Imunisasi salah satu cara mencegah penyakit [Foto: Dok Tribun Jabar] |
Suami: “Besok, kalo anak kita lahir,
segera diimunisasi ya, bu?”
Istri: “Imunisasi? Ga ah pak! Saya
akan terus kasih ASI hingga 4 tahun. Di ASI juga sudah banyak vitamin dan
bahan-bahan lain untuk mencegah sakit anak-anak.”
Suami: “Tidak bisa bu, pokoknya
tetap diimunisasi. Ini bagian penting dari kehidupan anak-anak kita kelak.”
Istri: “Itu imunisasi produk luar,
bukan produk asli Indonesia, sementara dari negara asalnya saja banyak
anak-anak yang ga diimunisasi. Memangnya mau anak kita jadi kelinci percobaan?”
Ini penggalan debat antara suami dan
istri yang tak mau anaknya begitu lahir diimunisasi.Sang istri keukeuh dengan
pendiriannya, begitu pun sang suami. Masing-masing punya argumentasi
Kejadian ini pun pernah saya dan
istri alami ketika kami baru punya anak pertama. Saya sendiri bersikukuh untuk
memberikan imunisasi kepada anak pertama kami, karena imunisasi penting sekali
menurut saya untuk mencegah beragam penyakit yang dapat menggerogoti anak kami.
Sementara, istri juga punya pendapat
sendiri untuk tidak memberikan imunisasi kepada anak kami. Ya, bersikukuh
dengan pendapat masing-masing hingga ada yang mau mengalah salah satunya.
Untuk hal ini, kami memang perlu
membuat kesepakatan bersama. Karena, bagaimanapun kami tidak ingin terjadi
hal-hal yang tidak diinginkan dari anak kami ketika imunisasi sudah diberikan.
Saya dan istri juga tidak bosan
untuk menggali beragam informasi apa dampak jika anak tidak diimunisasi,
terutama kepada dokter anak kami. Karena langsung bertanya pada dokter anak yang sudah jadi
dokter keluarga, justru disarankan. Dari situlah istri dan saya benar-benar
menaati keberlangsungan kesehatan anak agar terhindar dari penyakit karena
tidak mendapatkan imunisasi.
Keinginan pemberian imunisasi ini kami lakukan dengan
kesadaran penuh tanpa paksaan atau tekanan
dari siapapun.Hal ini karena melihat ragam penyakit yang diderita dari
anak-anak yang tidak mendapatkan imunisasi semakin menguatkan kami untuk terus
memberikan imunisasi kepada anak-anak kami selanjutnya.
Melihat perjalanan kesehatan
anak-anak di dunia, justru imunisasi ini menjadi salah satu penyelamat jiwa
anak-anak kami khususnya, dan anak-anak manusia umumnya agar anak-anak
Indonesia semakin sehat.
Hal ini menjadi
salah satu intervensi kesehatan yang boleh dibilang berhasil dan memberi efek
jangka panjang anak terhindar dari
penyakit. Selain itu, tentunya biaya yang dikeluarkan tidak banyak (baca
hemat biaya).
Kalau dilihat
sejauh ini rasanya miris, ternyata masih banyak
anak-anak di
dunia yang tidak mendapatkan perlindungan imunisasi. Sekitar 19.5 juta anak justru tidak diimunisasi secara lengkap.
Satu dari sepuluh anak-anak itu tidak mendapat
vaksinasi apapun yang juga tidak terdeteksi oleh sistem kesehatan. Memang, sangat disayangkan.
Oleh karenanya,
pemerintah melalui #PekanImunsasiDunia ini ingin meluaskan capaian Sustainable Development Goals (SDG).
Perlu memang kita ketahui bahwa, vaksinasi tidak hanya mencegah penderitaan dan
kematian yang terkait penyakit menular, seperti TB, diare, campak, pneumonia,
polio, batuk rejan, dan lain-lain, tetapi juga membantu mendukung
prioritas nasional seperti pendidikan dan pembangunan ekonomi.
