Friday, May 25, 2018

Sudahkah Kita Menerapkan #MakanBijak?


 
Arief Daryanto, Ph.D., Direktur dan Peneliti bidang Ekonomi Agribisnis IPB [Foto: Dok Pri]

Makan memang sudah jadi kebutuhan pokok manusia, di manapun berada. Pemenuhan kebutuhan makanan sebagai salah satu bagian wajib diri maupun keluarga yang harus dipenuhi. Makan dan makanan menjadi sumber utama energi, penyerapan zat-zat berguna untuk merangsang pertumbuhan sel-sel tubuh juga nutrisi otak jangka panjang.

Saya pribadi punya pengalaman dengan makan dan makanan itu sendiri. Bagi keluarga saya, makanan itu mesti dihargai dan dihormati. Memperolehnya pun tak segampang membalik telapak tangan. Ada usaha dan kerja keras dari orang lain, juga terutama ayah sebagai pencari nafkah, sementara ibu yang mengolah makanan tersebut menjadi makanan lezat.

Anak-anak orang tua saya itu ada enam orang. Ibu selalu masak dengan tiga lauk macam lauk dan satu macam sayuran. Biasanya, untuk makan ibu sudah tahu seberapa banyak dan besar porsi makan dari tiap-tiap anaknya. Dengan satu setengah centong nasi, sayur, dan tiga macam lauk tadi sudah ditata dalam piring saji anak-anaknya.

Apapun yang disajikan di dalam piring kami, mesti dihabiskan. Hal ini sudah diterapkan ibu kepada anak-anaknya sejak kecil. Jika dalam satu piring saji kami tidak ada yang habis, ibu menerapkan hukuman untuk makan keesokannya. Salah satu anaknya yang tidak menghabiskan hidangannya tidak akan mendapatkan jatah 2 macam lauk.

Hingga saat ini, hal itu berlaku pula untuk keluarga saya. Kalau saya masak dua atau tiga jenis lauk pauk dan satu jenis sayuran, apapun yang saya sajikan untuk keluarga harus dihabiskan di dalam piring saji tersebut. Saya tidak akan memasak lagi dengan jumlah lauk dan menu tersebut. Tetapi, akan saya kurangi hanya satu macam lauk dan satu macam saja jenis sayurnya.

Benar sekali memang, kita mesti menjaga bahan-bahan makanan yang ada termasuk makanan yang sudah dimasak jangan sampai terbuang percuma. Menurut Food Sustainability Index 2017 yang dirilis oleh The Economist Intelligence Unit (EIU), untuk katagori limbah dan bahan makanan yang terbuang (Food Loss and Waste), Indonesia menempati peringakt kedua terbawah atau hanya lebih baik dari Arab Saudi.

Nah, di sinilah saya menerapkan pentingnya  makan makanan yang ada di dalam piring saji wajib dihabiskan, jangan ada yang tersisa. Terserah saja orang mau bilang “rakus” atau apa. Bahwa, Allah SWT juga memberikan kita kenikmatan makanan itu jangan disia-siakan. Mubazir itu temannya setan.

Dari hal-hal inilah, kita, saya dan keluarga terutama, mesti menerapkan yang namanya #MakanBijak. Artinya apa? Ada batas-batas perut dapat menerima makanan yang tersaji atau dihidangkan. Jadi, kita makan itu tidak karena lapar mata. Jika hidangan yang tersaji rasanya ingin dimakan, itu  hanya nafsu semata.

Apalagi saat ini kita masuk di bulan suci Ramadan. Otomatis dan tentunya, banyak sekali hidangan yang disajikan, beragam warna, beragam rasa, juga beragam nama. Mestinya, di bulan Ramadan, justru kita mengerem untuk tidak membuat makanan jadi terbuang sia-sia. Dinas Kebersihan DKI Jakarta pada 2016 saja mengungkap ada kenaikan volume sampah sebesar 10% di 10 hari pertama Ramadan. Dominan dari sampah itu adalah sampah organik berupa sisa makanan.

Entah itu sisa makanan yang memang dimakan lantas tidak habis, juga makanan yang dibuat karena lapar mata dan nafsu, lantas tidak dimakan.  Sangat disayangkan memang.
 
Dinda Parameswari-Assistant Brand Manager Mylanta [Foto: Dok Pri]
“Makanlah makanan sesuai dengan porsi kita, jangan berlebih-lebihan. Jadi tidak lapar mata. Makan makanan yang kita butuhkan bukan yang kita maui,” ucap Dinda Prameswari  Assitant Brand Manager Mylanta pada 15 Mei 2018 di Kota Kasablanka, Jakarta Selatan.

