Thursday, April 27, 2017

Belajar Dari Sapu Lidi

Ga tau ya, buat saya masa-masa kecil itu masa paling indah dan penuh warna. Bayangin aja, saya bisa main sepuas-puasnya tanpa teriakan bapak dan ibu. Pergi ke sungai berenang dan mancing  ikan. Eh, dulu waktu SD saya sudah bisa berenang lho. Ke padang rumput  yang lumayan luas cari  belalang, terus belalangnya diikat benang (menyiksa ini namanya), ya masih kecil ga ngerti dosa. Belalangnya diikat benang terus disuruh terbang.
Selain itu, saya juga biasa ikat kaki ayam pakai tali raffia. Tetapi yang jelas ikatannya tidak terlalu kencang. Masih bisa dilonggarin dan dilepas juga ikatan di kaki ayam itu. Ayamnya diikat, terus talinya ditambatin sama salah satu pohon yang ada di sekitaran kandang ayam di rumah.

Sapu lidi ini penuh kenangan dan pelajaran berharga untuk saya
Foto: Dok. https://www.inspirasi.co
Kadang-kadang juga saya pergi sama teman-teman jerat burung di antara pepohonan tak jauh dari rumah. Cara jeratnya pakai sangkar burung yang dibuat dari bambu. Lantas, di dalam sangkarnya diberi makanan dalam wadah bening, seperti biji-bijian. Pintu sangkar burungnya diikat sama tali di dua sisi. Sisi yang untuk membuka pintu, dan sisi yang untuk menutup pintu.

Selain umpan biji-bijian, kadang dimasukin pula burung hidup untuk memancing burung lainnya datang ke sangkar yang sudah diberi umpan burung dan biji-bijian. Dan, usaha untuk menangkap burung ini selalu berhasil. Burung tangkapannya dipiara di rumah sama salah satu teman saya.

Nah, di sekolah pun saya termasuk orang yang paling banyak  teman. Soalnya dibilang sama teman-teman saya jarang berkelahi atau ribut dan suka menolong (ciee ciee…). Guru-guru pun senang dengan saya. Kata beberapa guru, saya anak yang ramah, sopan, dan suka menolong, itu kata guru saya lho yaa…

Biasanya, sebulan sekali di sekolah itu membuat sapu lidi. Nah, sapu lidi yang dibuat secara berkelompok. Masing-masing  kelompok isinya ada lima anak. Di satu kelas ada  30 anak. Jadi dibuat sebanyak 6 kelompok. Dan ada enam gepok sapu lidi yang lumayan gede-gede ikatannya.

Memang pas juga kali ya disuruh buat sapu lidi, soalnya diminta sama guru pelajaran keterampilan. Di masing-masing kelompok tadi setiap anak diwajibkan membawa daun kelapa yang masih ada lidinya sekitar satu ikat penuh. Ya, kira-kira diameter 30 cm. Lumayan banyak juga yah.

Kalau tinggal di kampung, Alhamdulillah apa saja ada. Semua tidak pernah beli. Tinggal minta sama tetangga. Kurang ini itu juga bisa metik di jalanan, hahaha… ini kenyataan lho teman-teman yang saya hadapi sendiri.

Nah, selesailah sapu lidi yang sudah disiangi dari daunnya itu dan jadi satu ikat penuh dari kelompok saya. Kelompok yang lain pun demikian. Guru keterampilan minta ke setiap kelompok untuk menyerahkan  sapu lidi yang sudah jadi ke kelompok saya. Saya diminta untuk mengantarkan sapu lidi tersebut ke salah satu rumah seorang guru.

Jam pulang sekolah sudah tiba saatnya, bergegas saya untuk siap-siap pulang dan mengantarkan sapu lidi ke rumah salah seorang guru bersama dua orang teman saya. Biasalah ya anak-anak SD, kalau mau pulang bawaannya bercanda melulu. Nah, teman-teman saya yang tidak kebagian tugas mengantarkan itu sapu lidi, masih bercengkerama dengan saya selama perjalanan pulang, termasuk dua teman saya yang mengiringi dari belakang.

Saya juga memang suka bercanda dengan sesama teman. Ya, jadinya semakin tambah seru aja candaannya. Nah, selama bercanda ini terkadang saya menoleh ke belakang sembari ngakak-ngakak dengerin cerita teman-teman saya. Susah ya kalau urat ketawa udah putus, ada hal lucu  sedikit ngakak.

