Cerita ini dikirimkan langsung dari Jerman oleh
senior saya-Mas Taufiq Wisnu Priambodo—yang sejak 2003 merantau ke
negara Hitler(baca: Jerman). Bersama
istri yang juga teman saya semasa kuliah di Universitas Indonesia, Andri
Pramesyanti, dan kedua putrinya, mereka berbagi cerita di dalam blog saya.
Indahnya perbedaan! Mungkin dua kata itu yang bisa saya ucapkan untuk Mas Taufiq
dan keluarga nun jauh di sana. Kerinduan mereka untuk merasakan Ramadan dan
Idul Fitri di tanah air begitu lekat mendalam dalam benak dan hati. Rindu yang
teramat mendalam!
Sejak memutuskan merantau ke
Jerman 2003 lalu, sejak itu pula kami menjalani Ramadan di rantau. Walau sedih
tidak dapat merasakan suasana syahdu Ramadan di tanah air serta kemeriahan
Eid-nya, ada banyak hal spesial yang kami temui di sini, yang tidak kami jumpai
saat Ramadan di tanah air. Sesuatu yang dapat mengobati kerinduan dan sedikit
menghapus kesedihan. Ramadan rasa internasional (international taste), jumpa saudara seiman dari pelbagai bangsa,
ras, beserta adat istiadatnya, menjadi salah satu obat rindu kami kepada sanak
saudara. Sebetulnya nuansa Ramadan di Jerman sudah kami rasakan jauh-jauh hari.
Sejak Rajab para khatib di mimbar-mimbar Jumat rajin menyeru umat untuk bersiap
diri dan keluarganya menyambut datangnya bulan suci. Saat Ramadan akhirnya
tiba, kami ramai berbagi salam dan doa kepada siapa saja sesama muslim, di mana
saja kami jumpai.
Berbuka puasa bersama dengan
warga Indonesia di kota tempat tinggal, dapat mengurangi rasa rindu berkumpul
bersama keluarga. Warga yang sudah menjadi keluarga selama di rantau. Kami
berbagi kegembiraan dan makanan berbuka bersama, berbagi nasihat dan petuah.
Sering pula acara ifthar bersama dari rumah ke rumah tersebut, berlanjut
tarawih bersama, bahkan kadang sahur bersama.
Hisab atau Hilal Rukyat?
Awal Ramadan di Jerman
khususnya, atau Eropa pada umumnya ditetapkan oleh majelis ulama (di Jerman
oleh Zentralrat der Muslime), yang
menggunakan metode hisab. Sebagian masjid menggunakan metode hilal rukyat, yang
tidak dilakukan sendiri oleh mereka. Melainkan mengacu ke pengamatan bulan baru
oleh masjid atau organisasi di negara-negara arab. Beberapa kali, Ramadan mulai
tidak pada hari yang sama (seperti tahun ini) karena perbedaan acuan dan
metode. Beberapa kali pula Eid tidak dirayakan serempak di seluruh Jerman. Majelis
ulama berijtihad pula tentang durasi shaum muslimin di negara dengan perbedaan
siang ke malam ke fajar yang sangat singkat. Muslim yang tinggal di bagian utara
negara-negara Skandinavia misalnya. Pada puncak musim panas, matahari bisa
dikata tidak pernah tenggelam. Jadwal imsyakiah mereka merujuk Negara tempat muslim
tinggal sebagai mayoritas (Turki misalnya).
Bist Du, Ok?
Menjadi minoritas (dalam hal
keyakinan) kadang menarik perhatian mayoritas di sekiling. Termasuk saat Ramadan
tiba dan kita berpuasa. Bagaimana mungkin Anda tidak makan dan tidak minum seharian
(pada Ramadan musim panas 1435 H kami berpuasa 19 jam)? Kalau tidak makan masih
ok, kalau tidak minum seteguk air pun…unsinn! Ujar kolega orang Jerman atau bangsa
Eropa non muslim lainnya, saat mereka menjumpai kami berpuasa. Sangat tidak
mungkin, bagi mereka untuk menahan diri tidak makan apalagi minum, sepanjang
hari. Kolega yang saya jumpai tidak bertanya lanjut saat saya jelaskan: karena
kami menganggap shaum di bulan Ramadan sebagai bentuk ibadah dan pengabdian,
maka kami jalani dengan mudah dan ringan. Tidak makan atau minum adalah hal
yang bagi kami juga sangat sulit dilakukan di luar ritual ibadah. Jangankan
tidak makan atau minum, terlambat makan atau lupa minum (karena sibuk) sudah cukup
membuat kami lemas dan pusing. Beberapa kolega saya jumpai mereka ikut lega
sambil takjub saat Ramadan berlalu tanpa ada kejadian khusus terhadap kesehatan
saya.
Ya, shaum Ramadan, salat
lima waktu, akhlakul karimah menjadi modal dakwah bil hal kami kepada rekan
sejawat atau masyarakat nonmuslim di sekitar kami tinggal. Bahwa ritual dalam
Islam itu seragam, jelas serta natural (sesuai fitrah).
Kebuli atau Kebab?