Nah, sudah kita ketahui bersama, bahwa Mylanta ini sebagai salah satu produk untuk mengatasi gejala sakit maag yang berinisiatif mengajak seluruh masyarakat Indonesia untuk menerapkan kebiasaan makan secara bijak melalui kampanye “Makan Bijak”. Karena, selain dapat membantu mengurangi sampah makanan, #makanbijak juga sangat baik untuk kesehatan perut. Apalagi saat ini masuk dalam bulan Ramadan, dengan mengonsumsi makanan tidak berlebihan, juga dapat membantu menjalani ibadah puasa secara aman.

Menurut Dinda juga bahwa Mylanta ini mampu menetralisir asam lambung. Mylanta begitu intens untuk mendorong masyarakat Indonesia menjaga pola makan dan menjaga alat pencernaan melalui pola makan yang baik dan benar.

Selain itu, tak bisa dihindari bahwa, orang Indonesia sangat suka yang namanya kebersamaan atau kumpul-kumpul. Kumpul-kumpul (hangout) ini tentunya selain minum (teh atau kopi) juga makan. Disampaikan pula oleh Dinda, bahwa makanan di masyarakat Indonesia dipercaya menjadi perekat hubungan sosial.

Selain itu, menurut studi yang dilakukan Mylanta bahwa 63% sakit maag disebabkan oleh pola makan. Bayangkan saja, 2,5 juta orang berpotensi sakit maag karena makan berlebihan. Memang, mesti benar-benar menerapkan #MakanBijak agar hal ini tidak mendera keluarga kita.

Apa yang melatarbelakangi sehingga kita perlu #MakanBijak? Ada beberapa hal yang akhirnya menurut Dinda kita perlu #MakanBijak, yaitu karena seringnya kita memesan makanan terlalu banyak. Makanan yang dipesan belum tentu dimakan semua sehingga makanan mubazir dan terbuang percuma. Memesan makanan yang terlalu banyak dan makan berlebihan  akibatnya orang terkena gangguan pencernaan. Selain  itu, makanan yang sudah dipesan kemudian dimakan tetapi tidak dihabiskan, akhirnya menimbulkan sampah makanan.

Dinda juga mengatakan, “Bukan hanya makan yang tidak teratur, mengonsumsi makanan secara tidak bijak, misalnya berlebihan juga dapat mempengaruhi kesehatan perut, salah satunya seperti rasa begah dan tidak nyaman di perut. Jelang bulan puasa ini Mylanta mengajak masyarakat Indonesia untuk  lebih bijak dalam mengonsumsi makanan sehingga pencernaan lebih terjaga dan lebih nyaman dalam menjalankan ibadah puasa.”

Jadi, #MakanBijak juga dapat memberikan impact terhadap food waste yang selama ini banyak terjadi di masyarakat termasuk juga food loss. Akan tetapi, keduanya punya pengertian yang berbeda. Menurut Arief Daryanto, Ph.D., Direktur dan Peneliti bidang Ekonomi Agribisnis Institut Pertanian Bogor menjelaskan, Saat membahas mengenai ketersediaan atau ketahanan pangan (food security), seringkali kita hanya berfokus pada cara untuk meningkatkan produksi makanan tanpa memikirkan bagaimana mengatasi faktor tingkat food loss & waste. Padahal food loss & waste merupakan persoalan penting yang kini menjadi perhatian negara-negara di dunia karena dapat mempengaruhi tingkat ketahanan pangan suatu negara serta berimbas pada pemerataan kesejahteraan masyarakat.”

Fakta tentang Food Loss dan Food Waste [Foto: Dok Pri]

Apa sebenarnya food loss itu sendiri? Food loss adalah makanan yang hilang sebelum sampai ke tangan konsumen (kehilangan yang terjadi ketika makanan dalam tahap pengolahan atau distribusi). Sementara itu, food waste sendiri kehilangan yang terjadi pada saat makanan dikonsumsi.

Ini sebagai gambaran untuk kita, masyarakat Indonesia khususnya bahwa menurut FAO, ada sekitar 1.3 triliun ton makanan yang hilang setiap tahunnya di seluruh dunia dengan rincian: tingkat kehilangan saat produksi 10%, kehilangan  saat tahap pengolahan paska panen & distribusi 7%, kehilangan selama pengolahan 15, kehilangan saat pemasaran 6%, dan kehilangan saat tahap konsumsi 9%.

Jadi, penerapan #MakanBijak bukan sesuatu yang mustahil untuk kita lakukan. Mengingat hingga triliunan ton makanan yang hilang, sayang sekali kalau kita juga ikut menyia-nyiakan  atau memubazirkan makanan yang sudah disediakan. #MakanBijak menjadi salah satu kunci pula untuk kita terhindar dari segala macam penyakit karena tumpukan sampah organik makanan.
 
