Uni Eropa berusaha membunuh petani sawit Indonesia [Foto: Dok https://cdn-a.william-reed.com] |
Bicara sawit, bicara manusia. Hal ini penting bagi sepanjang sejarah manusia. Banyak produk dan olahan makanan berasal dari sawit. Sawit
pun begitu banyak digunakan dalam lansekap (arsitektur). Sawit menjadi salah
satu tanaman yang paling penting secara ekonomi.
Di dalam banyak budaya historis, sawit menjadi simbol
gagasan kemenangan, kedamaian, dan kesuburan. Untuk warga dunia penghuni iklim
sejuk, sawit sebagai perlambang daerah tropis dan menjadi tempat destinasi
wisata tak tertandingi.
Secara morfologi,
sawit tumbuh sebagai pohon dan semak. Memiliki dua metode pertumbuhan,
secara soliter dan berkelompok.
Representasi sawit secara soliter diakhiri dengan mahkota daun. Karakter monopodial itu diperlihatkan oleh
batang yang tidak merunduk, trunkless, dan trunk-forming.
Sawit yang secara umum dibatasi oleh pertumbuhan soliter
meliputi Washingtonia dan Roystonea. Pohon sawit terdapat tunas aksila di simpul daun,
biasanya di dekat pangkal tunas baru muncul. Sawit memiliki daun besar berwarna
hijau yang merupakan senyawa palmately
(fan-leaved) atau pinnately (bulu) tersusun secara spiral
di bagian atas tangkai. Daunnya indah, memiliki selubung tubular dan akan
membuka di kala cukup usia.
Bunganya jenis spadix
atau spike yang dikelilingi oleh satu
atau lebih bracts atau spathes dan semakin tua akan mengeras. Bunga
berwarna putih dan kecil berbentuk radial simetris dapat berupa uniseksual atau
biseksual. Sepal dan kelopak biasanya masing-masing berjumlah tiga dan mungkin
berbeda atau bergabung di bagian pangkal. Benang sari umumnya berjumlah enam
dengan filamen terpisah, menempel satu sama lain atau menempel pada bagian alas
putik. Buah sawit merupakan buah berbiji tunggal terkadang buah berry.Kalau diurai
satu per satu morfologi kelapa sawit, tentu tak akan pernah selesai.
Ya, bicara sawit
tak lepas dari APKASINDO. Apkasindo menjadi Asosiasi Petani Kelapa Sawit
Indonesia yang terbesar di negeri ini dengan anggota empat puluh juta lebih. Saat ini, kelapa sawit sebagai pemasok devisa paling
besar. Hal ini diakui oleh seluruh dunia bahwa Indonesia memiliki perkebunan
kelapa sawit terbesar. Karena besarnya itu tadi, orang-orang melihat di mana
letak kelemahan Indonesia dari sisi penanamannya.
Sekarang, Eropa mulai membidik Indonesia mengenai tata
kelola penanaman kelapa sawit. Dengan satu pertanyaan yang mengganggu “otak”
mereka, mengapa sawit Indonesia bisa mengalahkan minyak yang mereka miliki,
seperti minyak jagung, biji bunga matahari, dan sebagainya?
Saat ini, banyak isu-isu yang dilontarkan kepada
Indonesia berkaitan dengan sawit, sementara kehidupan orang-orang atau petani
kita yang hampir 40 juta bergantung pada sawit.
Oleh karenanya, peran ahli, terutama orang-orang yang
berkecimpung di kelapa sawit sangat diharapkan untuk keberlanjutan sawit negeri
ini. Melihat posisi petani kelapa sawit Indonesia seperti dibunuh oleh Eropa.
Salah satu hal yang dikaitkan atau dituduhkan terkait
pengembangan kelapa sawit khususnya di Indonesia adalah persoalan sustainability. Walaupun ketika kita
berhadapan dengan beragam pihak di Uni Eropa, mereka tidak akan menyangkal
kalau kita sampaikan bahwa kelapa sawit bukan sekadar komoditi biasa, tetapi
kelapa sawit mengandung tiga hal yang sangat pokok.
