Friday, April 15, 2016

Berintegritas dan Kesaksian Jusuf Kalla

 Berintegritas dan Kesaksian Jusuf Kalla

Integritas dan loyalitas tinggi kepada negara. Orang nomor dua di negeri ini pun mau  bersaksi untuk dirinya.

Pemangku dan Menteri, dua jabatan yang pernah diemban Jero Wacik. Sibuknya dahulu sebagai seorang petinggi negara, membuatnya jarang-jarang pulang ke Batur. Tetapi, pada dasarnya beliau orang yang sangat mencintai keluarganya. Keluarga cukup mengerti dengan kesibukan yang diamanatkan kala itu.

Integritasnya sangat tinggi ketika menjabat sebagai menteri. Jero Wacik memang menjadi orang yang tepat menggawangi Kemenbudpar saat itu. Ketika situasi negeri ini penuh dengan ancaman dan di tengah ketegangan serta menurunnya jumlah wisatawan yang datang.

Banyak prestasinya ketika menduduki kursi sebagai kemenbudpar. Kunjungan wisatawan mancanegara meningkat tajam dan negara mengantongi devisa sebesar 7,65 miliar dolar dari 6,4 juta pengunjung. Sungguh prestasi yang luar biasa. Tak lepas pula wisatawan dalam negeri yang melakukan perjalan mengitari republik ini.

Tetapi kini, beliau berada di balik bui dengan  satu kata “pemerasan” yang disangkakan  oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dari rekanan perusahaan kementerian. Seharusnya, tuduhan tersebut gugur atas nama hukum. Bagaimana tidak, karena rekening dana kickback sudah ada sejak tahun 2010. Dan bila dilihat dari perjalanan beliau menjadi menteri, itu pada 2011. Sebenarnya, ada apa di balik ini semua?

Kesaksian Wakil Presiden Jusuf Kalla
Di tengah terpaan kasus  DOM, Jusuf Kalla hadir sebagai saksi yang meringankan atas sangkaan kepada Jero Wacik, saat menjadi wakil Presiden di Kabinet Indonesia Bersatu-SBY, ketika itu Jero Wacik menjabat sebagai Menteri Pariwisata dan Kebudayaan, dan Kabinet Kerja Jokowi-JK, JK sebagai wakil presiden. JK menegaskan dan menyampaikan  terkait perubahan Peraturan Menteri Keuangan No. 3 tahun 2006 menjadi Peraturan Menteri Keuangan No. 268 tahun 2014.
 
Jusuf Kalla, orang nomor dua di negeri ini mau menjadi saksi untuk kasus Jero Wacik.
[Sumber gambar: http://pekanews.com/]
Beliau  memberikan penjelasan, di masa dia menjabat sebagai wakil presiden era SBY, Jero Wacik memegang  kendali sebagai Menteri Kebudayaan dan Pariwisata. Sektor pariwisata saat itu mengalami penurunan, dikarenakan banyak ancaman bom di mana-mana, terutama di Bali sekitar 2003—2005, gelombang tsunami, dan terorisme.

Melalui kinerja kerja Jero Waciklah pariwisata Indonesia meningkat sangat pesat dalam kurun waktu lima tahun, kenaikan lebih dari 50%. JK pun menyampaikan, dalam hal profesi JW sebagai menteri, dia berhasil meningkatkan kinerja kerjanya sebagaimana yang diamanatkan. JK sebagai saksi juga memberikan penghargaan (apresiasi)  mengenai hal-hal yang beliau ketahui dan lihat terhadap kinerja kerja Jero Wacik selama menjabat menteri.

DOM, secara khusus diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 3 Tahun 2006, sementara yang berlaku saat ini adalah PMK No. 268 tahun 2014. PMK No. 268 2014 tersebut merupakan produk dari Kabinet Kerja Jokowi-JK. Segala sesuatu yang dulunya ada di PMK No. 3 tahun 2006, otomatis akan gugur dengan sendirinya setelah terjadinya perubahan PMK terbaru.

Seharusnya, hakim dapat melihat lebih jauh, rinci, dan tajam sangkaan tersebut. Menelaah lebih lanjut terhadap tuntutan jaksa penuntut umum yang telah dijelaskan melalui keterangan saksi.

Pada dasarnya, DOM tersebut sebelumnya merupakan kebiasaan dari dana taktis, lantas menjadi DOM. Hal itu  membantu menteri  untuk pengeluaran-pengeluaran yang tidak terdapat dalam anggaran resmi dalam keseharian sebagai representatif Jero Wacik sebagai menteri. Sebagai contoh mengundang tamu untuk makan bersama, pergi ke daerah untuk urusan pekerjaan kementerian, pembelian tiket pesawat, dan atau hal-hal yang menyangkut tugas kementerian lainnya.

Pertimbangannya ketika itu karena gaji menteri terbilang rendah untuk ukuran seorang menteri, hanya 19 juta rupiah, maka pemerintah memberikan keleluasaan penggunaan anggaran. Artinya, menteri diberikan keleluasaan anggaran. Hal ini dapat dibaca di PMK No. 3 tahun 2006 yang kini sudah dicabut.

Artinya, penggunaan DOM yang dilakukan oleh Jero Wacik  sesuai  dengan Deskresi  Menteri dan kebijakan menteri,  tidak merugikan negara, tidak menguntungkan diri sendiri, juga tidak menyalahgunakan wewenang karena sesuai kewenangan menteri. Sebagaimana diketahui bahwa DOM sebagai biaya operasional yang diberikan untuk dipakai menteri melakukan tugasnya.

