Wednesday, April 17, 2019

Imunisasi, Cara Jitu Cegah Penyakit



Imunisasi salah satu cara mencegah penyakit [Foto: Dok Tribun Jabar]

Suami: “Besok, kalo anak kita lahir, segera diimunisasi ya, bu?”

Istri: “Imunisasi? Ga ah pak! Saya akan terus kasih ASI hingga 4 tahun. Di ASI juga sudah banyak vitamin dan bahan-bahan lain untuk mencegah sakit anak-anak.”

Suami: “Tidak bisa bu, pokoknya tetap diimunisasi. Ini bagian penting dari kehidupan anak-anak kita kelak.”

Istri: “Itu imunisasi produk luar, bukan produk asli Indonesia, sementara dari negara asalnya saja banyak anak-anak yang ga diimunisasi. Memangnya mau anak kita jadi kelinci percobaan?”

Ini penggalan debat antara suami dan istri yang tak mau anaknya begitu lahir diimunisasi.Sang istri keukeuh dengan pendiriannya, begitu pun sang suami. Masing-masing punya argumentasi

Kejadian ini pun pernah saya dan istri alami ketika kami baru punya anak pertama. Saya sendiri bersikukuh untuk memberikan imunisasi kepada anak pertama kami, karena imunisasi penting sekali menurut saya untuk mencegah beragam penyakit yang dapat menggerogoti anak kami.

Sementara, istri juga punya pendapat sendiri untuk tidak memberikan imunisasi kepada anak kami. Ya, bersikukuh dengan pendapat masing-masing hingga ada yang mau mengalah salah satunya.

Untuk hal ini, kami memang perlu membuat kesepakatan bersama. Karena, bagaimanapun kami tidak ingin terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dari anak kami ketika imunisasi sudah diberikan.

Saya dan istri juga tidak bosan untuk menggali beragam informasi apa dampak jika anak tidak diimunisasi, terutama kepada dokter anak kami. Karena langsung bertanya pada dokter anak yang sudah jadi dokter keluarga, justru disarankan. Dari situlah istri dan saya benar-benar menaati keberlangsungan kesehatan anak agar terhindar dari penyakit karena tidak mendapatkan imunisasi.

Keinginan  pemberian imunisasi ini kami lakukan dengan kesadaran penuh tanpa paksaan atau tekanan  dari siapapun.Hal ini karena melihat ragam penyakit yang diderita dari anak-anak yang tidak mendapatkan imunisasi semakin menguatkan kami untuk terus memberikan imunisasi kepada anak-anak kami selanjutnya.

Melihat perjalanan kesehatan anak-anak di dunia, justru imunisasi ini menjadi salah satu penyelamat jiwa anak-anak kami khususnya, dan anak-anak manusia umumnya agar anak-anak Indonesia semakin sehat.

Hal ini menjadi salah satu intervensi kesehatan yang boleh dibilang berhasil dan memberi efek jangka panjang anak terhindar dari  penyakit. Selain itu, tentunya biaya yang dikeluarkan tidak banyak (baca hemat biaya).


Kalau dilihat sejauh ini rasanya miris, ternyata masih banyak anak-anak di dunia yang tidak mendapatkan perlindungan imunisasi. Sekitar 19.5 juta anak justru tidak diimunisasi secara lengkap. Satu dari sepuluh  anak-anak itu tidak mendapat vaksinasi apapun yang juga tidak terdeteksi oleh sistem kesehatan. Memang, sangat disayangkan.

Oleh karenanya, pemerintah melalui #PekanImunsasiDunia ini ingin meluaskan capaian Sustainable Development Goals (SDG). Perlu memang kita ketahui bahwa, vaksinasi tidak hanya mencegah penderitaan dan kematian yang terkait penyakit menular, seperti TB, diare, campak, pneumonia, polio, batuk rejan, dan lain-lain, tetapi juga membantu mendukung prioritas nasional seperti pendidikan dan pembangunan ekonomi.
 