Pertama, terkait dengan pengentasan kemiskinan. Yang kedua
terkait dengan pembangunan masyarakat, dan ketiga terkait dengan upaya-upaya
global di dalam berusaha mencari keterkaitan dengan sustainable tersebut.
Apabila ketiga hal ini diberikan kepada mereka (Uni Eropa), sudah dipastikan,
mereka tidak akan bisa menentang.
Akan tetapi, persoalan utamanya bukan di ketiga hal itu. Tetapi
selalu, di dalam forum terpisah persoalannya yang digembar-gemborkan terkait
sustainability, mempekerjakan anak di bawah umur, gender, juga lingkungan
hidup.
Terkait hal ini Bapak
Ir. H. Aziz Hidayat, Kepala Sekretariat Komisi ISPO, sebagai tokoh sentral di
dalam pengembangan Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO), akan angkat bicara. Bagaimana
sesungguhnya ISPO di Indonesia berjalan.
Di dalam negeri pun ISPO masih belum sepenuhnya dipahami
oleh seluruh lapisan pemerintah. Betapa pentingnya ISPO yang mengandung unsur
strategis untuk dapat diterapkan dalam menangkal sebagian isu-isu yang
dilontarkan kepada kelapa sawit Indonesia. Di dunia, Indonesialah yang pertama
menerapkan sertifikasi ISPO ini.
Sementara, Pak Mahendra Siregar, selaku Direktur
Eksekutif Asosiasi Negara-Negara Produsen Sawit Dunia. Bagian ini memiliki
posisi yang sangat strategis karena akan mewakili industri sawit nasional kita
untuk menghadapi beragam tuduhan tentang sawit Indonesia juga isu-isu yang
dilakukan oleh pihak luar negeri. Pak Hendra bicara tentang pemikirannya
mengenai diplomasi sawit.
Asmar Arsjad selaku Sekjen Apkasindo mengatakan
bahwa sawit adalah rakyat. Kita semua
maklum, dari 12 juta kelapa sawit internasional dan 20 juta kelapa sawit
nasional, hampir 45% adalah kelapa sawit rakyat. Sekitar lima juta lebih kelapa
sawit rakyat.
Kenapa kita bicara rakyat? Kita ketahui bahwa lebih dari 40 juta orang,
pendapatannya ada di kelapa sawit. Mulai dari petani itu sendiri, pedagang,
pabrikan, hingga kepada petani yang menjual atau orang-orang yang terlihat
dengan kelapa sawit.
Saat Amar Arsjad melakukan pertemuan dengan Duta Besar
Eropa, disampaikan semua hal yang berkaitan dengan kelapa sawit. Yang dipertanyakan
adalah, “Mengapa sustainable harus kepada kelapa sawit?” 18 juta hektar dunia,
dan 12 juta hektar Indonesia punya, kenapa tidak pada kedelai, bunga matahari?
Dengan entengnya Duta Besar Eropa menjawab, “Itu cerita
lama”. Menurut Pak Amar, Indonesia baru membangun, jadi mesti ada pengorbanan,
apakah itu hutan atau segala macamnya. Wajar saja, dulu Eropa dan Amerika juga
membabat hutan, Indonesia tidak ribut juga kebarakan hutan, California, Kanada.
Jadi Amar Arsjad katakan pada saat itu bahwa Uni Eropa
ini sebagai mafia, pelanggaran HAM. Mereka malah memberikan data kepda wakil
Indonesia, “kita tidak anti sawit”. Import kelapa sawit dari Indonesia terus
meningkat setiap tahun. Kalau begitu, Uni Eropa ini seperti orang bermuka dua,
di satu pihak anti kelapa sawit, biodiesel berbasis minyak sawit dilarang
masuk. Jadi, menurut Amar Indonesia tidak bisa bicara kepada Uni Eropa terlalu
vokal, harus ada aksi.
Oleh karena itu, pemerintah perlu didorong . lima tahun
lalu apkasindo mengatakan, “Jangan eksport CPO ke Uni Eropa. Apakah kita
berani?” Tiga tahun lalu Apkasindo sempat melakaukan demo di Jakarta, “Boikot
barang-barang Uni Eropa, apakah berani?”
