Tuesday, July 31, 2018

Meraup Untung dari Social Media, Ini Faktanya!


 
Banyak keuntungan diperoleh dari medsos asal bijak [Foto: Dok https://www.seoshark.com.au]
Maju dan pesatnya perkembangan teknologi tak bisa dihindari. Siapapun kini bisa mengakses teknologi  secara luas. Akan tetapi, memang mesti bijak menggunakannya. Jangan sampai, teknologi  justru menggerus dan menjerumuskan diri sendiri ke hal-hal yang tak diinginkan.

Kalau dipikir-pikir, yang namanya teknologi media sosial itu ngeri-ngeri sedap. Karenanya banyak yang bilang, “Jempolmu harimaumu”. Mesti hati-hati menggunakan jempol untuk  menghentakkan tuts-tuts perangkat kita.

Sekali tulisan meluncur ke dunia maya, seumur hidup akan ada rekam jejak di dunia digital atas apa yang sudah kita lakukan. Saat ini, media sosial tak melulu hanya sebagai perangkat untuk melakukan sosialisasi melalui dunia maya. Namun, lebih dari itu.

Mungkin, kita punya lebih  dari dua bahkan beberapa media sosial. Akan tetapi, apakah pemakaiannya sudah dimaksimalkan? Ya, jika  belum dimaksimalkan minimal dioptimalkan? Atau media sosial yang kita punya hanya untuk gegayan saja?

Kalau kita flashback sedikit, pengguna internet di Indonesia saja saat ini sudah mencapai 82 juta orang (www.kominfo.go.id). Dari jumlah pengguna internet sebesar itu, sebagian besar hanya memanfaatkan media sosial berupa Facebook dan Twitter saja. Pengguna  media sosial terutama FB dan WA, sekarang pun tak lagi melihat strata sosial.

Mulai dari anak-anak hingga orang tua sudah sangat akrab dengan media ini yang sangat mudah dan murah diakses baik menggunakan perangkat komputer maupun gawai. Pengguna sosial media di Indonesia menduduki peringakt keempat untuk Facebook setelah USA, Brazil, dan India.

Orang gemar menggunakan media sosial untuk berbagai keperluan dan gaya hidup dengan punya beberapa akun di berbagai situs jejaring sosial. Sebagian menggunakan media sosial untuk kepentingan bisnis, dengan cara mempromosikan dan berjualan hingga bertransaksi di media sosial.

Sebagian orang lagi menggunakannya untuk kepentingan pribadi, berbagi infomasi, baik foto, video, artikel, dan lokasi tempat orang tersebut bisa diketahui keberadaannya. Tetapi, perkembangan jumlah pengguna media sosial saat ini, tidak jarang menemui dan pernah merasakan sendiri dampak positif dan negatif medsos untuk kehidupan sendiri dan sekitar kita.

Waktu luang yang biasanya digunakan untuk diskusi dengan anggota keluarga atau teman, kini disibukkan dengan beberapa akum medsos yang kita punyai. Media sosial kerap dipakai untuk sarana mengekspresikan diri, bebas berpendapat, tetapi sebagai pengguna medsos harus hati-hati.

Ada etika medos yang harus sesuai agar tidak sembarangan bicara sehingga dapat menyinggung dan menyakiti orang lain. Selain beretika di medsos, adanya kesadaran pengguna medsos untuk tidak bertindak ceroboh dengan mengeluarkan postingan kasar atau negatif kepada pihak lain.

Saat ini, Facebook, Twitter, dan media sosial lainnya telah mengeluarkan kebijakan-kebijakan tertentu terhadap postingan yang dianggap spam atau berbahaya. Di satu sisi, media sosial menjadi tempat atau alat branding paling efektif.
Teknologi apapaun bentuknya, ada dua sisi yang berlawanan. Begitu pula internet dan seluruh kontennya termasuk media sosial yang mesti bijak digunakan.

Nah, sejalan dengan hal ini, saya mendapat satu kesempatan bagaimana media sosial bisa mendatangkan keuntungan untuk si pemilik akun, bersama Indonesian Social Blogpreneur, The Warna, Sophieparis, dan juga profesional Digital Marketing.   