Saya masih belum sadar aja tuh, masih aja terus bercanda dan ketawa puas. Teman-teman saya juga ga sadar. Genggaman enam gepok sapu lidi masih di tangan saya. Tanpa ba bi bu… jebuuurrr… saya tak sadar, di depan jalan saya itu ada genangan air dalam lubang setinggi setengah badan.

Teman-teman yang tahu kalau ada genangan, mereka segera menyingkir. Nah ini saya, yang asyik ngakak tapi ga lihat jalan, kejebur dengan badan penuh lumpur. Teman-teman justru balik menertawakan saya. Di situ muka merah dan malu ga ketulungan. Soalnya, genangan itu di jalan raya yang banyak dilalui kendaraan. Duh muka saya mau ditaruh di mana saat itu.

Mau tidak mau saya kan malu, sapu lidi yang enam gepok saya serahkan ke salah satu teman saya untuk diantar ke rumah guru. Sementara, saya buru-buru pulang dan mandi. Ngakak-ngakak juga saya sampai rumah cerita ke ibu. Ibu saya berpesan, “Di jalan, apalagi di jalan raya, jangan pernah bercanda yang macam-macam. Waspada lihat jalan, antisipasi bahaya dan jangan lengah”. Sapu lidi kejebur got atau apalah namanya itu, masih mengiang sampai sekarang di benak saya. Jadi, kalau ada yang bawa sapu lidi atau yang jual sapu lidi, saya langsung relate ke masa kecil dulu. Hahaha…


#ODOP6

Dari Masak, Asbak Tanah Liat, hingga Peta Bubur Kertas

Zaman sekolah dulu namanya ada salah satu mata pelajaran PKK saat di SD, terus  di SMP namanya Keterampilan Jasa. Cerita-cerita zaman SD ini banyak banget yang sampai sekarang masih saya ingat. Waktu itu dibentuk lima kelompok, masing-masing beranggotakan 7 orang. Nah, yang guru PKK minta waktu itu buat masakan rumahan. Padahal masih SD lho ya. Ya, tingkatan kelasnya sudah kelas enam sih, jadi sudah bisa berpikirlah  sedikit banyak.

Gulai nangka
Foto: Dok. http://www.tnp.sg/
Ribet banget ya pas zaman SD itu kalau buat kelompok dan dijadiin satu kelompok. Apalagi kalau teman sebelah ga ngomong-ngomong sama kita. Ditambah lagi teman yang satu kelompok tak bertegur sapa. Kacau kan ya. Tapi beda sama kelompok saya. Justru di kelompok ini anak-anaknya pada bawel, termasuk saya (ha ha ha… ngaku).

Jadi, saat guru PKK minta kasih tugas  buat masakan rumah untuk dinilai, pada kebingungan lah kelompok saya. Kelompok saya itu kebagian sayur gulai nangka sama ikan kembung sambal. Ha hah ha… jujur deh ya, pada zaman SD harga-harga masih pada murah banget. Nangka tidak beli, melainkan ambil di kebun teman, kelapa pun begitu tinggal metik. Nah, cabe, dan teman-temannya tinggal kolekan dari rumah masing-masing.
Ha ha ha… masih lucu aja ngebayanginnya hingga sekarang. Betapa tidak, masih SD disuruh masak. 

Ya, dulu ga pake blender, semua serba diulek. Yang tak biasa ngulek, panas-panas deh tangan. Teman yang ngulek cabe berkali-kali basuh tangan pakai air. Namun, saya ingat ucapan ibu saya, “Kalau nanti kamu ngulek cabe, ga usah takut panas tangannya, olesin minyak goreng yang dikasih garam, diemin sebentar, nanti juga hilang panasnya”.

Nah, itu saya praktikkan dan memang benar, tangan saya tak berasa panas. Sama ketika teman saya ngupas bawang merah, matanya perih dan seperti orang nangis yang ga ketulungan. Tetap saja, ketika basuh muka, perihnya bawang merah maish nempel di matanya. Tak terbayangkan kan perihnya bawang merah. Hahaha… makanya ada cerita bawang merah dan bawang putih. Ternyata, memang ya bawang merah itu kejaaam…!