Jadi pemerintah harus didorong. Kalau kita (petani) siap,
apapun risikonya, untuk kepentingan nasional, semua rakyat sawit akan melakukan
apa saja. Jadi, pemerintah memang harus benar-benar didorong, apapun itu. Apakah
berani memboikot barang-barang Uni Eropa?
Beberapa waktu belakangan, Menteri Perdagangan
mengatakan, bahwa “Kita harus action”.
Susu bubuk misalnya, kenapa harus masuk
Indonesia? Menteri Perdagangan juga bilang, “Supplay Chain!” Kalau negara ini
mau maju dan bersaing di pasar global, kita harus supplay chain.
Menurit Amar ini merupakan momentum bagi kita, kalau
pemerintah ingin membela petani kelapa sawit, membela rakyat yang 40 juta orang
itu (petani sawit). Diplomasi sudah banyak dilakukan.
Bayangkan saja, jika pemerintah tidak beraksi dengan hal
ini, sekitar 5,3 juta penduduk petani sawit Indonesia dibunuh oleh Eropa. Eropa
tidak dibiarkan melakukan gerakan
sistematis di Parlemen mereka. Mereka melakukan voting yang menyetujui
proposal UU Energi terbarukan di dalamnya melarang penggunaan minyak sawit
untuk biodiesel tahun 2021. Proposal yang diajukan harus memperoleh persetujuan
dari eksekutif Komisi Eropa dan pemerintah negara-negara anggota agar bisa
diterapkan.
Di kesempatan inilah Amar Arsjad dan rekan-rekan berusaha
untuk mempertahankan dan memperjuangkan petani sawit Indonesia dengan
mendatangi duta besar Uni Eropa agar proposal tersebut tidak diterima.
Apkasindo berusaha dan mencoba mendorong pemerintah untuk
melakukan langkah nyata. Tentu saja ini tidak bisa diomongkan, perlu strategi
khusus yang bisa dilakukan. Karena hal ini tidak main-main. Apa yang
disampaikan Pak Asmar kepada press dan
blogger tidak mengekspor CPO dan produk-produk turunannya ke Eropa yang
sekarang mungkin masih sekitar 20% dari total ekspor Indonesia. Itu yang
pertama.
Yang kedua adalah memboikot produk-produk Eropa. Ini
sebagai status yang tidak main-main. Hal ini terkait dengan apa yang dirumuskan
Apkasindo, bahwa Apkasindo melihat situasi yang terjadi sekarang ini adalah
ancaman bagi industri sawit Indonesia.
Bagaimana kita menyikapi dari sisi keberlanjutan
usaha kelapa sawit Indonesia? Ir. H Aziz
Hidayat, Kepala Sekretariat Komisi ISPO menyampaikan paparannya. Masih banyak
di antara kita yang belum banyak memahami ISPO.
Ada juga beberapa kementerian yang belum penuh secara
komitmen untuk mendukung adanya ISPO. Komitmen penerapan ISPO ini diharapakan
dapat meningkatkan kredibilitas. Kredibilitas ini sangat penting karena akan
sangat mempengaruhi keberterimaan ISPO sendiri di dunia internasional. Karena
masih ada yang menyangsikan keberadaan ISPO ini.
ISPO lahir sebagai amanat UU Perkebunan (UU No. 39 tahun
2014 tentang Perkebunan). Azasnya sangat jelas, akan tetapi pertanyaannya
adalah apakah kita sudah berdaulat dengan sawit kita, padahal kita nomor satu
di dunia?
Ternyata, belum. Itu karena kita masih ditekan,
dipengaruhi oleh negara asing yang tidak punya sawit. “Sawit hingga hari ini
masih menjadi komoditi satu-satunya yang masih menjadi nomor satu di dunia,”
ucap Aziz.
Komoditi Indonesia yang dulu unggul seperti tebu, kopi,
juga kakao, sekarang sudah merosot, tinggal sawit saja. Apakah kita rela sawit
juga bernasib sama?