Jika dilihat juga bahwa nilai vaksin ini
sangat unik. Uniknya itu pendorong ditetapkannya Global Vaccine Action Plan
(GVAP) 2020. GVAP ini disahkan oleh 194 anggota negara ada World Health
Assembly ke-60 pada 12/05/2012. Hal ini sebagai kerangka kerja mencegah jutaan
kematian akibat penyakit yang bisa dicegah dengan vaksin pada 2020 dengan akses
universal untuk imunisasi.
Apa sih tujuan
GVAP ini? Tujuannya antara lain menetapkan imunisasi rutin, mempercepat
kontrol penyakit yang bisa dicegah dengan vaksin (pemberantasan polio sebagai
tahap pertama), mengenalkan vaksin baru,
dan memacu penelitian dan pengembangan teknologi vaksin.
Target GVAP ini
memang untuk mengeliminasi penyakit, termasuk rubella, campak, juga tetanus
neonatus dan maternal meski masih telat dari jadwal. Pekan Imunisasi Dunia ini
menitikberatkan pada tindakan kolektif yang diperlukan dalam menjamin setiap
orang terlindungi dari penyakit yang
bisa dicegah dengan vaksin.
Semua orang
perlu diberitahu dan diajak termasuk pemerintah, organisasi profesi. LSM,
organisasi lain yang peduli imunisasi, warga, mitra swasta, juga media untuk
meningkatkan capaian imunisasi secara
berkelanjutan.
Berhubungan
dengan hal ini, pada Senin (15/04/2019) bersama Kementerian
Kesehatan RI melakukan temu blogger berkenaan dengan Pekan Imunisasi Dunia.
Prof. Dr. Cissy B. Kartasmita Sp.A (K), M.S, PhD. Ketua Satgas Imunisasi IDAI Pusat [Foto: Dok Pri] |
Hadir di
tengah-tengah Temu Blogger ini pembicara Prof. Dr. Cissy B.Kartasasmita, Sp.A (K), M.Sc, PhD. Selaku Ketua Satgas Imunisasi IDAI,
dokter R. Vensya Sitohang, M. Epid., dan Dr. HM. Asrorun Ni’am Sholeh, M.A. Dalam
paparannya, Prof Cissy
menyampaikan bahwa, banyak penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi di
antaranya, campak, polio, hepatitis B, pertusis, difteri, Hib, tetanus, dan lainnya.
Sebenarnya, pada 1074 Who selaku
organisasi kesehatan dunia mengenalkan program EPI (Expanded Program on
Immunization) untuk menjamin bahwa semua anak punya akses untuk mendapat
imuniassii secara rutin yang direkomendasikan.
Sejak saat itu seluruh cakupan
global dari empat vaksin utama yang direkomendasikan (vaksin Bacille
Calmette-Guerin (BCG), vaksin diphteria-tetanus-pertussis, vaksin polio, dan
vaksin campak) meningkat dari <5% menjadi >84%, dan secara bertahap
vaksin tambahan direkomendasikan ke dalam jadwal.
Jika anak-anak
tidak mendapatkan imunisasi dan terkena penyakit, maka kecenderungannya akan
menjadi penyakit kronis dan mematikan. Misal pada bayi dan anak-anak, 80%--90% yang terinfeksi tahun pertama ke kehidupan cenderung menjadi kronik.
Sementara, anak yang berumur kurang dari 6 tahun 30-50% cenderung menjadi
kronik.
dokter Vensya Sitohang, M.Epid-Direktur Surveilans dan Karantina Kesehatan Kemenkes RI [Foto: Dok Pri] |
Untuk orang
dewasa, apabila penyakit yang semestinya harus mendapatkan perlindungan atau
diimunisasi tetapi tidak, maka kurang
dari 5% dewasa sehat, jika terkena infeksi akan menjadi kronik. 20%-30% dari
hepatitis kronik cenderung menjadi sirosis atau kanker hati. Semakin kecil umur terkena infeksi, semakin
besar kecenderungan menjadi kronis.