Ahaa… ibu saya juga kasih tips untuk menghindari perih saat mengupas bawang merah. Jadi, ketika mengupas bawang merah biar tidak perih, letakkan garam di samping kita saat mengupas. Sesekali lihat ke garam jika habis mengupas. Daaaan… kejadian bener, mata saya tak perih tuh. Saya ga tahu, logika dan berpikir  ilmiahnya seperti apa.

Mana sempetlah yah mikir ilmiahnya kala itu. Terpenting, ulekan bumbu dapur kelar dan mata, tangan, bebas dari dera siksa bawang merah dan ulekan cabe. Goreng ikan juga masalah. Maklumlah ya anak-anak SD, pokoknya main lempar aja tuh ikan ke dalam wajan. Minyak belum panas ikan sudah dimasukkan, alhasil itu ikan garing ga, bonyok iya.

Sambal ikan kembung
Foto: Dok. http://kulinesia.web.id/
Terpenting, “siksaan” guru kelar hari itu untuk disajikan  pas jam makan siang pelajaran PKK. Denger pelajarannya juga ngakak-ngakak sendiri. PKK? Halah! Itu kepanjangannya Pendidikan Kesejahteraan Keluarga. Baru tahu kan kepanjangannnya PKK waktu zaman saya sekolah itu sekarang? Hahah… Pelajaran tua banget menurut saya.

Kelarlah masak pada hari itu. Ga tau dari soal rasa. Terpenting ada rasa asin, santap saja. Masakan ala-ala anak SD zaman dulu ya apa aja dimasukin. Nangka dipotong pun kadang ga ada seni-seninya motong sayuran. Suka-suka. Ada yang besar, ada yang kecil, bentuk ga beraturan. Eeh… guru-guru yang icip-icip ternyata pada nambah. Hahaha…

Masak udah selesai, selang dua minggu kemudian guru PKK-nya minta murid-murid untuk buat apa saja yang berbau tanah liat. Secara saya tinggal di kampung, ya cari tanah liat ga begitu sulit. Yang sulit ketika tanah liat banyak  campuran pasirnya. Pas ngolahnya tangan berasa perih.

Kalau ini saya suka buat yang simpel tapi dipakai banyak orang. Ya kepikiran asbak rokok. Padahal sebelumnya mau buat vas bunga, lah kok jadi asbak. Asbak rokok dulu kan ada yang terbuat dari kaleng, bentuknya segitiga dan dibuat beragam warna. Ada merah, biru, kuning, juga ungu.

Sudah saja, dianggap asbak dari kaleng aluminium itu cetakan, maunya yang simpel dan mudah, tanah liat yang sudah diolah tadi dimasukkan ke dalam asbak rokok itu. Tunggu sampai kering, baru dikeluarkan. Tapiiiii… apa yang terjadi? Hahahaha… asbak rokok dari tanah litany tidak mau lepas alias lengket. Sudah ngolah capek-capek, untuk dapetin tanah liatnya memang tidak sulit, tapi gali ke dalam lapisan tanah yang lumayan dalam sekitar dua meter itu butuh tenaga. Nyangkul lagi!

Asbak tanah liat
Foto: Dok. https://lh4.googleusercontent.com
Muter otak juga akhirnya untuk bagaimana mengeluarkan itu asbak biar tidak pecah. Masa iya, asbak cetakannya digunting?! Kan ga lucu, mana itu asbak boleh minjem sama tetangga. Alhasil, siram air. Agak silly juga sih pikiran saya saat itu. Sudah ga mau mikir terserah saja apa yang terjadi saat disiram air. Yaaaah… itu tanah liat retak-retak karena kering dan berasa panas, tiba-tiba disiram air.

Ya sudah, berantakin saja sekalian alias gagal total. Yah, akhirnya minta Koran bekas sama tetangga. Kertas Koran yang sudah tidak dipakai direndam semalaman, sebelumnya dirobek-robek dulu. Terus dikasih sedikit garam biar cepat hancur. Nah, jadi deh bubur kertas. Diperas airnya, lantas dimasak sama kanji.

Peta timbul bubur kertas
Foto: Dok. https://lh4.googleusercontent.com
Saya buat peta Sumatera yang sudah digambar di atas tripleks. Bubur kertas yang sudah dimasak tadi ditempelin ke tripleks sesuai bentuk peta yang digambar. Kemudian dijemur, setelah kering dicat. Catnya bisa pakai cat air atau cat minyak untuk menyesuaikan gambar peta tersebut.

Yaaa… jadi deh hasil kerja kreatif muter otak sehari.

#ODOP 5