Wednesday, April 27, 2016

Laut, Matahari, dan Terumbu Karang Dalam Kenangan


Dr. Boen Sri Oemardjati bertopi merah. Mengenalkan saya laut
secara nyata di gugusan kepualauan seribu, Kini beliau telah tiada.
Foto: Dok.Teman-teman Biologi UI

Biru, biru, nuansa biru di hamparan lepas berpadu dalam guratan hijau. Menyisakan semburat cokelat dengan tetumbuhan bernama makro alga (seaweed) dan sejenisnya. Beragam biota bersemayam di ujung-ujung kanopi bunga dan terumbu karang. Warna biru dalam riakan gelombang memberi nuansa keteduhan.

Tatkala kapal berlabuh di Muara Karang, segenap pasukan Biologi berderap menuju Kelotok. Kelotok yang biasanya dikomandoi Pak Tamam, masih mengiang di telinga, klotok… klotok..., saat mesin berbunyi dan dinamo memutar haluan. Beberapa buah kelotok memang sudah dipersiapkan untuk membawa pasukan menuju salah satu pulau di gugusan Kepulauan Seribu, Pulau Pari. Pulau yang menjadi sandaran utama pasukan untuk ‘menggosongkan kulit’, beriak-riak dalam deburan air asin yang maha luas a.k.a laut.

Dengan seperangkat peralatan laut yang sudah dipersiapkan jauh-jauh hari. Suara setengah berteriak itu masih mendengung hingga sekarang. “Persiapkan semuanya, kantung plastik, tali transek yang sudah diberi jarak 10 meter bertanda kain dengan tulisan spidol tahan air, rafia, bak pelampung, kuadran, mika, pensil, benang nilon, dan sebagainya. Jangan sampai ada yang tertinggal”, membahana suara BSO saat-saat masih berada di ruang laboratorium Biologi lantai tiga untuk satu tujuan… menuju laut!

Bersama beberapa teman, perjalanan pagi menjelang siang itu dimulai dari salah satu stasiun kereta, Pondok Cina. Berkumpullah beberapa anggota “pasukan” menuju Stasiun Kota. Dari Stasiun Kota, ngoprek-ngoprek Mikrolet M atau Metromini berapa gitu… (M berapa, Metromini berapa, lupa bener!). Intinya, Mikrolet dan Metromini melabuhkan pasukan di Muara Karang.

Aroma ‘segar laut’ tercium sudah. Kapal-kapal yang melempar sauh terlihat dari kejauhan. Bersandar beragam jenis kapal dengan tiang-tiang layar beragam warna dan bendera. Beragam tulisan terpampang di dinding Kelotok dengan warna-warni pelangi. Hmm… penuh corak!

Mungkin benar juga, ketika kapal-kapal mulai mengarungi segara, warna-warna itu menyemburatkan tanda kehidupan di tengah laut yang jauh dari kehidupan daratan. Tanda-tanda yang memberikan nuansa indah dalam balutan gelombang dan berkendara buih-buih lautan.

Ombak-ombak yang menyembul tenggelam di tengah laut itu seolah ingin bercakap-cakap dengan pasukan. Menyambut kedatangan pasukan penuh suka cita. “Mari kita bersenda gurau. Mari kita bercengkerama dengan lumba-lumba yang menguik-nguik di tengah segara, mengikuti lajunya Kelotok”.

Aku terkesima menatap keagunganNya. Selama ini, menatap laut hanya dari layar kaca, kini jejakkan kaki ini menyentuh sendiri. Karena BSO yang mengantarkan kaki ini menuju segara! BSO menyeringai tatkala gelombang laut menaik. Baju pelampung telah dikenakan. Mabuk laut mungkin sudah jadi makanan. Mungkin baru pertama kali menghirup udara laut. Mual, muntah, itu biasa.

Tak lekang dalam ingatan, permen karet bermerek Xy****l itu terus berkelahi di antara gigi geligi di atas Kelotok. Hempasan gelombang yang sesekali menerpa tak beliau hiraukan. Tamparan bayu laut ke wajah yang terlihat renta sering sekali menghinggapinya. Tatkala bayu laut itu menyinggahi raut wajahnya, kibasan tangan menghela rambut-rambut bercampur warna putih dan hitam (baca: uban) dia sandarkan di antara telinga beranting khas.