Tentunya tidak, seperti yang dikatakan Pak Amar, “Sawit
adalah Rakyat”. Tujuan dari pasal 3 UU
Perkebunan sudah banyak yang tercapai. Hal itu terbukti dari devisa sawit itu
menjadi nomor satu di Indonesia.
Undang-undang perkebunan pasal 3 telah memenuhi tujuan
yang diinginkan dari keberadaan sawit di Indonesia, yaitu:
·
Kesejahteraan dan
kemakmuran rakyat
·
Sumber devisa
negara
·
Lapangan kerja
dan kesempatan usaha
·
Produksi,
produktivitas, kualitas, nilai tambah, daya saing, dan pangsa pasar
·
Kebutuhan
konsumsi & bahan baku industri dalam negeri
·
Perlindungan kepada
pelaku usaha perkebunan dan masyarakat
·
Mengelola &
mengembangkan sumber daya perkebunan secara optimal, bertanggung jawab dan
lestari
·
Pemanfaatan jasa
perkebunan
Kelapa sawit menjadi bagian ekspor terbesar Indonesia
pada 2016. Niali ekspor sawit pada 2016 sebesar 12,32% dari total ekspor
Indonesia atau 13,56% dari ekspor non
migas. Nilai ekspor sawit 2016 US$17.8 miliar (25, 7 juta ton CPO, PKO, dan
turunannya, dan 5,2 juta ton bungkil dan cangkang, lebih besar dibanding tahun
20115, yaitu US$16.5 miliar.
Program B-20,
biodiesel yang dihasilkan 2,7 juta KL. Impact biodiesel sendiri terjadi
pengurangan emisi gas rumah kaca 4,49 juta ton CO2. Nilai tambah industri hilir
melalui biodiesel Rp4,4 triliun, penghematan devisa negara & Ketergantungan
pada bahan bakar fosil Rp14,83 triliun.
“Sawit ini menjadi tanaman anugerah Tuhan bagi bangsa
Indonesia untuk bangsa di dunia. Dan tidak ada dari pohon sawit yang terbuang,
semua dapat dimanfaatkan dan punya nilai ekonomis,” jelas Pak Aziz.
ISPO juga mengikut perkembangan dari negara-negara yang
Indonesia ekspor. Utamanya adala memenuhi Amsterdam
Declaration in Support of Fully Sustainable Palm Oil Supply Chanin by 2020.
Ekspor sawit Indonesia untuk tahun 2020 harus sustainability.
Hal ini dipantau oleh ESPO(European Sustainable Palm Oil). Publikasi secara resmi ESPO di
Brussel pada 23 November 2017 menunjukkan perkembangan yang sangat signifikan. Pada
2016 impor CPO oleh Eropa untuk bahan makanan dan refinery mencapai 69% yang
sudah CSPO (Certified Sustainable Palm Oil), diantaranya 60% diproses untuk
industri makanan.
Juga terdapat trend positif penggunaan SPO di Eropa
sejalan dengan meningkatnya produksi CPO dari negara-negara produsen sawit pada
2017 yang terdiri atas RSPO seluas 2,83 juta Ha (tak hanya Indonesia), ISPI
seluas 1,9 juta Ha, dan MSPO seluas 260 ribu Ha. Terkadang ESPO di anggap lebih
jelek dari MSPO.
Bagaimana usaha kita mengatasi black campaign sawit? Salah
satu upayanya dengan ISPO, tujuannya untuk mendorong usaha perkebunan
untuk menaati peraturan yang telah
dikeluarkan pemerintah (kepatuhan), meningkatkan kesadaran pengusaha kelapa
sawit untuk memperbaiki lingkungan, melaksanakan perkembangan perkebunan kelapa
sawit yang berkelanjutan, dan meningkatkan daya saing minyak sawit Indonesia di
pasar internasional. Ada 16 undang-undang yang perlu dipatuhi. Kalau hal-hal
itu terpenuhi, artinya sawit Indonesia patuh terhadap undang-undang.
