Friday, July 21, 2017

Perjalanan Liku-Liku Itu Bernama...


Menarik memang bagaimana melihat keberhasilan orang-orang yang mampu menaklukan masalah yang dihadapi. Sementara, sebagian orang terhantam masalah bahkan hambatan besar tetapi tak pernah tembus untuk diselesaikan. Orang-orang yang mampu menaklukan hambatan mereka melihat tantangan itu untuk dipeluk, diberi kemesraan, bahkan kecupan kasih sayang. Ujung-ujungnya berakhir dengan kebahagiaan.


Belantara Hutan Sumatera-Provinsi Jambi
Foto: Dok. https://www.bfn.de
Rasa percaya diri dari seseorang dalam menghadapi kesulitan, setidaknya didorong oleh kemampuan untuk melepaskan hal-hal negatif yang menahan.  Belajar dari Martin Seligman, di University of Pennsylvania yang memelajari fenomena “tantangan menjadi keberhasilan” bahwa sebenarnya ada secuil keberanian yang ingin diberikan tatkala tantangan itu menghadang. Kesuksesan seseorang dari satu tantangan hidup didorong oleh satu perbedaan penting.

Apakah kita yakin bahwa kegagalan kita diberikan karena defisit pribadi  yang ada di luar kendali diri kita? Atau kegagalan adalah kesalahan kita yang bisa diperbaiki dengan susah payah. Sebenarnya, kesuksesan tidak satu-satunya ditentukan oleh pola pikir kita. Artinya apa, sebagaimana yang Seligman temukan, bahwa depresi yang orang-orang alami membawa dampak terhadap kegagalan seseorang. Mestinya, sesuatu yang menantang dalam hidup itu dilakukan dengan penuh optimis.

Untuk saya, kegagalan itu tantangan yang saya perlakukan sebagai pengalaman belajar dan percaya bahwa orang-orang yang pernah mengalami tantangan terbesar dalam hidupnya, berupa kegagalan, jika mereka tak depresi akan dapat melakukan sesuatu hal yang jauh lebih baik di masa depan. Hal-hal yang paling menantang untuk dilakukan dan sukses, itu perlu kecerdasan emosional. Tak mengandalkan emosi semata, bahkan kegilaan membabi buta tanpa memperhitungkan segala sesuatunya.

Mempertahankan pola pikir sukses tidaklah mudah. Terkadang orang lain menilai dari usia seseorang. Ketika itu saya belum genap 23 tahun lulus kuliah. Banyak proyek yang saya ikuti bersama beberapa dosen yang saya kenal, baik di lingkungan kampus sendiri, maupun di luar lingkungan kampus saya.

Satu ketika, salah seorang dosen Taksonomi Tumbuhan Vaskular saya, masih ingat saya namanya, Drs. Amril Djalil, menawari saya untuk ikut proyek di Kementerian Kesehatan, khususnya untuk tumbuhan obat di hutan Sumatera. Tanpa ba-bi-bu, saya terima tawaran itu. Lumayan  banget ditawari proyek pada 1998 itu.

Jalanan logging seperti ini yang saya lalui untuk menembus hutan Sumatera
Foto: Dok. https://www.orangutan.org.au
Padahal, di tahun itu saya sedang gencar-gencarnya untuk sidang skripsi. Tetapi, demi proyek yang entah kapan lagi saya bisa mencacah hutan belantara Sumatera, saya ikuti. Pundi-pundi kantong saya “menggunung” hanya dalam hitungan hari. Lumayan, saya bisa beli peralatan gunung (hiking) yang saya idam-idamkan,  sepatu gunung, dan lainnya. Selain itu, yang pada waktu itu teman-teman gencar pakai celana dan baju lapangan, saya pun berhasil mendapatkannya.

Apalagi, uang saku yang… wiiih bisa buat hidup satu tahun saya selama ngekos. Rezeki anak saleh, hahahaha (setelah Alhamdulillah). Nah, sebelumnya juga saya tak membayangkan bisa masuk istana negara ketemu Presiden B.J. Habibie, salaman dan foto bersama. Indah banget dunia rasanya (syukur Alhamdulillah lagi).

Bertemu, juga ngobrol dan salaman langsung dengan Menteri Kesehatan saat itu, Bapak Farid Anfasa Moeloek, Menteri BKKBN (namanya saat itu, Bpk.Haryono Suyono), dan Menteri Kesejahteraan Rakyat (Akbar Tandjung). Bincang sana-sini, akhirnya dilepaslah Tim Ekspedisi Biota Medika yang terdiri dari UI, IPB, LIPI Bogor, dan Balai Tanaman Obat dan Konservasi Provinsi. Jawa Timur oleh Presiden B.J. Habibie.

