Sulawesi Tengah menjadi salah satu tempat paling indah di
Indonesia. Pegunungan, danau, dan lembah cantik menghiasi wilayah itu. Ini menjadi
daya tarik wisata yang tak terkalahkan.
Palu, menjadi ibukota Sulawesi Tengah yang letaknya tepat berada di sisi
Utara. Kota ini dikenal sangat jarang turun hujan, oleh karena itu daerahnya kering
dan panas sehingga Palu dikenal sebagai kota terkering di Indonesia. Kalau
teman-teman pernah ke Palu, akan merasakan panas yang sangat lekat di kulit
saat berjalan di siang hari. Sementara di malam hari, udaranya terasa sejuk.
Suasana Lembah Bada, eksotis dan sangat menawan Foto: Dok. Pribadi |
Adalah Lembah Bada, Lembah yang berada di kabupaten Poso,
Sulawesi Tengah, masuk ke dalam Taman Nasional
Lore Lindu. Berada di sebelah Selatan kota Palu atau sebelah Barat Tentena.
Dapat dicapai dengan kendaraan, baik mobil maupun motor dari Palu sekitar 8 jam
perjalanan.
Cerah di Lembah Bada Foto: Dok. Pribadi |
Perjalanan menuju ke Lembah Bada tergantung pada kondisi cuaca.
Jika cuaca sedang tidak hujan, jalanan aman untuk dilalui. Apabila turun hujan,
perlu berhati-hati karena beberapa jalan masih dalam bentuk tanah liat merah dan
belum diaspal.
Danau Poso di pagi hari Foto: Dok. Pribadi |
Untuk menuju Bada, saya melewati beberapa kota kecil, seperti Parigi Moutong,
Tentena, dan terakhir ke tempat tujuan. Di kiri kanan jalan terdapat
perkampungan dengan nuansa pedesaan yang sangat indah, subur, dan menakjubkan.
Lembah Bada menjelang siang Foto: Dok. Pribadi |
Sebelum perjalanan panjang ke Lembah Bada, saya singgah
dan bermalam terlebih dahulu di kota Tentena. Di Tentena, banyak pilihan
penginapan untuk melepas penat setelah berjam-jam dalam perjalanan berada di
mobil.
Kondisi jalan menuju Lembah Bada Foto: Dok. Pribadi |
Bersyukurnya, perjalanan ke Lembah Bada yang saya tempuh
saat ini relatif aman dan lancar. Jalan-jalan mulai diaspal dan tak begitu
banyak ditemui jalanan bertanah liat basah.
Jalan terjal menuju Lembah Bada Foto: Dok. Pribadi |
Beberapa waktu lalu, perjalanan
menuju ke lembah ini ditempuh dalam waktu panjang, mungkin bisa belasan jam
bahkan satu hari penuh. Itu karena kondisi jalan yang tak bersahabat, ditambah
lagi jika turun hujan, jalanan semakin buruk dan licin.
Situs Megalitik Palindo (Sepe) Foto: Dok. Pribadi |
Apa daya tarik terkuat di lembah ini sehingga banyak
orang berbondong-bondong ingin mengunjunginya, baik orang-orang yang berasal
dari dalam dan luar Palu, maupun yang berasal dari luar negeri. Ya, hal paling
menarik di Lembah Bada ini adalah Patung Palindo (Palindo Statue). Ketika dahulu belajar sejarah, saya hanya bisa
membaca dari buku tentang budaya
megalitikum yang sangat terkenal ini.
Sepe terbesar lebih besar dan tinggi dari tubuh saya Foto: Dok. Pribadi |
Tanpa dinyana, saya menginjakkan kaki di tempat Patung
Palindo. Patung yang berdiri miring di
atas permukaan tanah Bada. Masyarakat sekitar sangat percaya terhadap patung
tersebut, dulunya berdiri tegak, sebagai sumber kekuatan untuk suku Lore, yaitu
suku asli yang mendiami Lembah Bada.
