Berhenti atau mati! [Foto: Dok https://healthadvisor.icicilombard.com] |
Pernah membayangkan berapa jumlah uang yang harus dikeluarkan dalam satu
tahun apabila Anda merokok satu bungkus dalam satu hari? Andai satu bungkus
rokok berharga 15 ribu rupiah x 30 hari, totalnya sudah 450 ribu. Kalikan dalam
satu tahun, sekitar 5,4 juta rupiah. So…? Dalam satu tahun Anda telah membakar
duit berjumlah 5,4 juta rupiah.
Mungkin kalau Anda bijak, dengan 5,4
juta yang Anda tabung setiap hari dari pembelian rokok seharga 15 ribu rupiah,
bukan mustahil dalam kurun waktu 10 tahun Anda sudah bisa nambah kendaraan roda
empat atau Anda investasi tanah untuk masa depan anak dan keluarga. Tak
terbayangkan, kan sebelumnya.
Belum lagi kerugian jasmani dan rohani yang Anda derita. Tidak bermaksud
menggurui ya, lebih banyak mudharatnya sih menurut saya dibanding manfaatnya. Kalau
ada yang bilang, “Ah elu ga ngerokok, ga gentle.” Bukan soal tidak merokok
lantas tidak gentle, tetapi perlu memikirkan kembali dampak, akibat, dan
penyakit yang ditimbulkan darinya.
Kalau dipikir-pikir secara logis, apa untungnya menghisap asap? Asap banyak
mengandung zat berbahaya yang mungkin sebagian orang tidak tahu. Ada material
racun yang dibawa asap rokok, baik untuk
yang merokok maupun yang terpapar rokok. Jujur saja, saya dulu memang
pernah merokok, akan tetapi, ketika berpikir apa untungnya merokok, saya
tinggalkan sesegera mungkin.
Dulu, saat saya bekerja sebagai analis konservasi, setiap masuk ke hutan di
pedalaman Sumatera, saya dan guide selalu menyiapkan 20 ball (kotak) rokok dari
beragam merek. Karena kondisi hutan Sumatera yang tidak begitu bersahabat,
banyak sungai dan nyamuk malaria. Mau tidak mau, sebagai pengusir nyamuk,
rokoklah salah satu jalannya dan bakar kayu.
Apalagi, saya juga bekerja langsung berhadapan dengan Suku Anak Dalam (SAD)
yang notabenenya salah satu barang kesukaan mereka adalah rokok selain permen. Sebagai
penyambung komunikasi tatkala kami bertemu dan berkumpul dalam satu sudung
(pondok dari terpal plastik hitam) untuk menggali informasi seputar tanaman
obat di pedalaman Jambi.
Saya belum berpikir tentang bahaya rokok itu sendiri. Pokoknya, satu isapan
rokok sangat berarti bagi saya demi informasi akurat dari SAD yang mampu
menjelaskan detail mengenai tanaman obat. Stigma SAD, kalau mau mendapat
informasi berilah mereka rokok sudah menjadi cap memang. Masuk hutan pun tidak
sebentar, terkadang hingga berminggu-mingu, bahkan sebulanan. Mau tidak mau, rokok menjadi pengusir jenuh
di dalam dan teman dalam perjalanan.
Alhasil, ketika selesai pekerjaan pun ikut terbawa ke dalam kantor. Dan seluruh
penghuni kantor perokok. Saya pun sempat mengenyam dalam satu hari menghabiskan
tiga bungkus rokok putih. Semata-mata atas nama pekerjaan bukan karena gengsi
atau tak ingin disebut banci, tidak!
Pun ketika bekerja di media cetak yang notabenenya menuntut saya untuk
berpikir keras menerjemahkan kalimat-kalimat yang perlu konsentrasi
tinggi. Rokok dan kopi menjadi teman
sekata di atas meja kerja saya.
Itu ketika saya belum memutuskan untuk menikah. Lama kelamaan saya
berpikir, “Apa ya fungsi rokok untuk kesehatan saya?” Apakah berguna dari sisi
medis? Apakah ada dampak yang signifikan ketika saya bisa menghabiskan satu
bungkus bahkan lebih untuk kehidupan saya ke depan?