ISPO menerapkan semua peraturan perundangan terkait keberlanjutan yaitu peraturan Menteri Pertanian
No. 11 tahun 2015, “Sistem Sertifikasi Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia
(ISPO) dasar penerapan ISPO.
ISPO ini melindungi lingkungan, taman nasional, sumber
air, sepadan sungai, pantai, daerah rawan bencana alam, hutan atau padang
rumput dengan keanekaragaman hayati yang tinggi dan area yang memiliki sejarah
tinggi. Juga melindungi spesies tanaman terancam punah, area perkebunan
harus memperhatikan spesies tersebut dan
menemukan alasan mereka terancam punah. Spesies yang terancam punah tidak dapat
dipelihara di perkebunan tanpa perlakuan khusus dan izin dari pemerintah.
Sertifikasi ISPO mengacu pada ISO (17021-2006;
19011-2011; 9001-2008; 14001-2004; dan 17000-2004, IAF (International
Accreditation Forum), PP No. 102 tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional,
Keppre No. 78 tahun 2001, tentang Komite Akreditasi Nasional, Sistem
Sertifikasi Nasional tahun 2010, dan UU Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian
No. 20/2014.
Sementara itu pelaksanaan ISPO sendiri tidak memihak dan
penilaian dilakukan oleh lembaga terakreditasi yang disetujui Komisi ISPO. Sertifikasi
ISPO mengacu sesuai sistem dari Organisasi Internasional untuk Standardisasi
(ISO). ISPO sendiri sudah memberikan pengakuan kepada 12 negara lembaga
sertifikasi dan mengakui 1.184 auditor, 8 lemabga konsultan, dan satu lembaga
untuk penyelenggaraan pelatihan pelatihan Auditor ISPO.
Pun sekretariat Komisi ISPO berkoordinasi dengan BSN dan
KAN memverifikasi laporan hasil audit ISPO dari LS sebagai bahan tim penilai
dan komisi ISPO dalam memberikan pengakuan sertifikasi ISPO, fasilitasi
pelatihan auditor ISPO, pengawasan dan evaluasi pelaksanaan audit ISPO oleh
lembaga sertifikasi, serta penyelesaian sengketa.
Jika ada pernyataan bahwa sawit menyebabkan deforestasi
itu tidak benar. Justru, sawit-sawit inilah yang menyelamatkan hutan-hutan yang
dulu telantar dan rusak. “Justru sawit inilah yang menyelamatkan”, tutur Aziz.
ISPO secara tegas tidak membenarkan adanya diskriminasi
dan mempekerjakan anak. Mewajibkan pelaku usaha memberikan hak pekerja sesuai
peraturan perundang-undangan. Seperti fasilitas pembentukan serikat pekerja,
upah yang layak sesuai UMK, Jaminan Kesehatan, Keselamatan Kerja, dan
sebagainya.
ISPO juga memiliki prinsip menghormati hak masyarakat
adat, tak boleh berkonflik dan sengketa
dalam pembebasan lahan. Perolehan lahan yang berasal dari hak ulayat/hak adat
wajib terlebih dahulu dilakukan musyawaran bersama masyarakat adat pemegang hak
adat dan warga pemegang hak atas tanah
bersangsuktan yang dituangkan dalam
kesepakatan penyerahan tanah dan imbalannya dengan diketahui
gubernur/bupati/walikota sesuai kewenangan.
Pun manfaat ISPO memberikan sesuatu yang lebih untuk pelaku usaha
industri sawit juga meningkatkan daya
saing sawit Indonesia di pasar internasional mendukung terwujudnya Sustainable Development Goals.
Memang, ISPO perlu disosialisasi secara seluas agar
masyarakat dan pelaku usaha industri kelapa sawit paham. Jadi, ISPO sebagai
salah satu langkah untuk menghindari justifikasi pihak-pihak asing yang
mengatakan bahwa sawit sebagai perusak lingkungan.
Mahendra Siregar dengan pengalamannya melihat situasi
dalam negeri untuk konteks luar negeri: bagaimana diplomasi sawit Indonesia
yang sudah berlangsung selama ini.
