Setiap anak yang dilahirkan ke dunia dalam keadaan suci. Karenanya, orang tua dan lingkungan tempat tinggalnyalah yang akan membentuk watak atau karakater anak. Apakah karakter yang terbentuk itu baik atau bnuruk, tergantung bagaimana cara orang tua mendidik dan di mana lingkungan tempat mereka tinggal. Anak sebai sebuah kepercayaan yang diberikan dari sang Khalik kepada orang tua. Oleh karena itu, jangan pernah sia-siakan mereka. Mereka merupakan generasi penerus bangsa. Apa artinya, jika generasi penerus bangsa ini punya dekadensi moral dan akhlak. Itu menjadi indikator akan rusak dan hancurnya tatanan sebuah bangsa.
Kenyataan memperlihatkan, permasalahan anak sangat menyentuh hati dan membuat miris. Bahkan, telah jauh melewati batas. Anak-anak yang seharusnya mendapat perlindungan secara kuat, dipelihara, dididik, dan dibina malah dijadikan objek-objke yang sangat menyayat hati, bahkan menjurus kepada perbuatan tercela. Contoh mudah, anak dijadikan sebagai pelaku tindak kejahatan sosial dan tindak kejahatan seksual.
Untuk masalah tindak kejahatan sosial, anak dijadikan sebagai subjek terhadap penjualan barang-barang haram, seperti obat-obatan terlarang, pil ekstasi, film porno, pencopet, pengamen yang diorganisir, perampas, yang hasilnya diserahkan kepada bandar. Di tindak kejahatan seksual, anak dijadikan sebagai “barang dagangan” sindikat penjualan anak, baik antardaerah, antarnegara, bahkan lintas benua. Anak dijadikan pemuas nafsu orang dewasa. Juga sebagai objek kelainan seksual penyuka sesama (homo). Bahkan, anak tiri dan anak kandung sekalipun digagahi orang tuanya sendiri.
Melihat fenomena yang ada, seperti di Aceh dan daerah-daerah konflik lainnya, anak tinggal di barak-barak pengungsian dengan tidak menikmati indahnya masa kecil. Tanpa menikmati pendidikan yang layak untuk masa depan karena sekolah-sekolah mereka diberangus, dan tanpa rumah ketenangan. Hal ini yang menghiasi hampir setiap hari laman daring (baca media online-red) dan media cetak negara ini.
Mana program pembangunan yang didengungkan mampu menyentuh kehidupan mereka? Akibatnya, permasalahan ini tidak kunjung selesai. Justru makin berkepanjangan. Oleh karena itu, bentukan karakter dan moral dari peran besar orang tua sangat menentukan terhadap keberlangusungan sang anak. Selain itu, masyarakat dan negara turut punya andil dalam memberikan perlindungan kepada mereka, karena sesuai dengan kewajiban yang telah dibebankan kepada hukum. Negara menyediakan fasilitas dan beragam keperluan lain untuk anak-anak generasi penerus masa depan ini demi menjamin pertumbuhan dan perkembangan mereka secara maksimal dan lebih berada dalam relnya.
Anak-anak yang hadir di dunia ini sudah seharusnya diberi bimbingan, pendidikan, dan pembinaan. Hal itu diperuntukkan agar mereka tumbuh dan terus berkembang sebagai anak yang sehat, normal, dan cerdas. Anak sebagai pewaris tahta negara, masyarakat, dan keluarga. Terkadang, mereka mengalami masa-masa sulit dan bertindak brutal melanggar hukum. Akan tetapi, meskipun mereka melanggar hukum, bukan berarti lantas dihukum, diperparah lagi dimasukkan ke dalam penjara.
Anak menjadi topik hangat yang tak akan habis diperbincangkan dan menjadi isu penting dalam negara, masyarakat, dan keluarga. Negara, sebagai tempat bernaung warga negaranya harus memberikan jaminan perlindungan kepada anak-anak masa depan bangsa ini. Jika kita melihat kasus yang menimpa salah satu anak di Langkat, Sumatera Utara bernama Raju. Dapat dijadikan pembelajaran berharga. Apakah layak anak di usia 8 tahun yang masih perlu bimbingan orang tua, dalam masa pertumbuhan dan terus berkembang hidup di balik hotel prodeo dan dihadapkan pada pengadilan? Raju bukan satu-satunya kasus yang mencuat di negara ini. Ada lebih dari 4.000-an anak Indonesia yang dimajukan ke meja hijau atas dasar tuduhan kejahatan ringan seperti pencurian menurut laporan yang dibuat Steven Allen 2003.
Mereka, secara umum tidak mendapat dukungan dari Dinas Sosial dan pengacara. Tak heranlah apabila dari sekian banyak anak-anak tersebut dijebloskan ke dalam penjara. Melihat masalah paling besar anak-anak yang dihadapkan pada perkara hukum karena Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak sudah tidak relevan, baik dari sisi yuridis, filosofis, dan sosiologis. Undang-undang tersebut tidak memberikan jawaban tepat terhadap penangan anak sebagai anak yang berhadapan dengan hukum.
Anak Berkonflik dengan Hukum dan Pemenjaraan
Anak yang punya masalah terhadap hukum diarahkan dan diselesaikan ke pengadilan, akibatnya anak mendapat tekanan mental dan psikologis terhadap anak yang punya konflik dengan hukum itu akan mengganggu tumbuh kembang si anak. Proses yang dilakukan seperti ini justru memunculkan masalah, karena mereka harus diselesaikan secara hukum. Padahal, kenyataan yang terjadi tidak jarang anak-anak yang bermasalah dengan hukum itu tadi disatukan dengan orang dewasa, seperti dalam penjara yang berbaur dengan orang dewasa.
