Kalau saya
melihat laut, laut ini identik dengan sosok yang benar-benar membuat saya
belajar disiplin, teliti, dan cermat. Dia salah satu dosen yang “galak” tetapi
sangat baik hati dan suka berbagi. Galak tapi suka berbagi dan baik hati itu
yang membuat sebagian mahasiswanya jatuh cinta. Jatuh cinta dari cara beliau
mendidik dan menerapkan apa itu kalimat “Tidak ada kata terlambat”, “Disiplin
diri itu sangat penting”, dan “Cermat, teliti satu per satu sebelum dikemas”.
Hingga kini,
kalimat-kalimat itu masih mengiang tak
hilang ditelan semesta. Saya selalu mengukir kalimat itu jauh di lubuk
hati paling dalam. Apalagi, saat diri ini sudah menjelang semester akhir
kuliah, dan sempat menjadi asisten praktikum mata kuliah yang beliau ajar .
Dengar nama mata kuliahnya saja sudah megang jidat, TAKSONOMI HEWAN
AVERTEBRATA.
Bagaimana tidak
megang jidat, pertama, yang dihadapi preparat semua (awetan) hewan-hewan tak
bertulang belakang. Saya mesti menghapal dan tahu bagian dari hewan, baik
makroskopis maupun mikroskopis. Selain itu, mesti terjun ke lapangan untuk
melihat biota laut yang sesungguhnya. Hahahah… ngakak-ngakak juga saat pertama
ke laut dan menikmati indahnya bawah laut itu.
Sebelum berangkat
ke pulau yang menjadi tujuan praktikum, Pulau Pari, semua mesti dibuat daftar. Daftar
peralatan yang mesti dibawa dan dipakai nanti di lapangan. Ahaaaa… di sinilah,
raut wajah tegang pertama dimunculkan. Aje gileee… saya benar-benar mesti
teliti. Tali transek panjang 10 meter yang sudah bertanda kain ditulisi dengan spidol
yang tak boleh luntur (spidol permanen) ukuran 10 meter pertama hingga 10 meter
terakhir.
Lantas, masker,
snorkel, dan kaki katak yang disesuaikan
dengan kontur muka dan ukuran kaki. Aduh mak, ini benar-benar buat saya mesti
siap sebelum tempur terjun ke laut. Gilanya lagi, beliau mengecek satu per satu
masing-masing peralatan kelompok kalau-kalau ada yang kurang. Kalau ada yang
kurang sebelum hari H, beliau masih berkicau riuh rendah dan masih bisa dicari.
Heran juga saya,
biasanya kan ya diserahkan ke ketua kelompok. Tapi ini dosen, benar-benar
hebat. Salut saya. Seperti tak kenal kata lelah untuk mengecek setiap kelompok. Kalau sudah tak ada yang
kurang, perasaan lega.
Beliau ini memang
istimewa bagi saya. Mungkin di sebagian mahasiswa lainnya juga. Baiknya itu
lho. Sampai-sampai, satu kelas dibeliin magnum yang waktu itu zaman-zamannya
magnum lagi happening dan digandrungi. Beliau juga yang membelikan untuk saya
kertas skripsi, tinta printer, dan meminjamkan komputernya untuk saya mengetik
skripsi.
Nah, kalau bicara
soal ketat, ini dosen super ketat. Terlambat sedikit masuk kelas praktikumnya,
bisa-bisa…… Saya benar-benar belajar
banyak disiplin dari dosen yang satu ini. Ini dosen multi talenta. Dulunya kuliah
di Fak. Sastra UI, dan mengajar bahasa Indonesia di Jurusan Biologi. Eh, beliau tertarik sama Biologi dan ikut kuliah Biologi. Memang
pada dasarnya dosen pintar, lulus di Biologi UI pun dengan predikat Cum Laude.
Gelar S1-nya ada MIA (Matematika dan Ilmu Alam) waktu itu yang tersemat. S2 dan
S3 beliau di Sastra (negara Belanda dan Jerman). Ngiri saya melihat kepintarannya.
Tapi tidak sombong.
Balik sebentar ke
mata kuliah Praktikum Taksonomi Hewan Avertebrata itu tadi. Sebagai asisten
dosen praktikum, saya dan beberapa teman mesti menyiapkan preparat (awetan)
untukk dipraktikuman pada hari itu.
