Tuesday, April 17, 2018

2nd International Conference and Expo On Indonesian Sustainable Palm Oil 2018: Dari Isu Merusak Lingkungan, Uni Eropa yang Menjegal, hingga ISPO Sawit Indonesia Perlu Percepatan


2nd International Conference and Expo On Indonesian Sustainable Palm Oil [Foto: Dok Pri]

Industri minyak sawit merupakan industri strategis dalam perekonomian Indonesia, baik untuk sekarang maupun untuk masa depan. Dikatakan industri strategis karena kontribusi industi minyak sawit yang cukup besar, baik dalam ekspor nonmigas, kesempatan kerja, pembangunan daerah pedesaan, dan pengurangan kemiskinan.

Selain itu, industri minyak sawit ke depan juga akan menjadi bagian penting dari sistem kedaulatan energi Indonesia. Tidak banyak sektor ekonomi apalagi pada level komoditas yang dapat berkontribusi besar, inklusif, dan meluas seperti industri minyak kelapa sawit.

Di beberapa dekade terakhir ii, berbagai isu sosial, ekonomi, dan lingkungan dipakai oleh beberapa LSM anti sawit sebagai kampanye  negatif atau hitam terhadap industri sawit Indonesia. Jika hal ini didiamkan, selain menyesatkan banyak orang, juga dapat merugikan industri minyak sawit Indonesia itu sendiri.

Oleh karena itu, kita memerlukan edukasi publik untuk mengoreksi pandangan-pandangan yang telanjur keliru di masyarakat mengenai industri minyak sawit. Kampanye negatif tentang industri sawit sudah ada sejak lama. Sejak Indonesia mulai mengembangkan pola Perkebunan Inti Rakyat (PIR) Kelapa Sawit di awal tahun 1980-an.

Kekhawatiran produsen minyak kedelai kalah bersaing dengan minyak sawit sebagai pemicu intensifnya kampanye negatif untuk minyak sawit.

Awalnya, tema kampanye hanya terbatas isu gizi atau kesehatan yang mempengaruhi konsumen, tetapi 15 tahun terakhir kampanye negatif telah melebar pada aspek ekonomi sosial, dan lingkungan khususnya yang terkait dengan perhatian masyarakat global.

Skenario baru dibuat untuk mengentikan pertumbuhan bahkan menghancurkan industri sawit itu sendiri. Strategi kampanye yang ditempuh juga makin terstruktur, sistematis, dan massif. Melibatkan LSM anti sawit trans-nasional dan lokal. Secara intensif menggunakan media massa baik nyata maupun maya.

Kampanye tidak lagi sekadar mempengaruhi opini publik global, tetapi juga menggunakan semua jalur mulai dari jalur konsumen, produsen, industri, dan kelembagaan pendukung, hingga jalur pemerintah.

Baca Juga:



Lembaga pemerintah pun mendapat pressure keras untuk mengeluuarkan kebijakan yang mengekang industri minyak sawit. Pandangan keliru yang terhadap industri minyak sawit dapat mengancam masa depan industri minyak sawit  nasional sebagai salah satu industri strategis dalam perekonomian Indonesia.

Ekonomi minyak sawit yang menjadi sumber pendapatan jutaan  penduduk, melibatkan  jutaan unit usaha keluarga, usaha kecil dan menengah setidaknya di 190 kabupaten dan penyumbang terbesar devisa negara nonmigas, merupakan taruhan dampak  kampanye hitam LSM anti sawit.
 
Peserta Konferensi ISPO 2018 [Foto: Dok Pri]
Sejalan dengan hal ini, pada tanggal 11-12 April 2018, dilaksanakan 2nd International Conference and Expo On Indonesian Sustainable Palm Oil 2018 yang di gagas oleh Media Perkebunan.

Kita ketahui, bahwa nilai ekspor minyak sawit Indonesia pada tahun 2017 mencapai titik  puncaknya. Hal ini tidak lain karena hubungan industrial yang sangat baik terjalin secara dinamis, harmonis, juga adil.
 
Beberapa perusahaan penerima penghargaan [Foto: Dok Yulia Rahmawati]
Sebagaimana yang disampaikan Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Dirjen PHI dan Jamsostek) Kemenaker Haiyani Rumondang, mewakili Menaker Hanif Dhakiri yang menjadi pembicara di  2nd International Conference and Expo on Indonesian Sustainable Palm Oil (ICE-ISPO) 2018 di Balai Kartini, pada Jumat (13/4/2018), di Jakarta.




Beberapa perusahaan peserta pameran Konferensi [Foto: Dok Pri & Yulia Rahmawati]

"Dalam rangka meningkatkan daya saing minyak sawit Indonesia di pasar dunia, Pemerintah telah menetapkan standar nasional minyak sawit yaitu Indonesian Sustainable Palm Oil System (ISPO) dengan menetapkan beberapa prinsip dan kriteria," ucapnya.