Pertanyaan demi pertanyaan terus menggelayut. Beragam referensi bacaan pun
saya telusuri. Rata-rata menyebutkan dampak buruk akibat roko. Ada rasa ngeri
yang mendalam timbul di pikiran saya. Ketika saya mulai mengalami napas
terengah-engah ketika berjalan baru beberapa meter, di situ saya merasa napas
saya jadi napas tembakau. Saluran pernapasan saya tak lagi lancar. Seperti tersumbat penuh kotoran.
Dari beberapa referensi pun saya coba baca kiat untuk menghilangkan
nikotin yang sudah masuk sejak 1999
hingga 2011 itu (hampir 12 tahun) asap memenuhi seluruh raga saya. Susu, ya
susu murni saya coba konsumsi, makanan dengan sayur serat tinggi (sayuran
hijau), buah-buahan seperti nenas yang katanya ampuh melunturkan nikotin, dan
tak lupa pula air putih hangat saya
konsumsi setiap pagi.
Hal ini demi membersihkan paru-paru dan jalur pernapasan saya yang mulai
bermasalah. Saya pun merasakan hal lain, keringat berbau tembakau, napas
apalagi. Padahal beberapa pekerjaan saya kala itu menuntut banyak bertemu orang
dan bersosialisasi. Pun olahraga untuk menurunkan berat badan yang 85 kilogram kala
itu saya jalani dengan ketat.
Perlahan-lahan tapi pasti, ada kemajuan yang sangat signifikan dari yang
saya lakukan. Diet ketat atas anjuran
dokter pun saya jalani dengan niat dan kekuatan penuh. Dalam waktu dua bulan, berat badan turun drastis, rokok
pun sudah tak tersentuh.
Kalau mau jadi maling, bergaul dengan maling (Saya tidak bermaksud untuk
membuat Anda menjadi pencuri lho ya, hanya perumpaan saja). Nah, kalau mau berhenti merokok, jauhi rokok,
bukan berarti menjauhi orang yang merokok. Memang, perlu dicatat, godaan
terbesar saya ketika saya bergaul dengan para perokok rasa ingin merokok itu
kembali. Akan tetapi, karena niat yang kuat semua tertepiskan begitu saja.
Saya tidak ingin mengkhianati atas hal-hal yang sudah saya lakukan agar
tidak kembali sia-sia. Kalau saya kembali pada “jalan sesat” itu, artinya saya
kembali menyiksa dan mengkhianati usaha yang sudah saya bangun selama ini. Alhamdulillahnya,
sebelum menikah, saya sudah bebas dari rokok. Petikan pelajaran berharga ini
saya simpan dan sampaikan untuk keluarga
saya yang anak laki-lakinya tiga orang saudara saya perokok berat.
Perlahan-lahan untuk mereka mengurangi rokok. Terkadang ada kalimat-kalimat
yang muncul, entah dipikir terlebih dahulu atau memang spontan saja. “Yang
tidak merokok saja mati, banyak yang merokok sehat-sehat saja.” Kalimat yang
keluar dari mulut dan isi kepala yang sudah dipenuhi asap rokok inilah yang
kadang buat saya geretan pengen kasih pelajaran lebih.
Kembali saya tersadar, tak semua orang dapat memahami apa yang kita
sampaikan dengan cara baik sekalipun. Rerata mereka memilih mencibir dan bilang
“Sok bersih”. Justru akibat yang ditimbulkan dari rokok inilah sedini mungkin
kita cegah jangan sampai terlambat. Jika terlambat, banyaklah penyakit yang
mendera.
Sama halnya ketika saya mengikuti diskusi publik Rokok dan Puasa, Murahnya
Harga Rokok Pada Senin (28/05/2018) di Tjikini Lima Reaturant dan Café, bilangan
Jakarta Pusat. Ada banyak hal yang disampaikan berkenaan dengan rokok ini.
Seperti yang disampaikan Dokter Adhi Wibowo Nurhidayat bahwa Rokok itu
membuat ketergantungan karena mengandung candu. Orang yang telah mengalami
nicotine addiction akan dengan sangat
mudah menjadi pecandu narkoba. Karena rokok itu sama dengan narkoba.
Ada hal yang memang menjadi catatan bersama untuk kita, bahwa hadirnya
rokok menjadi salah satu pendapatan pemerintah. Kenapa? Ya, pemerintah perlu
cukai untuk mengembangkan negara. Di sini kontradiksi rokok antara ingin
dihapuskan dan tetap beredar masih terus jadi bahan tarik-tarikkan antara
pemerintah, produsen, dan petani tembakau.
