For me, it’s memories not stuff. It’s people not money. It’s presence not striving. It's remembering what I have to give is small but valuable. And so I must choose to spend it well.
Kalau mendengar kalimat-kalimat yang diucapkan Bapak dan
almarhumah ibu saya, ya sebagai anak, hingga seperti sekarang ini, peran tak
terbayarkan dari keduanyalah yang menglingkupi. Banyak petuah yang memang benar
adanya. Tapi, terkadang, kalimat bertuah dari mereka berdua seolah dianggap
angin lalu. Pas terjadi sesuatu baru tersadar. Yah, anak-anaknya beragam pola
dan tingkah.
Boleh saya bilang, beban kedua orang tua kita itu sudah
sangat banyak. Memang, namanya tanggung
jawab keduanya tak bisa dilepaskan begitu saja. Tanggung jawab mereka tak
main-main, dunia dan akhirat. Bagaimana keduanya memperlakukan anak-anaknya,
akan menjadi catatan besar di Padang Mahsyar. Tak bisa dielakkan.
Beberapa tahun lalu, saat merantau menginjakkan kaki di
tanah Jawa ini, yang paling bercucur air mata itu ibu saya. Rasanya berat
beliau melepas kepergian anaknya. Bagaimana tidak, sejak dari dalam kandungan,
lahir, hingga usia-usia “bandel” sama orang tua terus. Ikatan emosional ibu
dengan anak-anaknya begitu lekat.
Tetapi, saya merantau untuk satu hal. Mengejar cita-cita
(bukan Cita Citata… )
yang bisa mengubah kehidupan, minimal untuk diri sendiri kalau belum bisa untuk
keluarga. Dari Kampung ke Kota bekalnya cuma wejangan orang tua (ya, ada sih
bekal lainnya). Duh, itu ibu air matanya berlinang terus kalau saya
ingat-ingat.
Kalau Bapak ya tenang-tenang saja. Tetapi kalau saya
perhatikan secara saksama, memang beda banget cara Bapak dan Ibu memperlakukan
anak-anaknya. Akan tetapi, tujuannya sama, kasih sayang mereka tumpahkan untuk
anak-anak tercinta dan tersayangnya, kok. Ibu itu kalau saya telpon dari yang
tadinya cerah ceria, perlahan-lahan merendahkan suara, eeh tiba-tiba ngembes (Jawa = nangis) begitu nanya soal makan saya.
Naah kan, saya yang jadi anak ya berusaha menenangkan saja.
Tidak pula ikut-ikutan ngembes. Ibu itu
pula yang kalau lagi makan, pas ingat saya di perantauan, malah ga jadi makan.
Lhaa… saya justru yang khawatir. Jangan sampai ibu jatuh sakit gara-gara
mikirin cara makan saya di perantauan.
Hal-hal seperti ini tidak bisa ibu lepaskan, hingga saya
selesai menempuh pendidikan. Beda dengan bapak. Bapak itu, kalau saya telepon,
ngobrol panjang lebar. Saya terkadang jadi pembicara yang baik dan sebaliknya
bapak. Bertukar pikiran melalui obrolan panjang di telepon. Bapak memberi
dukungan untuk saya menyelesaikan kuliah dengan baik dan benar, ga harus cum
laude.
Ya, janji saya yang sudah saya tancapkan dalam-dalam di lubuk hati paling dalam. “Saya mesti kelar
kuliah sebelum bapak pensiun, gaji bapak biar bisa dipakai lagi buat sekolah
adik-adik saya.” Saat saya kuliah, adik-adik saya dua orang juga masih sekolah,
masing-masing kita perlu biaya yang tak sedikit.
Selama kuliah saya mesti putar otak, bagaimana caranya
biar beban bapak tak terlalu berat. Uang kiriman juga tak mesti menunggu tiap
bulan datang. Saya pikirkan hal ini, ketika masuk semester dua. Mestinya ya,
saya senang-senang kuliah, dapat bea siswa ayah bunda, tapiii… tidak! Saya tidak
bisa seperti itu. Justru bagaimana cara saya meringankan beban orang tua. Kuliah
tak bergantung lagi biaya kiriman bapak. Harapan-harapan yang terus menggelayut
dan jadi kenyataan. Semester-semestar empat ke atas, saya sudah jarang-jarang
minta duit ke ortu.
Sembari kuliah, ngajar di beberapa tempat plus ikut
proyek. Alhamdulillah, kost bisa bayar sendiri, uang makn pun demikian. Ah iya,
sempat ngajuin beasiswa pula. Alhamdulillah, dapet juga beasiswanya. Permintaan
kepada Sang Khalik yang tak muluk-muluk dijawab satu per satu. Beli baju pun
tak minta duit lagi dari ortu.
Satu kesempatan yang tak dilewatkan itu, ketika menerima
tawaran untuk menyunting salah satu buku pelajaran di salah satu penerbit. Dan uang
yang diterima dari kerjaan editor itu, hmm… bisa buat biaya skripsi. Uang dari ikut
kerja proyek dosen apalagi, bisa ngirim ke ortu dan menerbangkan mereka ke
Jakarta.