Selain besarnya pahala yang
Allah SWT janjikan bila kita dapat mengoptimalkan waktu berinteraksi dengan
masjid, hidangan ifthar yang masjid-masjid (masajid) siapkan menjadi daya tarik
pula bagi jamaah untuk berbondong datang ke masjid. Menu dan pola hidangan pun
spesifik dan khas, tergantung di mana kita bersantap saat ifthar. Bila waktu
ifthar tiba, bila kita berbuka di masajid Turki, beberapa biji kurma ditambah
satu gelas susu akan ikut menemani. Dilanjut dengan salat maghrib berjamaah.
Selesai salat, jamaah duduk memanjang mengikuti meja makan yang disusun pararel
beberapa baris. Di atas meja sudah diletakkan beberapa roti tebal (Fladenbrot) dan air mineral + gelas
pastik. Pengurus masjid datang, membawa troli dengan periuk besar di atasnya,
berisi (gelombang 1) sup. Troli tersebut berjalan sambil mengisi
mangkuk-mangkuk di atas meja, dari satu baris meja ke baris berikutnya. Troli
berikutnya dengan periuk besar berisi hidangan utama siap meluncur, tidak lama
troli pertama selesai melayani meja pada baris terakhir.
Lain lagi bila kita hadir
santap ifthar di masajid Arab. Segera saat waktu maghrib tiba beberapa biji
kurma hadir bersama segelas susu atau air putih. Selepas salat maghrib, kebuli kambing
sebagai hidangan utama sudah menunggu. Format melingkar untuk 6--8 orang dalam satu
baki besar yang pernah digunakan di masajid Arab, sudah digantikan dengan
format duduk di depan meja makan. Jangan risau tidak kebagian hidangan utama.
Selama Ramadan sepertinya masajid siap member makan siapa saja yang hadir ke masajid
untuk berbuka puasa. Seolah tiada pernah kehabisan persediaan bahan makanan di
dapur (masajid di Jerman dilengkapi dengan dapur besar nan modern. Dirancang untuk
menyediakan hidangan masal). Hidangan yang serupa kadang jamaah jumpai pula
saat sahur di masajid (saat i’tikaf).
Tarawih dan I’tikaf
Ramadan musim panas kali ini (1435 H) merupakan tantangan berat untuk muslim yang tengah tinggal di belahan bumi utara khatulistiwa. Tidak saja karena panjangnya masa shaum tiap harinya (03:30 – 21:50) tetapi juga singkatnya waktu yang tersisa untuk menunaikan ibadah tarawih di malam harinya. Di musim panas, Isya mulai pukul 23:50, alias 3 jam saja
menjelang sahur (waktu sahur sendiri hanya berjarak 5 jam dari waktu ifthar. Perut masih kenyang terisi hidangan ifthar). Lantas kapan tidurnya? Ulama di Eropa pun berijtihad memberikan fatwa, bahwa
waktu Isya boleh diawalkan. Jadi bila Isya dirangkai 11 rakaat tarawih, semuanya selesai sebelum tengah malam (atau paling tidak 15 menit setelah tengah malam). Ada pula ijtihad yang membolehkan menjamak maghrib dengan Isya + tarawih.
Hampir setiap Ramadan, beberapa masjid (terutama masjid besar)
mendatangkan khusus imam tarawih.Para imam
tersebutdatangdari beberapa kota lain atau negara lain. Imam tarawih dan qiyamul lail tersebut memang sangat istimewa, terutama kemerduan suaranya. Menjadikan ibadah salat menjadi terasa sangat syahdu. Jangan berpikir imam salat tarawih dan qiyamul lail sudah renta dengan janggut panjang yang memutih. Mereka adalah pemuda gagah(usia 20-30 tahun) dengan janggut hitam tebalnya yang berwibawa. Imam yang siap membawa jamaah larut dalam kekhusyukan tarawih dan witir 11
rakaat.
Masajid di Jerman sebagian besar dikelola oleh, kalau tidak komunitas Turki (masajid Turki) atau komunitas Arab (umumnya dari Maghribi atau Maroko; masajid Arab). DITIB dan IGMG (aliansi ke partai Refah) adalah dua organisasi dominan pengelola masajid di antara komunitas Turki.Pada masajid yang mereka kelola, jumlah rakaat salat tarawih pada umumnya 23 rakaat. Bila kita memutuskan salat tarawih di salah satu masjid Turki, bersiap-siap kita harus punya kecepatan yang sama dengan imam dan jamaah asal Turki lainnya. Malam ke-27 adalah malam yang oleh komunitas Turki diyakini (ditetapkan ?) sebagai Lailatul Qadr. Jumlah jamaah tarawih pada malam itu akan sangat banyak. Masajid akan penuh.
Format tarawih di masajid Arab, seperti biasa di awali dengan salat Isya. Lanjut dengan tarawih delapan rakaat (salam di setiap dua rakaat) dan witir. Durasi tarawih juga tidak terlalu panjang, 40--60 menit. Di sepuluh
malam terakhir bulan suci, masajid Arab juga menyelenggarakan salat tahajud + tempat untuk ber-itikaf (juga untuk muslimah). Saat tahajud, masajid masih dipenuhi oleh jamaah, yang larut dalam kesyahduan malam bersama lantunan qiraat (ditambah qunut) merdu imam tarawih. Salat Tahajud biasanya dimulai sat jam sebelum waktu imsak. Ramadan dengan segala keunikannya menjadi pengalaman dan kenangan
tersendiri bagi kami. Keunikan yang mungkin akan kami rindukan, suatu saat di
masa yang akan datang.
Allahu a’lam bis shawab.
0 comments:
Post a Comment