Bersama Komunitas ISB di NIC Menteng Square [Foto: Dok Pri]

Bertempat di Nutrifood Inspiring Center pada Sabtu (21/07/2018), workshop bertema “Meraup Untung dari Social Media” menghadirkan salah satu pengusaha sepatu yang sukses di bidangnya dengan menggunakan media sosial sebagai lahannya berbisnis. Dan Digital Marketing Professional, Imam Mahmudi.

Ya, The Warna, yang dimiliki Dany Anwar punya cerita bagaimana dia bisa meraup untung melalui media sosial yang dijalankannya. Bermain pada platform Facebook Bisnis dan Instagram Bisnis.

The Warna tidak serta merta hadir begitu saja. Tetapi penuh lika-liku perjuangan seorang Dany. Dany, yang notabenenya bukan orang Bogor, berjuang untuk mewujudkan apa yang dia impikan, menjadi pengusaha sesuai passion-nya.
 
Dany Anwar Owner The Warna [Foto: Dok Pri]
The Warna sebagai merek sepatu yang dirintis Dany telah lima tahun berjalan sejak mula berdiri pada 2013. Berfokus pada produk sepatu dengan bahan dasar kain tenun dan batik.
Dany mulai usaha di Bogor, sedangkan dia sendiri bukan orang Bogor. Merantau dari Pontianak ke Bogor tanpa saudara. Hanyak punya keinginan kuat untuk usaha. Keinginan kuat dirinya memang pada sepatu. Bermula hanya dua orang pekerja yang membantu, kini hampir 60 orang pekerja yang turut serta dalam bisnisnya.

Mulanya hanya tempat biasa saja boleh dibilang kontrakan/petakan kecil sempit. Tetapi kini, Dany berhasil memiliki empat bangunan untuk produksi sepatu The Warna dan masih merasa sempit. Dany (The Warna) punya visi yang sangat mengakar pada budaya Indonesia. Bagaimana dirinya ingin mengangkat kain etnik Indonesia untuk lebih diminati dan menjadi tuan rumah di negeri sendiri.

Pasar yang disasar The Warna mulai dari kalangan muda hingga wanita dewasa. Mengapa anak muda? Menurut Dany, anak muda menjadi generasi penerus warisan budaya Indonesia yang akan terus berkembang dan terjaga kelestariannya.
 
Dany Anwar dalam paparannya [Foto: Dok Pri]
The Warna sendiri punya filosofi yang cukup mendalam, jadi tidak sekadar pemberian nama semata. Seperti merah, biru, hijau, kuning, atau warna lainnya. Akan tetapi, Warna sebagai singkatan dari Warisan Nusantara yang ingin Dany tegaskan bahwa mereka punya komitmen menggunakan kain-kain tradisional Indonesia yang diangkat melalui kriya. Sepatu etnik sebagai salah satu cara Dany dalam melestarikan kain etnik Indonesia dan salah satu cara dirinya mengenalkan ke masyarakat juga di tingkat nasional maupun internasional.

Bicara social media, dalam hal pemasaran produknya, The Warna menggunakan social media. Dia menggandeng ibu-ibu untuk menjadi reseller. Ibu-ibu yang punya waktu luang diajaknya untuk join. Tak hanya jadi reseller bahkan, Dany pun membina ibu-ibu tersebut bagaimana cara menjual.

Apalagi, ibu-ibu yang direkrutnya belum tentu semua paham dengan social media, mungkin boleh dibilang gaptek. Inisiatif Dany untuk ibu-ibu yang direkrut menjadi reseller-nya, diadakan pelatihan atau “kuliah entrepreneur” seminggu dua kali melalui grup Whatssap yang dibentuknya juga offline meeting.

Beberapa produk The Warna [Foto: Dok Pri dalam The Warna]

Mulai dari bagaimana membuat copy writing-headline. Di sini jadi tantantangan tersendiri untuk Dany, bagaimana mengolaborasikan jualannya dengan menggunakan tenaga ibu-ibu yang dilatih paham socmed dan memberi pelatihan secara online seminggu dua kali. Bagaimana reseller-nya tersebut bisa menghasilkan closing setiap harinya.

