut dijebloskan  ke dalam penjara. Melihat masalah paling besar anak-anak yang dihadapkan pada perkara hukum karena Undang-Undang  No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak sudah tidak relevan, baik dari sisi yuridis, filosofis, dan sosiologis. Undang-undang tersebut tidak memberikan jawaban tepat terhadap penanganan anak sebagai anak yang berhadapan dengan hukum.

Anak dengan Konflik  Hukum dan Penjara
Anak yang punya masalah terhadap hukum diarahkan dan diselesaikan ke pengadilan, akibatnya anak mendapat tekanan mental  dan psikologis terhadap anak yang punya konflik dengan hukum itu akan mengganggu tumbuh kembang si anak. Proses yang dilakukan seperti ini justru memunculkan masalah, karena mereka harus diselesaikan secara hukum. Padahal, kenyataan yang terjadi tidak jarang anak-anak yang bermasalah dengan hukum itu tadi disatukan dengan orang dewasa, seperti dalam penjara yang berbaur dengan orang dewasa.

Pantaskah mereka dibuat begini?
Foto: Dok. http://www.wupr.org/wp-content/uploads/2014/10/kids-in-jail.jpg
Betapa penting peran dan kedudukan anak untuk bangsa ini. Karena itu, kita harus bersikap responsif dan progresif dalam menata peraturan perundang-undangan yang berlaku. Apabila kita melihat pengertian anak, kita akan bernapas lega karena sudah dipahami  secara komprehensif.

Dalam konstitusi negara ini, anak punya peran strategis yang secara tegas disebutkan bahwa negara menjamin hak setiap anak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta perlindungan dari kekerasan dan  diskriminasi. Hal-hal terpenting bagi anak sudah sepatutnya dihayati sebagai  kepentingan terbaik bagi kelangsungan hidup umat manusia.  Konsekuensi dari ketentuan pasal 28B UUD 1945 perlu ditindaklanjuti dengan membuat kebijakan pemerintah y ang bertujuan  melindungi anak.

Anak-anak negeri ini sudah sepantasnya mendapat perlindungan dari dampak negatif perkembangan pembangunan yang cepat, globalisasi yang semakin menggerus di ranah komunikasi dan  informasi, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan perubahan gaya dan cara hidup sebagian orang  tua yang telah membawa kepada perubahan sosial sangat mendasar dalam kehidupan bermasyarakat yang sangat punya pengaruh terhadap nilai dan perilaku anak.

Penyimpangan atau pelanggaran hukum yang dilakukan oleh anak karena faktor-faktor di luar anak itu sendiri. Menurut Dirjen Pemasyarakatan, bahwa tingkat kriminalitas serta pengaruh negatif penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat aditif  lainnya semakin meningkat tajam. Hal ini harus segera dicegah untuk kemajuan dan masa depan mereka. Sejak dini, penanaman nilai-nilai moral dan agama perlu ditekankan secara tegas.

Prinsip perlindungan hukun kepada anak harus sesuai dengan Konvensi Hak Anak-Anak (Convention on the Right of the Child) yang sudah diratifikasi oleh pemerintah RI melalui Kepres Nomor 36 Tahun 1990 Tentang Pengesahan Convention on the Right of the Child. Jika menelaah UU Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, hal itu dimaksudkan untuk melindungi dan mengayomi anak yang bermasalah atau berhadapan dengan  hukum, agar anak-anak dapat menyongsong masa depan yang masih panjang dan memberi mereka kesempatan untuk dibina menjadi manusia yang punya jati diri, bertanggung jawab, dan berguna bagi diri sendiri, keluarga, masyarakat, dan negara. Akan tetapi, dalam pelaksanaannya, anak menjadi objek dan diperlakukan cenderung dirugikan.

Sistem penjara yang sangat menekankan pada unsur balas dendam dan penjeraan yang disertai dengan lembaga  “Rumah Penjara” secara perlahan-lahan dianggap dan dipandang sebagai sistem dan sarana yang tidak lagi sejalan dengan konsep rehabilitasi dan reintegrasi sosial. Agar narapidana menyadari kesalahannya, tidak lagi berkeinginan untuk melakukan tindak pidana dan kembali menjadi warga negara yang bertanggung jawab.