Sementara itu,
lebih lanjut Prof Cissy menyampaikan apabila terjadi pada masa transmisi
neonatal, 70%-90% dari Ibu HbsAg dan HbeAg positif, 20% apabila ibu HbsAg
positif. Dari sini bayi tertular saat dilahirkan (penularan secara vertikal)
dan 90% menjadi menahun akibatnya terjadi sirosis hepatis berujung pada kanker
hati.
Imunisasi
Di Indonesia
Ya, imunisasi merupakan tindakan
pencegahan global yang paling efektif biaya, tidak ada tandingannya kecuali
pengadaan air bersih.
Imunisasi di Indonesia sesungguhnya
sudah ada sejak 1956. Di taun 1977 kegiatan imunisasi semakin diperluas menjadi
program pengembangan imunisasi (PPI) dalam rangka pencegahan penularan terhadap
beberapa penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I), yaitu TB, Difteri, Pertusis, Campak,
Tetanus, serta Hepatitis B.
Adapun penyakit yang menjadi
perhatian dunia dan menjadi komitmen global yang wajib diikuti oleh semua
negara adalah eradikasi polio (ERAPO), eliminasi campak dan rubela dan
Eliminasi Tetanus Maternal dan Neonatal (ETMN).
Melihat perjalanan sejarah Program
Imunisasi pada 1956 dimulai dengan variola, 1973 BCG, 1974 TT, 1976 DPT, 1980
Polio, 1982 Measles, 1997 Hepatitis B, 2004 DPT/HB (kombinasi), 2013
Haemofilius Influensa tipe B (DPT/HB/Hib), dan 2016 HPV*
Bagaimana
dengan TB? Secara global pada tahun 2013 19%-43.5% penduduk dunia terinfeksi M.
tuberculosis. Kasus TB baru lebih dari 9 juta per tahun. Insidens SEA 35%,
Afrika 30%, Western Pacific 20%. Pada anak, kasus baru ada 5 ratus ribu per
tahun dan 80 ribu meninggal dunia.
Berdasarkan
data Riskedas 2013, prevalens TB tahun 2007 & 2013 tidak jauh berbeda
(0,4%). Provinsi tertinggi yang tekena TB dialami oleh Jabar (0.7%); Papua
(0.6%), DKI Jakarta (0.6%), Gorontalo (0.5%), Banten (0.4%), Papua Barat
(0.4%).
Bagaimana
dengan Difteri? Difteri merupakan penyakit yang sangat menular disebabkan oleh
Corynebacterium diptheriae. Sumber
infeksi hanya manusia yang ditularkan melalui aspirasi pernapasan, yaitu
penyakit pernapasan bagian atas. Angka kematian
tertinggi di usia muda dan lansia.
Pun dengan
pertusis. Penyakit ini sangat menular. Secara etiologi berasal dari Bordetella
pertussis. Hati-hati ketika kita mendekati pasien ini, dapat terjadi penularan
ketika pasien sedang batuk-batuk. Insidensinya akan meningkat pada bayi usia
muda (pra vaksinasi). Beban ppenyakit global ini sekitar 136.372 kasus versus
estimasi 17,6 juta pada 2003 dan 152.535 kasus pada tahun 2007 dan
penyakit-penyakit lainnya yang memang
perlu imunisasi.
Banyak pula
orang tua yang kadang tidak ingin anak-anaknya diimunisasi. Menurut Riskesdas
2013, alasan utama anak tidak diimunisasi karena takut panas, keluarga tidak
mengizinkan, tempat imunisasi jauh, sibuk/repot, sering sakit, dan tidak tahu
tempat imunisasi.
Sebenarnya
tidak perlu dikhawatirkan, demam setelah imunisasi merupakan reaksi normal yang
akan hilang dalam waktu 2-3 hari. Kejadian ikutan paska imunisasi yang serius
sangat jarang terjadi.