Selain sepatu, untuk menambah varian produknya, The Warna juga membuat tas di satu tahun terakhir usahanya. “Ternyata, banyak juga di pasaran yang menginginkan hal senada. Misalnya, sepatunya batik, tasnya juga ingin yang batik,” jelas Dany.

Sistem pemasaran yang dilakukan The Warna cukup efektif. Jadi, tim marketing membuat konten dan menyebarkan ke reseller. Reseller juga dapat menyebarkan konten tersebut ke media sosial yang mereka miliki. Selain itu juga, tentunya ke sosial media The Warna sendiri.
Jadi, Reseller yang Dany rekrut tidak perlu memikirkan konten apa yang mesti di-posting untuk hari berikutnya, karena semua konten sudah disiapkan oleh Tim Marketing The Warna. Pun kampanye di media sosial reseller masing-masing pun sudah diarahkan langsung dari The Warna.

Nah, secara keseluruhan produksi The Warna itu meliputi tas, sandal, flat shoes, wedges, sneakers (sepatu) dengan banyak tipe yang tetap menggunakan bahan etnik. Nah, pertanyaannya sekarang adalah, mengapa The Warna menggunakan sistem reseller? The Warna juga melakukan iklan melalui facebook ads dan instagram ads.


Model sepatu dari The Warna [Foto: Dok Pri dalam  The Warna]

Menurut Dany, bujet untuk promosi bahkan nol rupiah. Karena, The Warna hanya membina reseller. Bujet dipergunakan untuk ke facebook atau instagram agar engagement dan reachment The Warna lebih jauh jangkauannya. Paling habis sekitar 500 ribu, paling mentok dua juta.

Dany, khususnya The Warna menggunakan bujet iklan lebih kepada membina reseller. Bahkan bujet iklannya sendiri pernah zero (tidak mengeluarkan bujet sama sekali untuk beriklan), karena semua dilakukan melalui reseller (media sosial reseller).

Pembagiannya ke reseller, The Warna menerapkan fix price. Artinya, official yang menjual harga 185 ribu, reseller menjual ke customer dengan harga 170 ribu. Jadi, reseller memperoleh keuntungan per penjualan produk sebesar 45 ribu rupiah. The Warna mengarahkan tidak ke official, tetapi ke reseller.

Reseller tidak perlu stok dan packing barang. The Warna telah menyiapkan seluruhnya dengan sistem dropship. Reseller tidak mengambil barang, hanya mendaftarkan akun sebagai reseller, begitu mereka daftar, akan mendapatkan sampel flatshoes dan katalog dari The Warna. Reseller tidak dibebani target dari The Warna dan bisa berlangsung seumur hidup.
 
Sepatu The Warna dengan motif batik [Foto: Dok Pri dalam  The Warna]
Reseller The Warna juga diadakan gathering. Mereka biasanya dikumpulkan di satu tempat (café/resto), ngobrol santai tapi bukan bisnis. Target user The Warna anak-anak dan wanita, utamanya lebih kepada wanita.

Nah, ternyata, produk The Warna ini telah merambah ke luar negeri lho. Ke mana sajakah itu? Ya, ke negara Hongkong dan Korea. Mengapa di negara tersebut? Dany mengatakan, karena Hongkong dan Korea banyak TKI. Pendapatan reseller di negara ini jauh lebih besar. Jika banyak pesanan yang dilakukan, otomatis ekspedisinya jadi sangat murah.

Sistem pengiriman barang The Warna menggunakan ekspedisi pengiriman JNE yang di-pick up per hari. Jadi, reseller pun tak repot-repot harus jemput barang, semua dipermudah The Warna. The Warna punya pabrik sendiri. Jadi, barang-barang pun sudah ready stok. Kecuali permintaan barang (spesial/PO), seperti permintaan penambahan heel panjang 2 cm atau 7 cm.

Untuk saat ini The Warna juga buka e-commerce (kerjasama) dengan Sophie, Tokopedia, dan Bukalapak.com. Rata-rata memang dilakukan langsung oleh reseller bukan langsungoleh The Warna.