Sepasang alat bantu baca (baca: kacamata) menjadi sahabat setia yang dilepas saat cipratan air laut menerpa dan berembun. Jika tidak menggunakan flannel, beliau sesekali menggosok-gosokkannya di antara ujung baju.

Kemungkinan besar dari kita tidak akan pernah tahu bahwa ada kisah panjang di balik laut. Kisah yang sudah bertutur ribuan tahun lamanya yang terselip di ujung horizon. Ketika Bumi masih dalam bentuk janin, laut berada dalam masa-masa perjuangan membentuk diri sendiri. Laut yang dinikmati dan digerayangi berisikan gumpalan lava-lava  panas dan saling berbenturan dengan bebatuan.

Ketika langit menyembul dalam warna jingga, kemudian memudar warna dalam hamparan cakrawala, tidakkah kita tahu bagaimana dengan warna laut? Ia juga menjingga, membias cahaya dengan cemerlang yang berkereta pada buih. Ketika langit mengelabu mendung menghampiri, bagaimana dengan warna laut? Ia pun enggan bercerita dan ceria, sedu sedan oleh abu-abu menyapa segara.

Laut itu sungguh setia pada warna yang berpendar. Laut yang selalu ada dalam warna horizon yang tercipta untuk saling mengerti. Saat kita mengarungi laut, di situ pula kita sedang mengarungi cakrawala. Keduanya takkan pernah dapat berpisah. Warna yang tersembul dari laut, sebagai pancaran warna langit.

Laut adalah tantangan. Di sana, pasukan itu dituntut untuk selalu waspada. Pasang mata, pasang telinga, siapkan kaki katak, masker, dan snorkel. Ia bercerita tentang kepuasan yang sangat tinggi ketika pasukan itu “mengawini”. Ia sebagai misteri yang harus benar-benar dicari, seperti mencari uang dalam butiran tepung atau seperti membuka lembar demi lembar buku yang tertutup debu.

Laut… tidak hanya itu!
Saat pasukan semakin dalam hingga masuk ke dalam gobah juga palung samudera. Laut… barisan terumbu karang yang indah, bernaung dan berenang kehidupan ikan-ikan dengan beragam spesies di dalamnya yang sungguh menakjubkan. Bercerita tentang ombak yang selalu dinamis meliak-liukkan tubuhnya. Laut… bercerita tentang kehidupan dan kematian.

Laut itu lebih rumit dari rumus Statistika yang paling rumit sekalipun. Laut itu bukan jelmaan mikroba-mikroba yang senantiasa terus berbiak. Laut, sebagai bentuk jaringan yang terus menerus berkembang.

Sudah lebih dari 19 tahun, aku tak sanggup menjumpai definisi laut. Seperti apa yang diminta dan dimau sang guru, Boen Sri Oemardjati. Dia pun kini sudah tidak lagi terburu-buru memahami dan mengerti tentang laut sepertu dahulu kala. Tanpa banyak kata, BSO akan jabarkan laut itu seperti apa. Dahulu dia merasakan, laut itu begitu terasa dekat dengannya.

BSO mengenal laut seperti dia mengenal dirinya. Setiap jejak kakinya melangkah, setiap jengkal kedalamannya, setiap warna yang terurai dari pantulan langit, semua itu sebagai sebuah bentuk keindahan yang tak sanggup dia katakan.

Jika aku ditanya apa itu laut, mungkin aku hanya terdiam merenungi! Aku, tentunya akan memikirkan hal ini bisa lebih lama, lebih jauh, dan lebih dalam. Mungkin juga bisa menerawang ke mana-mana. Aku juga tak dapat menceritakan kepada beliau seberapa besar diriku mencintai laut dan menyayangi apa yang ada di dalamnya.

Apalagi yang harus aku deskripsikan apabila dirinya (BSO) itu sebentuk laut itu sendiri. Tetapi, aku menemui di balik bundar dua bola matanya ada banyak senyum terkembang. Tatapan matanya begitu semangat untuk menceritakan tentang laut. Akan tetapi, kedua belah bibirnya tak sanggup untuk mengatakan, seperti apa laut yang dia tahu dan kenal sepanjang hayatnya. Dia melihat dan berkata, “Sekarang kamu sudah memahami tentang laut”.

Kekayaan alam yang tak ternilai harganya itu menjadi bentuk keindahan dan sumber keragaman hayati, mutiara alam yang sangat menakjubkan. BSO begitu memesona dan melekat dengan kehidupan lautnya.



#Rawamangun 12 Juni 2014