Blogger Kesehatan di Temu Blogger Pekan Imunisasi Dunia Tahun 2019 [Foto: Dok Pri]
Jika dilihat juga bahwa nilai vaksin ini sangat unik. Uniknya itu pendorong ditetapkannya Global Vaccine Action Plan (GVAP) 2020. GVAP ini disahkan oleh 194 anggota negara ada World Health Assembly ke-60 pada 12/05/2012. Hal ini sebagai kerangka kerja mencegah jutaan kematian akibat penyakit yang bisa dicegah dengan vaksin pada 2020 dengan akses universal untuk imunisasi.

Apa sih tujuan GVAP ini? Tujuannya antara lain menetapkan imunisasi rutin, mempercepat kontrol penyakit yang bisa dicegah dengan vaksin (pemberantasan polio sebagai tahap pertama), mengenalkan  vaksin baru, dan memacu penelitian dan pengembangan teknologi vaksin.

Target GVAP ini memang untuk mengeliminasi penyakit, termasuk rubella, campak, juga tetanus neonatus dan maternal meski masih telat dari jadwal. Pekan Imunisasi Dunia ini menitikberatkan pada tindakan kolektif yang diperlukan dalam menjamin setiap orang terlindungi  dari penyakit yang bisa dicegah dengan vaksin.

Semua orang perlu diberitahu dan diajak termasuk pemerintah, organisasi profesi. LSM, organisasi lain yang peduli imunisasi, warga, mitra swasta, juga media untuk meningkatkan  capaian imunisasi secara berkelanjutan.

Berhubungan dengan hal ini, pada Senin (15/04/2019) bersama Kementerian Kesehatan RI melakukan temu blogger berkenaan dengan Pekan Imunisasi Dunia.

Prof. Dr. Cissy B. Kartasmita Sp.A (K), M.S, PhD. Ketua Satgas Imunisasi IDAI Pusat [Foto: Dok Pri]

Hadir di tengah-tengah Temu Blogger ini  pembicara Prof. Dr. Cissy B.Kartasasmita, Sp.A (K), M.Sc, PhD. Selaku Ketua Satgas Imunisasi IDAI, dokter R. Vensya Sitohang, M. Epid., dan Dr. HM. Asrorun Ni’am Sholeh, M.A. Dalam paparannya, Prof Cissy menyampaikan bahwa, banyak penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi di antaranya, campak, polio, hepatitis B, pertusis, difteri, Hib, tetanus, dan lainnya.

Sebenarnya, pada 1074 Who selaku organisasi kesehatan dunia mengenalkan program EPI (Expanded Program on Immunization) untuk menjamin bahwa semua anak punya akses untuk mendapat imuniassii secara rutin yang direkomendasikan.

Sejak saat itu seluruh cakupan global dari empat vaksin utama yang direkomendasikan (vaksin Bacille Calmette-Guerin (BCG), vaksin diphteria-tetanus-pertussis, vaksin polio, dan vaksin campak) meningkat dari <5% menjadi >84%, dan secara bertahap vaksin tambahan direkomendasikan ke dalam jadwal.   

Jika anak-anak tidak mendapatkan imunisasi dan terkena penyakit, maka kecenderungannya akan menjadi penyakit kronis dan mematikan. Misal pada bayi dan anak-anak, 80%--90% yang terinfeksi tahun pertama ke kehidupan cenderung menjadi kronik. Sementara, anak yang berumur kurang dari 6 tahun 30-50% cenderung menjadi kronik.
 
dokter Vensya Sitohang, M.Epid-Direktur Surveilans dan Karantina Kesehatan Kemenkes RI [Foto: Dok Pri]
Untuk orang dewasa, apabila penyakit yang semestinya harus mendapatkan perlindungan atau diimunisasi tetapi  tidak, maka kurang dari 5% dewasa sehat, jika terkena infeksi akan menjadi kronik. 20%-30% dari hepatitis kronik cenderung menjadi sirosis atau kanker hati.  Semakin kecil umur terkena infeksi, semakin besar kecenderungan menjadi kronis.