Ada hal unik menurut saya dari The Warna ini. Sang pemilik, Dany, bukan berlatar belakang bisnis. Tetapi, dia dulunya dia pernah menempuh pendidika tinggi di Management Informatika. Karena fokus pada usaha, pada akhirnya kuliahnya terbengkalai. Tetapi, dengan tekad kuat, Dany berhasil memajukan The Warna.
 
Dany Anwar sebagai sosok pekerja keras [Foto: Dok Pri]
Untuk desain sepatu The Warna pun, mulanya dia desain sendiri. Karena memang senang dengan desain dan motif. Nah, sementara ketika dia datang  ke pembuat sepatu yang ada di Bogor, pembuat sepatu tersebut kurang bisa dan belum tertarik untuk membuat sepatu hi-heel, wedges, dan sejenisnya. Keahlian mereka masih di tataran membuat flat shoes.

Jadi, The Warna selama hampir tiga tahun hanya memproduksi sepatu berjenis flat shoes saja. Inspirasi  desain sepatunya sendiri datang dari hasil browsing di social media-pinterest. Ada sesekali The Warna mengeluarkan sepatu tematik, seperti Hari Kemerdekaan. Jadi, mengeluarkan sepatu  merah putih. Baru satu tahun terakhir ini saja mengeluarkan model sepatu tematik tersebut.

The Warna punya tim Social Media sendiri, jadi semua materi/konten, sebelum disebar ke reseller sudah dipersiapkan secara matang. Reseller hanya tinggal mem-posting saja.

Nah, di tahun 2019, The Warna telah menyiapkan sepatu dengan model/bentuk lain dan telah merekrut salah satu desainer sepatu terkenal di brand tersebut. Dan ini tepat sekali untuk The Warna, karena memang The Warna tidak memiliki product design termasuk desainer. 
 
Inilah alasan, mengapa harus The Warna [Foto: Dok Pri dalam The Warna]

"Desain  The Warna selama ini by insting saja, begitu kenal dengan desainer tersebut produk yang bakal dikeluarkan pun bakal terkonsep," tutur Dany.

Motif sepatunya nanti juga akan dikeluarkan per tiga bulan. Nah, di tiga  pertama ini (2019), The Warna bakal mengeluarkan trend Dayak dan Jawa Tengah. Jadi, selama tiga bulan, motif yang dieksplor adalah dua daerah tersebut. Akan tetapi, tetap dengan memegang pakem atau motif yang sudah dimiliki The Warna.

Untuk triwulan kedua, The Warna akan mengeluarkan motif dari daerah Sunda (Jawa Barat) dan Makassar (Sulawesi Selatan). Jadi, plan tema sudah dibuat, tinggal mengeksekusinya saja. kita tunggu ya, bakal seperti apa motif hasil eksplorasi yang akan dikembangkan nanti di 2019 oleh The Warna ini.

Kalau sebelum-sebelumnya The Warna mengaplikasikan kain yang diperoleh dari hasil eksplor, tapi kini The Warna mulai mengerjakan sendiri kain untuk sepatu alias buat kain sendiri. Oleh karenanya, The Warna merekrut juga desainer tekstil. Jenis bahan yang dipakai untuk sepatu The Warna ini dari bahan blanket dan katun juga dilapisi spons seperti sepatu kebanyakan. Jadinya terlihat tebal. Dalam satu bulan, The Warna bisa menghasilkan 8 bentuk model baru sepatu dan memproduksi sekitar tiga ribu pasang sepatu. Pekerjaan rumah terbesar dari sepatu menurut Dany adalah bagaimana membuat sepatu itu terlihat benar-benar simetris. Tidak boleh ada yang kurang atau miring.

Sophie Paris
Nah, di acara “Meraup Untung dari Social Media” ini tidak hanya The Warna saja yang sudah membuktikannya. Ternyata, salah satu perusahaan terbesar bernama Sophie pun turut menikmati. Siapa sih Sophie?
 