Fakta Imunisasi
Imunisasi
mencegah penyakit, kecacatan, dan kematian dari penyakit yang dapat dicegah
dengan imunisasi, termasuk TB, hepatitis B, difteri, pertusis (whooping
cough, batuk rejan), tetanus, polio, campak, pneumonia, gondongan, diare
akibat rotavirus, rubella, dan kanker serviks.
Diperkirakan
imunisasi sekarang dapat mencegah 2 hingga 3 juta kematian setiap tahunnya.
Tambahan 1.5 juta kematian dapat dicegah jika cakupan imunisasi global
meningkat. Selama 2016, diperkirakan 116,5 juta (lebih kurang 85%) anak-anak di
bawah usia 1 tahun di seluruh dunia menerima 3 dosis vaksin
difteri-tetanus-pertusis (DTP3). Anak-anak tersebut terlindung dari penyakit
menular yang menyebabkan penyakit serius
atau kecacatan akibatnya fatal.
Sekitar 19.5
juta bayi di dunia tidak mendapatkan imunisasi dasar bahkan melewatkannya. 60%
anak-anak itu tinggal di 10 negara seperti Angola, Brazil, Kongo, Ethiopia,
India, Indonesia, Irak, Nigeria, Pakistan, dan Afrika Selatan.
Cakupan
imunisasi global sudah stagnan di 86% tanpa ada perubahan signifikan selama
beberapa tahun terakhir. Ada peningkatan penggunaan vaksin baru dan vaksin yang
kurang dimanfaatkan.
Vaksin yang
diberikan kepada anak-anak merupakan produk yang menghasilkan kekebalan
terhadap penyakit dan dapat diberikan melalui suntikan, melalui kulit atau
diberikan melalui mulut juga dengan penyemprotan.
Sementara,
vaksinasi sebagai tindakan penyuntikan organisme yang mati atau dilemahkan
selanjutnya akan menghasilkan kekebalan tubuh terhadap organisme tersebut.
Kita juga mesti
hati-hati dan waspada terhadap berita hoax yang mengatasnamakan vaksin.
Ada kelompok yang antivaksin yang seringkali melebih-lebihkan risiko imunisasi
tanpa bukti ilmiah.
Padahal
kenyataannya tidak demikian. Tidak dianjurkan ketika anak dalam kondisi kurang
sehat untuk diimunisasi, seperti batuk, deman, atau pilek.
Anak-anak yang mendapat imunisasi
akan terlihat lebih segar dan ceria dibanding yang tidak. Didukung pula oleh
faktor lingkungan yang memberi peran besar terhadap aktivitas mereka. Nah, hal
ini akan berkaitan dengan tumbuh kembang anak itu sendiri.
Tumbuh kembang anak sendiri
dipengaruhi oleh faktor seperti penyediaan air bersih, imunisasi, sanitasi
sehat, pengasuhan optimal, ASI ekslusif, dan nutrisi seimbang. Nah, mengapa
imunisasi sendiri diperlukan.
Menurut Prof. Cissy, anak-anak yang
beroleh imunisasi akan menghasilkan kekebalan (imunitas), jika terkena infeksi
secara alamiah akan menimbulkan kekebaan, imunisasi meniru kejadian infeksi
alami, imunisasi akan membuat tubuh membentuk kekebalan melalui pertahanan non
spesifik & spesifik, mampu mencegah penyakit yang menyebabkan kematian dan
kecacatan, dan memenuhi kewajiban hak anak.
Kita sebagai orag tua juga perlu
waspada jika anak tidak mendapatkan imunisasi. Anak tidak memiliki kekebalan
terhadap mikroorganisme ganas (patogen), anak dapat meninggal atau cacat
sebagai akibat menderita penyakit infeksi berat, anak akan menularkan penyakit
ke anak atau dewasa lain, dan penyakit tetap berada di lingkungan masyarakat.
Jadi, kita juga perlu tahu tujuan
imunisasi itu sendiri untuk apa. Ya, tujuan imunisasi itu pencegahan perorangan dari penyakit tertentu
(intermediate goal), mencegah penularan penyakit, menurunkan kejadian penyakit
(epidemiologi penyakit berubah), dan eradikasi penyakit sebagai final goal.