Patung Batu masih dalam kawasan Lembah Bada Foto: Dok. Pribadi |
Perjalanan menemui patung-patung peninggalan budaya
megalitikum itu tak berhenti pada patung Palindo semata. Banyak patung-patung
lain yang keberadaannya tersebar di sekitar Lembah Bada. Saya terperangah
sekaligus terperanjat melihat keberadaan patung-patung peninggalan megalitikum
itu. Betapa tidak, negeri ini penuh dengan peninggalan masa prasejarah yang
sangat indah untuk ditelusuri.
Patung batu, saya, dan Prof. Isamu Sakamoto di Lembah Bada Foto: Dok. Pribad |
Sangat beruntunglah saya menjumpai patung-patung megalit
yang ada di lembah Bada ini. Mengapa saya bilang beruntung? Karena
patung-patung megalit yang saya lihat merupakan patung-patung langka yang ada
di dunia. Wow Indonesia! Patung-patung ini hanya terdapat di Napu, Besoa, Bada,
dan Amerika Latin yang berada di daerah Marquise Island.
Patung Batu Lembah Bada Foto: Dok. Pribadi |
Lembah Bada, punya magnet sangat kuat untuk orang-orang
di luar Bada sendiri. Selain patung-patung prasejarah, ada satu tradisi yang
sudah dilakukan sejak zaman dahulu kala hingga kini. Apa itu? Ya, tradisi
pembuatan kain dari kulit kayu.
Bersama Mama Beri, pembuat kain kulit kayu Lembah Bada Foto: Dok. Pribadi |
Salah seorang peneliti kain kulit kayu Prof. Isamu
Sakamoto, yang berasal dari Surugadai University, Jepang mengatakan, “Tradisi
pembuatan kain kulit kayu yang berada di
Lembah Bada muncul pada zaman Neolitikum, sekitar 3.600 tahun lalu yang
berarti sebelum zaman megalitikum, pembuatan kain kulit kayu sudah ada dan
berkembang pesat, terutama di Lembah Bada Indonesia”.
Perkembangan di dunia, menurut Profesor Sakamoto,
pembuatan kain kulit kayu yang sekarang ini hanya ada di Sulawesi Tengah saja.
Hingga saat ini masih terus berproses dan dibuat. Apabila dilihat di lain
tempat, ini sudah tidak ada.
Kain kulit kayu berukuran 1 x 1 m yang dibuat Mama Beri Foto: Dok. Pribadi |
Bila diperhatikan secara saksama, masyarakat yang
mengolah kain dari kulit kayu masih menggunakan batu dan batu itu hanya ada di
Lembah Bada. Diperhatikan secara saksama pula, batu-batu yang digunakan untuk
membuat kain, hanya ditemukan di situs-situ kuno yang terdapat di Lembah Bada
(lokasi yang sama).
Alat pukul (baton beaten) kain kulit kayu yang ada di Lembah Bada Foto: Dok. Pribadi |
Hal yang membuat saya lebih tercengang lagi, ternyata
batu-batu yang digunakan sebagai alat pembuat kain kulit kayu itu tadi, menurut
para arkeolog dibuat sekitar 3.600 tahun silam. Waaw! Sementara, batu-batu itu
hingga kini masih bertahan dan utuh. Luar biasa!
Profesor Isamu Sakamoto dan Mama Beri di Lembah Bada Foto: Dok. Pribadi |
Bukan apa-apa, hal ini benar-benar memukau dan membukakan
mata saya. Sejarah yang sudah berlangsung 3.600 tahun berlalu tetapi, hingga
sekarang masih terus berlangsung pembuatan kain kulit kayu tersebut.
Alat yang saya pegang adalah setrika untuk kain kulit kayu di Etnis Lore Iwanua Lengkeka Foto: Dok. Pribadi |
Menurut Profesor Harry Truman Simanjuntak, Arkeolog dan
peneliti kulit kayu, di dunia persebaran kain kulit kayu cukup luas, selain di
Asia, yang tertua terdapat di China Selatan, ada di Amerika dan beberapa negara.
Ditemukan pula kain kulit kayu yang ada di Peru, Bolivia, Brasil, dan di
wilayah Kepulauan Pasifik.
Mama Asa, yang saya pegang kain kulit kayu terakhir buatannya, saya beruntung mendapatkannya. Usia Mama Asa ini sudah lebih dari 90-an tahun Foto: Dok. Pribadi |
Kain kulit
kayu yang berada di Pasifik berkembang sangat baik dari zaman dahulu hingga
kini, masih terus berlangsung di beberapa tempat. Hal ini tentu ada kaitan
persebarannya dengan yang datang dari China Selatan, masuk ke Taiwan, turun ke
Filipina, masuk ke Indonesia, dan sebagian ada yang bermigrasi ke wilayah Timur
dan Pasifik.
Menginjakkan kaki di Etnis Lore Iwanua Lengkeka masih dalam kawasan Lembah Bada-Sulteng Foto: Dok. Pribadi |
Beberapa kain kulit kayu sudah punah, seperti di Toraja,
pada tahun 1900-an, atau awal abad ke-20 masih ada peneliti Eropa yang melihat
dan menyaksikan sendiri pembuatan kain kulit kayu, bahkan diterbitkan dalam
sebuah buku. Setelah diteliti dan dilacak kembali beberapa tahun lalu, ternyata
pembuatannya sudah tidak ada lagi. Yang
tertinggal hanya produknya saja yang ada di museum setempat, dan di beberapa
butik-butik tertentu.
Daya tarik yang sangat kuat untuk saya teliti lebih lanjut, Lembah Bada Foto: Dok. Pribadi |
Kurator Museum Sulawesi Tengah, Drs Rim, M. Hum, mengatakan
bahwa yang ada sekarang ini tinggal orang tua yang sudah lanjut usia yang masih
membuat. Karenanya, perlu diberi pemahaman bahwa kulit kayu ini memiliki nilai
ekonomi.
Kak Sonya, Baju Hijau, salah satu generasi muda penerus pembuat kain kulit kayu di Lembah Bada Foto: Dok. Pribadi |
Oleh karenanya diharapkan, anak-anak cucu mereka juga dapat membuat
kain kulit kayu tersebut. Jangan pernah berpikir bahwa membuat kain kulit kayu
hanya pekerjaan sia-sia atau buang-buang waktu. Hal inilah yang perlu benar-benar dijadikan
sebuah momentum untuk memacu mereka.
Peran pemerintah, seperti Deperindag, Koperasi, dapat
mengajarkan kepada pengrajin ini agar lebih dinamis dalam berproduksi. Memang,
tidak semua jenis pohon dapat diambil kulitnya untuk dibuat kain kulit kayu.
Rim mengatakan, di Bada ada sekitar 16 jenis pohon
menurut penelitian yang dapat diambil kulitnya untuk pembuatan kain kulit kayu.
Sementara, di daerah Kulawi hanya sekitar 6 jenis pohon saja. Memang, lebih
banyak di daerah Lore-Bada.
Pohon Saeh (Brossounetia papyrifera) bahan dasar pembuatan kain kulit kayu Foto: Dok. Pribadi |
Jenis-jenis pohon yang dapat diambil kulitnya untuk
dijadikan bahan pembuatan kain kulit kayu dan paling sering adalah pohon Ivo
atau Bea, pohon Malo, dan beberapa jenis beringin. Kulit kayu dari jenis pohon
inilah yang paling sering dipakai.
Beberapa penelitian mengatakan, semua pohon yang bergetah
dapat dijadikan kain kulit kayu dan memiliki potensi ekonomi. Ya, pembuatan
kain kulit kayu yang berada di Sulawesi Tengah ini merupakan satu budaya
kearifan lokal masyarakat setempat yang ingin dan peduli mempertahankan tradisi
agar tak mati.
Proses pembuatan kain kulit kayu memerlukan waktu relatif
singkat. Jika dilakukan terus menerus hanya menghabiskan waktu sekitar satu
minggu. Semua itu tergantung dari berapa meter atau berapa besar kain yang akan
dihasilkan. Semakin lebar dan panjang kain, semakin lama waktu yang diperlukan.
Kain-kain kulit kayu yang akan dijadikan baju pun perlu waktu lagi. Waktu yang
diperlukan sekitar dua minggu hingga satu bulan. Semua itu tergantung pola dan
jenis baju yang akan dibuat.
Proses pembuatan kain kulit kayu terbilang sulit.
Tahapan-tahapan tertentu harus dilalui untuk menghasilkan kain yang bermutu dan
bernilai ekonomi tinggi. Tahapan-tahapannya
sebagai berikut.
Pertama: pencarian bahan baku (material) yang memang
banyak terdapat di lembah Bada. Pohon-pohon yang boleh diambil tak
sembarang pohon, adalah pohon dengan
umur tertentu. Kearifan penduduk lokal dalam menggunakan bahan baku sangat dijaga.
Warga mengambil secukupnya saja. Pohon-pohon yang sudah ditebang lantas
dikuliti. Kulit kayu kemudian direbus agar menjadi lemas dan mudah untuk
diproses.
Nantinya, kulit kayu yang tadinya berwarna cokelat,
setelah boiling (perebusan) akan berubah warna
menjadi putih. Kain kulit kayu yang berwarna putih tadi, akan dibuat
kain yang berwarna putih. Kulit kayu yang sudah direbus dan mulai lemas
tersebut, lalu dipukul-pukul menggunakan kayu dan batu khusus. Lamanya
pembuatan kain kulit kayu dari kulit
kayu yang sudah direbus tadi melalui pemukulan dapat berlangsung antara satu
hingga dua minggu. Hal itu tergantung berapa panjang atau pendek kain yang akan
dibuat.
Berdasarkan penuturan Antony, seniman pembuat kain kulit
kayu, jenis kayu yang digunakan untuk memukul kulit kayu terbuat dari kayu
bernama kayu Miras atau ruyung enau. Kayu Miras itu kayu yang relatif keras,
berfungsi untuk menghancurkan serat kayu. Kayu Miras yang berbentuk garis
lubang panjang difungsikan untuk serat
masuk ke dalam dan membuka helaian serat.
Guratan kayu Miras tersebut merupakan peninggalan nenek
moyang. Untuk memperhalus kain kulit kayu mereka mencari cara sendiri atau
mengembangkannya sendiri. Pemukulan kulit kayu dengan alat pukul kayu lebih
kurang satu hari saja. Untuk hari kedua, mulai dilakukan pemukulan dengan
menggunakan alat yang terbuat dari batu. Dalam masyarakat Bada yang membuat
kain kulit kayu, untuk pemukul tersebut ada penamaan tersendiri. Untuk
pemukulan pertama alatnya disebut Peboba.
Hari kedua tetap menggunakan kayu Miras (Enau). Alat kedua yang dipakai untuk
memukul adalah Pehelo’i, ketiga
masih jenis Pehelo’i tapi terbuat dari batu (namanya batu ike) yang konturnya mulai
agak halus.
Setrika kayu (seperti Alu) dan beberapa alat pemukul kain kulit kayu Foto: Dok. Pribadi |
Kain-kain kulit kayu yang dipukul-pukul lama kelamaan
akan melebar dan alat-alatnya pun disesuaikan dengan kebutuhan. Untuk
menyambung antara satu kain kulit kayu dengan kain kulit kayu lainnya tidak
menggunakan lem. Akan tetapi dengan menempelkan kain kulit kayu yang lainnya
dan dipukul-pukul lagi hingga menempel dan menyatu melalui pukulan tadi.
Pekerjaan untuk membuat kain kulit kayu ini memang
kebanyakan dilakukan kaum wanita. Mereka melakukannya ketika tidak ada
pekerjaan lain atau saat-saat waktu senggang. Biasanya mereka melakukannya
setelah pekerjaan utama, khususnya pekerjaan rumah usai. Kesabaran, ketekunan,
juga kegembiraan sebagai kunci dari pembuatan kain kulit kayu tersebut.
Kulit kayu yang sudah dipukul-pukul selama beberapa hari
tersebut yang tadinya tebal lama kelamaan menjadi tipis akan tetapi liat dan
kuat menjadi kain. Tentunya, kandungan air yang terdapat dalam kain kulit kayu
masih ada. Untuk menghilangkan kadar airnya, kain kulit kayu dijemur di terik
sinar matahari hingga kering sempurna.
Hal yang sangat saya kagumi dalam proses pembuatan kain
kulit kayu ini, tak ada satupun bahan-bahan kimia bercampur di dalamnya.
Proses pembuatannya dilakukan secara alami dan
tradisional dengan memanfaakan sumber-sumber alam yang ada. Sama halnya
dengan pembuatan kain kulit kayu, untuk
pewarnaannya pun demikian, masyarakat Lembah Bada menggunakan pewarna alami
yang diturunkan secara turun temurun dari nenek moyang mereka kepada orang-orang
yang melakukan pembuatan kain kulit kayu.
Bahan pewarna alami yang digunakan diambil dari pohon
yang berada di Lembah Bada sendiri. Pohon tersebut terdapat di pinggir-pinggir
jalan dan juga dataran tinggi Bada. Pohonnya bernama Bonoti. Sementara bahasa Manadonya Leilem. Jenis bunga justru tidak digunakan.
Daun Bonoti tadi lantas ditumbuk. Tempat tumbuknya
(lumpang) terbuat dari batu. Mengapa batu? Dilihat dari kekerasan daunnya, daun
Bonoti itu relatif keras, jadi batu justru mempercepat proses penghancuran,
mempercepat penghalusan, dan mempercepat pengeluaran air. Sedangkan tumbukan
yang berasal dari kayu justru membuat lama hancur daun Bonoti dan lama pula proses
pengeluaran airnya.
Antonio (Pak Tony) merupakan seniman dari Lembah Bada
yang berkonsentrasi terhadap pembuatan dan pewarnaan kain kulit kayu. Dia
jugalah orang yang memberikan motif-motif pada kain kulit kayu Lembah Bada. Dia
seakan mampu memberikan “nyawa” pada kain kulit kayu yang seolah hidup memiliki
jiwa.
Kemampuan dirinya meracik beragam warna untuk pembuatan
warna kain kulit kayu berbasis pada kearifan lokal. Pengetahuannya diperolah
secara turun temurun.
Hal yang menjadi catatan penting saya, Pak Tony terkadang
mengandalkan ingatannya untuk membuat warna-warna yang ada tanpa membuat catatan.
Amazing!
Warna hitam yang dibuat olehnya berasal dari getah Damar
(Agathis alba). Getah damar
diperolehnya dari hutan di sekitar Lembah Bada.
Getah damar yang diambil pun merupakan getah damar yang sudah mengeras
dan mengering.
Selanjutnya getah damar dibakar. Hasil pembakaran getah
damar tadi, ditampung dalam belang-belanga yang terbuat dari tanah liat. Asap-asap
(Jelaga) yang ditimbulkan dari getah damar tadi akan menempel di sekitar
belanga. Pak Tony tak pernah berhenti untuk mencoba mencari pewarnaan baru.
Melalui mencoba dan terus mencoba itulah akhirnya dia mendapatkan warna-warna
indah alami yang membuat kain kulit kayu yang tadinya putih, kini penuh corak
dan warna.
Baju dari kain kulit kayu untuk pria (Koleksi Bang Rim) Foto: Dok. Pribadi |
Jelaga-jelaga getah damar yang dibakar tadi akan menempel
di dalam tutup-tutup belanga. Selanjutnya, jelaga-jelaga damar tadi dikerik
perlahan-lahan untuk diambil menjadi pewarna hitam. Diberi sedikit tetesan air
sehingga mengeluarkan warna hitam.
Rok dari kain kulit kayu untuk perempuan (Koleksi Bang Rim) Foto: Dok. Pribadi |
Nah, dengan alasan
motif-motif yang dibentuk atau dibuat oleh Pak Tony adalah motif-motif
kuno, oleh karenanya, motif tersebut tidak boleh dimodifikasi atau dibuat dalam
bentuk lain. Beliau menganggap bahwa motif kuno tersebut sebagai sebuah tradisi
masa lalu. Hal itu tak boleh diubah-ubah karena berkaitan dengan adat.
Baju untuk perempuan dari kain kulit kayu (Koleksi Bang Rim) Foto: Dok. Pribadi |
Ada salah satu baju yang dipakai untuk perempuan dengan motif kerbau. Maksud
dari motif tersebut adalah baju itu dipakai pada saat ada kelahiran,
perkawinan, dan kematian dengan melakukan upacara kerbau dengan menggunakan
baju tersebut. Mas kawin (mahar perempuan) pada saat pernikahan pun memakai
kerbau. Penyambutan yang menggunakan ritual juga memakai kerbau. Begitu pula
dengan pesta-pesta yang diadakan, harus menggunakan kerbau.
Baju untuk pria dengan motif yang sangat indah (Koleksi Bang Rim) Foto: Dok. Pribadi |
Jadi, di bagian bawah di atas pusar pada baju tersebut
terdapat simbol tanduk kerbau. Tanduk kerbau merupakan adat Bada. Tanduk kerbau
yang digambarkan di motif baju itu ada yang terdapat secara abstrak. Filsafat nenek
moyang mereka diambil dari bulan dan bintang.
Siga atau penutup kepala untuk pria (Koleksi Bang Rim) Foto: Dok. Pribadi |
Filsafat bulan, jika menanam tanaman yang berbiji ditanam
pada saat bulan purnama. Menurut Pak Tony, apabila ditanam pada saat bulan
purnama, tumbuhan tersebut akan berbuah lebat. Jangan menanam pada saat bintang
berkelip. Apabila menanam saat bintang berkelip maka serangan hamalah yang akan
diperoleh.
Kain kulit kayu berumur sekitar 100 tahun (Koleksi Bang Rim) Foto: Dok. Pribadi |
Nilai ekonomi kain kulit kayu tak semata pada pakaian
yang digunakan ketika upacara adat berlangsung, akan tetapi menjadi satu hasil
karya yang sangat inspiratif dapat digunakan oleh orang banyak.
Celana dari kain kulit kayu untuk pria (Koleksi Bang Rim) Foto: Dok. Pribadi |
Selempang untuk baju pria dari kain kulit kayu (Koleksi Bang Rim) Foto: Dok. Pribadi |
Kain kulit Kayu menjadi sebuah peradaban khas manusia
karena memiliki fungsi yang sangat banyak. Pertama untuk fungsi yang sangat
praktis, dapat digunakan untuk selimut maupun baju (untuk kebutuhan
sehari-hari).
Lukisan di atas kain kulit kayu Foto: Dok. Pribadi |
Kedua, kain kulit kayu juga berfungsi sebagai status sosial.
Di suku-suku tertentu pada masyarakat seperti ketua adat, memiliki baju
kebesaran yang terbuat dari kain kulit kayu. Artinya, hanya pemimpin atau
orang-orang tertentu yang boleh mengenakan kain tersebut atau sebagai simbol
dari strata sosial seseorang.
Fungsi sakral, hanya dipakai pada saat ada
upacara-upacara adat tertentu dan orang-orang tertentu pula yang
menggunakannya. Hanya orang-orang yang terlibat dalam pelaksanaan upacara adat
itu saja yang dapat mengenakannya.
Untuk orang-orang yang memiliki ide-ide kreatif, kain
kulit kayu mereka sulap menjadi barang-barang unik, seperti dompet, tas, juga
sepatu casual lainnya. Di Sidoarjo Jawa Timur, kain kulit kayu diolah menjadi
beberapa barang yang sangat unik dan menarik, seperti tas juga sepatu.
Pengusaha lokal memperoleh kain kulit tersebut dari Bengkulu. Permasalahan pada
kain kulit kayu adalah bagaimana mengantisipasi jamur atau serangga? Juga bahan
yang mudah sobek.
Sebagaimana diketahui, Lembah Bada merupakan lembah yang
berjarak relatif jauh dari ibukota Provinsi Sulawesi Tengah. Oleh karenanya,
untuk membuka pasar atau memasarkan produk hasil olahan Lembah Bada menjadi
terkendala. Sudah dipastikan, apabila di Sulawesi Tengah ini anak-anak mudanya
tidak tertarik untuk mengolah atau mempertahankan tradisi kain kulit kayu,
suatu saat nanti warisan budaya nenek moyang yang sudah dirintis secara panjang
dan lama akan menghilang begitu saja.
Pak Antony sungguh beruntung, beliau menurunkan apa yang
ada dalam dirinya kepada anak lelakinya yang bernama Sigit untuk terus
mempertahankan dan mengembangkan usaha sang ayah dalam mempertahankan tradisi
pembuatan kain kulit kayu di Sulawesi Tengah, khususnya lembah Bada.
Tak dapat dipungkiri, masyarakat kini tak tertarik dengan
kain kulit kayu, mengapa? Karena negeri ini sudah dipenuhi dengan tumpukan
kain-kain modern yang lebih menarik, baik dari sisi warna, motif, maupun
ketahanannya. Upaya untuk mempertahankan ini tak semata-mata hanya dari
penduduk lokal, tetapi bagaimana peran pemerintah untuk turut serta
mempertahankannya agar tetap ada aktivitas pembuatan kain kulit kayu bahkan
bisa terus berkembang.
Daluang yang ada di Jawa Foto: Dok. Pribadi |
Beberapa nama diberikan untuk kain kulit kayu. Di Lembah
Bada, sangat dikenal dengan sebutan Fuya. Di Bali diberi nama Ulantaga atau
walantaga. Ulantaga biasanya dipakai untuk acara ngaben atau rajah. Sementara
itu, di Jawa dikenal dengan sebutan Daluang, Dluwang, Duluwang, atau Druwang.
Bahasa Jawa Kuno menyebutkan duluwang memiliki arti kulit kayu, kopiah, pakaian
rahib atau pertapa. Daluwang juga sama dengan dalancang.
Salah satu contoh Wayang Beber, warisan tak benda yang sangat perlu dilestarikan Foto: Dok. Pribadi |
Di Jawa, daluwang banyak dimanfaatkan untuk penulisan
manuskrip pada masa kerajaan zaman dulu dan juga wayang yang dikenal dengan
wayang beber. Ketika beberapa waktu lalu, saya mengunjungi beberapa tempat yang
dianggap menyimpan benda peninggalan sangat bersejarah ini, sebut saja Keraton
Surakarta, Museum Radya Pustaka, dan Perpustakaan Puro Pakualaman.
Manuskrip yang ditemukan di Radya Pustaka termasuk manuskrip
terbagus yang masih utuh. Kertas daluang yang dipergunakan hingga kini tetap
terpelihara. Beberapa ornamen yang ditorehkan di dalamnya pun cukup indah.
Jadi, pada masanya, raja dan ratu kerajaan menuliskan cerita yang di atas
kertas tersebut. Penampakan daluang memang sangat berbeda dari kertas
kebanyakan. Dari proses pembuatannya pun berbeda pula.
Manuskrip dari Daluang Foto: Dok. Pribadi |
Kalau kertas biasa, kebanyakan dibuat dengan proses
pembuburan (pulping) dan lembaran (forming). Umumnya, kertas biasa menggunakan
senyawa kimia, sehingga hasil sisa bahan kimia masih tertinggal secara
langsung. Hal itu yang membuat kertas biasa tidak dapat bertahan lama ketika
terjadi reaksi kimia semacam oksidasi atau hidrolisi.
Sementara itu, daluang dibuat dengan cara menguliti kulit
pohon Saeh, dicuci, lantas dikeringkan. Begitu kering, kulit direndam selama 24
jam. Selanjutnya dilakukan proses tempa (kempa). Proses kempa ini kulit saeh
dipukul secara merata hingga didapatkan lebar kertas daluang yang diinginkan. Di
Sulawesi, biasanya dilakukan perebusan kulit kayu, setelah itu dibungkus
menggunakan daun pisang selam 7 hari hingga menghasilkan lendir.
Kemudian kulit
pohon saeh dipukul-pukul dengan beberapa macam alat hingga menghasilkan
bentuk, ketebalan, serta lebar yang diinginkan. Di Jawa Barat, daluang dijemur
di batang pisang. Batang pisang memiliki tekstur licin sehingga daluang yang
dihasilkan lebih halus. Untuk selanjutnya daluang yang kering digosok dengan
kerang untuk menghasilkan tekstur yang halus di permukaannya. Memang, dari
pembuatannya, daluang punya kelebihan
dari kertas biasa. Daluang dibuat secara tradisional. Oleh karenanya,
dapat bertahan lama hingga ratusan tahun dan tanpa bahan kimia buatan.
Jangan heran, bahwa daluang ditemukan pada naskah kuno
Kakawin Ramayana di abad ke-9. Diceritakan bahwa daluang sebagai pakaian
pandita. Di abad ke-18, daluang dipakai tidak saja untuk pakaian, tapi juga
kertas suci, ketu-siga (penutup kepala). Sebelum Islam datang, daluang dipakai
untuk bahan wayang beber (Mungkin nanti saya akan bercerita tentang Tradisi
Wayang Beber ini). Wayang beber sebagai wayang tertua yang lebih dulu hadir
dengan memanfaatkan lembaran atau gulungan daluang untuk mencatat kisah atau
cerita pewayangan dalam bentuk bahasa gambar.
Nah, kalau daluang untuk tulis menulis di Indonesia,
dimulai dari pesantren hingga dimanfaatkan untuk kebutuhan administrasi zaman
belanda menjelang kemerdekaan RI. Mengenai tradisi menulis di Indonesia
menggunakan daluang, kira-kira ada sekitar abad ke-14. Seperti terlihat di
naskah UU Tanjung Tanah di Gunung Kerinci yang diteliti Dr. Uli Kozok, Hawaiian
University sekitar 2003. Sementara, untuk naskah Sunda dapat dicari dari naskah
Sunda Kuno dari abad ke-18 koleksi perpusnas. Next saya sambung lagi yaa...
Banyak banget yang akan saya tuliskan next dan informasi penting lainnya untuk hal ini. Sayang jika dilewatkan begitu saja. Tunggu yaa cerita selanjutnya.
#ODOP12
Banyak banget yang akan saya tuliskan next dan informasi penting lainnya untuk hal ini. Sayang jika dilewatkan begitu saja. Tunggu yaa cerita selanjutnya.
#ODOP12
0 comments:
Post a Comment