Representatif Sophie Paris [Foto: Dok ISB]
Sophie ini perusahaan yang bergerak di bidang fashion, beauty, juga healthy living. Sophie berdiri pada 1995 oleh Bruno Hasson. Penjualannya menganut sistem online to offline social shopping platform dengan penawaran produk yang dibuat berdesain Perancis punya. Nah, dulunya, namanya Sophie Martin, akan tetapi sebagai salah satu bentuk strategi pemasaran, ditambahkan kata Paris.

Sepertinya Bruno Hasson tidak jauh  berbeda dengan Dany Anwar. Kalau Dany memulai usahanya dengan membuat sepatu, Sophie oleh Bruno memulainya dengan membuat tas rumahan. Tas hasil kerajinan tangan Bruno mendapat tempat di hati masyarakat. Lama kelamaan, tas yang diproduksi penjualannya terus meroket. 

Dari situ, Bruno pun mulai mencari karyawan, sewa tempat, juga membuat direct selling dengan menggunakan tenaga penjual. Dia beri insentif setiap produk Sophie yang terjual. Kemudian, produk Sophie ini sediri dibuat pemasaran berjenjang yang merekrut anggota menjadi mitra untuk menjual produk Sophie hingga ke penjuru nusantara.

Bisnis Sophie semakin berkembang hingga ke luar negeri. Pada 2008 Sophie membuat strategi pemasaran merek, yaitu Sophie Paris. Sophie Martin sendiri jadi bagian dari merek Sophie Paris yang jadi payung beberapa merek lainnya. 



Representatif Sophie Paris sedang me-make over salah satu peserta [Foto: Dok Pri + ISB]

Karena zaman terus berkembang, Sophie Paris pun tak ingin ketinggalan. Perusahaan ini pun melakukan transformasi digital usaha secara online. Sophie Paris membuat beragam program pelatihan di beberapa social media seperti Facebook dan Instagram. Di kesempatan ini pula, representatif Sophie melalukan make up demo ke salah satu peserta dengan menggunakan produk kecantikan yang mereka miliki. Hasilnya?? Waaw… menakjubkan!

Sejalan dengan itu, menurut Imam Mahmudi, salah seorang digital marketing professional, yang juga sebagai salah satu narasumber di acara ini mengatakan, bahwa penggunaan digital marketing hanya  bagian kecil  dari social media. Hal itu pun tak terbatas hanya iklan semata, tetapi bagaimana seseorang atau perusahaan dan pemilik bisnis menerapkan strategi pemasaran di social media yang dimiliki secara kontinu.
 
Imam Mahmudi, Digital Marketing Professional [Foto: Dok Pri]

Orang menggunakan digital marketing karena cepat jangkauannya, dapat dilakukan secara personal, dan sangat relevan dengan perkembangan saat ini. Semua dituntut serba cepat dan tidak mengeluarkan uang banyak untuk promosi. Efektivitas kerja dan hasil maksimal yang dicari.

Melihat peluang yang berkembang dan ada saat ini, social media menjadi media paling efektif untuk pemasaran. Menurut Social Network, pada 2017 bahwa penggunaan Youtube sebagai media pemasaran menduduki peringkat pertama, kemudian disusul Facebook, dan posisi ketiga Instagram. Sementara, Twitter berada di posisi keempat. Mungkin, lama kelamaan twitter akan ditinggalkan orang sebagai media pemasaran.
 
Imam Mahmudi dalam paparannya [Foto: Dok Pri]
Lebih lanjut Imam menjelaskan di era teknologi yang makin menggila, push to pull digital marketing melalui social media bukan hal baru lagi, tetapi sudah semakin jamak dipakai. Social media sebagai pendorong untuk memasarkan produk (online) dapat berupa FB, Twitter, Instagram. Sementara, kalau ingin menarik lebih banyak pelanggan dapat melalui SEM (Search Engine Marketing) atau Specialist Online Directories.

Tata cara pemasaran tradisional pun tetap dilakukan seperti melalui Bilboard, TV, dan print untuk menekan pemasaran. Sedangkan yellow pages dan classifieds lainnya dipakai untuk menarik klien.