Kepedulian terhadap persoalan anak mulai ada sejak 1920-an setelah Perang Dunia I. Dalam perang itu, pihak yang paling menderita adalah anak dan kaum perempuan. Setelah perang, anak-anak dan perempuan mendapati kenyataan pahit, suami, ayah mereka terluka bahkan meninggal dunia. Perempuan menjadi janda, dan anak-anak menjadi yatim-piatu. Oleh karenanya, anak-anak kehilangan sosok yang dapat dijadikan panutan, contoh, dan imam keluarga sekaligus sosok yang mampu melindungi keluarga dari segala bentuk bahaya.

Salah seorang perempuan aktivis Eglantyne Jebb lantas mengembangkan butir-butir tentang hak anak pada 1923 yang diadopsi menjadi Save the Children Fund International Union. Isinya antara lain:

1.    Anak harus dilindungi di luar dari segala pertimbangan ras, kebangsaan, dan kepercayaan.
2.    Anak harus dipelihara dengan tetap menghargai keutuhan keluarga.
3.    Anak harus disediakan sarana yang diperlukan untuk perkembangan secara normal, baik material, moral, dan spiritual.
4.    Anak yang lapar harus diberi makan, anak yang sakit harus dirawat, anak cacat mental atau cacat tubuh harus dididik, anak yatim piatu dan anak terlantar diurus/diberi pemahaman.
5.    Anaklah yang pertama-tama mendapat bantuan atau pertolongan pada saat terjadi kesengsaraan.
6.    Anak harus menikmati dan sepenuhnya mendapat manfaat dari program kesejahteraan dan jaminan sosial, mendapat pelatihan agar pada saat diperlukan nanti dapat dipergunakan untuk mencari nafkah, serta harus mendapat perlindungan dari segala bentuk eksploitasi.
7.    Anak harus diasuh dan dididik dengan suatu pemahaman bahwa bakatnya dibutuhkan untuk pengabdian kepada sesama umat.

Beragam tuntutan yang meminta agar ada perhatian khusus pada anak, membuahkan hasil dengan memasukkan hak-hak anak dalam Piagam Deklarasi  Universal Hak Asasi Manusia pada 10 Desember 1948.

Berikut, 31 hak anak dalam konvensi hak anak:

1.    Hak untuk kelangsungan hidup dan berkembang.
2.    Hak mendapatkan nama.
3.    Hak mendapatkan kewarganeragaan.
4.    Hak untuk mendapatkan identitas.
5.    Hak untuk mendapatkan standar hidup yang layak.
6.    Hak untuk mendapatkanstandar kesehatan yang paling tinggi.
7.    Hak untuk mendapatkan perlindungan khusus dalam konflik bersenjata.
8.    Hak untuk mendapatkan perlindungan khsuus jika mengalami konflik hukum.
9.    Hak untuk mendapatkan perlindungan khusus jika  mengalami eksploitasi sebagai pekerja anak.
10. Hak untuk mendapatkan perlindunga nkhusus jika mengalami eksploitasi penyalahgunaan obat-obatan.
11. Hak untuk mendapatkan perlindungan hukum jika mengalamai eksploitasi seksual dan penyalahgunaan seksual.
12. Hak untuk mendapatkan perlindungan khusus dari penculikan, penjualan, dan perdagangan anak-anak.
13. Hak untuk mendapatkan perlindungan khusus jika mengalami eksploitasi sebagai anggota kelompok minoritas atau masyarakat adat.
14. Hak utnuk hidup dengan orang tua.
15. Hak untuk tetap berhubungan dengan orang tua bila dipisahkan dengan salah satu orang tua.
16. Hak untuk mendapatkan pelatihan keterampilan.
17. Hak untuk berekreasi.
18. Hak untuk bermain.
19. Hak untuk berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan seni dan budaya.
20. Hak untuk mendapatkan perlindungan khusus dalam situasi yang genting.
21. Hak untuk mendapatkan perlindungan khusus sebagai pengungsi.
22. Hak untuk bebas beragama.
23. Hak untuk bebas berserikat.
24. Hak untuk bebas berkumpul secara damai.
25. Hak untuk mendapatkan informasi dari berbagai sumber.
26. Hak untuk mendapakan perlindunga pribadi.
27. Hak untuk mendapatkan perlindungan dari siksaan.
28. Hak untuk mendapatkan perlindungan dari perlakuan kejam, hukuman, dan perlakuan tidak manusiawi.
29. Hak untuk mendapatkan perlindungan dari penangkapan yang sewenang-wenang.
30. Hak untuk mendapatkan perlindungan dari perampasan kebebasan.
31. Hak untuk mendapatkan pendidikan dasar secara cuma-cuma.