Tim di bagi jadi dua bagian, ada yang menyisir wilayak Provinsi Riau untuk menggali potensi tanaman obat bersama Suku Talang Mamak dan Melayu Tradisional. Dan Tim yang meneliti tanaman obat di Provinsi Jambi bersama Suku Anak Dalam. Pucuk dicinta ulam tiba namanya. Saya dapat di tanah kelahiran saya kembali. Ini menjadi The first experience masuk hutan Sumatera, khususnya Jambi yang seumur-umur tinggal di Jambi, baru kali itu saya jamahi. Lebih kurang 15 hari saya bersama tim melacak keberadaan  tanaman obat.

Menyusuri lembah dan bukit, mengikuti perjalanan arus sungai yang lumayan deras. Haus di tengah jalan, minum langsung dari aliran sungai. Rasa airnya manis. Mencoba makan buah-buahan hutan. Indikatornya adalah burung dan monyet. Kalau burung dan monyet makan buah atau umbi-umbian hutan tidak mati, artinya itu buah dan umbi tidak mengandung racun. Banyak buah-buahan hutan yang berjatuhan sehabis dimakan burung dan monyet, seperti rambutan hutan, duku, juga beberap buah-buahan lainnya.

Aliran sungai seperti inilah yang menghilangkan dahaga saya di jalan
Foto: Dok. http://4.bp.blogspot.com/
Sempat mata saya tertuju oleh salah satu pohon dengan buah yang merah merona agak besar seperti buah pepaya. Saya mau beranjak ke tempat tumbuhnya pohon itu. Tetapi, sang penguasa hutan (Temenggung Tarib) nama salah satu Temenggung Suku Anak Dalam mencegah saya. “Jangan pergi ke pohon itu, Pak Jun, itu berbahaya”, cegah beliau.

Saya masih terheran-heran saja mendengar cegahan beliau. “Berbahaya apanya”, pikir saya. Tidak ada hewan yang membahayakan, tidak pula bersarang Tawon Gong yang bergerombol kalau mengantup lumayan bisa bikin kepala atau badan benjol-benjol alias bengkak, ujung-ujung deman. Setelah selidik punya selidik, itu pohon yang mau saya dekati ternyata pohon Rengas. Kalau tahu bahaya pohon rengas, hadeeeh… bergidik. Alhamdulillah masih terselamatkan.

Di sudung (pondok) dari plastik hitam inilah mereka tinggal
Foto: Dok. https://www.riauheadline.com
Perjalanan saya dan tim masih terus berlanjut, hingga berhenti pada satu tempat yang sejuk di tengah hutan.  Di depan sudung (bahasa Suku Anak Dalam = tenda) yang terbuat dari plastik hitam lebar itu, membentang sungai yang airnya jernih dan dingin. Ikan-ikan pun tampak jelas. Nama daerahnya Pasir Putih. Di tempat ini, beberapa Suku Anak Dalam terlihat hanya mengenakan cawat terbuat dari kain yang dililit dengan cara mereka, agar kemaluannya tak terlihat. Itu untuk yang laki-laki. Sementara itu, untuk yang perempuan dan belum menikah, mereka menggunakan kain panjang hingga menutup batas bagian dada mereka. Berbeda halnya dengan perempuan yang sudah menikah. Mereka menggunakan kain hanya sebatas pinggang.

Di sini saya belajar banyak budaya, bahasa, dan adat istiadat mereka. Saya dan tim berhenti sekitar dua malam untuk meriset tanaman obat yang dipakai penduduk SAD (Suku Anak Dalam). Ini nyata dan saya alami sendiri apa yang saya ceritakan. Mungkin, selama perjalanan panas dan dingin menerpa tubuh, tubuh bagian belakang (punggung) saya perih, gatal, panas, dan terkelupas. Kulit punggung seperti melepuh.

Karena tak tahan dengan panas, perih, dan gatal  yang menghinggap di tubuh saya itu, saya ceritakan ke salah satu Temenggung, Bapak Temenggung Tarib namanya. Selain sebagai Temenggung, beliau juga sebagai “tabibnya” SAD. Saya bilang ke beliau bahwa punggung saya perih, panas, dan gatal-gatal, kulitnya terkelupas.  