Sementara itu, lebih lanjut Prof Cissy menyampaikan apabila terjadi pada masa transmisi neonatal, 70%-90% dari Ibu HbsAg dan HbeAg positif, 20% apabila ibu HbsAg positif. Dari sini bayi tertular saat dilahirkan (penularan secara vertikal) dan 90% menjadi menahun akibatnya terjadi sirosis hepatis berujung pada kanker hati.

Imunisasi Di Indonesia
Ya, imunisasi merupakan tindakan pencegahan global yang paling efektif biaya, tidak ada tandingannya kecuali pengadaan air bersih.

Imunisasi di Indonesia sesungguhnya sudah ada sejak 1956. Di taun 1977 kegiatan imunisasi semakin diperluas menjadi program pengembangan imunisasi (PPI) dalam rangka pencegahan penularan terhadap beberapa penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi  (PD3I), yaitu TB, Difteri, Pertusis, Campak, Tetanus, serta Hepatitis B.

Adapun penyakit yang menjadi perhatian dunia dan menjadi komitmen global yang wajib diikuti oleh semua negara adalah eradikasi polio (ERAPO), eliminasi campak dan rubela dan Eliminasi Tetanus Maternal dan Neonatal (ETMN).

Melihat perjalanan sejarah Program Imunisasi pada 1956 dimulai dengan variola, 1973 BCG, 1974 TT, 1976 DPT, 1980 Polio, 1982 Measles, 1997 Hepatitis B, 2004 DPT/HB (kombinasi), 2013 Haemofilius Influensa tipe B (DPT/HB/Hib), dan 2016 HPV*

Bagaimana dengan TB? Secara global pada tahun 2013 19%-43.5% penduduk dunia terinfeksi M. tuberculosis. Kasus TB baru lebih dari 9 juta per tahun. Insidens SEA 35%, Afrika 30%, Western Pacific 20%. Pada anak, kasus baru ada 5 ratus ribu per tahun dan 80 ribu meninggal dunia.

Berdasarkan data Riskedas 2013, prevalens TB tahun 2007 & 2013 tidak jauh berbeda (0,4%). Provinsi tertinggi yang tekena TB dialami oleh Jabar (0.7%); Papua (0.6%), DKI Jakarta (0.6%), Gorontalo (0.5%), Banten (0.4%), Papua Barat (0.4%).

Bagaimana dengan Difteri? Difteri merupakan penyakit yang sangat menular disebabkan oleh Corynebacterium  diptheriae. Sumber infeksi hanya manusia yang ditularkan melalui aspirasi pernapasan, yaitu penyakit pernapasan bagian atas. Angka kematian  tertinggi di usia muda dan lansia.

Pun dengan pertusis. Penyakit ini sangat menular. Secara etiologi berasal dari Bordetella pertussis. Hati-hati ketika kita mendekati pasien ini, dapat terjadi penularan ketika pasien sedang batuk-batuk. Insidensinya akan meningkat pada bayi usia muda (pra vaksinasi). Beban ppenyakit global ini sekitar 136.372 kasus versus estimasi 17,6 juta pada 2003 dan 152.535 kasus pada tahun 2007 dan penyakit-penyakit lainnya yang  memang perlu imunisasi.

Banyak pula orang tua yang kadang tidak ingin anak-anaknya diimunisasi. Menurut Riskesdas 2013, alasan utama anak tidak diimunisasi karena takut panas, keluarga tidak mengizinkan, tempat imunisasi jauh, sibuk/repot, sering sakit, dan tidak tahu tempat imunisasi.

Sebenarnya tidak perlu dikhawatirkan, demam setelah imunisasi merupakan reaksi normal yang akan hilang dalam waktu 2-3 hari. Kejadian ikutan paska imunisasi yang serius sangat jarang terjadi. 