Betapa penting peran dan kedudukan anak untuk bangsa ini. Karena itu, kita harus bersikap responsif dan progresif dalam menata peraturan perundan-undangan yang berlaku. Apabila kita melihat pengertian anak, kita akan bernafas lega karena sudah dipahami secara komprehensif.
Dalam konstitusi negara ini, anak punya peran strategis yang secara tegas disebutkan bahwa negara menjamin hak setiap anak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Hal-hal terpenting bagi anak sudah sepatutnya dihayati sebagai kepentingan terbaik bagi kelangsungan hidup umat manusia. Konsekuensi dari ketentuan pasalk 28B UUD 1945 perlu ditindaklanjuti dengan membuat kebijakan pemerintah y ang bertujuan melindungi anak.
Anak-anak negeri ini sudah sepantasnya mendapat perlindungan dari dampak negatif perkembangan pembangunan yang cepat, globalisasi yang semakin menggerus di ranah komunikasi dan informasi, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan perubahan gaya dan cara hidup sebagian orang tua yang telah membawa kepada perubahan sosial sangat mendasar dalam kehidupan bermasyarakat yang sangat punya pengaruh terhadap nilai dan perilaku anak.
Penyimpangan atau pelanggaran hukum yang dilakukan oleh anak karena faktor-faktor di luar anak itu sendiri. Menurut Dirjen Pemasyarakatan, bahwa tingkat kriminalitas serta pengaruh negatif penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat aditif lainnya semakin meningkat tajam. Hal-hal ini harus segera dicegah untuk kemajuan dan masa depan mereka. Sejak dini, penanaman nilai-nilai moral dan agama perlu ditekankan secara tegas.
Prinsip perlindungan hukun kepada anak harus sesuai dengan Konvensi Hak Anak-Anak (Convention on the Right of the Child) yang sudah diratifikasi oleh pemerintah RI melalui Kepres Nomor 36 Tahun 1990 Tentang pengesahan Convention on the Right of the Child. Jika menelaah UU Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, hal itu dimaksudkan untuk melindungi dan mengayomi anak yang bermasalah atau berhadapan dengan hukum agar anak-anak dapat menyongsong masa depan yang masih panjang dan memberi mereka kesempatan untuk dibina menjadi manusia yang punya jati diri, bertanggung jawab, dan berguna bagi diri sendiri, keluarga, masyarakat, dan negara. Akan tetapi, dalam pelaksanaannya, anak menjadi objek dan diperlakukan cenderung dirugikan.
Sistem penjara yang sangat menekankan pada unsur balas dendam dan penjeraan yang disertai dengan lembaga “Rumah Penjara” secara perlahan-lahan dianggap dan dipandang sebagai sistem dan sarana yang tidak lagi sejalan dengan konsep rehabilitasi dan reintegrasi sosial, agar narapidana menyadari kesalahannya, tidak lagi berkeinginan untuk melakukan tindak pidana dan kembali menjadi warga negara yang bertanggung jawab.
Kepedulian terhadap persoalan anak mulai ada sejak 1920-an setelah Perang Dunia I. Dalam perang itu, pihak yang paling menderita adalah anak dan kaum perempuan. Setelah perang, anak-anak dan perempuan mendapati kenyataan pahit, suami, ayah mereka terluka bahkan meninggal dunia. Perempuan menjadi janda, dan anak-anak menjadi yatim-piatu. Oleh karenanya, anak-anak kehilangan sosok yang dapat dijadikan panutan, contoh, dan imam keluarga sekaligus sosok yang mampu melindungi keluarga dari segala bentuk bahaya.
Salah seorang perempuan aktivis Eglantyne Jebb lantas mengembangkan butir-butir tentang hak anak pada 1923 yang diadopsi menjadi Save the Children Fund International Union. Isinya antara lain:
- Anak harus dilindungi di luar dari segala pertimbangan ras, kebangsaan, dan kepercayaan.
- Anak harus dipelihara dengan tetap menghargai keutuhan keluarga.
- Anak harus disediakan sarana yang diperlukan untuk perkembangan secara normal, baik material, moral, dan spiritual.
- Anak yang lapar harus diberi makan, anak yang sakit harus dirawat, anak cacat mental atau cacat tubuh harus dididik, anak yatim piatu dan anak terlantar diurus/diberi pemahaman.
- Anaklah yang pertama-tama mendapat bantuan atau pertolongan pada saat terjadi kesengsaraan.
- Anak harus menikmati dan sepenuhnya mendapat manfaat dari program kesejahteraan dan jaminan sosial, mendapat pelatihan agar pada saat diperlukan nanti dapat dipergunakan untuk mencari nafkah, serta harus mendapat perlindungan dari segala bentuk eksploitasi.
- Anak harus diasuh dan dididik dengan suatu pemahaman bahwa bakatnya dibutuhkan untuk pengabdian kepada sesama umat.
Beragam tuntutan yang meminta agar ada perhatian khusus pada anak, membuahkan hasil dengan memasukkan hak-hak anak dalam Piagam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia pada 10 Desember 1948. (JJW): http://migrantinstitute.net/jaminan-perlindungan-anak
0 comments:
Post a Comment