Eksistensi yang Diingkari
Kita tak bisa mengingkari kenyataan bahwa anak jalanan sebagai kenyataan sosial yang tak menyenangkan. Tak heran kalau eksistensinya dari waktu ke waktu terus diingkari. Hal itu terbukti, ketika Soeharto masih sebagai Presiden dalam upacara hari Anak Nasional 1997, menyatakan, “Perlu dijelaskan, bahwa budaya kita di desa-desa kan banyak anak dididik untuk terbiasa membantu orang tua. Karena mereka mengabdi kepada orang tua. Oleh karena itu, saya menegaskan, bahwa di Indonesia tidak ada child labour (Pos Kota, 8 Maret 1997).

Pekerjaan mereka rentan dengan kejahatan seksual
Foto: Dok. http://volunteersummernepal.org/wp-content/uploads/2011/12/street-children.jpg
Akan tetapi, Organisasi Buruh Sedunia (ILO) melaporkan, ada lebih dari 300 juta anak-anak berusia 5 hingga 15 tahun yang harus bekerja dalam kondisi membahayakan dirinya. Dari jumlah itu, 140 juta di antaranya bekerja secara penuh dan 130 juta bekerja paruh waktu. Sebagian besar, sekitar 63% atau mencapai angka 153 juta berada di wilayah Asia. Sementara itu, di Afrika ada sekitar 32% atau sekitar 17,5 juta berada di wilayah Amerika Latin.

Di Indonesia sendiri, menurut catatan UNICEF, ada sekitar 2,4 juta pekerja anak, di antaranya terdiri dari 1,2 juta anak laki-laki dan 871 anak perempuan. Mereka berada dalam usia 10—14 tahun. Sementara itu, Bank Dunia  memberikan angka yang tidak lebih tinggi, yaitu 2,3 hingga 2,9 juta jiwa. Ini berarti ada satu dari setiap sepuluh anak di negeri ini yang mengalami nasib malang menjadi gelandangan. Dalam laporan tersebut juga dipaparkan, bahwa antara tahun 1986 hingga 2004 jumlah anak yang bekerja di sektor perkotaan telah meningkat tiga kali lipat. Mereka tersebar dalam berbagai kegiatan seperti menjadi buruh, pelacur, anak jalanan, dan pembantu rumah tangga.

Semangat Dek!
Foto: Dok. http://media2.intoday.in/indiatoday/images/stories/street-children-9
Pada 29 Januari 1990 pemerintah Indonesia sudah menandatangani pengesahan konvensi tentang Hak-Hak Anak di New York, AS. Peristiwa itu merupakan landasan dan cermin dari sikap pemerintah yang terbuka terhadap pembinaan kesejahteraan anak, termasuk perlindungan terhadap hak-hak mereka.

Pemerintah Indonesia sendiri sebenarnya telah memiliki perangkat hukum yang berfungsi untuk melindungi hak-hak anak, seperti UU Kesejahteraan Anak No. 4/1997 dan UU Perkawinan No, 1/1974 atau seperti yang tercantum dalam UUD 45 pasal 34. Disebutkan bahwa orang miskin dan anak-anak telantar dipelihara oleh negara. Karena itu, bolehlah kita semua mempertanyakan sejauh mana pelaksanaan undang-undang ini.

Lingkungan yang membahayakan kehidupan mereka
Foto: Dok. http://www.daily-sun.com/assets/archive/images/print-edition/
Jika masalah anak jalanan dianggap sebagai “luka”, maka sebaiknya segera diobati bahkan disembuhkan. Bukan ditutup-tutupi atau dengan tindakan sekilas, menjaring mereka dengan beragam operasi penertiban atas nama “Keindahan kota”, dan “ketertiban masyarakat”. Luka anak jalanan sebenarnya luka kita juga. Akankah mereka tetap dipandang sebagai anak haram yang disingkirkan dari “beranda rumah kita” untuk menutupi aib pemerintah dan masyarakat yang tak mampu membereskan masalah ini?

Selamat Hari Anak Nasional 2017. Teruslah melakukan yang terbaik untuk bangsamu, berkreasilah dengan penuh kebebasan dan bertanggung jawab. Jadilah anak-anak Indonesia yang mampu berinteraksi satu  sama lain dalam kebaikan dan wujudkan bahwa kalian adalah anak-anak Indonesia yang kreatif. 

Sehat, tumbuh, dan berkembang terus ya anak-anak bapak dan ibu.#Bighug#