Kembali pada perokok, bahwa menurut Dokter Adhi, perokok itu tahu bahayanya
merokok, akan tetapi mereka tetap merokok. Akibatnya mereka semakin
ketergantungan. Nah, ketergantungan rokok sama saja artinya dengan
ketergantungan narkoba. Puasa yang mereka jalani di saat-saat ramadan, hanya
memberhentikan mereka dari merokok beberapa jam, selanjutnya balik lagi
merokok.
Masyarakat korban rokok dengan tenggorokan sebagai jalan pernapasan [Foto: Dok Pri] |
Padahal ya, selama puasa perokok bisa menahan diri untuk tidak merokok,
tetapi selesai puasa (buka) mereka merokok kembali. Menurut saya, kembali pada niat. Kalau puasa hanya sekadara
untuk melepaskan rokok beberapa saat ,
dengan niat kuat untuk tidak merokok, lanjutkan saja untuk tidak merokok.
Nikotin dalam rokok merupaka narkoba dalam bentuk lain nomor tiga. Nikotin ini
menempati ranking ketiga setelah putaw dan kokain. Orang yang mengalami
ketergantangungan rokok memang lebih tinggi. Padahal kalau kita tahu, NIKOTIN
itu jauh lebih jahat. Orang-orang di Indonesia sebagian tidak tahu bahwa rokok
itu Narkoba. Ya, narkoba yang menyiksa jiwa raga. Jadi, untuk membantu
memberikan orang-orang terbebas dari asap rokok, kita bisa bilang bahwa “Rokok
Itu Narkoba”.
Menurut saya, salah satu pintu masuk
seseorang menjadi kecanduan dan ujung-ujungnya narkoba melalui
rokok. Kita juga sering mendengar
kalimat dari orang-orang yang kesulitan berhenti merokok. Mereka bilang “Sulit
sekali berhenti merokok”, kenapa? Ya, tak lain karena zat yang terkandung di
dalam rokok itu sebagai narkoba.
Sementara, dari kajian teologis, menurut Dokter Adhi, bahwa kalau khamar
dan judi itu dosa besar, maka rokok itu lebih banyak mudharatnya dibanding
manfaatnya. Rokok itu sebagai narkoba dan menutup akal sehat.
Pun dikatakan bahwa merokok itu membuat orang jadi gembira, karena tembakau
itu stimulan dan membuat orang jadi semangat.
Orang-orang yang merokok menganggap bahwa rokok dapat mempengaruhi
perilaku, seperti euforia yang dibilang mampu membangkitkan motivasi. Menurunkan
rasa fatique (capek), mengurangi kecemasan, analgesik (mengatasi nyeri dan
sakit pinggang), juga dikatakan sebagai
analgesik, dan mampu memperbaiki kognisi seseorang. Ya, kalau orang patokannya ke sini, otomatis
semua bakal jadi perokok.
Makanya, bisa kita lihat orang yang sakaw (candu) dengan rokok) itu sangat
gampang marah, frustasi, cemas, gelisah, depresi. Di saat-saat tertentu, rokok
pun dapat membuat dirinya tenang. Akan tetapi, kalau rokok dijauhkan darinya,
depresi dan sulit konsentrasi menjangkiti. Apakah hal ini berhubungan dengan
gangguan jiwa seseorang?
Jawabannya, ya! 70-8 % penderita
Schizofrenia adalah perokok. Ketika seseorang menderita gangguan jiwa, menurut
Dokter Adhi, justru lebih sulit untuk berhenti merokok. Prevalensi depresi pada
perokok 59% lebih dibanding orang yang tidak merokok, sekitar 17% saja. Orang yang depresi biasanya melarikan diri ke
rokok. Nah, orang yang merokok rentan terkena Schizofrenia.
Mengapa justru banyak orang Indonesia yang merokok? Kalau dilihat, 75%
orang tua yang merokok ketika berada di rumah dan anak-anaknya melihat,
kemungkinan besar akan menurunkan pada anaknya. Di dunia Narkoba ada gateway
model dengan nama Gen Y. ketika seseorang telah pernah menggunakan atau memakai
narkoba, kemungkinan akan mencoba bentuk lain seperti heroin, ganja atau
cimeng, tequilla, bahkan minuman oplosan.