Kata kunci dari persoalan yang dihadapi industri sawit
Indonesia dengan Uni Eropa ini adalah “Diskriminasi”, tidak ada yang lain. Tetapi,
seperti kita kerap dengar, pada saat membahas diskriminasi ada yang membatasi
terminologi diskriminasi yang terkait
dengan prinsip-prinsip yang ada di dalam WTO. Intinya adalah tidak
melakukan pembatasan atau pengenaan tarif impor dan langkah-langkah kebijakan
perdagangan yang diskriminatif. Hal ini yang disebut prinsip antidiskriminasi.
Ada beberapa hal untuk diskriminasi ini. Pertama, dalam
kaitannya dengan WTO. WTO menetapkan tuduhan anti dumping Uni Eropa terhadap
biodiesel ekspor sawit dari Indonesia, itu tidak beralasan dan meminta Uni
Eropa membatalkan. Bahkan di pengadilan Uni Eropa sendiri juga dibatalkan
karena terbukti tuduhan itu tidak benar.
Ada beberapa hal tentang diskriminasi ini, berkenaan
dengan parlemen Eropa, bahwa mereka mengeluarkan resolusi tahun lalu dalam
konteks sawit dan deforestasi. Dikaitkan dalam konteks WTO-nya,dikatakan hal
itu tidak mengikat. Tidak punya efektivitas legislasi dan sebagainya. Benar,
akan tetapi seluruh prosesnya dan pemberitaannya sebagai bentuk diskriminatif
terhadap sawit. Tidak harus menunggu hingga benar-benar efektif menjadi satu
kebijakan.
Lalu, bentuk diskriminasi lain yang dilakukan dengan
berbagai studi. Studi yang melihat bagaimana keberlanjutan sawit. Padahal sebenarnya
kalau bicara soal keberlanjutan mestinya harus berlaku utuk semuam komoditi. Tidak
bisa tidak.
Kemudian diskriminasi oleh berbagai pihak. Apakah itu
media, LSM, dan lain-lain. Lalu juga diskriminasi oleh perusahaan. Seperti perusahaan-perusahaan
Eropa dan label-label yang mengatakan tidak mengandung sawit (no palm oil content). Ini sebagai bentuk
diskriminasi. Mendeskriditkan sawit, bahwa dengan mendeskriditkan sawit
penjualan mereka dapat meningkat. Belum lagi isu yang ditebarkan bahwa sawit
menyebabkan deforestasi. Padahal pengadilan
di Belgia sendiri sudah membuktikan bahwa hal ini tidak benar.
Sawit menjadi komoditi utama perkebunan yang menjadi
penggerak dalam mengentaskan kemiskinan dan pendorong pembangunan desa. Banyak prestasi
pemerintah Indonesia bersama petani kelapa sawit dalam mencegah kebakaran hutan
juga mengedepankan tata kelola lingkungan hidup berkelanjutan sudah seharusnya
dihargai dan dipercaya dunia.
Bahwa tudingan deforestasi di sektor perkebunan sawit
sama artinya tidak menghargai pemerintah Indonesia. Karena sawit banyak ditanam
di areal pengguna lain yang sudah ditetapkan pemerintah atau lahan-lahan
telantar. Kelapa sawit tidak ditana di areal konservasi. Eropa tak melihat
fakta ini justru lebih senang mendeskriditkan dan menuding penyebab deforestasi
tanpa melihat fakta di lapangan.
Pemerintah kita mesti bertindak tegas dalam melihat hal
ini. Ini tidak dapat dibiarkan. Mengecam sawit sama dengan mengecam Indonesia,
sawit itu rakyat.
2 comments:
Pusing bgt bacanya...xixixi.
semoga sawit di Indonesia tumbuh terus dan berbuah banyak walau dapat kecamanan...
gw pernah ngemilin sawit...enak kok rasanya. hehehe
Hahah.. ga usah pusing2 lit... udah ada yg ngurusin. Udah pernah juga gw makan. Enak memang, manis-manis gimana gitu.
Post a Comment