DOM menteri ini menjadi dana yang disediakan untuk menunjang tugas-tugas keseharian menteri berkaitan dengan representasi, pelayanan, keamanan, biaya kemudahan, dan kegiatan lain untuk melancarkan tugas menteri sehari-hari. Di PMK 268 tahun 2014 dirumuskan secara sederhana dan khusus. Jadi, yang tadinya diatur oleh PMK No. 3 tahun 2006 dan diubah ke PMK 268 tahun 2014, sudah tidak relevan lagi. Dan hal tersebut gugur dengan sendirinya dari dakwaan.

Jika hakim jeli, tentunya tidak akan mempertimbangkan lagi sesuatu yang sudah dicabut. Mengapa dicabut? Dalam kesaksiannya JK mengatakan, sulit untuk memberikan rumusan yang tepat antara strategis dan khusus yang dilakukan oleh menteri. Karena strategis dan khusus itu sangat subjektif. Menteri memiliki tugas yang berbeda-beda. Menteri pariwisata punya tugas bicara di depan publik, promosi ke luar, sebagai “pengeras suara” negara untuk mempublikasikan hal-hal yang laik berkaitan pariwisata dan kebudayaan negara ke mancanegara, promosi kenegaraan.  

Selama menjabat sebagai Menteri Pariwisata selama 7 tahun dan Menteri ESDM selama 3 tahun, Jero Wacik banyak mengantongi prestasi. Ukuran prestasi tersebut terlihat dari capaian yang diperoleh, sesuai dengan target. Ketika bergabung di KIB  SBY-JK, sektor pariwisata untuk turis kurang lebih 5 juta orang,  meski dihantui ancaman bom. Di akhir masa jabatannya, jumlah turis meningkat tajam menjadi 7,5 juta orang. Artinya, ada kenaikan sekitar 50%.  Sampai-sampai Jero Wacik dua kali diangkat menjadi menteri. Mengapa? Menurut  JK, seorang menteri yang diangkat untuk kedua kalinya, tentunya memiliki prestasi yang baik. 

Mengenai lumpsum yang diberikan, artinya diberikan sepenuhnya kepada menteri yang bersangkutan berjumlah 80% . Itu dapat dipakai sesuai dengan deksresi atau kebijakan dari menteri yang bersangkutan. Hal ini sangat subjektif dan sebagai representasi  dia (Jero Wacik) seorang menteri.  Meskipun ini bersifat pribadi,  tidak bisa dipisahkan dari dirinya sebagai menteri dengan pribadi.  Juga menyangkut harkat dan martabatnya sebagai menteri.
Lumpsum tidak dipertanggungjawabkan  antara rupiah demi  rupiah dan sifatanya sangat fleksibel. 

Dari keterangan kesaksian Pak JK, apakah Jaksa Penuntut Umum masih terus mempertanyakan? Jelas-jelas di sini JK menyampaikan secara gamblang.

JK pun menuturkan, sebagai contoh seorang menteri, untuk menjaga kebugaran pastinya perlu  berolahraga, akan tetapi tidak ada dana untuk melakukan hal itu. Oleh karenanya, di DOM dana itu dikeluarkan dan dapat dipakai.  Begitu pula untuk mengunjungi keluarga, dana itulah yang dipakai. Sama juga halnya dengan tiket pesawat, dapat diberikan langsung tanpa harus bersusah payah untuk membeli. Itu semua terkait dengan representasinya sebagai seorang menteri dan juga pribadi. Jadi, jika JPU bersikeras mengejar tuntutan ini, sangat perlu memperhatikan kembali apa yang diutarakan JK semasa persidangan sebagai saksi. Tuntutan-tuntutan yang dituduhkan sudah seharusnya gugur secara hukum. Keterangan saksi memberikan penjelasan yang  jelas, dan gamblang. Tentunya dapat dipertanggungjawabkan di hadapan hukum.

Selama Jero Wacik menjabat Kemenbudpar, BPK selaku lembaga negara yang berwenang memeriksa keuangan kementerian, tidak menemukan masalah untuk pertanggungjawaban DOM. Audit yang dilakukan BPK di 2008 hingga 2011 untuk audit Kemenbudpar disebutkan Wajar Tanpa Pengecualian (WTP). Sementara JW menjadi Menteri Budpar sejak 2004.  Dan dalam proses pengambilan DOM pun tidak ada yang berubah, termasuk penggunaan, serta pertanggungjwabannya. BPK dan Irjen pun juga tidak pernah mendapati masalah krusial DOM dalam auditnya.

Atas permintaan KPK, BPK diminta untuk audit ulang di Agustus 2015, mengapa baru diakukan di bulan dan tahun itu? Dan itu juga dilakukan dalam hitungan hari jelang pelimpahan perkara JW di 1 September 2015. Apakah ada unsur kesengajaan yang dilakukan KPK untuk mengorek-ngorek kesalahan JW selama menjabat menteri? Jika kita lihat kembali secara jelas, bahwa  BPK dan Kemenkeu menyatakan bahwa Kemenbudpar bersih tanpa masalah. 

Mana suara BPK dan Kemenkeu mengenai hal ini. Kita (warga negara Indonesia) mesti jeli mengamati hal ini. Kasus ini menjadi pertanyaan besar warga negara Indonesia agar lebih melek hukum dan menjadi bahan pemikiran bersama.