Saya diminta duduk membelakangi beliau dan diminta menyingkapkan baju saya hingga batas leher. Entah rapal/mantera apa yang dibaca, beliau usapkan telapak tangan kanannya ke punggung saya. Sebelumnya, Temenggung mengambil  dua lembar daun yang dalam bahasa setempat disebut benang setolu.

Benang setolu ini bentuknya sebagai tumbuhan merambat yang mirip daun sirih tetapi lebih kecil. Di bagian punggung daun ada bulu-bulu halus dan terasa dingin jika diusapkan ke bagian tubuh. Nah, daun benang setolu itu Temenggung usap-usapkan di seluruh punggung saya dengan gerakan dari atas ke bawah.

Lima belas menit ke depan, baju saya pakai kembali. Saya pun melanjutkan perjalanan untuk mencari tanaman obat bersama tim lagi. Entah kenapa, selama perjalanan yang biasanya gatal, perih, dan panas, tak terasa sama sekali. Saya buktikan sendiri penghilang rasa sakit itu bernama tumbuhan obat benang setolu.

Hmm… selama mengikuti perjalanan ekspedisi biota medika 1998 itu, terus terang, tiga hari perut saya masih belum bisa beradaptasi dengan “dulur-dulur” dan “sanak” kita tersebut. Tiga hari makanan yang dimakan keluar lagi. Ya, seumur-umur baru kali itu melihat dan bergaul langsung dengan “Sanak’, sapaan akrab dan sopan untuk mereka.

Pantas saja ya kenapa teman-teman satu tim membawa berslot-slot rokok dan permen. Ahaaa… saya tahu akhirnya. Ya,  SAD paling suka yang namanya rokok dan “kukulum” (kukulum  = permen untuk bahasa sehari-hari kita). Rokok, sebagai pengusir serangga, ngengat, dan sebagainya. Sementara, kukulum itu sebagai “camilan” mereka.

Melihat kehidupan mereka rasanya trenyuh. Mereka benar-benar arif dan bijaksana mengelola hutan. Mengambil seperlunya dengan menjaga tumbuhan dan hewan yang mereka ambil agar tidak punah. Menebang pohon pun mereka pilih-pilih mana yang benar-benar bisa ditebang. Menelisik kehidupan mereka rata-rata berkebun dengan berpindah-pindah. (Ini bisa jadi bahasan menarik yang Insya Allah akan saya tuliskan panjang dalam blog saya).

Perjalanan ekspedisi itu berakhir tepat di hari ke-15. Semua sampel tumbuhan dalam bentuk herbarium sudah saya keringkan tinggal proses identifikasi begitu sampai di Jakarta. Beberapa tumbuhan yang saya kenal langsung saya beri label dan nama lokal tumbuhan setempat, serta nama latin. Perjalanan ini memberi arti yang sangat besar dalam kehidupan saya.

Saya pikir, ini adalah tantangan besar yang dapat saya taklukan dan berhasil. Berhasilnya seperti apa? Ya, hingga sekarang, hal ini masih lekat dalam ingatan saya. Meski sudah lewat 19 tahun silam, bayangan mereka masih ada dalam ingatan saya. Dari situ, saya dipinang masuk ke salah satu lembaga swadaya masyarakat di Kabupaten Sarolangun Bangko. Meski tak lama, hanya enam bulan, tetapi pengalaman itu tak dapat diuapkan begitu saja.

Masih banyak yang belum saya ceritakan, Insya Allah akan segera saya kumpulkan kembali cerita yang terserak ini menjadi satu cerita yang bisa saya bagikan ke anak-anak dan cucu saya kelak, aamiin.


Di usia yang masih muda itu, saya mampu melewati tantangan dan bukan untuk berkompetisi. Tetapi bagaimana saya menjalin korporasi (kerjasama) dengan sesama. Membina hubungan baik dengan orang lain. Umur hanyalah angka. Orang-orang sukses tidak menjadikan usia mereka sebagai indikator keberhasilan.Satu hal juga bahwa mengikuti kata hati dan membiarkan semangat dalam tubuh tumbuh. Dari perjalanan itu pula lahirlaha tulisan berupa buku tentang Tanaman Obat Hutan Sumatera Suku Anak Dalam, Talang Mamak, dan Melayu Tradisional. Tapi sayang, foto-foto perjalanan ini semuanya tertinggal di rumah saya di Jambi. Entah masih ada atau tidak. Semoga saat pulang nanti saya menemukannya kembali.