Annisa Paramitha, Representatif Waste4Change [Foto: Dok Pri]
Sehubungan dengan sampah makanan ini juga, Annisa Paramitha dari Waste4Change, salah satu organisasi yang konsen pada lingkungan menyampaikan, “Konsumen Indonesia dihadapkan pada banyaknya pilihan makanan, tapi tidak semua pilihan itu merupakan makanan yang baik atau sehat untuk dikonsumsi. Saat 40% masyarakat Indonesia dinyatakan kurang gizi, sekitar 10% yang lain justru mengalami obesitas (kelebihan berat badan). Dengan tingkat sampah makanan mencapai 13 juta ton per tahunnya, kita sebenarnya bisa memenuhi kebutuhan pangan 28 juta orang yang hidup di bawah garis kemiskinan. Dengan mengurangi sampah makanan, selain dapat mengatasi krisis pangan, kita juga bisa mengurangi dampaknya terhadap kerusakan lingkungan misalnya menurunkan tingkat gas metana.”

Bagaimana sampah-sampah makanan ini dikelola secara bijak oleh Annisa? Diketahui bahwa di Jakarta saja per harinya menghasilkan sampah sebanyak 7.500 ton dan ironisnya 4.050 tonnya adalah sampah makanan. Nah, 65% dari sampah makanan itu berasal dari perumahan. Saking banyaknya produksi sampah makanan ini, berkait erat dengan perilaku masyarakat itu sendiri.
 
Inilah sampah makanan yang ada di Jakarta [Foto: Dok Pri]
Perlu juga kita ketahui bersama bahwa sampah-sampah makanan itu tadi berasal dari pola konsumsi makanan yang berlebihan, menyisakan makanan, juga proses industri pangan mulai dari transportasi hingga standar kualitas buah dan sayuran.

Hal tersebut didukung dengan fakta sampah makanan yang ada di Indonesia itu sendiri. Jumlah penduduk Indonesia yang 250 juta dengan kebutuhan makanan per tahunnya mencapai 190 juta ton, dan total makanan yang terbuang per tahunnya mencapai 13 juta ton. Kalau dilihat, 13 juta ton makanan yang terbuang ini sama dengan jumlah kebutuhan makan 11% populasi Indonesia atau sekitar 28 juta penduduk. Hmm… sayang banget ya kalau makanan kita disajikan tidak dihabiskan.

Apa kerugian yang dapat ditimbulkan dari hal ini? Tentunya banyak, antara lain penumpukan sampah makanan/organik di TPA yang berpotensi menimbulkan gas metana. Gas ini pun akan ikut berkontribusi pada pemanasan global. Selanjutnya terjadinya krisis pangan yang berdampak pada keberlanjutan manusia.

Oleh karena itu, sampah makanan ini harus dicegah dengan #MakanBijak, mengambil makanan secukupnya dan menghabiskannya, juga berbelanja secara bijak.dan tentunya kita perlu memeriksa secara berkala masa berlaku makanan dalam kemasan agar tidak mubazir.
Bagaimana solusi mengelola sampah makanan ini? Tentunya kita mesti memilah sampah dari sumber dan proses sampah makanan menjadi kompos yang bermanfaat untuk tanaman. Ya, masyarakat memang mesti didorong untuk #MakanBijak dan tidak berlebihan.

Apa yang bisa kita perbuat untuk hal ini? Berikut tipsnya:

1.    Mengurangi konsumsi makanan instan yang tidak baik untuk kesehatan dan beralih konsumsi makanan yang diproduksi secara lokal (tentu lebih sehat dan segar).
2.    Rencanakan dengan saksama sebelum membeli (beli yang dibutuhkan-tidak tergoda dengan makanan yang tidak baik untuk dikonsumsi).
3.    Masak bahan makanan seperlunya dan tidak menyisakan makanan.
4.    Simpan bahan makanan dengan baik agar dapat dikonsumsi untuk jangka waktu lebih lama.
5.    Olah kembali makanan yang tidak bisa kita makan.
6.    Selain itu, pihak pengelola restoran juga sebaiknya menerapkan sistem denda jika pembeli menyisakan makanan (perlu nih disosialisasikan, jadi makanan tidak mubzir).

Tentang Mylanta
Mylanta merupakan  antasida—obat maag dar PT. Johnson & Johnson Indonesia. Bahan aktif Mylanta adalah Alumunium Hidroksida, Magnesium Hidroksida, dan Stimekon yang dapat meredakan gajal skit maag karena asam lambung berlebih seperti perih dan mual. Mylanta tersedia dalam kemasan cair dan tablet dengan quick action formula, bantu cepat sikat sakit maag kapanpun maag menyerang.
 
Box makanan yang disiapkan Mylanta tatkala makanan tidak habis dan boleh dibawa pulang [Foto: Dok Pri]