Bayangkan saya, hampir semuanya hewan tak bertulang belakang. Ada cacing pita,
cacing kremi, ubur-ubur, spongia, dan masih banyak lainnya.
Saya mesti
menjelaskan ke praktikan satu per satu bagian dari tubuh hewan-hewan tersebut. Sebelumnya
belajar dulu pake beberapa buku acuan Avertebrate Taxonomy yang sudah lupa
siapa penulisnya (hihihi… maaf). Paling inget ya buku Biologi Laut penulis James
W. Nybakken (semoga benar nih tulisannya).
Setelah praktikan
jelas apa yang dilihat secara makroskopis, selanjutnya mesti juga jelasin
secara mikroskopis. Yah, melalui bimbingan beliau (dosen) ini saya dan
teman-teman asisten dibekali. Caranya menyampaikan materi juga enak dan tidak
membosankan, meski serius.
Beliau selalu
menekankan, ketika ujian Praktikum Taksonomi Averterbrata tiba, itu yang buat
jantung mau copot. Ampuuun maaak!! Kalau yang ga benar-benar belajar, bisa
kosong blong itu kertas. Stress berat pokoknya kalau sudah ujian Avert (biasa
kami sebut) datang. Ya, si dosen sih santai-santai. Mungkin dalam hati
cekikikan melihat mahasiswa/i-nya bengong b**o gitu. Saya yang jadi asdos
juga ngakak dalam hati kadang senyum
kecut.
Ya, beliau
menerapkan disiplin ujian menggunakan bel hanya dalam waktu 30 detik. Bisa ga
bisa di 30 detik itu. Sistemnya berkeliling, kalau satu soal tak bisa dijawab,
ya sudah, mesti mengingat-ngingat dengan sekuat tenaga. Itu soal yang diberikan
preparat semua lagi. Benar-benar tak ada
kata “sontek mensontek”.
Kedisiplinan yang
beliau ajarkan kepada saya itu banyak buah manisnya. Mengatur waktu jadi
penting, dan on time (tepat waktu)
itu sudah jadi sarapan saya sehari-hari dari beliau. Masuk mata kuliah yang
beliau ajarkan pun seperti itu. Bisa-bisa beliau sudah duduk manis menunggu
mahasiswa/i-nya datang. Ya, kadang sembari
malu-malu meong yang agak-agak terlambat masuk kelas, maju mundur
nyundul masuk. Malu banget kalau telat.
Budaya itu beliau
turunkan dan ajarkan secara ketat kepada asisten-asisten mata kuliah praktikum
beliau. Mau tidak mau dan tanpa unsur paksaan, saya dan teman-teman terbiasa. Oleh
karenanya, budaya ‘ngaret’ perlahan-lahan terkikis dari diri saya (berusaha
terus untuk tak datang terlambat). Menurut saya, sudah basi dan mesti dibuang ke tong ini kalimat “Lebih
baik terlambat daripada tidak datang sama sekali.” Sudah 2018, saatnya mengubah mind set untuk
menetapkan dalam diri tidak datang, baik acara resmi maupun tak resmi, terlambat.
Satu kesukaan
beliau, karena perokok, untuk tidak merokok di ruang kuliah atau ruang
kerjanya, beliau mengunyah permen karet. Rambutnya diikat dengan pengikat
rambut pita berwarna hitam. Terkadang rambut dua warnanya tergerai ditiup sang
bayu yang centil. Kedua tangannya menghela rambut-rambut itu yang beliau
sandarkan di antara telinga beranting khas.
Kacamata tebal
menggantung di antara dua daun telinganya. Tatkala kacamata itu dirasa kotoran
tebal menempel, jika tidak menggunakan flannel, beliau sesekali menggosok-gosokkannya
di antara ujung baju. Khasnya beliau pun tak akan hilang dari ingatan saya.
Ya, beliau ini
sangat mencintai laut. Kisah yang sudah bertutur ribuan tahun lamanya yang
terselip di ujung horizon. Ketika Bumi masih dalam bentuk janin, laut berada
dalam masa-masa perjuangan membentuk diri sendiri. Laut yang dinikmati dan
digerayangi berisikan gumpalan lava-lava
panas dan saling berbenturan dengan bebatuan.