Nilai-nilai sosial pun masuk dalam
imunisasi ini, ada herd immunity, indirect effect, kekebalan komunitas,
mengakibatkan pemutusan rantai penularan penyakit dari anak ke anak lain,
pemutusan rantai penularan penyakit dari anak kepada orang dewasa yang tinggal
bersamanya, dan 5%--20% anak yan tidak diimunisasi juga terlindungi.
Vaksinasi dari imunisasi ini akan
menunjang sistem kesehatan masyarakat dengan menurunkan angka kesakitan,
menurunkan biaya pengobatan dan perawatan di rumah sakit, mencegah kematian dan
kecacatan, dan mencegah beban masyarakat seumur hidupnnya. Nah, sebanyak 30%
anak-anak sekarang sebagai generasi yang
pegang tali kendali pemerintahan di masa depan.
Imunisasi pun tak jarang banyak
mendapat penolakan dengan negative campaign
dari kelompok-kelompok anti imunisasi. Nah, kelompok ini memang
menentang program imunisasi dengan sejuta alasan, seperti penyakit sudah tidak
ada tetapi kok masih tetap imunisasi, meski sudah diimunisasi penyakit tetap
ada, takut efek samping imunisasi. Sementara, keompok negative campaign lainnya
berasal dari dokter: homeopathy, naturpathy, nondokter: memasarkan pengobatan
alternatif.
Jadi, jangan ragu untuk vaksinasi
anak-anak kita karena imunisasi sangat penting utuk menurukan kejadian dan
kematian akibat penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I). Vaksin
dapat menghasilkan imunitas seperti halnya infeksi alamiah.
Fatwa
MUI Terkait Imunisasi
Apakah
vaksinasi itu haram? Menurut Dr. H.M.
Asrorun Ni’Am Sholeh, MA, Sekretaris
Komisi Fatwa MUI Pusat mengatakan bahwa vaksin harus aman dan sesuai norma agama. Bahan
imunisasi harus aman dan sesuai norma agama. Pasal 153 “pemerintah menjamin
ketersediaan bahan imunisasi yang aman, bermutu, efektif, terjangkau, dan
merata bagi masyarakat untuk upaya pengendalian penyakit menular melalui
imunisasi. Pasal 2 UU kesehatan menegaskan salah satu asas pembangunan
kesehatan harus memperhatikan dan menghormati agama yang dianut masyarakat.
Fatwa MUI No. 4
tahun 2016 poin No. 5 program imunisasi hukumnya wajib. Disebutkan dalam hal
jika seseorang tidak diimunisasi akan menyebabkan kematian, penyakit berat,
atau kecacatan permanen yang mengancam jiwa, berdasarkan pertimbangan ahli yang
kompeten dan dipercaya, maka imunisasi hukumnya wajib.
“Imunisasi pada
dasarnya dibolehkan (mubah) sebagai bentuk ikhtiar untuk mewujudkan
kekebalan tubuh (imunitas) dan mencegah terjadinya penyakit tertentu. Vaksin
untuk imunisasi wajib menggunakan vaksin yang halal dan suci. Penggunaan vaksin
imunisasi yang berbahan haram dan atau najis, hukumnya haram. Imunisasi dengan
vaksin yang haram dan atau najis, tidak dibolehkan, kecuali digunakan pada
kondisi al-dlarurat atau ah-hajat; belum ditemukan bahan vaksin
yang halal dan suci; dan adanya keterangan tenaga medis yang kompeten dan
dipercaya bahwa tidak ada vaksin yang halal,” pungkas Arorun Ni’am.
Jadi, jelas kan sekarang bahwa imunisasi tidak bertentangan
dengan agama selama bahan-bahan yang dikandungnya tidak berasal dari bahan yang
diharamkan dalam syariat Islam. Pencegahan melalui imunisasi artinya mencegah
generasi masa depan bangsa dari beragam penyakit.