Alhasil, setelah selesai proses belajar saya di Depok,
saya diterima kerja di salah satu Lembaga Swadaya Masyarakat di Kabupaten
Sarolangun Bangko- Jambi, pada 1999. Dari Jambi ke Bangko itu ditempuh dalam
waktu 5 jam perjalanan darat. Lumayan, jalannya berkelok dan sisi kiri kanan masih
penuh dengan lebatnya hutan. Namanya, Sumatera ya. Karena saya lahir dan besar
di Sumatera (Jambi), jadi sudah tak asing kalau melihat babi hutan melintas,
ular kelindes, monyet nongkrong di jalan, juga tupai-tupai liar berkeliaran. Berhenti
sejenak menikmati indahnya Kantung Semar di perjalanan.
Di Bangko ini terkenal dan menjadi sentra pembuatan
keripik pisang. Pisangnya besar dan panjang. Keripiknya juga lembut dan gurih. Variannya
juga banyak, antara lain ada keripik pisang susu cokelat, original, juga keju. Teman
setia teh pagi saya biasanya keripik pisang susu cokelat dan original. Entah
kenapa, keripik pisang ini menjadi magnet yang paling kuat untuk terus saya
coba dan ada di meja kerja.
Selama tinggal di Bangko, camilan satu ini tak pernah
lepas sebagai penganan favorit saya. Ini bukan berarti tidak ada camilan lain
yang diproduksi. Tetap, keripik pisang ini jadi jawara di lidah saya, kala itu.
Dari sejak merantau di Jakarta, kalau pulang ke rumah
ortu di Jambi, ada saja yang saya bawa. Orang tua sih tak pernah minta saya
bawa ini itu. Beliau justru berucap, “Kamu pulang dengan sehat dan selamat,
bapak & ibu sudah sangat bersyukur alhamdulillah.” Begitunya orang tua saya
kepada anak-anaknya.
Di situlah saya melihat keikhlasan dan pengorbanan mereka
yang tak pamrih. Anaknya pulang bukan main girang. Tak terbersit pula mereka
mau minta ini itu pada saya. Malah sempat saya kasih uang hasil kerja waktu itu
ditolak secara halus, “Simpan saja, suatu saat nanti kamu perlu, bapak &
ibu masih ada.” Waduh!!! Saya sempat menduga-duga juga, kenapa bapak sama ibu
malah menolak halus gini ya dikasih uang, apa memang benar-benar masih ada atau hanya berpura-pura ada.
Ya, jadinya mikir juga. Bapak sama ibu ga mau dikasih
uang dari hasil kerja saya sendiri dan itu penuh perjuangan.Tiba-tiba saya jadi ingat. Bapak itu kalau pulang kerja,
biasanya istirahat sebentar, lantas makan siang. Makan siangnya bapak pukul 4
sore, kebayang kan makan malamnya pukul berapa? Pukul 10 malam. Tetapi badannya
tidak melar atau mengidap penyakit tertentu. Jauh dari kata gemuk dan sakit.
Nah, bapak itu
suka kletikan (Jawa =
camillan). Favoritnya itu keripik pisang asin. Pada satu kesempatan, saya memang
tak membeli banyak untuk persediaan camilan kerja saya, di laci meja kerja saya
masih tersimpan satu bungkus utuh. Saya bawa pulang ke rumah, iseng-iseng sih. Saya
berangkat dari Bangko pulang ke Jambi puku 4 sore, sampai di rumah tepat pukul
9 malam.
Bapak lagi ngopi, ya cuma kopi saya lihat. Teringat saya
bawa satu bungkus keripik pisang, tanpa ba-bi-bu, saya taruh di atas mejanya
ketika bapak sedang ke belakang. Masuklah saya ke kamar, kamar saya dan ruang
tempat bapak ngopi itu tak terlalu jauh, tapi saya masih bisa ngintip beliau
dari dalam kamar dengan jelas.
Beliau perhatikan lama banget itu keripik pisang. Saya juga
tidak tahu dalam benaknya, apa yang terlintas. Beliau masih saja memperhatikan
keripik pisang itu hampir 30 menit lamanya. Saya melihat jelas dari balik kamar
raut wajahnya yang bengong. Tetiba, saya keluar, saya perhatikan mata bapak itu
berair. Ada tanya yang ingin saya ucapkan tapi tertahan. Saya paham. Satu bungkus
keripik pisang itu membuat mata beliau berair dan merasakan pengorbanan saya.
Mungkin “demi…”.
Terima kasih bapak, sudah memberi begitu banyak ruang
kepada saya untuk terus berbakti tanpa henti. Keripik pisang itu akan tetap
renyah dan gurih untuk terus bapak nikmati.
Di usia senja bapak, beliau terbaring lemah. Bahunya dulu
memang kekar, kuat, dan kokoh, kini pasrah dalam ketakberdayaan. Semoga bapak
tabah dan ikhlas menjalani hidup hingga ajal menjemput. Sehat pak!
3 comments:
Apapun yg diberikan oleh seorang anak pada orangtuanya pasti akan sangat membahagiakan utk orang tuanya. Sehat selalu ya utk Bapaknya
@Dewi: Yaa... bukan main bahagia kan ya, meski ortu ga minta. Tapi anaknya penuh kesadaran memberi. Bukan karena balas jasa. Ga akan habis-habis kalo mau dibales juga apa yang sudah ortu kasih ke kita. Terima kasih doanya Wi.
Subhanallah semoga bapak diberi kesehatan
Post a Comment