Ketika langit
menyembul dalam warna jingga, kemudian memudar warna dalam hamparan cakrawala,
tidakkah kita tahu bagaimana dengan warna laut? Ia juga menjingga, membias
cahaya dengan cemerlang yang berkereta pada buih. Ketika langit mengelabu
mendung menghampiri, bagaimana dengan warna laut? Ia pun enggan bercerita dan
ceria, sedu sedan oleh abu-abu menyapa segara.
Laut itu sungguh
setia pada warna yang berpendar. Laut yang selalu ada dalam warna horizon yang
tercipta untuk saling mengerti. Saat kita mengarungi laut, di situ pula kita
sedang mengarungi cakrawala. Keduanya takkan pernah dapat berpisah. Warna yang
tersembul dari laut, sebagai pancaran warna langit.
Laut adalah
tantangan. Di sana, pasukan itu dituntut untuk selalu waspada. Pasang mata,
pasang telinga, siapkan kaki katak, masker, dan snorkel. Ia bercerita tentang
kepuasan yang sangat tinggi ketika pasukan itu “mengawini”. Ia sebagai misteri
yang harus benar-benar dicari, seperti mencari uang dalam butiran tepung atau
seperti membuka lembar demi lembar buku yang tertutup debu. Laut itu lebih
rumit dari rumus Statistika yang paling rumit sekalipun. Laut itu bukan jelmaan
mikroba-mikroba yang senantiasa menggerogoti luka. Laut, sebagai bentuk
jaringan yang terus menerus berkembang.
Lebih dari 24
tahun, saya tak sanggup menjumpai definisi laut. Seperti apa yang diminta dan
dimau sang guru, Boen Sri Oemardjati (BSO biasa disingkat). Dia pun kini sudah
tidak lagi terburu-buru memahami dan mengerti tentang laut sepertu dahulu kala.
Tanpa banyak kata, BSO akan jabarkan laut itu seperti apa. Dahulu dia
merasakan, laut itu begitu terasa dekat dengannya.
BSO mengenal laut
seperti dia mengenal dirinya. Setiap jejak kakinya melangkah, setiap jengkal
kedalamannya, setiap warna yang terurai dari pantulan langit, semua itu sebagai
sebuah bentuk keindahan yang tak sanggup dia katakan.
Jika saya ditanya
apa itu laut, mungkin saya hanya terdiam merenungi! Saya, tentunya akan
memikirkan hal ini bisa lebih lama, lebih jauh, dan lebih dalam. Mungkin juga
bisa menerawang ke mana-mana. Saya juga tak dapat menceritakan kepada beliau
seberapa besar diri saya mencintai laut dan menyayangi apa yang ada di
dalamnya.
Apalagi yang
harus saya deskripsikan apabila dirinya (BSO) itu sebentuk laut itu sendiri.
Tetapi, saya menemui di balik bundar dua bola matanya dahulu ada banyak senyum
terkembang. Tatapan matanya begitu semangat untuk menceritakan tentang laut.
Akan tetapi, kedua belah bibirnya tak sanggup untuk berkata, seperti apa laut
yang dia tahu dan kenal sepanjang hidupnya. Dia melihat dan berkata, “Sekarang
kamu sudah memahami tentang laut”.
Kekayaan alam
yang tak ternilai harganya itu menjadi bentuk keindahan dan sumber keragaman
hayati, mutiara alam yang sangat menakjubkan. BSO begitu memesona dan melekat
dengan kehidupan lautnya. Terima kasih ibu yang telah memberitahukan saya
banyak hal. Ibu yang telah menjadi bagian dalam kehidupan kuliah saya. Sekarang,
dirimu telah tenang bersama dalamnya laut.
Disiplin, tekun,
rajin, cermat, teliti, juga bersahaja, dirimu turunkan kepada asisten-asistenmu
yang dulu pernah setia berada di samping dan laboratorium hingga nyawa tercabut
dari raga. Hal-hal yang pernah diajarkan olehmu akan saya ajarkan kepada
anak-anak dan keturunan saya selanjutnya. Tenang, bu!
#ODOPJanuari2018