Jadi, ada tahapan  yang perlu diperhatikan ketika seseorang atau perusahaan ingin melakukan digital marketing, yaitu:
1.    Menarik perhatian konsumen (Attention/Awarness)
2.    Membangkitkan rasa suka kepada konsumen dengan menunjukkan keunggulan produk (Interest)
3.    Berniat untuk membeli (Desire/Decision), dan
4.    Memutuskan untuk membeli (Action)

Kita mesti tahu peruntukkan masing-masing social media yang akan dipakai. Misalnya facebook. Objektifnya apa ketika kita ingin menggunakan sosmed ini untuk marketing. Facebook, misalnya page like akan menambah jumlah fans, saat posting akan terjadi interaksi, dan ketika orang klik link tentunya kita mengarahkannya ke landing page atau website yang kita miliki.

Begitu pula halnya dengan instagram. Ketika seseorang posting, objektifnya otomatis yang dicari adalah interaksi. Sementara, ketika orang meng-klik bio, kita akan mengarahkannya ke landing page atau website. Nah, enaknya lagi di instagram seseorang dapat membuat konten video pendek berdurasi satu menit untuk mendapatkan engagements dan jumlah views, pun demikian Youtube.

Kalau seseorang menggunakan twitter dalam marketingnya, mesti tahu pula objektif yang diinginkannya. Twitter biasanya digunakan untuk promosi akun yang dimiliki yang diharapkan  dapat menambah jumlah follower.

Ketika seseorang meng-klik web yang dibagikan, biasanya orang tersebut akan diarahkan ke landing page atau website tertentu. Promosi  tweet yang dilakukan berguna agar terjadi interaksi dari twit yang dibuat sedangkan lead pada twitter kita harapkan dapat menjadi database.

Kata kunci atau keywords pun berperan penting dalam digital marketing kita gunakan. Search kata kunci yang paling banyak dipakai untuk melihat posisi website kita. Pemilihan kata kunci populer justru akan memberi peluang besar website dan media sosial yang kita punya semakin mudah dicari orang dan bisa jadi berada di urutan pertama google.

Muara dari semua digital marketing ini adalah konten. Content is king. Ya, benar sekali, konten itu raja. Jadi, bagaimana konten yang dibuat dapat memberikan efek lebih kepada orang yang melihat juga pelaku bisnis. Sementara, konten yang terdistribusi adalah ratunya. Artinya, orang bisa dengan mudah membaca konten yang kita miliki dan berhasil memberi pengaruh.
 
Keuntungan menggunakan media sosial [Foto: Dok https://mailninja.co.uk/social-media-benefit-e-mail-marketing]
Jadi, bagaimana digital marketing kita berhasil  tergantung seberapa pintar dan bijak kita menggunakan seluruh  media sosial yang kita punyai. Pemilihan konten dan target market pun sangat berpengaruh terhadap keberhasilan marketing yang kita gulirkan. Bagaimana dengan kalian, apakah sudah banyak meraup untung dari media sosial yang kalian punya? Boleh donk ya berbagi, apa saja contohnya yang pernah diperoleh dari media sosial kalian? Feel free lho yaa…

Saya mau berbagi sedikit dari media sosial yang saya punya. Untuk facebook saya share hal-hal yang memang berkaitan dengan keadaan sehari-hari dan tidak hal-hal nyinyir. Orang yang melihat pun bisa respect. 

Sementara, instagram saya isi dengan aktivitas sehari-hari atau yang berbau dengan dunia kulinari. Nah, dari instagram banyak orang yang melihat dan pengumuman yang sifatnya kulinari juga saya ikuti. Alhasil, dari IG saya pernah ikuti lomba masak masakan negeri gajah putih, dan berhasil memenangkannya. Ganjarannya, jalan-jalan ke negara tersebut.

Dari FB, saya banyak mendapatkan undangan untuk mengisi materi berbau dunia digital dan perpustakaan. Intinya, media sosial yang saya punyai memang diperuntukkan kepada hal-hal yang mendatangkan manfaat. 
Admin ISB menjelaskan tentang Komunitas ISB [Foto: Dok Pri]

Bersama peserta Gathering ISB [Foto: Dok ISB]