Prinsip ke-4 ISPO tersebut, ucapnya,  mengatur mengenai tanggung jawab terhadap pekerja. Hal itu, meliputi keselamatan dan kesehatan kerja, kesejahteraan dan peningkatan kemampuan pekerja, serta larangan perusahaan perkebunan mempekerjakan anak di bawah umur, dan melakukan diskriminasi sesuai peraturan perundang-undangan.

"Selain itu prinsip ke-4 ISPO juga mengatur perusahaan perkebunan harus memfasilitasi terbentuknya Serikat Pekerja. Dalam rangka memperjuangkan hak-hak pekerja dan perusahaan perkebunan juga harus mendorong dan memfasilitasi pembentukan koperasi pekerja dan karyawan,"  terangnya.



Kultur Jaringan Kelapa Sawit [Foto: Dok Pri]

Budidaya kelapa sawit berkelanjutan menurut “cara” Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) hanya perlu percepatan  dan bukan penguatan. Oleh karenanya CPO yang dihasilkan dapat mencapai 100% bersertifikat ISPO.

Seperti yang disampaikan Sekretaris Jenderal  Asosiasi Petani Perkebunan Indonesia (GAPPERINDO), Bapak Gamal Nasir dalam pembukaan International Conference and Expo – Indonesia Sustainable Palm Oil (ICE-ISPO), di Balai Kartini beberapa waktu lalu.

Pak Gamal mengatakan, bahwa yang diperlukan bukan Peraturan Presiden (Perpres) mengenai hal-hal teknis ISPO serta perubahan struktur organisasinya, tetapi yang diperlukan Instruksi Presiden (Inpres) untuk  Menteri Pertanian, Menteri Lingkungan Hidup, dan Kehutanan, Menteri Agraria dan Tata Ruang, juga Menteri Keuangan untuk mempercepat pelaksanaan ISPO.

Fakta tentang sawit [Foto: Dok Pri]

“Hal yang diperlukan itu bagaimana seluruh produk kelapa sawit dapat tersertifikasi ISPO melalui Inpres,” jelas Pak Gamal.

Di laih hal  Pak Gamal mengingatkan, sertifikat ISPO berbeda dengan sertifikat SVLK (Sistem Verifikasi Legalitas Kayu),  karena SVLK sebagai sertifikasi produk akhir. Pohonnya ditebang, kayunya diambil dan disertifikasi. Sementara itu, tempat pohon ditanam sudah tidak dipedulikan lagi.

Sertifikat ISPO itu setelah crude palm oil (CPO)-nya diambil, pohonnya harus dipelihara sesuai peraturan dan prinsip-prinsip dalam ISPO. Peran pemerintah, dalam hal ini, Direktorat Jenderal Perkebunan (Ditjetbun) menjaga dan mengawal bagaimana tata kelola perkebunan kelapa sawit bisa dilakukan.

“Oleh karena itu, kalau Komisi ISPO menjadi lembaga independen (tak memihak) di luar Ditjebun, Kementerian Pertanian, tidak tepat. Apalagi nantinya lembaga sertifikasi dikasih mandat penuh mengeluarkan sertifikat tanpa melalui sidang Komisi ISPO. Prinsip dan kriteria ISPO semuanya ada dalam UU. Bahkan, cara kerja dan metode lembaga independen juga harus mengacu pada UU,” urai Pak Gamal.

Hal yang sama juga disampaikan  Aziz Hidayat selaku Ketua Sekretariat ISPO. Bahwa tujuan ISPO itu telah melingkupi seluruh hal yang diinginkan oleh dunia internasional, yaitu, mendorong usaha perkebunan untuk mematuhi semua peratuaran pemerintah, meningkatkan kesadaran pengusaha kelapa sawit untuk memperbaiki lingkungan dan melaksanakan perkebunan kelapa sawit berkelanjutan untuk meningkatkan daya saing.

“Sekarang yang perlu dilakukan upaya meningkatkan keberterimaan ISPO di dunia internasional karena apa yang mereka mau sama dengan tujuan kita,” jelas Azis.

Dengan adanya keberterimaan ISPO di dunia,  mau tidak mau Uni Eropa yang ingin menjegal  produk sawit Indonesia, melek mata. Sawit Indonesia telah memiliki standar ISPO yang tidak main-main dan dapat dipertanggungjwabkan. Uni Eropa seringkali menghembuskan angin-angin kontradiktif terhadap sawit Indonesia di dunia internasional. Ini yang mesti dihalau.
 
Pusat Penelitian Kelapa Sawit [Foto: Dok Pri]
Dikatakan mereka,  sawit merusak lingkungan dan adanya pelanggaran HAM, karena mempekerjakan anak di bawah umur di perkebunan. Isu-isu tak beralasan ini yang membuat sawit Indonesai dalam keadaan terancam. Jadi, pemerintah sudah saatnya bertindak tegas demi kepentingan negara dan bangsa dan meningkatkan daya saing sawit Indonesia di mata dunia. 


Derivat (produk turunan) Kelapa Sawit [Foto: Dok Pri]



0 comments: