Sekolah, untuk sebagian anak-anak yang masuk kategori
kaya, tak perlu mikir harus begini begitu. Tinggal duduk manis, kadang diantar
sopir, sampai ke sekolah. Sarapan sudah disiapkan oleh ibunya. Baju seragam pun
licin rapi tergantung tinggal pakai.Belum lagi uang jajannya. Bisa jadi, sehari
ada yang diberi lebih dari 50 ribu.
Masa-masa sekolah saya tidak seperti itu. Bapak itu orang
yang ‘galak”. Keenam anaknya mesti bangun subuh-subuh. Ayam belum berkokok kami
sudah bangun duluan. Pukul empat subuh saat udara masih dingin mencekat tulang
belulang sudah harus siap-siap ke sumur.
Kami harus berbagi tugas. Ada yang mesti angkat air dari
sumur masukin ke bak mandi. Nimba terlebih dahulu menuhi bak mandi, air bak
cuci piring, dan air untuk cuci baju. Aktivitas ini setiap hari kami lakukan
sebelum berangkat sekolah. Kami harus berpacu sebelum fajar datang.
Ibu sesempatnya buat sarapan untuk anak-anaknya sekolah
dan bapak berangkat kerja. Ada yang dibuat ibu dimakan, ga ada sarapan kami
cukup minum teh manis dan bapak ngopi, hingga pulang sekolah menjelang,
alhamdulillah perut masih bisa bersitahan lapar.
Pagi yang dingin masih menyambut kami beres-beres untuk berangkat
sekolah setelah semua kerjaan rumah selesai. Bekal ke sekolah sangat sangat
sederhana. Satu botol air putih ditaruh dalam botol bekas sirup berlogo abjad tiga huruf yang
sangat melegenda. Begini setiap hari kami lakukan.
Pulang sekolah pun tak langsung makan. Di rumah, seluruh
pekerjaan dibagi-bagi. Di rumah memang tidak ada ART. Ya, pekerjaan rumah
tangga ibu pegang sendiri. Terkadang selesai, beberapa terbengkalai. Berpacu
dengan waktu sudah biasa ibu lakukan.
Akan tetapi, karena kami sudah biasa melakukan sendiri,
jadi biasa-biasa saja. Sembari berbagi “nikmat” kerjaan bersama keluarga. Karena masing-masing sudah punya tugas, kalau
tugas satu belum selesai, tetap saling bantu.
Sembari menikmati tugas rumah dari ortu, di sela-sela
itu ibu juga buat dagangan. Ya, sore
menjelang malam, saya jualan pastel isi kacang tanah, pisang goreng, pempek,
dan beberapa kue-kue basah lainnya. Meski disambi jualan, belajar tetap saya
lakukan.
Terkadang bergantian jaga warung di belakang rumah dengan Mba saya. Jualan
makanan ini jadi kerja sambilan yang mengasyikkan. Belajar dagang sembari dapat
uang. Warung akan tutup sehabisnya dagangan. Bisa pukul 9 malam, kadang juga
pukul 11 malam.
Selesai beres-beres, bisa pukul satu malam. Tetapi,
alhamdulillah, karena sudah terbiasa, jadi bangun pagi pun tak bakal terlambat.
Hampir tujuh tahun saya melakukan hal ini.
Saat di SMP, karena sekolah masuk siang, pagi-pagi saya
keliling jualan kue dalam tampah lebar. Macam-macam juga kue yang dibuat. Mulai
dari roti kukus (bakpao kalau di Jakarta sebutnya), kue mangkok, bakwan
(bala-bala), pisang goreng, ketan serundeng, plus kue bolu.
Kalau jualan saat di SMP ini, pagi-pagi bangun (biasanya
pukul satu malam). Ibu dan saya sudah meracik bahan. Selesai sekitar pukul 4.30 untuk beberapa jenis makanan
tersebut. Pukul lima subuh selesai salat, saya mulai keliling. Keliling di
sekitar kompleks ga jauh dari rumah dan beberapa perkantoran.
Pulang ke rumah sekitar pukul delapan pagi. Pokoknya sih
sehabisnya saja. Kadang pukul tujuh dagangan saya sudah habis, kadang juga
pukul sembilan. Kalau masih ada sisanya dibawa pulang. Biasanya, habis pulang
jualan, istirahat beberapa jam menjelang sekolah. Satu hingga dua jam cukuplah
untuk saya belajar.
Sembari belajar, ibu saya sudah menyiapkan pula dagangan
yang akan saya jual ke sekolah. Dagangan yang dijual di sekolah lebih kepada
makanan ringan yang kriuk-kriuk, seperti
keripik singkong pedas juga ada es lilin.
Pekerjaan sambilan ini tidak mengganggu jadwal saya
sekolah sama sekali. Alhamdulillah, semua berjalan lancar. Tatkala ujian tiba,
mungkin istirahat sekitar satu minggu. Selesai ujian, jualan lagi. Jadi, waktu
tetap produktif dan tidak sia-sia.
Kalau di SMA, fokus saya memang sekolah dan bantu di
rumah saja. Kerja sambilan stop sama sekali. Tetapi, ibu masih terima pesanan
kue dan catering.
Ketika kuliah, saya juga tak ingin membebani orang tua
saya. Jadi, begitu masuk semester tiga ke semester empat, saya mulai cari-cari
kerja part time. Bersyukurnya, diterima kerja jadi taster salah satu makanan
cepat saji yang sudah sangat terkenal--sekitar dua tahun--di area Jakarta,
Depok, dan Tangerang (BSD).
Jadi, kerjaan saya keliling-keliling di tiga area itu
untuk mengetes dan mencicipi kentang yang enak seperti apa, bentuk potongannya
rapi atau tidak, penggaramannya merata atau acak-acakan, daging ayam yang enak
itu seperti apa. Apakah ketika dibelah dua, ayamnya mengeluarkan juice atau
kering, hingga susunan dalaman burger itu seperti apa yang enak dan benar.
Jadi taster itu saya dibayar untuk icip-icip makanan dan
dikasih transport. Nah, saya tidak menyebutkan kalau saya bekerjanya jadi
seperti “mata-mata” di setiap resto yang tersebar. Tetap saja berpura-pura
sebagai konsumen yang belanja dan makan di tempat itu. Seluruh area resto saya
perhatikan hingga kebersihan toilet plus pelayanan waiter/waitress-nya.
Saya mesti membuat laporan yang sudah dipersiapkan
sekitar 5-10 halaman yang berisi aktivitas yang terjadi di resto tersebut. Ya,
pura-pura jadi mahasiswa yang lagi ngerjain tugas saja kalau ke resto itu. Jadi,
Store atau duty managernya juga tidak curiga. Bisa saja saya bawa pulang, tapi
lebih baik saya selesaikan di tempat saya mencoba.
Lumayan, itung-itung dari kerjaan sambilan itu, uang
makan saya tiap bulan lebih hemat dan gizi terjaga. Hahaha… anak kost banget. Nah,
setelahnya, saya juga menjadi freelance editor di salah satu penerbit buku di
bilangan Pondok Kelapa. Pas banget dengan jurusan yang saya ambil saat itu. Saya
menyunting bidang studi Biologi untuk
kelas 1,2, dan 3 SMP. Sangat-sangat lumayan uang hasil kerja sambilan itu.
Saya bisa bayar kost tiap bulan, sesekali makan enak,
juga bisa traktir teman-teman saya.
Terpenting, saya tidak menyusahkan orang dan bisa
menghidupi diri sendiri. Apalagi sebagai anak perantauan yang harus pintar
mutar otak biar tetap bisa melangsungkan kehidupan di Jakarta yang keras ini.
Selama kuliah juga pernah jadi guru privat mengajar anak
SMA dengan bidang studi yang sama. Tapi tak berlangsung lama. Kemudian juga
mengajar bapak-bapak yang akan meneruskan kuliah S1 (program ekstensi) di ITB
yang akan meneruskan ke bidang teknik kelistrikan. Saya diminta untuk mengajar
fisika dan matematika.
Ya, bersyukur saja untuk rezeki yang sudah Allah SWT
turunkan kepada saya hingga hari ini. Seberapa pun rezeki yang diturunkan,
tetap berdoa semoga berkah. Dan tak lupa, di dalam rezeki saya ada rezeki orang
lain. Jadi, tetap berbagi meski satu rupiah.
8 comments:
Masya Allah. Ternyata Mas Jun memang ubet dan ulet sejak kecil. Pantas saja kok tulisan dan gambarnya oke banget. Ah, bisa belajar tentang "kehidupan sehari-hari" dari guru yang sudah banyak makan asam garam (gula, kopi, dan lain-lain, #eh). Terima kasih berbaginya, Mas Jun.
Mba @Noer... bisaaa aja aah Mba. Alhamdulillah mba. Yo jadine koyo ngene saiki. Hahaah... mesti ulet kayak ulet yoo mbae... Mba Noer Irma juga gigih dan ulet. Saya juga banyak belajar dari Mbae nih. Tetep semangat dan terus sukses yoo Mba. Mbae nih Panutanquuu.:)
Menumbuhkan jiwa entrepreneur dan jiwa dagang ya :)
Kalau saya kebalikan, pengen banget ikutan dagang saat sekolah malahan di mentalin mulu sama orangtua. Ga pernah dapat dukungan, sekarang jiwa bersaing nya ga ada deh
Ayah kerjaan bikin makanan dan makan melulu, pantesan sekarang bikin blog makanan
Tapi ente gak gendut, ye. Walau coba makanan di restoran cepat saji
Mba @Anisa: Ya Mba...belajar jadi pengusaha. Siapa tahu jadi pengusaha beneran ntar.
Mpo @Ratne: Hahhah... iye pok, enak soalnye bikin makanan, kenyaaang.
Miss @Dapur: Kata siapa aye kagak gendut... pernah pok 85kg... perut kagak bisa nekuk. Make sepatu kudu ngelipet kaki. Sengsaraaaaaaaa...
Dulu saya juga sempat nyambi gini. Kuncinya cuma di pengaturan waktu ya. Salut, Mas!
Mas @JustianEdwin: Waah... Hebat Mas.. Salut saya sama orang yang bisa nyambi kerja dan sekolah. Benar banget Mas, Kuncinya di pengaturan waktu. Pinter-pinter kita aja Atur waktu. Juga jaga kondisi badan.
Post a Comment