Berdasarkan teori perilaku, ketika seorang ayah merokok anaknya akan juga ikut merokok. Dari sisi
pergaulan, anak-anaknya akan ikut terpapar. Sudah saatnya pemerintah harus
menaikkan harga rokok setinggi mungkin untuk membuat orang berpikir.
Fatwa Tentang Hukum Merokok
Seseorang dalam Islam diwajibkan untuk
memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat
setinggi-tingginya dan menciptakan lingkungan yang kondusif bagi terwujudnya
satu kondisi hidup sehat yang merupakan
hak setiap orang dan merupakan bagian dari tujuh syariah.
Menurut Doktor Awar Abbas, Pengurus Pusat Muhammadiyah, dalam Islam ada
lima kategori hukum yang membuat “sesuatu” dapat dilakukan yaitu Wajib, Sunnah,
Haram, Mubah, dan Makruh. Doktor Anwar, dalam hal rokok mengharamkan, hal ini
mengacu pada Al Quran Surat 7 ayat 157.
Sebagaimana dikatakannya, bahwa merokok terdapat unsur menjatuhkan diri
dalam kebinasaan dan sebagai perbuatan bunuh diri secara perlahan-lahan. Oleh karenanya
bertentangan dengan Al Quran Surah 2 ayat 195 dan Surah 4 ayat 29.
Doktor Anwar Abbas mengatakan, “Merokok bertentangan dengan dalil-dalil
dalam Islam, di antaranya mengharamkan segala yang buruk, larangan menjatuhkan
diri pada kebinasaan, dan perbuatan bunuh diri, larangan berbuat mubazir, dan
larangan menimbulkan mudarat atau bahaya pada diri sendiri dan orang lain. Itulah
mengapa PP Muhammadiyah mengeluarkan fatwa haram rokok agar umat islam
menjauhkan diri dari rokok.”
Sementara, Doktor Abdillah Ahsan, SE, M.Si, Wakil Kepala Pusat Ekonomi dan
Bisnis Syariah UI menyebutkan, harga rokok masih murah, survei harga di Dirjen
Bea dan Cukai Kemenkeu menunjukkan harga rokok per bungus Rp15 ribu. Hal ini
masih terjangkau di saku anak-anak karena rokok di Indonesia lumrah di beli per
batang.
Dr. Abdillah Ahsan (pojok kanan) Wakil Kepala Pusat Ekonomi dan Bisnis Syariah FE-UI [Foto: Dok Pri] |
Menurutnya lagi, saat puasa adalah waktu yang tepat berhenti merokok dan
uang dapat ditabung untuk masa depan. Merokok juga tidak islami karena makruh,
mubazir, dan menyebabkan katastropik.
“Kerugian ekonoi untuk perseorangan akibat konsumsi rokok dapat
menghilangkan kesempatan untuk konsumsi yang sifat lebih produktif, misalnya
konsumsi untuk pendidikan, kesehatan, dan kebutuhan pokok,” tambah Abdillah.
Data dari BPS (2018) mendukung pernyataan ini dengan ditemukannya rokok
sebagai komoditas kedua yang berkontribusi terhadap kemiskinan di perkotaan dan
perdesaan. Memang, sudah saatnya #RokokHarusMahal. Kenaikan harga cukai rokok
dan harga jualan eceran yang setinggi-tingginya sudah harus dilakukan
pemerintah.
Fuad Abbas, Terapis pencandu rokok [Foto: Dok Pri] |
Dari tujuh ribu artikel yang ditulis bahwasanya mengatakan bahwa rokok itu
tidak sehat. Dilihat dari perspektif ajaran Islam, sebagai pekerjaan sia-sia
dan mubazir. Sudah saatnya menjaga jiwa, menjaga akal, dan menjaga keturunan
agar terhindar dari rokok, karena merokok tidak sesuai dengan tujuan agama. Justru
mencampakkan diri dalam kebinasaan. Sudah saatnya berhenti dan jauhkan diri
dari rokok. Bagaimana pendapat kalian?
Bersama rekan blogger dalam diskusi publik Puasa dan Rokok [Foto: Dok Pri] |