Fakta Imunisasi
Imunisasi mencegah penyakit, kecacatan, dan kematian dari penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi, termasuk TB, hepatitis B, difteri, pertusis (whooping cough, batuk rejan), tetanus, polio, campak, pneumonia, gondongan, diare akibat rotavirus, rubella, dan kanker serviks.
 
Dr. HM. Asrorun Ni'am Sholeh, M.A.- Sekretaris Komisi Fatwa MUI Pusat [Foto: Dok Pri]
Diperkirakan imunisasi sekarang dapat mencegah 2 hingga 3 juta kematian setiap tahunnya. Tambahan 1.5 juta kematian dapat dicegah jika cakupan imunisasi global meningkat. Selama 2016, diperkirakan 116,5 juta (lebih kurang 85%) anak-anak di bawah usia 1 tahun di seluruh dunia menerima 3 dosis vaksin difteri-tetanus-pertusis (DTP3). Anak-anak tersebut terlindung dari penyakit menular  yang menyebabkan penyakit serius atau kecacatan akibatnya fatal.

Sekitar 19.5 juta bayi di dunia tidak mendapatkan imunisasi dasar bahkan melewatkannya. 60% anak-anak itu tinggal di 10 negara seperti Angola, Brazil, Kongo, Ethiopia, India, Indonesia, Irak, Nigeria, Pakistan, dan Afrika Selatan.

Cakupan imunisasi global sudah stagnan di 86% tanpa ada perubahan signifikan selama beberapa tahun terakhir. Ada peningkatan penggunaan vaksin baru dan vaksin yang kurang dimanfaatkan.

Vaksin yang diberikan kepada anak-anak merupakan produk yang menghasilkan kekebalan terhadap penyakit dan dapat diberikan melalui suntikan, melalui kulit atau diberikan melalui mulut juga dengan penyemprotan.

Sementara, vaksinasi sebagai tindakan penyuntikan organisme yang mati atau dilemahkan selanjutnya akan menghasilkan kekebalan tubuh terhadap organisme tersebut.

Kita juga mesti hati-hati dan waspada terhadap berita hoax yang mengatasnamakan vaksin. Ada kelompok yang antivaksin yang seringkali melebih-lebihkan risiko imunisasi tanpa bukti ilmiah.

Padahal kenyataannya tidak demikian. Tidak dianjurkan ketika anak dalam kondisi kurang sehat untuk diimunisasi, seperti batuk, deman, atau pilek.  

Anak-anak yang mendapat imunisasi akan terlihat lebih segar dan ceria dibanding yang tidak. Didukung pula oleh faktor lingkungan yang memberi peran besar terhadap aktivitas mereka. Nah, hal ini akan berkaitan dengan tumbuh kembang anak itu sendiri.

Tumbuh kembang anak sendiri dipengaruhi oleh faktor seperti penyediaan air bersih, imunisasi, sanitasi sehat, pengasuhan optimal, ASI ekslusif, dan nutrisi seimbang. Nah, mengapa imunisasi sendiri diperlukan.

Menurut Prof. Cissy, anak-anak yang beroleh imunisasi akan menghasilkan kekebalan (imunitas), jika terkena infeksi secara alamiah akan menimbulkan kekebaan, imunisasi meniru kejadian infeksi alami, imunisasi akan membuat tubuh membentuk kekebalan melalui pertahanan non spesifik & spesifik, mampu mencegah penyakit yang menyebabkan kematian dan kecacatan, dan memenuhi kewajiban hak anak.

Kita sebagai orag tua juga perlu waspada jika anak tidak mendapatkan imunisasi. Anak tidak memiliki kekebalan terhadap mikroorganisme ganas (patogen), anak dapat meninggal atau cacat sebagai akibat menderita penyakit infeksi berat, anak akan menularkan penyakit ke anak atau dewasa lain, dan penyakit tetap berada di lingkungan masyarakat.

Jadi, kita juga perlu tahu tujuan imunisasi itu sendiri untuk apa. Ya, tujuan imunisasi itu  pencegahan perorangan dari penyakit tertentu (intermediate goal), mencegah penularan penyakit, menurunkan kejadian penyakit (epidemiologi penyakit berubah), dan eradikasi penyakit sebagai final goal.

Nilai-nilai sosial pun masuk dalam imunisasi ini, ada herd immunity, indirect effect, kekebalan komunitas, mengakibatkan pemutusan rantai penularan penyakit dari anak ke anak lain, pemutusan rantai penularan penyakit dari anak kepada orang dewasa yang tinggal bersamanya, dan 5%--20% anak yan tidak diimunisasi juga terlindungi.

Vaksinasi dari imunisasi ini akan menunjang sistem kesehatan masyarakat dengan menurunkan angka kesakitan, menurunkan biaya pengobatan dan perawatan di rumah sakit, mencegah kematian dan kecacatan, dan mencegah beban masyarakat seumur hidupnnya. Nah, sebanyak 30% anak-anak sekarang  sebagai generasi yang pegang tali kendali pemerintahan di masa depan.

Imunisasi pun tak jarang banyak mendapat penolakan dengan negative campaign  dari kelompok-kelompok anti imunisasi. Nah, kelompok ini memang menentang program imunisasi dengan sejuta alasan, seperti penyakit sudah tidak ada tetapi kok masih tetap imunisasi, meski sudah diimunisasi penyakit tetap ada, takut efek samping imunisasi. Sementara, keompok negative campaign lainnya berasal dari dokter: homeopathy, naturpathy, nondokter: memasarkan pengobatan alternatif.

Jadi, jangan ragu untuk vaksinasi anak-anak kita karena imunisasi sangat penting utuk menurukan kejadian dan kematian akibat penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I). Vaksin dapat menghasilkan imunitas seperti halnya infeksi alamiah.

Fatwa MUI Terkait Imunisasi
Apakah vaksinasi itu haram?  Menurut Dr. H.M. Asrorun Ni’Am Sholeh, MA, Sekretaris Komisi Fatwa MUI Pusat mengatakan bahwa vaksin harus aman dan sesuai norma agama. Bahan imunisasi harus aman dan sesuai norma agama. Pasal 153 “pemerintah menjamin ketersediaan bahan imunisasi yang aman, bermutu, efektif, terjangkau, dan merata bagi masyarakat untuk upaya pengendalian penyakit menular melalui imunisasi. Pasal 2 UU kesehatan menegaskan salah satu asas pembangunan kesehatan harus memperhatikan dan menghormati agama yang dianut masyarakat.

Fatwa MUI No. 4 tahun 2016 poin No. 5 program imunisasi hukumnya wajib. Disebutkan dalam hal jika seseorang tidak diimunisasi akan menyebabkan kematian, penyakit berat, atau kecacatan permanen yang mengancam jiwa, berdasarkan pertimbangan ahli yang kompeten dan dipercaya, maka imunisasi hukumnya wajib.


“Imunisasi pada dasarnya dibolehkan (mubah) sebagai bentuk ikhtiar untuk mewujudkan kekebalan tubuh (imunitas) dan mencegah terjadinya penyakit tertentu. Vaksin untuk imunisasi wajib menggunakan vaksin yang halal dan suci. Penggunaan vaksin imunisasi yang berbahan haram dan atau najis, hukumnya haram. Imunisasi dengan vaksin yang haram dan atau najis, tidak dibolehkan, kecuali digunakan pada kondisi al-dlarurat atau ah-hajat; belum ditemukan bahan vaksin yang halal dan suci; dan adanya keterangan tenaga medis yang kompeten dan dipercaya bahwa tidak ada vaksin yang halal,” pungkas Arorun Ni’am.

Jadi, jelas kan  sekarang bahwa imunisasi tidak bertentangan dengan agama selama bahan-bahan yang dikandungnya tidak berasal dari bahan yang diharamkan dalam syariat Islam. Pencegahan melalui imunisasi artinya mencegah generasi masa depan bangsa dari beragam penyakit.